Lizza tengah asyik membersihkan kaca jendela di ruang rapat dengan telinga tersumpal earphone. Bahkan bibir merahnya ikut melantunkan lagu-lagu yang cukup hits dari boyband besutan agensi ternama di negeri ginseng itu. Wanita cantik itu adalah seorang fansgirl dari salah satu boyband milik negeri yang terkenal dengan dramanya yang romantis ini. Selain lagu-lagunya yang enak didengar, ia juga menyukai visual dari membernya terutama leadernya yang begitu tampan— menurut perempuan itu.
Sementara itu di ruangan yang sama. Pemimpinan tertinggi perusahaan tersebut, pria tampan bernama lengkap Bryan Park, yang menjabat sebagai Presiden direktur terlihat berdiri dengan tubuh bersandar pada pintu dan mata yang fokus menatap sosok Lizza yang tenggelam dalam pekerjaanya tanpa menyadari keberadaan atasannya itu. Bibir lelaki itu tersenyum simpul mendengarkan suara merdu wanita si pemilik marga Kim yang terus saja bersenandung menyanyikan lagu milik salah satu boyband papan atas di Korea. Sampai sebuah sapaan di belakangnya membuatnya tersentak dan membuat ekspresi datar di depan seorang laki-laki cukup tampan—salah satu karyawannya.
"Selamat siang, Presdir," ucapnya dengan tubuh membungkuk hormat.
Menampilkan ekspresi yang cukup sulit ditebak di depan Seolwoo—orang yang menyapanya— agar pria itu tak berpikiran macam-macam.
"Oh iya selamat siang." Nada suaranya terdengar gugup. Tetapi sepertinya Bryan adalah orang yang mampu mengendalikan ekspresi. Jadi, pria itu tak mampu membaca mimik wajah yang terlihat mencurigakan dari raut datar presdirnya.
"Anda sedang melihat apa, Presdir." Seolwoo penasaran, dan juga karena laki-laki itu adalah orang yang serba ingin tahu.
"Tidak, oh ya tolong katakan pada temanmu itu untuk bekerja dengan benar. Ini di kantor bukan agensi artis." Pria itu lantas beranjak setelah merapikan jas mahalnya. Namun lagi-lagi senyum itu kembali terbit walau tipis hingga Seolwoo tak menyadarinya.
Selepas kepergian Briyan. Tubuh Seolwoo memasuki ruangan tersebut.
Laki-laki bermarga Yoon itu melihat ke dalam ruang rapat. Di dalam hanya ada ada Lizza yang tengah membersihkan kaca jendela dengan bibir bersenandung kecil.Seolwoo melangkahkan kakinya menghampiri rekan sejawatnya itu. Ia menggelengkan kepalanya pelan.
"Noona." Seolwoo menepuk pelan pundak yang kini bergerak seirama dengan tangannya yang berputar-putar di atas kaca dengan alat pembersih dan semprotan penghilang noda.
Wanita cantik itu lantas menoleh dan menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Seolwoo lalu melepas earphone miliknya.
"Eoh Seolwoo, ada apa? "
Pria itu mencebilkan bibirnya. Seolwoo bukannya menjawab malah merebut earphone dan ponsel di tangan wanita cantik tersebut yang terlihat kebingungan.
"Jika sedang bekerja, taruh saja ponselmu di saku, atau di loker milikmu, Presdir Park melihatmu tengah bernyanyi tadi, dan dia menyuruhku untuk memperingatkanmu."
Wajah Lizza berubah pucat. Bagaimana jika dirinya dipecat.
"Astaga, benarkah itu. Apa Presdir marah, aku takut bagaimana jika Presdir memecatku.
Seolwoo membiarkan rekannya itu dilanda panik, sebelum bibirnya terkekeh lucu, dan raut wajah Lizza berubah menjadi ingin tahu.
"Kenapa kau malah tertawa, Seolwoo.""Kau tenang saja, Noona. Presdir mengatakan padaku untuk menyuruhmu bekerja dengan benar, tapi ekspresi wajahnya tidak mengatakan seperti itu."
"Apa maksudmu?"
Seolwoo menghela napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan wanita itu."Kau tahu Noona, sepertinya Presdir memiliki perasaan padamu, aku melihat dia tersenyum saat melihatmu, dan aku tidak bodoh, kalau tatapan Presdir kepadamu itu adalah tatapan memuja."
"Kau jangan sembarangan bicara, kau jangan menyebar gosip yang bukan-bukan."
"Terserah kau saja Lizza Noona, aku kembali kerja dulu." Seolwoo mendengus sebal. Lizza sangat keras kepala, dan tidak peka, walaupun dia sering menggoda menggoda wanita itu, tapi dia pun tidak ingin Lizza memiliki hubungan dengan atasanya itu. Dia tidak ingin wanita yang sudah ia anggap sebagai kakaknya ini mendapat predikat wanita jalang yang berani menggoda atasannya yang telah beristri, dan yang pasti dia memiliki perasaan lebih pada wanita bermarga Kim itu.
.............
Sean tengah duduk seorang sendiri di atap sekolahnya, menatap hamparan langit biru yang hari ini begitu indah. Memperhatikan pergerakan awan yang bebas bergerak ke sana ke mari. Bocah tampan itu jadi iri melihat awan-awan yang itu. Awan-awan besar dan kecil saling bergerak mendekat satu sama lain.
"Awan-awan itu seperti sebuah keluarga, seandainya Ayah ada di antara aku dan Ibu." Bibirnya bergetar. Rasa sakit itu kembali saat dirinya teringat sosok ayahnya yang entah di mana dan seperti apa rupanya. Dia begitu mendambakan sosok ayah seperti teman-temannya yang lain.
"Kenapa kau bicara sendiri." Tubuhnya tersentak, dan langsung beralih atensi menatap seseorang yang kini tengah berdiri menjulang di bekakangnya. Si wajah datar Han Taeyoong, bocah yang menolongnya tempo hari dari geng Jiseok.
"Han Taeyoong." Dia berbicara pelan dengan menatap bocah bermarga Han itu penuh selidik.
"Kenapa menatapku seperti itu? Aku bukan hantu." Taeyoong ikut duduk di sebelah Sean. Tak biasanya bocah pendiam itu bicara sepanjang ini, biasanya dia hanya bergumam dan menatap lawan bicaranya dengan tatapan tajam."Tidak, hanya saja .., ah lupakan."
Taeyoong tersenyum walau teramat tipis. "Aku hanya tidak menyukai Jiseok dan teman-temannya."
"Apa Jiseok mengganggumu lagi, " lanjutnya.
"Tidak, entahlah dia jadi pendiam, mungkin dia lelah." Sean kemudian mengalihkan atensinya kembali ke atas langit. Tersenyum melihat pergerakan awan-awan di atas sana.
Bocah pendiam itu melirik Sean, sepertinya bocah itu sedang bahagia, senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. "Apa kau sangat suka melihat langit?"
"Ya, langit itu bergerak bebas, kau lihat itu." Sean mengacungkan jari telunjuknya ke arah awan yang sedang bergerak-gerak ke sana ke mari. Taeyoong sontak mengarahkan pandanganya, mengikuti arah jari telunjuk temannya ini.
"Awan-awan itu bergerak saling mendekat, seperti sebuah keluarga, dua awan besar mengapit satu awan kecil, mereka seperti Ayah, Ibu, dan anak. Kau tahu, aku begitu iri melihat mereka, aku juga ingin seperti mereka."
Bibir Taeyoong terkatup rapat mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir bocah di sampingnya. Anak itu sontak mengingat kedua orangtuanya yang sudah pergi terlebih dahulu ke surga, meninggalkanya seorang diri.
"Ada apa? Apa aku salah bicara?" tanya Sean.
"Tidak, aku hanya mengingat kedua orangtuaku yang sudah bahagia di atas sana." Bibir Taeyoong terulas senyum, walau itu senyum penuh kepedihan. Sean menatap wajah bocah pemdiam itu terlihat sendu, ternyata bocah sekecil itu sudah tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orangtuanya, ah rupanya dia lebih beruntung dari Taeyoong, setidaknya dia masih memiliki seorang ibu yang sangat menyayanginya, dan ayah yang tidak tahu di mana keberadaannya.
"Taeyoong-ah, boleh aku memanggilmu seperti itu." Kelopak mata pemilik marga Han itu menyipit. Ada pertanyaan berlebih yang tersirat di wajah tampannya. Apakah Sean ingin berteman dengannya. Jika iya, ia pasti senang sekali, karena selama ini tidak ada yang mau berteman dengannya yang yatim piatu.
"Silakan saja. "
"Aku ingin jadi temanmu."
Taeyoong menatap dalam ke arah kedua mata bulat Sean yang jernih, sebelum akhirnya ia mengangguk dan memberikan senyum tulusnya yang selama ini dia sembunyikan di balik sifat dinginnya.
Seonjoo merebahkan tubuhnya di atas futon di dalam kamar sederhananya. Pikirannya melayang, memikirkan seorang Lizza Kim. Seorang yang begitu menawan. Padahal baru kali ini ia bertemu dengan sosok indah itu, apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Tidak mungkin, mungkin ini hanya perasaan kagum sesaat.Selama ini dia selalu diam, tak pernah menyapa hanya menatapnya dari jauh. Seonjoo bukan tipe laki-laki yang akan banyak bicara dan merayu sana-sini, namun wanita itu cukup untuk menarik perhatiannya."Seojoo, kau di dalam."Di tengah lamunanya, pria tampan namun pendiam itu dikagetkan dengan suara seorang wanita dari depan pintu kamarnya. Seonjoo buru-buru bangun dari tidurnya, melangkahkan kakinya membuka pintu.CeklekSuara pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya memakai hanbok berwarna gelap, dengan hiasan bunga kecil-kecil di bagian bawahnya, tengah berdiri
"Kau sekarang akrab dengan Seonjoo." Seolwo menyenggol bahu Lizza sembari berjalan menuju area kantin kantor untuk makan siang bersama."Tidak juga, kami hanya berteman tapi belum begitu akrab, dia terlalu pendiam.""Sayangnya dia sangat tampan."Lizza hanya mampu tersenyum mendengar ocehan sahabatnya ini. Yah, memang Lizza akui Baek Seonjoo sangatlah tampan bahkan dia seperti idol di negeri ini tidak cocok menjadi seorang office boy."Memang kenapa kalau tampan.""Yah, mungkin saja kau menyukainya, Noona. Tetapi, aku sarankan jangan menyukai dia, masa depan Sean bisa suram cari saja pria kaya seperti Presdir Park," kelakarnya."Kau gila, Nyonya Park bisa membunuhku, kau mau Sean tidak punya Ibu.""Aku hanya bercanda, Noona. Bagaimana jika aku saja yang menjadi Ayah Sean." Seolwoo menggodanya, namun ada keseriusan di balik ucapannya. Seolwoo hanya takut mengucapk
"Seonjoo-ah, kau itu lucu sekali. Wajah setampan kau, belum oernah memiliki kekasih, kau bercanda.""Aku serius, Noona."Langkah kaki Bryan terpaku, saat mendengar suara tawa yang berasal dari dalam ruangan office boy. Dia yang awalnya ingin, menemui sepupunya yang bekerja sebagai kepala personalia dia urungkan.Sepertiya kau sangat bahagia, kenapa dari dulu aku selalu kalah darinya. Bahkan sampai sekarang aku tidak mampu mengjangkaumu, batinnya berkata.Bryan mengusap kasar wajah tampannya, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke ruanganya. Niat untuk menemui sepupunya sudah hilang. Dia berbalik arah, tanpa tahu seorang wanita yang adalah istri sahnya memperhatikannya sejak tadi tidak jauh dari tempat laki-laki itu berdiri."Sampai kapan kau akan seperti ini Oppa, tidak cukup kah hanya denganku saja," ucapnya lirih sembari menghapus air matanya.***
Lagi-lagi pemandangan menyakitkan itu membuat mata Seolwoo pedih. Dia menghela napasnya panjang. Dia sudah memutuskan untuk membuang perasaannya pada Lizza. Tetapi, kenapa setiap dia melihat Lizza dan Seon Joo semakin lengket setiap hari hatinya merasa begitu sakit."Tidak aku tidak boleh begini, kau bisa Seolwoo, kau bisa melespaskannya," ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Dia lalu berlari menghampiri kedua orang itu—Lizza dan Seon Joo— yang tengah berjalan bersama."Kalian berdua, wah semakin lengket saja, apa kalian sudah bersama sekarang," ucapnya sembari menyenggol pelan bahu Lizza.Lizza sendiri tampak salah tingkah. "Kau ini bicara apa, kita hanya teman."Seolwoo menyipitkan kedua matanya. Memutari tubuh mereka berdua dengan satu jarinya dia ketuk-ketukan di atas dagu."Aku tidak percaya, ayo mengaku saja.""Kami hanya berteman dekat, Hyung," sambar S
Sudah sebulan lebih Seonjoo bekerja di Park company, dan semakin hari perasaan cintanya, semakin tumbuh pada Kim Yoonhee atau Lizza. Seonjoo menatap Lizza dalam diam. Saat ini mereka telah bersiap-siap akan pulang ke rumah. Seonjoo berdiri tak jauh dari tempat Lizza yang tengah membereskan barang-barangnya di dalam loker. Pemuda itu sengaja menunggu Lizza karena akan mengajak wanita itu berjalan-jalan sore sebentar menikmati waktu senja di tepi sungai Han. Sekaligus menyatakan perasannya pada perempuan cantik itu. "Ayo, jadi kita pergi?" tanya Lizza yang sudah bersiap dengan tas selempang berwarna putih menggantung di bahunya. Seonjoo memgangguk lalu dia berjalan lebih dulu diikuti Lizza yang berjalan di belakangnya. Sebenarnya, wanita itu begitu gugup sekarang. Karena tiba-tiba si pendiam Baek Seonjoo mengajaknya jala bersama. Lizza terus melamun, hingga tanpa sadar dia menubruk punggung pemuda tampan itu. "Kau tidak apa-a
Hari ini masih sangat pagi, namun seorang Baek Seon Joo sudah duduk melamun di depan sebuah nisan. Suasana pemakaman begitu sepi, maklum hari masih sangat pagi dan hari ini adalah hari minggu, biasanya orang-orang akan menghabiskan waktunya di tempat tidur sambil bergelung nyaman denga selimut tebal, atau sekedar jalan-jalan untuk menyegarkan otak. Namun, Seon Joo malah memilih untuk pergi ke makam.Seon Joo mengusap lembut batu nisan bertuliskan Baek Seo Joon yang merupakan makam milik kakaknya. Makamnya tampak bersih, dan di tumbuhi berbagai macam bunga di sekitarnya, mungkin ibunya yang selalu merawatnya.Pikiranya menerawang jauh ke belakang mengingat sosok kakaknya yang begitu ceria, namun sosok itu tiba-tiba berubah setelah kepulanganya dari Cheongnam. Kakaknya berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal sama sekali. Seojoon menjadi sosok pendiam dan puncaknya saat dirinya mendengar kabar bahwa Kakaknya kecelaka
Sean berjalan menghampiri ibunya yang tengah asyik berkutat di dapur kecilnya, bau harum masakan menyeruak ke dalam indera penciuman seorang Sean Kim yang membuat perutnya seketika lapar. Bocah itu mengelus perut kecilnya, mendudukan tubuhnya di lantai ruang tengah rumahnya yang menyatu dengan dapur."Ibu? " Lizza menoleh mendengar Sean memanggilnya."Kau sudah lapar Sayang, sebentar ya Ibu akan membawanya ke situ."Sean menganguk lantas menidurkan kepalanya di atas meja, memperhatikan ibunya yang sibuk menata makanan."Nah sudah selesai ayo kita makan." Sean hanya mengangguk malas, Lizza memandang wajah lesu putranya, dia jadi kwatir."Sean, ada apa denganmu, hem. Kamu sakit?"Bocah itu menggeleng lemah, "Tidak, aku tidak apa-apa, Bu.""Sean, katakan pada Ibu, Sayang. Apa teman-temanmu mengganggumu lagi di sekolah?"Sean mendongakan kepalanya.
Lizza berjalan terburu-buru sembari menenteng dua kantong besar berisi bahan-bahan makanan menuju flat kecilnya. Dia sudah terlambat untuk memasak makan malam untuk Sean. dia mampir ke tempat Seolwoo dulu tadi untuk mengajarinya memasak, karena Seolwoo sangat payah dalam memasak. Pemuda itu ingin pintar memasak seperti Lizza, karena dia tidak ingin terus merepitkan dengan menumpang makan di rumah wanita cantik itu. Dia tahu diri, apalagi sekarang Lizza tengah dekat Seonjoo, dia tak ingin melihat orang yang dia suka berduaan dengan pria lain.Lizza membuka pintu flat kecilnya, sambil berteriak memanggil Sean putranya."Sean, Ibu pul..., "Lizza urung melanjutkan ucapnnya karena melihat putranya tengah duduk bersandar pada kursi satu-satunya yang ada di flatnya dengan wajah penuh lebam."Astaga! Sean, kau kenapa sayang, kenapa wajahmu lebam begini, bicara pada Ibu.""Aku tidak apa-apa, Bu."
"Ibu, apa yang terjadi? Ada apa dengan Kak Seonjoo." Lizza menggeleng lemah pada putranya. Saat ini pikirannya tengah kalut. Bingung harus berbuat apa."Kakak, kau mau ke mana?""Maaf Sean, Kakak permisi pulang."Seonjoo berlalu pergi dari rumah Lizza tanpa mengucapkan sepatah katapun pada wanita itu. Dia hanya berbicara pada Sean.Lizza menatap nanar punggung lebar Seonjoo yang semakin menjauh dari pandangan matanya. dia sudah menduga semua akan berakhir seperti ini."Bu, apa Kak Seonjoo marah?" tanyanya. Wajahnya mendongak menatap wajah cantik ibunya yang fokus pada pintu depan di mana sosok Senjoo menghilang."Mungkin Kak Seonjoo marah dengan Ibu," ucapnya.Sean memperhatikan ibunya yang tampak tak bersemangat setelah kepergian Seonjoo. Dia tidak tahu ada masalah apa antara ibunya dan pria muda itu. Bukanya mereka teman lantas kenapa Seonjoo begitu kecewa dengan ibunya. Sean tidaklah bodoh walaupun usianya baru 10
Lizza berjalan terburu-buru sembari menenteng dua kantong besar berisi bahan-bahan makanan menuju flat kecilnya. Dia sudah terlambat untuk memasak makan malam untuk Sean. dia mampir ke tempat Seolwoo dulu tadi untuk mengajarinya memasak, karena Seolwoo sangat payah dalam memasak. Pemuda itu ingin pintar memasak seperti Lizza, karena dia tidak ingin terus merepitkan dengan menumpang makan di rumah wanita cantik itu. Dia tahu diri, apalagi sekarang Lizza tengah dekat Seonjoo, dia tak ingin melihat orang yang dia suka berduaan dengan pria lain.Lizza membuka pintu flat kecilnya, sambil berteriak memanggil Sean putranya."Sean, Ibu pul..., "Lizza urung melanjutkan ucapnnya karena melihat putranya tengah duduk bersandar pada kursi satu-satunya yang ada di flatnya dengan wajah penuh lebam."Astaga! Sean, kau kenapa sayang, kenapa wajahmu lebam begini, bicara pada Ibu.""Aku tidak apa-apa, Bu."
Sean berjalan menghampiri ibunya yang tengah asyik berkutat di dapur kecilnya, bau harum masakan menyeruak ke dalam indera penciuman seorang Sean Kim yang membuat perutnya seketika lapar. Bocah itu mengelus perut kecilnya, mendudukan tubuhnya di lantai ruang tengah rumahnya yang menyatu dengan dapur."Ibu? " Lizza menoleh mendengar Sean memanggilnya."Kau sudah lapar Sayang, sebentar ya Ibu akan membawanya ke situ."Sean menganguk lantas menidurkan kepalanya di atas meja, memperhatikan ibunya yang sibuk menata makanan."Nah sudah selesai ayo kita makan." Sean hanya mengangguk malas, Lizza memandang wajah lesu putranya, dia jadi kwatir."Sean, ada apa denganmu, hem. Kamu sakit?"Bocah itu menggeleng lemah, "Tidak, aku tidak apa-apa, Bu.""Sean, katakan pada Ibu, Sayang. Apa teman-temanmu mengganggumu lagi di sekolah?"Sean mendongakan kepalanya.
Hari ini masih sangat pagi, namun seorang Baek Seon Joo sudah duduk melamun di depan sebuah nisan. Suasana pemakaman begitu sepi, maklum hari masih sangat pagi dan hari ini adalah hari minggu, biasanya orang-orang akan menghabiskan waktunya di tempat tidur sambil bergelung nyaman denga selimut tebal, atau sekedar jalan-jalan untuk menyegarkan otak. Namun, Seon Joo malah memilih untuk pergi ke makam.Seon Joo mengusap lembut batu nisan bertuliskan Baek Seo Joon yang merupakan makam milik kakaknya. Makamnya tampak bersih, dan di tumbuhi berbagai macam bunga di sekitarnya, mungkin ibunya yang selalu merawatnya.Pikiranya menerawang jauh ke belakang mengingat sosok kakaknya yang begitu ceria, namun sosok itu tiba-tiba berubah setelah kepulanganya dari Cheongnam. Kakaknya berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal sama sekali. Seojoon menjadi sosok pendiam dan puncaknya saat dirinya mendengar kabar bahwa Kakaknya kecelaka
Sudah sebulan lebih Seonjoo bekerja di Park company, dan semakin hari perasaan cintanya, semakin tumbuh pada Kim Yoonhee atau Lizza. Seonjoo menatap Lizza dalam diam. Saat ini mereka telah bersiap-siap akan pulang ke rumah. Seonjoo berdiri tak jauh dari tempat Lizza yang tengah membereskan barang-barangnya di dalam loker. Pemuda itu sengaja menunggu Lizza karena akan mengajak wanita itu berjalan-jalan sore sebentar menikmati waktu senja di tepi sungai Han. Sekaligus menyatakan perasannya pada perempuan cantik itu. "Ayo, jadi kita pergi?" tanya Lizza yang sudah bersiap dengan tas selempang berwarna putih menggantung di bahunya. Seonjoo memgangguk lalu dia berjalan lebih dulu diikuti Lizza yang berjalan di belakangnya. Sebenarnya, wanita itu begitu gugup sekarang. Karena tiba-tiba si pendiam Baek Seonjoo mengajaknya jala bersama. Lizza terus melamun, hingga tanpa sadar dia menubruk punggung pemuda tampan itu. "Kau tidak apa-a
Lagi-lagi pemandangan menyakitkan itu membuat mata Seolwoo pedih. Dia menghela napasnya panjang. Dia sudah memutuskan untuk membuang perasaannya pada Lizza. Tetapi, kenapa setiap dia melihat Lizza dan Seon Joo semakin lengket setiap hari hatinya merasa begitu sakit."Tidak aku tidak boleh begini, kau bisa Seolwoo, kau bisa melespaskannya," ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Dia lalu berlari menghampiri kedua orang itu—Lizza dan Seon Joo— yang tengah berjalan bersama."Kalian berdua, wah semakin lengket saja, apa kalian sudah bersama sekarang," ucapnya sembari menyenggol pelan bahu Lizza.Lizza sendiri tampak salah tingkah. "Kau ini bicara apa, kita hanya teman."Seolwoo menyipitkan kedua matanya. Memutari tubuh mereka berdua dengan satu jarinya dia ketuk-ketukan di atas dagu."Aku tidak percaya, ayo mengaku saja.""Kami hanya berteman dekat, Hyung," sambar S
"Seonjoo-ah, kau itu lucu sekali. Wajah setampan kau, belum oernah memiliki kekasih, kau bercanda.""Aku serius, Noona."Langkah kaki Bryan terpaku, saat mendengar suara tawa yang berasal dari dalam ruangan office boy. Dia yang awalnya ingin, menemui sepupunya yang bekerja sebagai kepala personalia dia urungkan.Sepertiya kau sangat bahagia, kenapa dari dulu aku selalu kalah darinya. Bahkan sampai sekarang aku tidak mampu mengjangkaumu, batinnya berkata.Bryan mengusap kasar wajah tampannya, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke ruanganya. Niat untuk menemui sepupunya sudah hilang. Dia berbalik arah, tanpa tahu seorang wanita yang adalah istri sahnya memperhatikannya sejak tadi tidak jauh dari tempat laki-laki itu berdiri."Sampai kapan kau akan seperti ini Oppa, tidak cukup kah hanya denganku saja," ucapnya lirih sembari menghapus air matanya.***
"Kau sekarang akrab dengan Seonjoo." Seolwo menyenggol bahu Lizza sembari berjalan menuju area kantin kantor untuk makan siang bersama."Tidak juga, kami hanya berteman tapi belum begitu akrab, dia terlalu pendiam.""Sayangnya dia sangat tampan."Lizza hanya mampu tersenyum mendengar ocehan sahabatnya ini. Yah, memang Lizza akui Baek Seonjoo sangatlah tampan bahkan dia seperti idol di negeri ini tidak cocok menjadi seorang office boy."Memang kenapa kalau tampan.""Yah, mungkin saja kau menyukainya, Noona. Tetapi, aku sarankan jangan menyukai dia, masa depan Sean bisa suram cari saja pria kaya seperti Presdir Park," kelakarnya."Kau gila, Nyonya Park bisa membunuhku, kau mau Sean tidak punya Ibu.""Aku hanya bercanda, Noona. Bagaimana jika aku saja yang menjadi Ayah Sean." Seolwoo menggodanya, namun ada keseriusan di balik ucapannya. Seolwoo hanya takut mengucapk
Seonjoo merebahkan tubuhnya di atas futon di dalam kamar sederhananya. Pikirannya melayang, memikirkan seorang Lizza Kim. Seorang yang begitu menawan. Padahal baru kali ini ia bertemu dengan sosok indah itu, apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Tidak mungkin, mungkin ini hanya perasaan kagum sesaat.Selama ini dia selalu diam, tak pernah menyapa hanya menatapnya dari jauh. Seonjoo bukan tipe laki-laki yang akan banyak bicara dan merayu sana-sini, namun wanita itu cukup untuk menarik perhatiannya."Seojoo, kau di dalam."Di tengah lamunanya, pria tampan namun pendiam itu dikagetkan dengan suara seorang wanita dari depan pintu kamarnya. Seonjoo buru-buru bangun dari tidurnya, melangkahkan kakinya membuka pintu.CeklekSuara pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya memakai hanbok berwarna gelap, dengan hiasan bunga kecil-kecil di bagian bawahnya, tengah berdiri