Masih di hotel, Haris tak sadarkan diri hingga keesokan hari. Frans dan Vico menyusul ke sana dengan mengendarai mobil calteran setelah Vico menyadari bahwa ia membuat kesalahan dengan terlalu jujur pada Aji. Wajah Haris lebam dan bengkak. Hampir tak nampak lagi ketampanannya. Saat Haris sadar dari pingsannya yang ia tanyakan pertama kali adalah Brisya. Namun tak seorang pun tahu di mana dia. Frans dan Vico datang saat Haris sudah di gotong ke kamar oleh staf hotel. Brisya sudah tidak ada di sana. Sedari tadi Frans dan Vico membantu Haris beberes pakaiannya dan pakaian Brisya. Mereka akan cek out hari ini. Haris tidak sabar untuk segera pulang dan bertemu dengan Brisya. Ia begitu khawatir pda keadaannya setelah melihat Aji yang seperti kesetanan kemarin. "Pak Haris gak makan dulu? biar gak tambah drop, Pak," saran Frans khawatir.Pandangan Haris kosong, batinnya berkecamuk. Untuk saat ini ia lebih mengkhawatirkan Brisya dari pada kesehatan dirinya sendiri. "Pak!" Frans sudah berdi
Sekujur tubuh Brisya terasa dingin dan sakit. Ia membuka mata saat hari sudah petang. Perut bagian bawahnya masih terasa perih dan nyeri. Ia ingat tadi siang masih sempat mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket oleh air hujan, keringat dan air mata, tapi kenapa sekarang ia berada di tempat tidur ini? Apa Aji yang menolongnya??"Sudah bangun, Briy?" sebuah suara yang amat Brisya benci mengagetkannya. Aji sudah berdiri di pintu sambil membawa sebuah nampan berisi makanan. Ia sengaja memerintahkan chef di restorannya untuk datang dan memasakkan makanan untuk Brisya. Brisya tak bergeming. Ia merapatkan selimutnya. Brisya baru menyadari bahwa ia sudah mengenakan baju tidur. Siapa yang memakaikan pakaian ini di tubuhnya? Aji kah?? Aji berjalan mendekat ke tempat tidur Brisya, hatinya sakit melihat Brisya yang tergolek lemah tak berdaya. Ingin rasanya Aji mengutuk dirinya sendiri atas perbuatannya pada Brisya kemarin. Saat melihat Brisya menatap kosong ke langit-langit kamar, hati
Haris menyesap alkoholnya sampai habis. Ia belum juga mabuk meski sebotol telah ia minum. Ia kembali sendirian di kamarnya yang temaram. Di luar hujan dan petir bersahutan. Haris sedikit merasa takut namun tak separah dulu. Ia melempar botol terakhirnya ke tempat sampah. Ia kehabisan stok minuman. Sesekali Haris memeriksa ponselnya yang sedari tadi ia genggam. Entah apa yang ia tunggu, ia hanya ingin tahu keadaan Brisya. Ia mengkhawatirkan gadis itu. Entah dimana Brisya sekarang, sudah seminggu ini Haris mencarinya ke mana-mana. Haris benar-benar kehilangan jejak. Separuh jiwanya terasa hilang sejak Brisya pergi. Ia tak tau harus mencari ke mana lagi. Bahkan Bu Shila dan Bu Rahmi tidak tahu dimana Aji tinggal selama ini karena Brisya tak pernah bercerita tentang keluarga Aji. Terakhir kali Brisya hanya cerita tentang orang tua Aji yang sangat welcome padanya, dan itu membuat Haris merasa sedih. Haris merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Ia rindu wangi tubuh Brisya, ia rindu sentuha
Brisya menghentikan tangisnya saat ia mendengar suara sesuatu pecah di luar kamarnya. Aji berulah lagi. Entah sudah ke berapa kali ia mendengar barang pecah atau dilempar oleh Aji. Brisya mulai terbiasa dengan suara-suara itu. Ia merapatkan selimutnya lebih erat demi untuk berjaga-jaga apabila Aji tiba-tiba masuk ke dalam kamar. "Aaarrrgggh!!"Brisya bergidik, suara teriakan Aji terdengar hingga ke dalam kamar. Brisya menatap pintu dengan siaga, Aji bisa melakukan apapun yang ia mau dan Brisya semakin ketakutan dengan fakta itu. Sejak Aji memperkosanya malam itu, Brisya menjadi takut dan jijik melihat wajah Aji. Ia seperti tak mengenali sosok laki-laki yang sudah bersamanya sejak ia masih belia. Meski sifat kasarnya selalu membuat Brisya ketakutan tapi kali ini berbeda, Aji seperti kesetanan. "Aaargghhh."Teriakan kali ini terdengar lebih pilu, Brisya yakin Aji pasti sedang menangis di luar.Entah mengantuk atau lelah, Brisya kemudian tertidur lagi. Ia merasa tenang dan damai saat
Sejak bertemu Aji saat mereka masih SMP dulu, Aji lah satu satunya teman yang Brisya miliki. Aji yang tampan, pendiam dan cupu sempat dikucilkan oleh teman-temannya. Brisya yang introvert akhirnya menjadi satu-satunya orang yang akrab dengannya. Seiring berjalan waktu, mereka berdua semakin dekat hingga tak terpisahkan hingga hari ini. Saat SMA, Aji yang memang ganteng sejak lahir menjadi idola para gadis di sekolahnya. Ia mulai berevolusi dari Aji yang cupu dengan kacamata super tebal menjadi Aji yang di puja-puja. Tapi tak sekalipun Aji tertarik untuk berkencan dengan gadis-gadis itu. Sebenarnya sejak saat itu Brisya curiga bila Aji menyukainya, namun melihat keadaan dirinya yang tak secantik gadis-gadis populer di SMA membuat Brisya kembali ragu. Aji mengikuti ke mana pun Brisya pergi, bahkan kegiatan ekstrakulikuler Aji pun atas pilihan Brisya, bukan karena minat Aji pada ekstrakulikuler tersebut. Aji menjadi tempat bercerita bagi Brisya saat itu, satu-satunya orang yang ia mili
Brisya terbangun dari tidurnya saat bel di apartemen Aji berbunyi berkali-kali, ia beranjak turun dan keluar dari kamar. Ke mana Aji?? Mengapa tidak ada yang membukakan pintu?Brisya mengawasi jam di atas pintu, jam 7 malam. Ragu Brisya melongok siapa yang datang melalui layar kecil di dinding. Itu mamanya Aji!!Brisya mundur beberapa langkah. Bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan?? Brisya berbalik dan mencari Aji. Ia berlari ke living room dan menemukan Aji tidur meringkuk di kursi sofa. Tubuhnya gemetar dan menggigil. Brisya mendekat ragu, apa ini cuma akal-akalan Aji agar ia iba padanya?? Saat melihat mata Aji terpejam rapat dan giginya bergemertak seperti kedinginan, Brisya menyentuh keningnya, panas. Aji demam. Brisya lekas berlari ke kamar lagi dan mengambil selimut lalu memasangkannya di tubuh Aji. Tingtong tingtong...Brisya mengawasi pintu depan dengan kalut, ia butuh bantuan tapi ia bingung mencari alasan yang tepat bila nanti mama Aji bertanya macam-macam padanya. A
Esok paginya, Brisya terburu-buru bangun dari tempat tidur. Ia lekas beranjak untuk mengecek keadaan Aji. Aji masih tidur meringkuk di sofa, Brisya mendekat dan menyentuh keningnya perlahan. Suhu tubuh Aji kembali tinggi. Dengan lemah Aji membuka mata saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Brisya sudah berdiri di sampingnya dengan wajah cemas. Aji menarik tangan Brisya dan menggenggamnya erat. "I'm oke," desis Aji menahan sakit di tangannya, ia berusaha tersenyum. Brisya menarik nafasnya khawatir."Kemarin Mamamu dan Dokter Jessica ke sini, Dokter berpesan kalo kamu masih demam kamu harus dibawa ke Rumah Sakit.""Aku gapapa, Briy, aku gak sakit.""Gak sakit gimana, badan kamu panas lagi!" rutuk Brisya kesal.Aji mencoba untuk beranjak duduk dengan bertopang pada tangan kirinya. Ia mengawasi Brisya yang khawatir dengan keadaannya dengan perasaan campur aduk. "Setelah minum obat aku pasti sembuh, kok. Aku cuma masuk angin—""Bukan, luka di tanganmu infeksi, kamu bu
Hangat, sunyi, hanya suara ketukan intens yang terdengar oleh telinganya. Aji membuka mata perlahan, sebuah sinar sontak membuat silau kedua matanya hingga ia reflek kembali memejamkan mata . Ia tidak sedang berada di rumahnya, tempat tidur yang sekarang ia tiduri bukan sofanya. Aji terkesiap, ia menguatkan diri untuk membuka matanya dan mencari sosok Brisya. Seketika pening menghantam kepalanya namun Aji tetap memaksakan diri mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sepi. Aji sedang berada di Rumah Sakit. Ia hafal interior kamar ini karena kamar President Suite selalu menjadi kamar langganan keluarganya sejak dulu. Siapapun yang sakit pasti akan di tempatkan di kamar mewah berfasilitas super lengkap ini. "Briy," panggil Aji tercekat, tenggorokannya kering. Aji beringsut hendak beranjak duduk, namun badannya lemas tak bertenaga. Brisya tak ada di dalam kamar. Apa dia kabur?? Aji mendesah kesal, ia akan kehilangan Brisya untuk selamanya bila sampai gadis itu kabur kali ini. "
Sejak satu jam yang lalu, Aji berdiri dengan gelisah di pintu menuju altar yang akan menjadi tempatnya mengucapkan sumpah pada Tuhan. Pernikahan yang tak terencana dan dipersiapkan dalam tempo waktu singkat membuat acara itu tak semewah seharusnya. Tak apa, Aji tak lagi menginginkan pernikahan mewah namun berakhir di tengah jalan seperti pernikahannya yang terdahulu. Stevany pun demikian, ia bukan tipe wanita ribet yang terlalu mementingkan detail. Baginya, inti dari pernikahan adalah janji yang diucapkan pada Tuhan, bukan gaun, dekorasi, catering dan lain-lain. Ia hanya membeli gaun seadanya di desainer langganan Mama Aji, bukan gaun custom seperti milik Brisya dulu. Semua keluarga di Sydney dan Melbourne datang untuk menyaksikan pernikahan sederhana itu. Pun Bu Shila dan orang tua Brisya tak luput dari undangan Aji. Ia ingin momen indahnya kali ini disaksikan oleh semua orang yang berharga dihidupnya. Lantunan musik terdengar saat Stevany datang digandeng oleh Thomas. Aji yang men
"Kamu mencintaiku?" tanya Aji lirih di telinga Stevany yang sedang terpejam di ranjangnya. Semalam, mereka berdua melampiaskan kerinduan yang selama ini tertahan. Aji tak membiarkan Stevany beristirahat barang sedetikpun, seolah tubuhnya yang tak sempat beristirahat seharian kemarin tak pernah lelah menjelajahi tiap jengkal tubuh gadisnya. Aji seperti kesetanan, memiliki Stevany yang merupakan perempuan pertama yang ia tiduri dalam keadaan perawan seolah anugerah yang tak akan pernah ia sia-siakan lagi. Stevany menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Tanpa sadar sesuatu yang sedang tegang di bawah sana tersenggol hingga membuat Stevany terbelalak. Ia menoleh cepat pada Aji yang sedang tersenyum nakal menatapnya. "Aku menginginkannya lagi, Stev. Tolong aku," rengek Aji seraya merapatkan tubuhnya pada Stevany hingga junior yang mulai aktif itu menggesek di antara pahanya.Stevany memejamkan matanya gugup. Padahal semalam ia sudah seperti wanita binal, tap
Aji mendapatkan penerbangan pagi di keesokan harinya. Ia benar-benar lupa bila hari ini adalah hari besar Zunita. Beruntung Mamanya menelefon semalam, bila tidak, mungkin Aji akan kembali sibuk membantu Freya di kantor Ekspedisi. Jam 4 sore, pesawat yang ditumpangi Aji baru saja landing. Ia lebih dulu pulang ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian. Saat akan berangkat, ia lupa bila mobilnya ada di rumah papa dan mamanya. Alhasil, Aji datang ke acara Zunita dengan mengendarai taksi. Sepanjang perjalanan, suasana hatinya yang sempat memburuk selama di Sydney jadi semakin kacau balau. Ia pasti akan bertemu Brisya dan Haris di acara resepsi itu. Sudah lama sekali sejak ia bertemu mereka terakhir kali, entahlah apakah Aji akan sanggup melihat wanita yang pernah sangat ia cintai itu lagi. "Stop, Pak. Terima kasih!" Aji menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada supir taksi dan bergegas membuka pintu. Ia keluar dan merapikan jasnya tanpa memperhatikan sosok yang berdiri mematung
Usai menulis surat untuk Stevany, Aji bergegas turun dan bersiap untuk pergi. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada gadis itu untuk berpamitan dan langsung memblokir nomornya dari daftar kontak. Setidaknya hanya hal ini yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk Stevany, gadis itu harus melupakannya agar bisa kembali bangkit. Harus. Dengan hati hancur, Aji menarik kopernya keluar dari rumah Nenek Chloe. Ia tak memiliki tujuan, kembali ke Sydney mungkin adalah satu-satunya pilihan. Saat sedang berjalan sambil merenung, ponsel di saku celananya bergetar. Dengan lemas, Aji merogohnya dan membaca nama yang tertera di layar. Freya is calling ..."Halo," sapa Aji suntuk."Aji, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan pulang duluan ke Sydney, apa kamu masih lama berada di Melbourne?" cerocos Freya tanpa jeda.Aji tersenyum lega. "Aku juga sedang perjalanan menuju bandara, Frey. Baiklah, sampai jumpa di rumah Nenek!" janjinya."Oke, baiklah. Sampai jumpa!"Tit. Aji memasuk
Hari minggu pun tiba, semalam Stevany mendapat surat undangan yang dikirim melalui chat oleh Brisya. Acara pernikahan Hendri dan Zunita, diadakan di hotel berbintang di Jakarta. Sejak pagi, Stevany sudah berada di Jakarta. Ia berencana membeli gaun terlebih dahulu lantas ke salon untuk dirias. Acaranya jam 3 sore, jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap. Stevany bahkan lupa bila ia pernah trauma untuk datang ke acara pernikahan, namun kini ia malah sangat antusias. Ia ingin tampil secantik mungkin di acara itu. Brisya memberi tahunya bila Aji pasti muncul karena pernikahan ini adalah acara spesial asisten pribadi Mamanya yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh mereka. Diam-diam Stevany menjadi sangat penasaran seperti apa keluarga Aji, apakah nanti mereka akan memperlakukan Stevany dengan baik bila mengenalnya?? Stevany sudah kenal dengan Oma Donita yang sangat ramah dan gaul seperti Nenek Chloe. Semoga saja keluarga di Jakarta juga sebaik keluarga di Sydney, Stevany memba
Di dalam pesawat menuju Jogja, Stevany sedang berpikir keras. Perkataan Brisya kemarin selalu saja terngiang-ngiang di telinganya. "Kalo kamu mau ketemu Aji, datanglah hari minggu esok lusa. Aku akan memberimu alamatnya. Berdandanlah yang cantik. Aku yakin Aji akan datang di hari itu!" Ia memang akan berada di Indonesia selama seminggu kedepan. Bahkan mungkin bisa saja lebih lama bila ia tak kunjung bertemu dengan Aji. Kemarin Brisya memberi alamat dan nomor ponsel Mama Aji pada Stevany. Hanya untuk berjaga-jaga semisal nantinya Aji tak muncul di hari minggu esok lusa. Pesawat pun akhirnya landing di Bandara Udara Adisutjipto dengan selamat. Stevany lekas mengambil kopernya begitu melihatnya keluar dari bagasi. Sedikit terburu-buru karena ia sudah sangat tak sabar untuk bertemu Papa dan Maminya hari ini. Stevany sudah sangat rindu pada keduanya. Dari Bandara, ia bertolak ke kediaman kedua orang tuanya dengan menaiki taksi. Sepanjang jalan, Stevany tak hentinya tersenyum menyaksika
Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Stevany tiba di Indonesia tepat jam 1 siang. Ia lekas menarik kopernya dan mencegat taksi di luar. Dua hari yang lalu, Stevany berusaha mencari keberadaan dan kontak Brisya. Ia mencari di medsos manapun, dan beruntung bisa menemukan akun Instagramnya. Brisya masih mengingat Stevany, sempat mengobrol berbasa-basi di DM hingga akhirnya hari ini sudah membuat janji untuk bertemu. Stevany melarang Nenek Chloe memberi tahu Papanya bila ia berkunjung ke Indonesia, ia berencana akan memberi suprise pada mereka besok. Hari ini Stev sudah memiliki jadwal untuk menyelesaikan urusannya dengan Brisya. Namun lebih dulu, Stevany cek in di hotel yang sudah ia booking sejak kemarin.Usai beristirahat sebentar di hotel, Stevany bersiap-siap untuk pergi menemui Brisya di jam 4 sore. Mereka berdua sudah setuju untuk bertemu di Cafe yang berada tak jauh dari rumah Brisya. Cafe Lovable. Stevany tiba lebih dulu, suasana Cafe yang syahdu dengan musik mengalun
Sudah hari keenam sejak Aji pergi dan Stevany kehilangan jejak. Ponselnya masih tak aktif dan tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi. Bahkan Oma Donita dan Tante Wilma sekalipun. Aji seperti lenyap ditelan bumi. Hari ini Nenek Chloe pulang, Stevany menjemputnya ke bandara. Selama di Melbourne, ia jarang sekali mengendarai mobil sedan klasik milik Papanya semasa muda. Hanya untuk keperluan mendesak saja Stevany membawanya, selebihnya ia kerapkali menaiki angkutan umum ke manapun pergi. "Apa kamu sudah bertemu dengan Aji?" tanya Nenek Chloe. Mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang dari bandara. "Belum, Nek. Sepertinya dia memang sengaja pergi dan tak ingin melihatku lagi.""Kenapa begitu? Bukannya kalian dulu pernah bekerja di tempat yang sama?""Dia mantan Bosku, Nek. Aku yang bekerja padanya." Stevany menyela dan menoleh pada Nenek Chloe sekilas.Nenek Chloe manggut-manggut seraya berpikir sejenak. "Apa dulu kalian juga sempat berpacaran? Tatapannya terlihat berbeda padamu, Ste
Suasana hati Stevany yang tadinya riang usai menghabiskan makan siang kiriman Jared, kini mendadak suram setelah membaca pesan dari Aji. Seketika itu dadanya terasa sakit, jadi Aji akan benar-benar pergi setelah semalam ia mengusirnya? Ada sedikit rasa sesal di hati Stevany, sejujurnya ia masih ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aji. Bukankah sekarang mantan bosnya itu sudah sendiri? Ia bukan lagi pria beristri, kan? Jadi mengapa begitu terburu-buru dan malah menuruti perkataannya yang sedang dirundung emosi! Stevany memencet icon telefon pada sudut atas pesan chat itu. Tersambung, namun tak diangkat. Tiga kali Stevany mencoba, namun tetap tak diangkat oleh Aji. "Hiiih!" Stevany menggeram. Ia mengawasi layar ponselnya yang masih menyambungkan panggilan ke nomor Aji. Stevany bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir sembari memijat keningnya yang kini berdenyut pusing. Debaran di dadanya masih terasa hingga kini, perutnya pun seketika jadi mulas. "Angkat, dong! Ck," deca