Hari berganti, tak terasa waktu cepat berlalu. Setelah mengetahui kehamilanya, Syifa kini lebih banyak beristirahat di rumah. Wanita itu masih bekerja seperti biasa. Hanya saja jam kerjanya dikurangi. Syifa hanya masuk tiga hari dalam satu minggu. Itupun hanya berjaga di ruangan dan sementara waktu tidak meng-handle IGD. Rizal tak mau istrinya kelelahan karena akan berakibat kepada kehamilan. "Kita mau ke mana?""Notaris. Aku mau serah terima sertifikat rumah.""Kok lama baru selesainya?""Dari developer-nya begitu. Papa juga kan belinya perumahan biasa. Jadi gitulah," jelas Rizal.Sesampainya di kantor notaris, mereka menunggu karena masih ada tamu. Rizal dengan pelan mengusap perut istrinya yang sudah mulai membesar. Lalu memijat pelan dahi Syifa karena wanita itu merasa pusing. "Silakan masuk Bapak dan Ibu."Ruangan lima kali enam meter itu terlihat cukup nyaman walau tak terlalu luas. Mereka langsung disambut dengan ramah karena memang sudah ada janji. "Langsung saja ya, Pak. S
Rizal mondar-mandir di depan ruang operasi dengan gelisah. Sudah dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Mereka memang terbiasa dengan kejadian seperti ini sejak awal kuliah bahkan mungkin hingga menutup mata nanti. Namun, ketika itu terjadi kepada orang yang dikenal, rasanya tetap berbeda."Keluarga Ibu Tiara?" tanya Fauzan, dokter bedah yang menangani tindakan Syifa. "Cuma ada gue sebagai perwakilan. Keluarganya belum tau," jawab Rizal."Lu yang bawa dia?" tanya Fauzan heran."Iya. Pas mau pulang gue lihat ada kecelakaan. Jadi gue bawa.""Lu kenal?""Pasien gue yang baru aja sembuh dari tabrakan. Sekarang kecelakaan lagi," jelas Rizal."Astagfiirullah dia kritis. Masuk ruang instensif sampai pulih."Rizal tertegun dan mengusap wajah, tak dapat membayangkan bagaimana kondisi Tiara sekarang. Dia menarik napas lega, mengucap syukur bahwa nyawa gadis itu bisa diselamatkan, sekalipun kemungkinan akan cacat. "Lu mau pulang atau nunggu di sini?" Fauzan memijat kepalanya yang tega
Lima hari sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda perkembangan dari Tiara. Wanita itu masih tak sadarkan diri di ruang intensif. Berbagai selang menempel di tubuhnya. Rizal dan Fauzan bergantian menjenguknya."Mau ke rumah sakit lagi?" Syifa merapikan kerah baju suaminya yang nampak berantakan. Sejak kejadian itu, Rizal jarang ada di rumah. Sepulang dari rumah sakit, lelaki itu akan mandi dan mengganti pakaian, lalu makan jika lapar dan pergi lagi.Orang tua Tiara akan meneleponnya jika belum memberikan kabar. Rizal akan buru-buru datang tanpa menghiraukan istrinya. Rasa kasihan karena kondisi keuangan Rahmat yang terbatas, membuat lelaki itu tak tega."Sebentar aja.""Memang dia siapanya kamu, sih? Kok pake bela-belain besuk," sungut Syifa tak terima. Wanita itu merasa heran karena suaminya nbegitu repot mengurus orang yang tidak mereka kenal. "Jangan begitu, kasihan mereka gak mampu," bela Rizal.Melihat sikap Rizal yang seperti itu, Syifa menjadi sedikit kecewa. Ada rasa sedih yang m
Bunyi beberapa alat yang terpasang saling bersahutan di ruangan itu. Berbagai selang yang melekat di tubuh, membuatnya tetap bertahan sampai sekarang. Harapan tipis, tapi semua orang berdoa untuk sebuah keajaiban. Wanita yang terbaring di ruang intensif itu mulai menggerakkan tangannya. Kesadarannya mulai pulih. Belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, hanya merasakan sakit yang menghantam seluruh bagian, dari kulit hingga tulang. Serasa ruh ingin terlepas dari raganya. Jika boleh memilih, dia ingin kembali ke pangkuan Tuhan, dari pada harus merasakan sakit di antara hidup dan mati. "Suster, Suster. Lihat!" Salah satu perawat memanggil kepala ruangan mereka. Semua orang mengucapkan takbir saat melihat keajaiban itu muncul. Wanita ini kuat, dia berjuang untuk hidupnya. Mungkin, ada banyak hal yang ingin diselesaikan sebelum tiba masanya berpulang. Rani memang luar biasa. "Panggil Dokter Fauzan ke sini." Begitulah perintah kepala ruangan. Tak berapa lama, sosok lelaki yang telah be
Rahmat berulang kali mengucapkan syukur atas perkembangan yang dialami Tiara. Dia mengusap air mata yang sempat menetes beberapa menit yang lalu. Semua orang serasa mimpi, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Perlahan tapi pasti, tubuh yang tak berdaya itu akhirnya mulai sadar, walaupun belum sepenuhnya pulih. Setelah memberikan tanda sesaat, Tiara kembali tak sadarkan diri. Mata yang berhari-hari terkatup itu bahkan enggan menyapa orang yang dia sebut. Dia kembali ke alam mimpi, larut dalam buaian indah yang telah menemaninya beberapa hari ini."Semua boleh keluar."Perintah dokter senior sempat mengagetkan mereka. Dua orang lelaki itu akhirnya memilih patuh, dan melanjutkan pembicaraan setelah meninggalkan ruangan itu. "Makasih, Nak Dokter," ucap Rahmat menjabat tangan Rizal dan Fauzan dengan erat. Rizal membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Mereka sempat berbincang-bincang dengan dokter senior, sebelum akhirnya memilih untuk pulang dan berpisah. Lelaki itu di
"Tiara udah sadar."Rizal langsung mematikan sambungan telepon dan bergegas menuju ke rumah sakit. Sebelum berangkat, dia sudah menitipkan Syifa kepada Iroh dan berpesan agar segera menghubungi jika terjadi sesuatu.Syifa sudah meminta untuk pulang ke rumah orang tuanya, tetapi Rizal masih menahan. Rencananya nanti sekalin mendekati hari lahiran.Mobil Rizal melaju membelah jalanan ibu kota yang siang ini padat. Sehingga pengendara harus ekstra sabar jika terkena macet. Lalu lalang kendaraan yang saling berebutan dan tak sabar ingin mendahului satu dengan yang lain, menjadi pemandangan lumrah di setiap harinya. Sepanjang perjalanan, ada sedikit rasa lega di hati Rizal saat menerima telepon tadi. Paling tidak, dengan sadarnya Tiara mengurangi rasa khawatir mereka. Sekilas dia teringat akan pembicaraan mereka dengan dokter bedah senior waktu itu. "Karena kasus ibu Tiara ini akan kita jadikan bahan penelitian, saya meminta bantuan kalian untuk memantau perkembangannya secara intens. Say
Ruangan praktik dokter yang kali ini mereka datangi sangat berkesan dengan design interior yang mewah. Sama seperti dokter lainnya, ada banyak poster mengenai kesehatan kandungan dan organ intim wanita. Hanya saja, wallpaper-nya gelap, karena didominasi warna hitam. "Malam, Dokter Arjuna." Mereka menyapa."Panggil Juna saja." Arjuna tersenyum manis, menampilkan sebuah lekukan di sudut pipinya. "Silakan duduk. Dokter Syifa dan Dokter Rizal." Mereka duduk berhadapan dengan dokter yang akan memeriksa hari ini. Arjuna, itulah nama spesialis kandungan yang mereka datangi. Atas rekomendasi Abraham, akhirnya keduanya sepakat datang ke sini. Dokter Arjuna mulai bertanya. Diawali dengan riwayat kehamilan Syifa sebelumnya. Cukup kaget saat wanita itu mengatakan bahwa mereka hampir satu tahun menikah dan belum dikarunia momongan."Kita periksa dulu ya, Dokter Syifa?" Arjuna memastikan nama pasiennya. Matanya menatap wajah manis di hadapannya. Entah mengapa dia malah jadi berdebar. Syifa menga
Fauzan memandang wajah sendu yang sejak tadi diperiksanya. Bibir Tiara masih pucat dengan tubuh yang masih lemah. Walaupun sudah ada sedikit rona merah di wajahnya.Tiara memasrahkan diri saat cairan bening itu disuntikkan ke infusnya. Menimbulkan denyut pada bagian yang tertanam jarum di kulit gadis itu."Sakit?" Fauzan bertanya dengan lembut. Ada rasa iba dalam hatinya saat melihat Tiara memejamkan mata hingga dahinya berkerut. Jenis obat ini memang menimbulkan rasa nyeri setiap kali disuntikkan. Tiara mengangguk. Matanya menatap pada lelaki tampan berjas putih di hadapannya. Ada stetoskop yang menggantung di lehernya. Wajahnya putih bersih. Fauzan merupakan sosok yang tenang dan teratur. Ada rambut halus yang tumbuh di sekitar rahang kokohnya. Juga kacamata yang membingkai wajah, membuatnya terlihat smart."Jangan banyak gerak dulu. Kalau cepat pulih, nanti suster bawa jalan keluar pakai kursi roda, ya.""Apa saya masih lama disini?" tanya Tiara terbata-bata."Masih lama. Nanti t
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa