Seminggu lagi hari besar bagi Haris akan berlangsung. Ia tidak sekalipun terlibat dalam persiapan acara pernikahannya. Semuanya di urus oleh Vega di kota. Haris lebih memilih tetap berada di ruko dan menyelesaikan pekerjaannya bersama Frans dan Vico. Sedari awal memang ia tidak berharap pernikahan ini akan terjadi. Haris bahkan masih meragukan kehamilan Vega. Setiap hari Haris berusaha untuk tetap sibuk agar ia bisa melupakan Brisya. Mungkin kepergian Brisya lebih baik baginya karena bila sampai Brisya tahu Haris akan menikah dengan Vega entah apa yang akan terjadi. Walau bagaimanapun Haris harus bertanggung jawab bukan? Paling tidak sampai bayi itu lahir.Setelahnya nanti ia akan menceraikan Vega dan kembali pada Brisya. Ponsel Haris berdering, ia membuka kacamatanya dan meraih ponselnya malas.Vega is calling.."Hallo.""Honey, kapan kamu pulang? Kamu harus fiting jas secepatnya.""Gak perlu, aku kan sudah kasih contoh jasku ke kamu, buat apa masih fiting segala!""Desainernya ing
"One more, please!" pinta Aji pada bartender pub yang ia datangi. "No more, thanks!!" seru seorang wanita tiba-tiba.Aji menolehi asal suara yang ia kenal dengan baik, Zunita. "Ngapain kamu di sini?" sungut Aji kesal.Zunita duduk di samping Aji dan menjauhkan gelas-gelas yang berjajar di hadapannya. "Buat ngawasin kamu, lah! Mami nyuruh aku nyusul buat cek keadaan kalian selama di sini." "Hah, liar!" rutuk Aji cepat, sepertinya ia mulai mabuk, kepalanya pening. Ia mulai kehilangan kontrol atas ucapannya.Zunita mengawasi Aji iba, entah apa yang Aji rasakan sekarang. "Ayo kembali ke hotel, Brisya pasti mencarimu.""Nggak, Zun. Dia bahkan nggak akan peduli aku masih hidup atau mati. Bahkan mungkin lebih baik mati aja sekalian.""Kalian berantem??" tanya Zunita heran, setahu dia selama ini Aji dan Brisya selalu baik-baik saja. Aji tak menyahut, ia mengawasi gelas-gelas di hadapannya dan menghitungnya satu persatu, ada 5 gelas bigsize, berarti dia sudah menghabiskan 5 gelas bir. "
Sejak kecil, Aji terbiasa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Papa dan Mamanya selalu memberi perhatian lebih pada Aji yang merupakan anak satu-satunya. Dulu Aji pernah memiliki seorang adik, namun adiknya meninggal saat berusia 3 tahun. Sejak itulah orang tuanya sangat over protektif pada Aji. Namun demikian Aji tidak serta merta menjadi anak yang semaunya, sejak kecil Aji terbiasa hidup teratur dan penuh kasih sayang. Mungkin itulah sebabnya Aji jadi anak yang kuper namun penyayang, ia jarang bergaul dengan teman seusianya. Brisyalah satu-satunya teman Aji saat ia masuk SMP dan mereka tak terpisahkan hingga sekarang. Saat SMA pun Aji memilih masuk ke SMA yang sama dengan Brisya. Padahal orang tuanya ingin Aji sekolah di sekolah swasta agar ia bisa lebih maksimal mendapat pelajaran. Aji rindu masa-masa sekolahnya dulu, masa di mana Brisya hanya bergantung padanya. "Aji, are you oke??" Aji mengawasi Dory yang menatapnya penuh selidik. Hari ini Aji terapi tanpa di temani Brisya. Ia
Bila sebelumnya Aji berniat untuk tidur sesampainya di hotel, namun kenyataannya ia justru tak bisa memejamkan mata sedikitpun. Rindunya pada Brisya membuatnya sekarat. Aji menarik jaketnya dan beranjak keluar dari hotel. Ia menyusuri jalanan seperti orang-orang yang ia lihat tadi. Entah ke mana, Aji hanya ingin sedikit lebih lelah agar sesampainya di hotel ia bisa langsung tidur tanpa memikirkan Brisya lagi. Di sebuah area terbuka yang diperbolehkan merokok, Aji duduk dan menyulut rokoknya. Ia menyesap rokok itu berkali-kali hingga memenuhi rongga dadanya. Sudah lama Aji tak merokok, mama papanya termasuk orang yang cinta kebersihan dan menjaga kesehatan. Mereka pasti marah bila mencium aroma asap rokok di rumah, maka dari itu Aji selalu merokok sembunyi-sembunyi. Itupun hanya bila ia sedang suntuk. Aji menatap langit Singapura yang teduh berawan. Beberapa orang di sekelilingnya sedang asyik mengobrol dengan pasangannya, hanya Aji yang duduk sendirian. Ia buru-buru menghabiskan ro
Prosesi pemberkatan pernikahan sudah berlangsung sejak tadi pagi. Haris dan Vega sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Sejak sejam yang lalu, para tamu sudah memenuhi aula resepsi di sebuah hotel ternama di Jakarta. Haris dan Vega sibuk menyalami dan berfoto dengan tamu-tamu yang sebagian besar tidak Haris kenal. Entah siapa saja mereka..Hendri mengamati adiknya dari jauh, tawa dan senyumnya yang nampak adalah palsu. Entah mengapa akhirnya Haris menyerah untuk menikahi Vega yang sudah bertahun-tahun mengejarnya. Hendri bahkan berpikir adiknya tak seharusnya menikahi wanita seperti Vega yang terlalu agresif. Haris membutuhkan wanita yang bisa mengimbangi sifatnya, bukan wanita yang menggebu-gebu. Karena ketimpangan sifat sudah terbukti membuat rumah tangga orang tuanya tak terselamatkan. Itulah yang kemudian membuat Hendri takut untuk berkomitmen, ia takut gagal. Pandangan Hendri kemudian beralih pada seluruh tamu yang hadir di acara pernikahan mewah adiknya, dan tatapan Hendri
Sejak Brisya mengacuhkannya dulu, Aji tak pernah berani untuk bermimpi muluk muluk. Dan saat pagi ini ia akhirnya terbangun di samping Brisya semua masih terasa seperti mimpi baginya. Aji menatap wajah Brisya yang masih terpejam dengan penuh rasa syukur. Betapa ia menyayangi Brisya melebihi dirinya sendiri dan terbangun seperti ini merupakan mimpinya sejak lama. Aji mendekat ke wajah Brisya dan mengecup keningnya pelan khawatir membangunkannya. Aji ingin mengajak Brisya jalan-jalan hari ini ke manapun yang Brisya mau. Seminggu terbuang percuma hanya karena rasa baper Aji yang keterlaluan. Perlahan Aji menarik tangannya yang terulur di bawah kepala Brisya. Brisya menggeliat dan merenggangkan tubuhnya, ia membuka mata dan melihat Aji sudah terbangun dan tersenyum menatapnya. "Selamat pagi!" sapa Aji sambil mengecup kening Brisya pelan.Brisya mengusap matanya dan membalas senyuman Aji. "Selamat pagi." "Tidurmu nyenyak??" Brisya mengangguk pelan, ia mengulurkan tangannya dan membela
Pesta sudah usai, Haris dan Vega mendapat satu kamar suite room untuk bermalam sebagai hadiah dari hotel tempat mereka mengadakan resepsi. Sejak sore, Haris sengaja tidur lebih awal karena tidak mau Vega mengganggunya. Ia bahkan tak membawa baju ganti apapun. Ia tak berminat dan tak akan pernah berniat untuk tidur bersama Vega. Diantara lelapnya, Haris merasa dadanya diraba oleh sesuatu yang dingin. Ia membuka mata cepat, tangan Vega sudah terulur di dadanya. Sontak Haris terbangun dan menepis tangan itu. Ia beranjak duduk dan mengawasi Vega yang sudah berebah di sampingnya dengan hanya memakai lingerie berwarna maroon. Haris berdiri, ia tak suka disentuh oleh siapapun. Vega terbelalak, ia menarik tangan Haris cepat namun Haris kembali menepisnya."Aku setuju menikah dengan kamu, tapi jangan harap aku mau tidur denganmu, Ve!!" cetus Haris emosi.Vega terperangah, ia membetulkan lingerienya yang tersibak dan memamerkan sebagian dadanya. Haris berpaling membuang muka. "Hanya sampai
Waktu terus berlalu dengan cepat, sudah 2 minggu Aji dan Brisya berada di Singapura. Terapi Aji sudah mulai menunjukkan peningkatan. Ia sudah tidak memakai sarung tangan khusus lagi. Ia juga sudah mulai bisa menggenggam meski sebentar, menggerakkan tangannya tak membuat Aji merasa kesakitan lagi. Entah karena semangatnya yang besar atau karena terapisnya yang ahli membuat proses pemulihan Aji menjadi cepat. Usai terapi, Aji selalu membawa Brisya jalan-jalan. Entah itu hanya berbelanja di Orchard road atau makan di restoran. Brisya menolak diajak ke Universal Studios karena membuatnya ingat pada Haris. Brisya tak ingin merusak momennya selama berada di Singapura. "Dokter Steven bilang, minggu depan kita sudah boleh pulang, Briy." Brisya menolehi Aji yang asyik melahap ice creamnya."Kamu pasti pengin cepet pulang, kan??" lanjut Aji menahan sedih. Saat ia pulang nanti maka ia pun akan kehilangan Brisya.Brisya tak menyahut, ia membuang muka dan mengawasi orang-orang yang berlalu lala
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca