PART 11
"Permisi, Bu, ini barang-barang Pak Raka sudah siap."
Kemunculan Mbak Yah, asistenku, menginterupsi sejenak ketegangan yang sedang berlangsung antara aku, Mas Raka, Alia, serta ibu mertua.
"Bagus. Taruh saja di depan pintu, Mbak Yah. Biar tinggal di angkut sama yang punya," jawabku sembari melirik Mas Raka dengan tatapan mengejek.
"Berhenti kamu, babu! Siapa kamu berani-beraninya lancang mengeluarkan barang-barang anakku!" teriak ibu Mas Raka tanpa kami duga.
Mbak Yah tampak terkejut sekaligus ketakutan dihardik kasar seperti itu. Gadis berambut panjang itu menatapku, seakan meminta perlindungan.
PART 12Pagi hari. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sedikit pening. Mungkin karena aku kurang tidur semalam.Bohong saja kalau kubilang bahwa aku bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun yang berada dalam posisiku saat ini, juga pasti merasakan hal yang sama denganku.Marah, gelisah, sedih, kecewa, semua melebur jadi satu dalam pikiran. Jika ditanya apakah aku menangis? Maka jawabanku adalah tidak.Tak setetes pun airmata yang kutumpahkan meski nyeri begitu terasa di dalam sini. Tangisku terlalu berharga untuk seorang pecundang seperti Mas Raka.Bicara soal Kayla, putri semata wayangku, tak ada seorang pun ibu di dunia in
PART 14Gadis-gadis berseragam itu tampak sangat terkejut ketika kusodorkan gambar Mirna dan Mas Raka.Beberapa siswi lain yang sedang mengantre juga ikut datang mendekat. Ingin melihat apa yang sedang teman mereka lihat pada layar ponselku."Ihh ... ini kan si Mirna anak IPS 3 itu, kan? Ya oloh ... amit-amit ish kelakuan kayak gitu!" seru seorang gadis yang langsung menutup mulutnya dengan dua tangan, sambil beralih menatapku."Elah ... gue sih udah nggak heran, dari kelas dua dulu gue pernah lihat dia dibawa om-om ke hotel.Cuma pas gue cerita, nggak ada yang percaya. Ternyata bener, kan? Si Mirna emang cewek nggak bener!"
PART 14Mirna terus meratap sembari menangis. Sangat berbanding terbalik dengan kegaharannya yang sesaat lalu seakan hendak membinasakanku."Pak ... saya mohon. Kalau saya dikeluarkan sekarang, tidak akan ada sekolah lain yang mau menerima saya, Pak. Saya tidak mau menunda lagi kelulusan saya.Mohon pertimbangkan, Pak. Saya mohon belas kasihannya. Lagi pula, tidak semua yang dikatakan perempuan ini benar.Dia hanya melebih-lebihkan cerita supaya bisa mempermalukan saya!" Mirna menunjuk ke arahku."Ck ck ck, masih berani kamu bilang saya fitnah? Kalau saya mau, kamu dan suami saya bisa saya laporkan pada polisi atas pasal perz
PART 15"Nirmala, Raka serta ibunya ingin saya memecat kamu dari perusahaan ini sebagai balasan atas apa yang telah kamu lakukan terhadap Raka."Mata Pak Bondan menyipit, sementara senyumnya mengembang di bibir hitamnya. Aku tetap bergeming, berusaha tak terpengaruh pada kata-kata Pak Bondan.Lelaki itu kembali terkekeh. Menatapku sambil menjilat bibir bawahnya sendiri. Memuakkan, tapi aku berusaha menahan diri, sebab ingin mendengar lebih banyak lagi."Tapi kamu tenang saja, Nirmala. Saya tidak sejahat itu. Tentunya akan sulit bagi kamu jika kehilangan pekerjaan sementara pernikahanmu sendiri sedang di ambang perceraian. Karena itu, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Sepasang mata Pak Bondan berkilat saat mengucap kata 'membuat kesepakatan' barusan."Kesepakatan?" ulangku sambil menelengkan kepala.
PART 16Bersama Lesti, aku mulai masuk menyusuri jalanan gang yang sempit juga sedikit gelap. Bau busuk berasal dari parit kecil yang warna airnya kehitaman menyengat penciuman ketika kami lewat.Debaran dalam dadaku kian mengeras, saat menatap sebuah rumah bermodel sangat sederhana dengan cat putih yang mengelupas di sana-sini."Itu rumahnya, Les?" tanyaku sambil menoleh pada Lesti."Kalau kata google map mah iya, La," jawab Lesti tak kalah pelan."Ayo," kataku, melanjutkan langkah.Walau perasaanku sedikit tak enak, tapi aku pantang pulang sebelum menang. La
PART 17"Pak Brahma?" seruku tak percaya ketika melihat sosok tersebut di hadapanku. Lesti bergerak lebih merapat."Siapa, Nek?" bisiknya."Bagaimana Bapak bisa ada di sini?" Mengabaikan pertanyaan Lesti, aku justru melempar tanya pada sosok jangkung dengan potongan rambut rapi belah tepi tersebut."Bisa kita bicarakan saat di perjalanan nanti? Mobil saya parkir di sana." Laki-laki itu menujuk satu arah. Di ujung jalan sebelum belokan.Kendati sangat penasaran kenapa Pak Brahma bisa ada di lokasi dan waktu yang sama denganku, kurasa menerima tawarannya adalah sebuah pilihan bijak.
PART 18"Apa? Jabatan itu untuk Nirmala? Pak Brahma bercanda? Nirmala mana kompeten di bidang itu? Dia cuma lulusan S1, dan sama sekali tidak punya basic dalam pengembangan bisnis!"Mas Raka memprotes. Wajahnya terlihat shock, begitu pun aku saat ini jika dilihat orang lain. Aku kaget sekaligus tak menyangka. Ada angin apa sih Pak Brahma ini?"Yang menentukan layak atau tak layak bukan Anda, Pak Raka. Saya yakin Nirmala cukup kompeten, dan dia akan saya didik dengan tangan saya sendiri nanti."Pak Brahma menatapku yang sedang terpelongo hingga tak mampu mengucap sepatah kata pun. Lidah ini terasa kelu."Saya permisi dulu, sam
PART 19Pak Brahma menatap lurus ke arahku. Begitu pun aku sebaliknya. Kami bagai dua orang petarung yang sedang saling mengukur kemampuan lawan."Kalau Pak Brahma tidak bisa menjawab pertanyaan saya, maka lebih baik saya putuskan untuk tidak menerima tawaran dari Bapak.Saya tak suka berteka-teki, menebak-nebak apa kiranya imbalan yang harus saya berikan atas kebaikan Bapak. Hal itu tentu hanya mengganjal pikiran saja nantinya."Kataku lagi. Lugas dan tegas.Lelaki itu tiba-tiba tersenyum. Memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih alami. Tapi aku tahu, di balik senyumannya, laki-laki itu memiliki sebuah maksud dan tujua
PART 30POV RAKAMelangkah keluar dari bekas ruang kerjaku, hati ini diliputi kemarahan yang sarat terhadap Nirmala.Bagaimana tidak? Surat dari pengadilan itu tiba bertepatan pada hari jabatanku di kantor diturunkan. Dan gilanya lagi, calon mantan istriku sendiri lah yang ternyata menggantikanku.Permainan macam apa sebenarnya yang Nirmala dan Brahma rencanakan untukku? Ada kerjasama apa di antara mereka berdua? Jika melawan mereka sendiri, tentu aku akan kalah telak dan berakhir menjadi pecundang.Seharusnya aku memang tak perlu heran terhadap gugatan cerai wanita itu. Hanya saja egoku benar-benar terpukul saat ini. Ibarat
Part 29Pov Nirmala"Halo?" sahut suara di seberang sana."Halo, Pak Brahma?""Yap.""Ada yang ingin saya bicarakan mengenai perjanjian yang Bapak kirim ke saya," ujarku."Silakan.""Mengenai ... uang bulanan," ucapku ragu."Kurang?""Oh, tidak ... tidak. Bukan begitu. Malah saya merasa itu terlalu banyak."
PART 28POV RAKA"Apa-apaan kalian mindah-mindahin barang-barang saya?!" sentakku pada beberapa karyawan yang tengah sibuk mengeluarkan meja kerja, serta kursi dan beberapa benda lain yang selama ini melengkapi ruangan kerjaku."Maaf, tapi kami hanya menjalankan perintah, Pak," jawab salah seorang dari mereka."Mulai sekarang, bukan di situ lagi ruang kerja Anda, Pak Raka. Besok akan ada GM yang baru, dan dia tak mau ada jejak Anda sedikit pun di ruangan."Aku sontak menoleh ke belakang. Di sana, berdiri Pak Brahma, laki-laki pecundang yang sok kuasa."Apa mak
Part ini mengandung baku hantam, Kakak. Jangan lupa votenya.🤩PART 27Pov Raka"Apa kamu lihat-lihat?!" sentak ibu sambil melempar tatapan galak pada Mirna. Gadis itu tersentak kaget, kemudian buru-buru menghampiriku."Abang habis gajian, ya?" tanyanya dengan suara manja sambil bergelayut di pundak kananku."Ehm ... iya, Sayang," jawabku sedikit terbata. Ibu menatap sengit ke arah aku dan Mirna."Kenapa kamu tanya-tanya Raka gajian, Mirna?" tanya ibu sinis."Lho, memangnya nggak boleh, ya? Aku kan sekarang istrinya Bang Raka." Mirna memprotes pertanyaa
Yuhuu ketemu di bab baru. Jangan lupa klik vote ya, Dear.Part 26Lesti langsung sibuk menyikut lenganku ketika sosok itu keluar dari dalam mobil dan tampak celingukan di depan halaman kantor yang sudah sepi.Mas Raka. Mau apa dia ke sini?"Eh, mau ke mana lo?" Lesti bertanya dengan raut wajah khawatir saat aku berdiri dari kursi dan hendak ke luar tenda warung es."Sst ... lo tunggu di sini aja," kataku pelan sambil melangkah ke luar."Kamu cari siapa, Mas? Cari aku, atau cari pamanmu yang cabul itu?"Suaraku tak keras, tapi Mas Raka sepertinya terkeju
Hai kakak, jangan lupa klik vote-nya ya Shay.PART 25Kubuka amplop berwarna cokelat pemberian Pak Brahma, dan terkejut saat melihat isinya. Di dalam amplop yang kini berada dalam genggamanku, terdapat beberapa kartu berlogo bank ternama."Apa ini, Pak?" tanyaku sambil mendongak ke arahnya."Itu adalah fasilitas dari saya untuk kamu. Debit dan credit card. Pakailah," ujarnya dengan suara tenang. Aku mengerutkan kening, kemudian mengangsurkan kembali amplop tersebut ke arahnya.Laki-laki itu terheran."Saat ini, kita masih belum memiliki ikatan apa-apa. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi ini belum waktunya, Pak. S
Part 24"Ok, kalau begitu sampai ketemu besok, calon istriku. Selamat malam."Klik. Telepon ditutup.Aku terbengong dengan handphone masih dalam genggaman.Calon istri, katanya.Mendengar istilah itu keluar dari mulut Pak Brahma, tiba-tiba saja menimbulkan debaran aneh dalam dadaku.Wajahku mendadak terasa menghangat, seperti ada yang sedang bergejolak dalam diri ini, tapi entah apa. Tanpa sadar, aku tidur memeluk guling dengan bibir mengulum senyum.Esok hari.
Halo kak, sebelum membaca jangan lupa klik vote-nya ya.PART 23"Kembalikan anakku, hei jalang!"Sambil menahan geram yang membuncah, aku berjalan mendekati Mas Raka dan Mirna yang tengah menggendong Kayla."Hei, apa-apaan kamu, Nirmala? Mulai hari ini, Kayla ikut denganku. Perempuan kasar seperti kamu, nggak pantes buat mendidik dan membesarkan Kayla.Apalagi, kamu juga ternyata aktif memakai narkoba. Mau jadi apa anakku jika dia dibesarkan di tangan seorang ibu macam kamu? Mirna jelas jauh lebih pantas dan lebih baik dibanding kamu!"Mas Raka mengoceh panjang. Langsung kurenggut bagian depan bajunya hingga ia terhuyu
PART 22Setelah menelepon Pak Brahma dan berbicara padanya mengenai kondisiku saat ini, aku pun merasa sedikit lebih lega."Jangan takut. Ikutlah dengan mereka, dan tegakkan kepalamu. Kamu bukan pecundang, Nirmala. Saya akan segera ke sana untuk membantumu."Begitulah kata-kata yang diucapkannya di telepon barusan. Dan ajaibnya, aku merasa segala ketakutanku sirna seketika. Keberanianku pun langsung kembali dalam sekejap.Pak Bondan tersenyum sinis ke arahku."Tidak akan ada yang bisa menolongmu kali ini, Nirmala." ucap lelaki itu sambil memandangiku.