PART 9
Aku cukup terkejut saat mengetahui siapa yang menelepon. Ibunya Mas Raka. Dia menghubungiku pasti karena telah mendapat aduan dari Mas Raka, putra kesayangannya.
Kuhela napas panjang sejenak, sebelum menjawab panggilan wanita yang sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi mantan mertua itu.
"Assalamualaikum, Bu," sambutku tetap berusaha menjaga kesopanan meskipun putranya telah menggoreskan luka batin yang begitu dalam padaku.
"Halo, Nirmala. Ada di mana kamu sekarang?" sahutnya tanpa basa-basi, tanpa membalas salam yang kuucapkan di awal kalimat.
"Mala sedang di rumah ibu, Bu. Ada apa?" balasku tetap tenang.
"Ngadu kamu, di situ? Sini, pulang. Ada yang harus kita bicarakan segera mengenai Raka!" tuduhnya sambil menyuruhku pulang.
"Ngadu? Memangnya hanya Mas Raka yang boleh mengadu ke Ibu? Aku juga masih punya orangtua, Bu. Wajar kalau aku mengadu pada ibuku," balasku mulai sengit. Mulai terpancing emosi atas ucapan kasar ibu Mas Raka.
"Sudah, kita nggak usah ribut di telepon. Sekarang juga, kamu pulang. Kita adakan rapat keluarga. Sekalian kamu bawa cucuku pulang!" sentaknya kemudian langsung menutup telepon.
Nggak usah ribut di telepon, katanya. Lantas siapa yang tadi memulai? Demit?
Arghh ... Mas Raka dan ibunya memang sama saja. Sama-sama egois dan tak pernah mau mengaku salah.
"Mertuamu, La?" tanya ibu dengan tatapan iba padaku. Aku mengangguk, kemudian menepuk lengan ibu pelan.
"Mala pulang dulu ya, Bu. Kayla titip di sini dulu, boleh? Mala nggak mau psikis Kayla terguncang karena menyaksikan kedua orangtua serta neneknya ribut-ribut di rumah," pintaku pada ibu.
"Tentu saja, Nak. Tentu saja boleh. Lagipula, Ibu juga tidak rela jika sampai Kayla diambil sama mereka. Biar saja Kayla di sini, ibu dan Puspa yang akan menjaganya," jawab ibu.
"Terima kasih ya, Bu. Mala pamit, dan minta doanya. Assalamualaikum," pamitku seraya mencium punggung tangan ibi dengan khidmat.
Ibu menyentuh pelan puncak kepalaku. Saat aku kembali menatapnya, sepasang netra itu telah basah oleh kaca-kaca yang menggumpal di pelupuknya.
***
Aku mengemudikan kendaraan menuju rumah yang selama ini kutempati bersama Mas Raka dengan perasaan tak karuan. Benakku sibuk mengira-ngira. Apa saja yang telah diadukan Mas Raka pada ibunya.
Satu hal yang pasti, dalam cerita versi lelaki itu, pastilah hanya berupa hal yang menyudutkanku saja.
Lelaki dengan ego setinggi langit itu, mana mungkin mau tampak bersalah di hadapan orang lain, meskipun itu di hadapan ibunya sendiri.
Sudah bisa kutebak, diskusi yang dikatakan ibu mertua di telepon tadi, tak akan lebih dari sekedar upaya untuk memojokkanku saja. Tapi aku Nirmala, tentu tak akan mau kalah begitu saja.
Aku seorang wanita baik-baik yang menjunjung tinggi harga diri serta kehormatanku. Jika Mas Raka pikir dia akan menang hanya karena mendapat backingan dari keluarga, maka dia salah.
Akan kubuat dia sekalian tak bisa menunjukkan mukanya di hadapan dunia.
Setibanya di rumah, aku terpaksa memarkir kendaraan di luar pagar karena mobil Mas Raka serta mobil Alia, adik Mas Raka, sudah memenuhi halaman rumah yang tak seberapa luas.
Berjalan memasuki halaman, aku disambut oleh Mbak Yah dengan wajah kebingungan. Wajar, dia yang tak tahu apa-apa, tentu bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, hingga tadi pagi semua masih tampak baik-baik saja.
Aku tersenyum saat melewati gadis yang selalu telaten mengasuh Kayla itu. Mengisyaratkan padanya, bahwa aku tak apa-apa, dan akan baik-baik saja.
"Assalamualaikum." Kuucapkan salam saat tiba di depan pintu masuk rumah utama.
Di ruang tamu, tampak ibu mertua, Mas Raka, serta Alia, adik Mas Raka sedang duduk di sofa. Sikap tubuh mereka terlihat langsung menegang begitu melihat aku datang.
Ibu Mas Raka mengangguk sekilas, memberi kode padaku untuk langsung masuk. Lucu, aku perlakukan bagai tamu di rumahku sendiri.
"Duduklah, Mala," perintah ibu Mas Raka dengan tatapan mengawasi ke arahku.
Alia sedikit beringsut untuk memberiku tempat. Kupilih duduk dekat adik Mas Raka, karena aku sama sekali tak sudi duduk dekat lelaki yang tak punya martabat seperti dia.
"Mana Kayla?" Ibu Mas Raka bertanya padaku.
"Kayla sedang di rumah neneknya, Bu." Aku menjawab pelan.
Ibu Mas Raka langsung mendengkus kesal.
"Kan tadi Ibu bilang untuk membawa Kayla pulang?" ujarnya. Wanita paroh baya itu tampak gusar.
"Supaya Kayla bisa melihat bagaimana mamanya dipojokkan oleh kalian semua dalam forum debat ini?" pungkasku sambil menatap Ibu Mas Raka tajam.
"Lho, siapa yang ngajak debat? Kita ini mau diskusi lho, Mala." Ia membantah. Aku tersenyum sinis mendengar jawabannya.
"Perempuan seperti Mala ini, mana ngerti bedanya debat sama diskusi, Bu!" Mas Raka tiba-tiba angkat bicara setelah sedari tadi menunduk diam.
Merasa mendapat angin atas dukungan ibunya, lelaki ini mau berani-berani unjuk gigi di depanku.
"Terserah apa katamu, Mas. Yang jelas aku tahu apa tujuan kalian datang dan mengajakku berkumpul di sini," ujarku sambil melemparinya tatapan sinis.
"Sudah ... sudah! Kalian ini, nggak bisa apa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin?
Mala, apa benar kamu sengaja ke kantor Raka untuk mempermalukan dia dan ingin dia dipecat?" Ibu kembali mengambil alih kendali acara debat kusir ini.
"Benar, Bu," jawabku mantap.
Sepasang mata milik ibu Mas Raka melebar demi mendengar pengakuanku yang tanpa keraguan.
"Kamu sadar nggak, Mala, yang kamu lakukan itu sama saja dengan membuka aib suamimu sendiri! Kamu permalukan laki-laki yang seharusnya kamu hormati, kamu jaga aibnya?" Wanita itu mulai mencecar.
"Masih pantaskah suami yang berselingkuh dan berzina untuk dihormati, Bu?" sahutku tajam.
"Namanya laki-laki itu wajar kalau sesekali khilaf, Mala. Allah saja maha pemaaf, masa kita sebagai manusia enggak?"
Aku spontan mendengar ucapan Ibu Mas Raka.
"Ibu menganggap sebuah perzinahan itu wajar? Lalu apa artinya hijab yang melekat di kepala Ibu? Apa itu ilmu yang Ibu dapat dalam setial majelis taklim yang ibu hadiri? Zinah itu wajar?" sindirku pedas.
Wajah ibu Mas Raka langsung memerah.
"Jaga mulut kamu, Mala!" Mas Raka menghardik.
"Kamu yang diam, Mas! Dasar tak tahu malu, begitu bangganya kamu dengan dosamu yang menjijikkan itu. Tapi lebih menjijikkan lagi ketika aku mengetahui fakta ada seorang muslimah yang mewajarkan perbuatan zinah!" Aku balas menghardik.
Emosiku mulai naik. Emosi sekali terhadap sikap ibu Mas Raka yang tak masuk akal.
"Mbak Mala, aku tahu Mas Raka bersalah. Tapi ingatlah, Mas Raka juga ayah dari Kayla. Kalau Mas Raka sampai kehilangan pekerjaan, bagaimana dia akan menghidupi kalian?"
"Ingat, Mbak, surga istri itu ada pada suaminya. Mbak Mala jangan egois dong, lebih mengedepankan emosi. Pikir panjang dulu sebelum berbuat," lanjut Alia lagi.
Alia mulai ikut bicara. Meski nada bicaranya terdengar lebih santun, tapi tetap saja aku merasa geli. Adik iparku itu, bicara seakan Mas Raka lah satu-satunya tulang punggung di rumah ini.
Juga, apakah dipikirnya aku masih mau melanjutkan pernikahan yang telah hancur ini?
"Maaf Alia, tapi setelah ini Mas Raka tak perlu repot-repot memikirkan nafkah untuk kami. Insya Allah, Mbak masih mampu dan kuat mencari nafkah untuk diri sendiri dan Kayla.
Jika kamu di posisi Mbak, masih bisa kah kamu bicara seperti itu? Kita ini sama-sama perempuan. Harusnya kalian lebih berempati. Masalah perselingkuhan dalam rumah tangga, bukanlah perkara ecek-ecek.
Setelah ini, Mbak akan segera mengurus perceraian kami. Biar Mas Raka bebas mau bersama gundiknya yang masih seorang pelajar SMU itu," ujarku sambil melirik tajam pada Mas Raka.
"Cerai?! Kamu ini jadi perempuan kok belagu banget ya, Mala? Kamu pikir gampang jadi janda?
Terus, kamu tuh mikir nggak gimana nasib Kayla kalau kalian sampai bercerai? Mikir nggak kamu, Mala?!" teriak ibu Mas Raka dengan mata melotot lebar.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang Kayla, Bu. Dia akan baik-baik saja dalam asuhanku." Aku berkata.
"Tidak bisa! Kayla akan ikut aku!" Mas Raka berteriak.
"Ikut kamu dan membiarkan anak kita meniru kelakuanmu yang amoral itu, Mas? Demi Allah, dunia akhirat aku nggak akan rela," pungkasku.
"Nirmala, pikir-pikir dulu kamu. Bisa nggak sih, kamu turunin sedikit gengsi dan ego? Bukan demi siapa-siapa, tapi demi Kayla!"
Ibu Mas Raka kembali bersuara. Masih berupaya membujuk tapi tak sadar pada kesalahan anak sendiri.
"Kenapa harus aku Bu, yang menurunkan ego? Sudah jelas yang bersalah di sini adalah Mas Raka.
Dari awal kepergok selingkuh pun, dia sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Minta maaf pun tidak. Apa pernikahan seperti ini yang harus kupertahankan?
Jika Mas Raka sangat berharga bagi Ibu, maka begitu juga aku di mata ibuku, Bu. Mana ada orangtua yang sudi melihat harga diri anak perempuannya diinjak-injak oleh suaminya sendiri?
Selain sudah berselingkuh dan berzina, Mas Raka juga sudah terang-terangan berat sebelah pada gadis lacur pujaannya itu.
Aku tetap pada keputusanku untuk bercerai. Kayla ikut aku. Tak akan kubiarkan anakku mendapat contoh buruk dari ayahnya sendiri!"
Mas Raka tiba-tiba beranjak berdiri.
"Dasar perempuan sok! Silakan kamu bawa Kayla. Tapi jangan harap, kamu bisa mendapat sepeserpun harta gono-gini, Nirmala!" ancamnya sambil menunjuk wajahku.
Tak terima ditunjuk-tunjuk begitu, aku pun sigap berdiri dan langsung membalasnya. Sedikit pun aku tak gentar.
Jangankan ibu Mas Raka dan Alia, dia membawa seluruh keluarganya pun akan kuhadapi dengan berani, karena aku bukan pecundang!
🍁🍁🍁
PART 10"Dasar perempuan sok! Silakan kamu bawa Kayla. Tapi jangan harap, kamu bisa mendapat sepeserpun harta gono-gini, Nirmala!" ancam Mas Raka sambil menunjuk wajahku.Ditunjuk-tunjuk dengan cara tak sopan begitu, tentu saja aku tak terima. Gegas aku bangkit berdiri sambil menatap murka pada Mas Raka."Jangan mimpi kalau kamu berpikir bisa mendapat semua harta yang kita kumpulkan bersama, Mas! Ada keringatku juga dalam setiap sen yang kita kumpulkan selama menikah!"Aku menghardik Mas Raka sembari balas menuding wajahnya."Nirmala, yang sopan kamu sama Raka! Gimana pun juga dia masih suami kamu," ujar ibu Mas Raka.
PART 11"Permisi, Bu, ini barang-barang Pak Raka sudah siap."Kemunculan Mbak Yah, asistenku, menginterupsi sejenak ketegangan yang sedang berlangsung antara aku, Mas Raka, Alia, serta ibu mertua."Bagus. Taruh saja di depan pintu, Mbak Yah. Biar tinggal di angkut sama yang punya," jawabku sembari melirik Mas Raka dengan tatapan mengejek."Berhenti kamu, babu! Siapa kamu berani-beraninya lancang mengeluarkan barang-barang anakku!" teriak ibu Mas Raka tanpa kami duga.Mbak Yah tampak terkejut sekaligus ketakutan dihardik kasar seperti itu. Gadis berambut panjang itu menatapku, seakan meminta perlindungan.
PART 12Pagi hari. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sedikit pening. Mungkin karena aku kurang tidur semalam.Bohong saja kalau kubilang bahwa aku bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun yang berada dalam posisiku saat ini, juga pasti merasakan hal yang sama denganku.Marah, gelisah, sedih, kecewa, semua melebur jadi satu dalam pikiran. Jika ditanya apakah aku menangis? Maka jawabanku adalah tidak.Tak setetes pun airmata yang kutumpahkan meski nyeri begitu terasa di dalam sini. Tangisku terlalu berharga untuk seorang pecundang seperti Mas Raka.Bicara soal Kayla, putri semata wayangku, tak ada seorang pun ibu di dunia in
PART 14Gadis-gadis berseragam itu tampak sangat terkejut ketika kusodorkan gambar Mirna dan Mas Raka.Beberapa siswi lain yang sedang mengantre juga ikut datang mendekat. Ingin melihat apa yang sedang teman mereka lihat pada layar ponselku."Ihh ... ini kan si Mirna anak IPS 3 itu, kan? Ya oloh ... amit-amit ish kelakuan kayak gitu!" seru seorang gadis yang langsung menutup mulutnya dengan dua tangan, sambil beralih menatapku."Elah ... gue sih udah nggak heran, dari kelas dua dulu gue pernah lihat dia dibawa om-om ke hotel.Cuma pas gue cerita, nggak ada yang percaya. Ternyata bener, kan? Si Mirna emang cewek nggak bener!"
PART 14Mirna terus meratap sembari menangis. Sangat berbanding terbalik dengan kegaharannya yang sesaat lalu seakan hendak membinasakanku."Pak ... saya mohon. Kalau saya dikeluarkan sekarang, tidak akan ada sekolah lain yang mau menerima saya, Pak. Saya tidak mau menunda lagi kelulusan saya.Mohon pertimbangkan, Pak. Saya mohon belas kasihannya. Lagi pula, tidak semua yang dikatakan perempuan ini benar.Dia hanya melebih-lebihkan cerita supaya bisa mempermalukan saya!" Mirna menunjuk ke arahku."Ck ck ck, masih berani kamu bilang saya fitnah? Kalau saya mau, kamu dan suami saya bisa saya laporkan pada polisi atas pasal perz
PART 15"Nirmala, Raka serta ibunya ingin saya memecat kamu dari perusahaan ini sebagai balasan atas apa yang telah kamu lakukan terhadap Raka."Mata Pak Bondan menyipit, sementara senyumnya mengembang di bibir hitamnya. Aku tetap bergeming, berusaha tak terpengaruh pada kata-kata Pak Bondan.Lelaki itu kembali terkekeh. Menatapku sambil menjilat bibir bawahnya sendiri. Memuakkan, tapi aku berusaha menahan diri, sebab ingin mendengar lebih banyak lagi."Tapi kamu tenang saja, Nirmala. Saya tidak sejahat itu. Tentunya akan sulit bagi kamu jika kehilangan pekerjaan sementara pernikahanmu sendiri sedang di ambang perceraian. Karena itu, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Sepasang mata Pak Bondan berkilat saat mengucap kata 'membuat kesepakatan' barusan."Kesepakatan?" ulangku sambil menelengkan kepala.
PART 16Bersama Lesti, aku mulai masuk menyusuri jalanan gang yang sempit juga sedikit gelap. Bau busuk berasal dari parit kecil yang warna airnya kehitaman menyengat penciuman ketika kami lewat.Debaran dalam dadaku kian mengeras, saat menatap sebuah rumah bermodel sangat sederhana dengan cat putih yang mengelupas di sana-sini."Itu rumahnya, Les?" tanyaku sambil menoleh pada Lesti."Kalau kata google map mah iya, La," jawab Lesti tak kalah pelan."Ayo," kataku, melanjutkan langkah.Walau perasaanku sedikit tak enak, tapi aku pantang pulang sebelum menang. La
PART 17"Pak Brahma?" seruku tak percaya ketika melihat sosok tersebut di hadapanku. Lesti bergerak lebih merapat."Siapa, Nek?" bisiknya."Bagaimana Bapak bisa ada di sini?" Mengabaikan pertanyaan Lesti, aku justru melempar tanya pada sosok jangkung dengan potongan rambut rapi belah tepi tersebut."Bisa kita bicarakan saat di perjalanan nanti? Mobil saya parkir di sana." Laki-laki itu menujuk satu arah. Di ujung jalan sebelum belokan.Kendati sangat penasaran kenapa Pak Brahma bisa ada di lokasi dan waktu yang sama denganku, kurasa menerima tawarannya adalah sebuah pilihan bijak.
PART 30POV RAKAMelangkah keluar dari bekas ruang kerjaku, hati ini diliputi kemarahan yang sarat terhadap Nirmala.Bagaimana tidak? Surat dari pengadilan itu tiba bertepatan pada hari jabatanku di kantor diturunkan. Dan gilanya lagi, calon mantan istriku sendiri lah yang ternyata menggantikanku.Permainan macam apa sebenarnya yang Nirmala dan Brahma rencanakan untukku? Ada kerjasama apa di antara mereka berdua? Jika melawan mereka sendiri, tentu aku akan kalah telak dan berakhir menjadi pecundang.Seharusnya aku memang tak perlu heran terhadap gugatan cerai wanita itu. Hanya saja egoku benar-benar terpukul saat ini. Ibarat
Part 29Pov Nirmala"Halo?" sahut suara di seberang sana."Halo, Pak Brahma?""Yap.""Ada yang ingin saya bicarakan mengenai perjanjian yang Bapak kirim ke saya," ujarku."Silakan.""Mengenai ... uang bulanan," ucapku ragu."Kurang?""Oh, tidak ... tidak. Bukan begitu. Malah saya merasa itu terlalu banyak."
PART 28POV RAKA"Apa-apaan kalian mindah-mindahin barang-barang saya?!" sentakku pada beberapa karyawan yang tengah sibuk mengeluarkan meja kerja, serta kursi dan beberapa benda lain yang selama ini melengkapi ruangan kerjaku."Maaf, tapi kami hanya menjalankan perintah, Pak," jawab salah seorang dari mereka."Mulai sekarang, bukan di situ lagi ruang kerja Anda, Pak Raka. Besok akan ada GM yang baru, dan dia tak mau ada jejak Anda sedikit pun di ruangan."Aku sontak menoleh ke belakang. Di sana, berdiri Pak Brahma, laki-laki pecundang yang sok kuasa."Apa mak
Part ini mengandung baku hantam, Kakak. Jangan lupa votenya.🤩PART 27Pov Raka"Apa kamu lihat-lihat?!" sentak ibu sambil melempar tatapan galak pada Mirna. Gadis itu tersentak kaget, kemudian buru-buru menghampiriku."Abang habis gajian, ya?" tanyanya dengan suara manja sambil bergelayut di pundak kananku."Ehm ... iya, Sayang," jawabku sedikit terbata. Ibu menatap sengit ke arah aku dan Mirna."Kenapa kamu tanya-tanya Raka gajian, Mirna?" tanya ibu sinis."Lho, memangnya nggak boleh, ya? Aku kan sekarang istrinya Bang Raka." Mirna memprotes pertanyaa
Yuhuu ketemu di bab baru. Jangan lupa klik vote ya, Dear.Part 26Lesti langsung sibuk menyikut lenganku ketika sosok itu keluar dari dalam mobil dan tampak celingukan di depan halaman kantor yang sudah sepi.Mas Raka. Mau apa dia ke sini?"Eh, mau ke mana lo?" Lesti bertanya dengan raut wajah khawatir saat aku berdiri dari kursi dan hendak ke luar tenda warung es."Sst ... lo tunggu di sini aja," kataku pelan sambil melangkah ke luar."Kamu cari siapa, Mas? Cari aku, atau cari pamanmu yang cabul itu?"Suaraku tak keras, tapi Mas Raka sepertinya terkeju
Hai kakak, jangan lupa klik vote-nya ya Shay.PART 25Kubuka amplop berwarna cokelat pemberian Pak Brahma, dan terkejut saat melihat isinya. Di dalam amplop yang kini berada dalam genggamanku, terdapat beberapa kartu berlogo bank ternama."Apa ini, Pak?" tanyaku sambil mendongak ke arahnya."Itu adalah fasilitas dari saya untuk kamu. Debit dan credit card. Pakailah," ujarnya dengan suara tenang. Aku mengerutkan kening, kemudian mengangsurkan kembali amplop tersebut ke arahnya.Laki-laki itu terheran."Saat ini, kita masih belum memiliki ikatan apa-apa. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi ini belum waktunya, Pak. S
Part 24"Ok, kalau begitu sampai ketemu besok, calon istriku. Selamat malam."Klik. Telepon ditutup.Aku terbengong dengan handphone masih dalam genggaman.Calon istri, katanya.Mendengar istilah itu keluar dari mulut Pak Brahma, tiba-tiba saja menimbulkan debaran aneh dalam dadaku.Wajahku mendadak terasa menghangat, seperti ada yang sedang bergejolak dalam diri ini, tapi entah apa. Tanpa sadar, aku tidur memeluk guling dengan bibir mengulum senyum.Esok hari.
Halo kak, sebelum membaca jangan lupa klik vote-nya ya.PART 23"Kembalikan anakku, hei jalang!"Sambil menahan geram yang membuncah, aku berjalan mendekati Mas Raka dan Mirna yang tengah menggendong Kayla."Hei, apa-apaan kamu, Nirmala? Mulai hari ini, Kayla ikut denganku. Perempuan kasar seperti kamu, nggak pantes buat mendidik dan membesarkan Kayla.Apalagi, kamu juga ternyata aktif memakai narkoba. Mau jadi apa anakku jika dia dibesarkan di tangan seorang ibu macam kamu? Mirna jelas jauh lebih pantas dan lebih baik dibanding kamu!"Mas Raka mengoceh panjang. Langsung kurenggut bagian depan bajunya hingga ia terhuyu
PART 22Setelah menelepon Pak Brahma dan berbicara padanya mengenai kondisiku saat ini, aku pun merasa sedikit lebih lega."Jangan takut. Ikutlah dengan mereka, dan tegakkan kepalamu. Kamu bukan pecundang, Nirmala. Saya akan segera ke sana untuk membantumu."Begitulah kata-kata yang diucapkannya di telepon barusan. Dan ajaibnya, aku merasa segala ketakutanku sirna seketika. Keberanianku pun langsung kembali dalam sekejap.Pak Bondan tersenyum sinis ke arahku."Tidak akan ada yang bisa menolongmu kali ini, Nirmala." ucap lelaki itu sambil memandangiku.