“Baik, kalau gini bagaimana?” Davin menciumku, yang membuat jantung semakin berjingkat-jingkat ria. Anehnya, bahkan mendorong dadanya saja tidak bisa kulakukan. Pasrah sudah menerima lumatan ringan selamat pagi. Ih, makhluk satu ini selalu mencari dan mencuri kesempatan untuk menciumku. Apakah aku terima saja? kenapa aku jatuh terlalu dalam ke lubuk cintanya, hingga tidak mampu keluar lagi. Oh, bos … tolong jangan membuatku klepek-klepek seperti ini. Akankah kamu milikku selamanya?
***Meyyis***
POV Davin
Bangun pagi dan melakukan aktivitas kebugaran memang sudah menjadi gaya hidupku. Tanganku menekan handle pintu kamar Shasha. Wanita yang aku cintai itu masih meringkuk di dalam selumut. Kakiku maju untuk lebih dekat dengannya, memandang wajah yang terlihat damai tersebut. Tanganku menarikkan selimut hingga sebatas dada untuknya. Karena sebentar lagi matahari akan muncul, lebih baik kusibakkan gorde
“Baik, kalau gini bagaimana?” Aku sudah tidak tahan untuk menciumnya, terdenagr jantung Shasha sudah berdetak sangat kencang. Aku suka sekali mengganggunya seperti ini. Dia semakin menggoda dengan wajah malu seperti ini. Kakinya menjajak ingin pergi dari pangkuanku, hingga membuat tanganku memeluk lebih erat. Shasha tidak bisa mengelak lagi. Wajahku mendekat ke arahnya kembali hingga ciuman ini terjadi. Kali ini dia merespon, hingga membuatku lebih intim lagi untuk menyesap. Kami saling bertukar saliva pagi ini membuat hari ini dimulai dengan penuh gairah.***Meyyis***POV DAVIN“Bagiamana pertemuan dengan temanmu kemarin?” tanyaku. Aku pura-pura tidak tahu walau Dian sebagai dokter psikologis sebenarnya adalah suruhanku.“Asik, kita hanya mengobrol. Tapi dia orang yang menyenangkan,” tuturnya.“Aku ikut senang. Ayo masuk, kita akan mengajak Mama Rara
“Kita menyingkir, Ma. Sepertinya akan tidak sehat untuk berada di sini.” Aku ikutan bangkit. Siapa lelaki ini? Aku ingat pernah bertemu dengannya, tapi … masih belum jelas.“Kita harus pergi? Maaf, Om. Kami harus beranjak,” pamitku. Aku mengikuti mereka yang sudah lebih dulu pergi dari tempat kami duduk.***Meyyis***POV SHASHA“Bagiamana pertemuan dengan temanmu kemarin?” tanya Davin. Aku menoleh ke arahnya, setelah beberapa saat lalu fokusku sedikit berubah.“Asik, kita hanya mengobrol. Tapi dia orang yang menyenangkan,” ucapku. Memang benar kita hanya mengobrol hingga sore menjalang tidak kerasa seperti sebuah terapi. Tetapi dengan begitu, rasanya sedikit plong, juga berpikir untuk menerima Davin walau rasa takut masih sering muncul.“Aku ikut senang. Ayo masuk, kita akan mengajak Mama Rara jalan-jalan. Dia tidak pernah per
“Kita menyingkir, Ma. Sepertinya akan tidak sehat untuk berada di sini.” Aku harus pergi dari sini. Tidak, jangan sekarang. Orang yang aku sebut papa, yang sudah melukai mama dan aku begitu dalam.“Kita harus pergi? Maaf, Om. Kami harus beranjak,” pamit Davin. Aku terus pergi menyisih tidak mempedulikan lelaki itu. Dia adalah biang kemunafikan dan biangnya sakit hati.***Meyyis***POV DAVINAku belum tahu pasti siapa lelaki itu. Namun, dari lagak mereka, bahwa lelaki itu sepertinya seseorang yang telah melukai mereka. Mungkinkah dia adalah ayahnya Shasha.“Kalian mau makan ikan? Biar aku memesan,” ucapku. Shasha mengangguk. Aku segera beranjak. Seperti kataku, pergi untuk memesan ikan. Setelah pesanan aku katakana kepada sang penjual, langkah kakiku bergerak kembali.“Ma, sebisa mungkin memang harus menghindar. Dia membuat mama sakit hati. Belum lagi kalau nanti istr
“Pa, tidak perlu melindungiku. Walau mama sudah memberikan papa pada mereka, nyatanya mereka tetap menggangguku. Jangan tinggalkan kami lagi,” pinta Shasha sambil menangis.“Sayang, maafkan papa. Jangan menangis,” pinta Om Aji.***Meyyis***POV AUTHORPertemuan itu menjadi berkah untuk keluarga Shasha. Davin memfasilitasi agar mereka dapat berkumpul. Bagaimanapun, mereka belum kembali menjadi keluarga. Maka dari itu, Davin harus memberikan tempat pada Aji. Bukan lelaki itu tidak mampu dan tidak memiliki rumah, semua rumah milik Aji sudah diketahui oleh Elsa dan mamanya.“Om sebaiknya tinggal di rumahku. Untuk perusahaan, bisa mengendalikan jarak jauh. Saya akan membantu untuk menjalankannya. Akan ada dua orang yang akan saya pekerjakan untuk membantu,” tutur Davin setelah menempatkan Papa Shasha tersebut di salah satu rumahnya.“Te
“Kamu mau aku mengejar Shasha lagi?” Davin melotot.“Mau aku pukul sampai benyek?”“Hahaha … jadi, pulanglah.” Davin memutuskan sambungannya.***Meyyis***POV AuthorMalam ini, Devan akan mengadakan acara pertunangan. Sebagai putra dari pengusaha ternama yang kini menjelma menjadi pengusaha muda, momen ini menjadi berharga. Di depan rumah, para wartawan sudah siap untuk meliput. Mereka bahkan rela menunggu beberapa jam untuk dapat memperoleh berita eksklusif.“Kamu sudah siap?” Davin mengajak Shasha ke butik dan juga berdandan di salon untuk mempercantik penampilannya. Malam ini akan menjadi momen untuk Davin juga memperkenalkan sang pujaan hatinya tersebut ke public.Pertanyaan dari Davin itu hanya mendapat tatapan Shasha, karena kenyataannya wanita itu merasa sangat gugup. “Aku takut mengecewakan. Ini acara besar keluargamu. Aku &hel
“Kami akan membantu, Rara sangat membantu kami saat dirinya aktif bekerja. Katakan, Nak. Apa yang bisa kami lakukan?” Mama Eliana memeluk tangan Papa Bayu yang mulai emosi.“Pa, ingat jangan emosi.”Shasha menganga mendengar perkataan dari Eliana. Dia lupa jika Bayu tidak boleh mendapatkan tekanan.***Meyyis***POV SHASHA“Maaf, saya tidak bermaksud. Om, mama baik-baik saja,” bujukku. Sangat takut, jika gara-gara yang kukatakan Om Bayu akan masuk rumah sakit, pasti Davin akan membenciku. Padahal ruangan ini ber-AC, tapi keringatku bercucuran.“Tidak apa-apa, lebih baik papa tahu. Pa, aku akan merawatnya berikut putrinya ini, papa jangan khawatir.” Davin membelaku.“Iya, harus. Papa akan duduk dulu. Dada papa sedikit sesak.” Aku memperhatikan lelaki yang kini mengenakan jas hitam rapi, dipapah oleh istrinya yang mengenakan dres selutut
“Eh, mau ke mana?” Dia tidak peduli, tetap menarikku pergi dari kerumunan itu. Kami berlari ke parkiran untuk menaiki mobil. Entahlah, dia mau mengajakku ke mana? Aku tidak lagi protes, hanya menurut saja. Hanya sekitar seperempat jam berkendara, kami tiba di sebuah gedung. Dia mengajakku berlari lagi. Kebayang ‘kan? Aku mengenakan hak tinggi, dia mengajakku berlari. Ini sungguh diluar kendaliku. Kakiku sudah mulai perih, tapi kutahan karena memang lari bersamanya membuat hatiku jauh lebih tenang.***Meyyis***POV Davin“Maaf, saya tidak bermaksud. Om, mama baik-baik saja,” bujukku. Kelihatannya kekasihku ini sangat takut. Padahal ruangan ini ber-AC, tapi keringatnya bercucuran. Tanganku menyeka dahinya dari belakang. Dia terlihat kaget, mungkinkah melamun?.“Tidak apa-apa, lebih baik papa tahu. Pa, aku akan merawatnya berikut putrinya ini, papa jangan khawatir.” Tentu saja aku membelanya. Lagi
“Eh, mau ke mana?” tidak peduli, tetap menariknya pergi dari kerumunan itu. Kami berlari ke parkiran untuk menaiki mobil. Baguslah dia tidak lagi protes, hanya menurut saja. Hanya sekitar seperempat jam berkendara, kami tiba di sebuah gedung. Aku mengajaknya berlari lagi. Biarlah untuk saat ini, bahagia milik kami. Jika malam ini dia menolakku, akan ada malam yang lain untuk mengajaknya menikah, Shasha aku sungguh mencintaimu. Semoga, kamu sudah dapat menghilangkan traumamu. ***Meyyis*** POV SHASHA “Kenapa kamu mengajakku ke sini?” Aku bingung, Davin mengajakku ke sebuah atap. Kita berdiri tegak di sana. Namun, dengan begini aku merasa dapat melihat bintang di angkasa. Dalam hati bahagia tidak terperi memandang angkasa lepas yang sepertinya berada dalam genggamanku. “Untuk membuatmu bahagia. Dengarlah, kebahagiaan seperti ini yang selalu ingin aku berikan setiap saat.” Davin memelukku dengan erat. “Sekarang saja, aku sudah bahagia.