Syifa mengintip dari balik partisi ruangan, ketika keluarga Rizal memenuhi ruang tamu. Gadis itu berulang kali menggosok tangan karena gugup. Dia memang diminta untuk menunggu di dalam, lalu akan keluar jika mamanya memanggil. "Ya Allah, semoga lancar," lirih gadis itu sembari menangkup tangan di dada. Pada lamaran sebelumnya hanya keluarga inti Rizal yang datang. Kali ini, lelaki itu membawa keluarga besar. Hal itulah yang membuat pihak Syifa mempersiapkan penyambutan yang maksimal. "Ayam, daging, ikan sama bumbu-bumbu. Semua sajian darat laut dan udara mama masak, deh." Sejak subuh Sarah sudah berbelanja ke pasar untuk membeli aneka lauk, sayur dan juga buah. Untuk dessert mereka memesannya kepada salah satu toko bakery terkenal. "Yang ini kamu pindahin ke pojok. Kursi yang itu kita geser aja." Sementara itu, Sofyan dan Satria sibuk dan membersihkan rumah. Mereka juga membuang barang-barang yang tergeletak sembarangan di beberapa ruangan. Tadinya Syifa ingin mengecat ruangan
"Jadi kamu sudah mantap hati?" tanya Tania ketika Rizal mengajaknya bertemu dan menceritakan semua."Insyaallah. Keluarga kami juga udah ketemu dan lamaran," jelas Rizal."Alhamdulillah aku ikut senang. Akhirnya kamu menemukan pendamping hidup," ucap Tania bahagia."Memang benar kata orang. Obat patah hati itu cuma jatuh cinta lagi," kata Rizal sembari tertawa. "Dari dulu juga dibilangin begitu. Kamu aja yang ngeyel," kata wanita itu kesal. Tania selama ini hanya diam ketika gosip-gosip di luar santer terdengar. Apalagi ketika dia baru bergabung di rumah sakit dan semua orang menganggapnya ganjen menggoda Rizal, karena telah bersuami. "Tapi makasih banget tetap mau jadi sahabat aku.""Kalau nanti udah nikah, baiknya kita gak usah terlalu akrab kayak gini. Kasihan Dokter Syifa," saran Tania. "Aku tetap mau kita begini. Jadi teman sharing," pinta Rizal tulus."Tapi jangan suka nyentuh. Gak baik dilihat sama istri kamu."Rizal mengangguk. Mereka lalu membicarakan tentang beberapa kas
"Bismillahirrahmanirrahim."Semua orang serentak mengangkat tangan dan mendengarkan petugas KUA memanjaatkan doa. Acara hari ini begitu sakral sehingga tamu yang hadir begitu khusyuk mendengarkan. "Apa semua sudah siap?""Sudah, Pak.""Kalau begitu kita mulai sekarang."Rizal mengangguk dengan cepat, padahal dalam hati begitu berdebar. Sejak tadi tangannya berkeringat. Lelaki itu gugup setengah mati. "Ananda Muhammad Rizal Pratama. Aku nikahkan engkau dengan putriku Syifa Maharani dengan mahar sebuah cincin berlian dan uang 3500 dollar tunai.""Saya terima nikahnya Syifa Maharani, putri kandung bapak dengan mahar sebuah cincin berlian dan uang 3500 dollar tunai!""Para saksi apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khaiir."Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan itu dengan khusyu'.Mereka juga mengaminkan agar kedua mempelai mendapat limpahan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Syifa menguap berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Badannya terasa lemas dan gampang lelah. Bahkan di rumah sakit dia tidak semangat bekerja."Bik, aku tidur dulu, ya," pamitnya kepada ART yang sejak tadi membersihkan ruang tamu. Wanita itu meregangkan kedua tangan lalu kembali menguap sembari mengucek mata."Ibu kenapa, sakit?" tanya wanita paruh baya itu.Sejak menempati kediaman sendiri, Rizal membawa seorang ART pilihan mamanya. Lelaki itu tak mau Syifa terlalu lelah karena sedang program hamil. Lagipula wanita itu masih bekerja sehingga tidak mungkin mengurus rumah. "Gak tau, Bik. Badan pegel semua," jawabnya Syifa lemas."Mau datang bulan kali. Bibik juga biasanya gitu."Syifa tersentak ketika mendengar kata-kata itu. Wanita itu buru-buru berjalan menuju kamar, lalu mengambil ponsel dan melihat tanggal. Dia tidak pernah membuat catatan khusus, tetapi harusnya saat ini sudah mendapatkan tamu bulanan."Apa jangan-jangan--"Syifa benar-benar lupa bahwa
Rizal menatap wajah cantik yang masih terlelap di sampingnya. Semalam dia begitu bersemangat hingga membuat Syifa kelelahan. Lelaki itu sudah memesan kamar hotel selama tiga hari agar mereka lebih leluasa berduaan. Setelahnya, terserah Styifa mau tinggal di mana. Di rumah orang tuanya sendiri atau di tempat mertua.Sebagian tabungannya habis untuk biaya pernikahan. Rizal berencana ingin membuka praktik malam, sehingga memerlukan banyak dana untuk mempersiapkannya. Lelaki itu tak tahu jika papanya sudah menyediakan satu rumah untuk mereka. "Bangun dong, Cantik. Udah jadi istri kok malas," goda Rizal sembari mencubit pipi Syifa. Laki-laki itu tergelak ketika melihat sang istri menggeliat dan menepis tangannya."Jangan ganggu," ucap Syifa yang masih setengah sadar dengan mata terpejam.Tawa Rizal menggema di kamar. Itu membuat Syifa terbangun dan mengucek matanya."Astagfirullah," ucap wanita itu kaget ketika melihat kondisi mereka."Kamu kenapa?" tanya Rizal heran."Kita--""Udah nikah,
Syifa menguap berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Badannya terasa lemas dan gampang lelah. Bahkan di rumah sakit dia tidak semangat bekerja."Bik, aku tidur dulu, ya," pamitnya kepada ART yang sejak tadi membersihkan ruang tamu. Wanita itu meregangkan kedua tangan lalu kembali menguap sembari mengucek mata."Ibu kenapa, sakit?" tanya wanita paruh baya itu.Sejak menempati kediaman sendiri, Rizal membawa seorang ART pilihan mamanya. Lelaki itu tak mau Syifa terlalu lelah karena sedang program hamil. Lagipula wanita itu masih bekerja sehingga tidak mungkin mengurus rumah. "Gak tau, Bik. Badan pegel semua," jawabnya Syifa lemas."Mau datang bulan kali. Bibik juga biasanya gitu."Syifa tersentak ketika mendengar kata-kata itu. Wanita itu buru-buru berjalan menuju kamar, lalu mengambil ponsel dan melihat tanggal. Dia tidak pernah membuat catatan khusus, tetapi harusnya saat ini sudah mendapatkan tamu bulanan."Apa jangan-jangan--"Syifa benar-benar lupa bahwa
Hari berganti, tak terasa waktu cepat berlalu. Setelah mengetahui kehamilanya, Syifa kini lebih banyak beristirahat di rumah. Wanita itu masih bekerja seperti biasa. Hanya saja jam kerjanya dikurangi. Syifa hanya masuk tiga hari dalam satu minggu. Itupun hanya berjaga di ruangan dan sementara waktu tidak meng-handle IGD. Rizal tak mau istrinya kelelahan karena akan berakibat kepada kehamilan. "Kita mau ke mana?""Notaris. Aku mau serah terima sertifikat rumah.""Kok lama baru selesainya?""Dari developer-nya begitu. Papa juga kan belinya perumahan biasa. Jadi gitulah," jelas Rizal.Sesampainya di kantor notaris, mereka menunggu karena masih ada tamu. Rizal dengan pelan mengusap perut istrinya yang sudah mulai membesar. Lalu memijat pelan dahi Syifa karena wanita itu merasa pusing. "Silakan masuk Bapak dan Ibu."Ruangan lima kali enam meter itu terlihat cukup nyaman walau tak terlalu luas. Mereka langsung disambut dengan ramah karena memang sudah ada janji. "Langsung saja ya, Pak. S
Rizal mondar-mandir di depan ruang operasi dengan gelisah. Sudah dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Mereka memang terbiasa dengan kejadian seperti ini sejak awal kuliah bahkan mungkin hingga menutup mata nanti. Namun, ketika itu terjadi kepada orang yang dikenal, rasanya tetap berbeda."Keluarga Ibu Tiara?" tanya Fauzan, dokter bedah yang menangani tindakan Syifa. "Cuma ada gue sebagai perwakilan. Keluarganya belum tau," jawab Rizal."Lu yang bawa dia?" tanya Fauzan heran."Iya. Pas mau pulang gue lihat ada kecelakaan. Jadi gue bawa.""Lu kenal?""Pasien gue yang baru aja sembuh dari tabrakan. Sekarang kecelakaan lagi," jelas Rizal."Astagfiirullah dia kritis. Masuk ruang instensif sampai pulih."Rizal tertegun dan mengusap wajah, tak dapat membayangkan bagaimana kondisi Tiara sekarang. Dia menarik napas lega, mengucap syukur bahwa nyawa gadis itu bisa diselamatkan, sekalipun kemungkinan akan cacat. "Lu mau pulang atau nunggu di sini?" Fauzan memijat kepalanya yang tega
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa