“Chelsea, apa yang sudah kau lakukan?”Chelsea yang baru saja bangun terkejut saat papanya mencerca dirinya.“Apa maksud, Papa?”“Ck! Kau berpura-pura tidak mengerti atau bagaimana? Kau sudah mengecewakanku karena tidak berhasil menjerat Ezra, dan sekarang kau malah berulah dengan menjebak kekasihnya! Apa kau tahu, karena ulah konyolmu itu … hampir membuat perusahaan papa bangkrut?”“Apa? Bagaimana bisa?”“Tentu saja bisa! Ezra itu memiliki kekuasaan.”“Ya, karena itulah aku ingin bersamanya.Tapi dia malah menolakku.” Chelsea mengepalkan tangannya. “Pembantu itu, aku akan memberikan pelajaran lebih dari sebelumnya.”Sementara pria yang memiliki kuasa itu sedang memikirkan alasan apa yang membuat Poppy menolaknya.Ezra mengambil gagang telepon kemudian menghubungi tangan kanannya.“Kau ke mari!”Tidak lama Kevin datang. “Ada yang harus saya lakukan, Pak?”“Kali ini cari tahu sedetail mungkin alasan apa yang membuat calon istriku diceraikan.”Ezra merasa ini ada hubungannya dengan ia ya
"Apa Anda yakin dengan informasinya?" Seren mendengus kemudian menyerahkan sebuah surat kepada Kevin. "Kau pikir aku membual? Jika tidak percaya, kau bisa mengeceknya sendiri!" Mata Kevin melebar ketika melihat hasil lab yang menjelaskan jika Poppy benar-benar positif hiv. Melihatnya jelas membuat Seren tersenyum sinis. "Kali ini kau percaya?" "Iya, Nona." "Ck! Untuk apa juga aku berbohong. Lebih baik kau beritahu atasanmu itu agar tidak tertular." "Baik, terima kasih." Kevin pamit undur diri kemudian menemui Ezra yang masih di kantor. "Mohon maaf, Pak, karena mengganggu malam-malam." "Tidak masalah selama kau membawa sebuah bukti konkret!" "Saya membawakannya untuk Anda." Kevin menyerahkan surat keterangan yang ia dapat kepada Ezra. Tidak jauh berbeda dengan reaksi yang ditunjukan Kevin tadi, Ezra pun membelalak. Setelahnya ia meremas surat tersebut. "Anda baik-baik saja, Pak?" "Kau bisa menilainya sendiri." Ya, harusnya Kevin tidak bertanya. Melihat raut waj
“Sayang, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Keenan yang penasaran dengan sesuatu mengurungkan niatnya saat Seren tiba-tiba memeluknya.“Tidak, aku hanya sedang melihat-lihat ruanganmu.”Seren mengangguk kemudian menghela napas. “Aku pikir kau merindukanku,” ujarnya manja.“Ya, bisa dikatakan begitu.” Tidak puas dengan jawaban Keenan, Seren lantas memeluk Keenan. “Aku bahkan sangat merindukanmu. Andai bisa, aku ingin terus bersamamu.”“Kita bahkan berada di tempat kerja yang sama.” Keenan melepaskan pelukannya membuat Seren menggerutu. “Malam itu, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba ada di toilet wanita.”Tercenung, Keenan kembali mengingat kejadian malam itu. “Sayang, kenapa jadi melamun seperti itu? Ada yang sedang kau pikirkan?” “Nanti siang aku ada operasi, jadi mau istirahat lebih dulu.”Keenan pergi, membuat Seren mencak-mencak. Sebenarnya Keenan ini mencintainya atau tidak? “Ck! Poppy, tidak akan kubiarkan kau hidup bahagia.” Sementara wanita yang
“Apa ini benar?”Poppy menatap hasil pemeriksaan dengan tatapan nanar. “Tentu saja, Anda bisa melihatnya sendiri jika dari tiga alat ini semuanya negatif.”“Tapi … bagaimana bisa?” Mata Poppy mulai berkaca-kaca. Sungguh, ia tidak menyangka jika ternyata ia negatif hiv. Lantas, bagaimana dengan keterangan yang dibawa Keenan?“Sudahlah, apa lagi yang membuatmu ragu? Kau harusnya senang karena ternyata ketakutanmu tidak terjadi!”Tanpa Ezra kira, Poppy langsung memeluknya. Wanita itu menumpahkan tangis harusnya di pelukan sang mantan kekasih. “Ezra, aku sehat.” Ezra tersenyum lalu membalas pelukan Poppy. Pria itu tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan langkah seperti ini. Karenanya, ia melirik ke arah dokter yang menangani Poppy.“Tentu saja kau sehat,” balas Ezra setelah mereka hanya berdua.“Aku benar-benar tidak menyangka!” “Ya, aku juga cukup surprise dengan hasilnya. Meski sebenarnya, tidak masalah andai kau benar-benar positif. Tapi jika begini … sepertinya kau tidak akan la
“Hari ini aku benar-benar lelah.” Ezra menyandarkan punggungnya dengan kaki yang naikan pada meja. “Itu sudah menjadi resiko, Ezra.”“Ya, aku tahu. Dan aku melakukannya ini semua untukmu.” Pria itu menoleh ke arah Poppy yang langsung mengangkat satu alisnya.“Maksudmu apa? Aku bahkan tidak memintamu melakukan ini semua.” Segera Ezra menegakkan tubuhnya. Ia menatap Poppy serius. “Aku tidak tahu harus ber bersyukur atau bersedih karena kau mencampakkanku, Poppy.” Poppy semakin heran. “Maksudmu?” “Saat itu aku pikir kau memilih pria perebut itu karena lebih kaya dariku. Makanya aku bekerja sangat keras untuk bisa mencapai kesuksesan ini. Aku … ingin menunjukan padamu kalau aku bisa lebih kaya dari pria perebut itu. Sehingga kau akan menyesal karena sudah mencampakkanku.” Pria itu terkekeh kecil–menertawakan diri sendiri karena sudah berpikir terlalu jauh. Karena pada kenyataannya, Poppy memiliki alasan yang kuat.Mengetahui kenyataannya ini cukup membuat Poppy kaget. “Aku tidak m
“Jadi karena tidak memiliki penerus, kau diperintahkan untuk memegang perusahaan yang hampir bangkrut?” Ezra mengangguk. “Ya, dan berkat kau … aku berhasil membuat perusahaan menjadi sebesar sekarang.”Tanpa sadar Poppy mengelus ujung kepala Ezra. “Kerja yang bagus, Ezra.”Ezra yang terenyuh, kemudian menatap Poppy haru. “Kau bangga padaku?” Poppy mengangguk. “Tentu saja! Kau sudah bekerja keras.”Semakin senang saja pria itu!“Kau juga sudah melakukan yang terbaik, Poppy. Saat itu … apa kau tidak berat meninggalkanku?”“Tentu saja! Aku bimbang saat itu. Hanya saja … kesehatan ibu menjadi prioritasku. Meski pada akhirnya ibu tetap pergi meninggalkanku.” Raut wajah Poppy berubah sendu. “Tidak apa, ibu pasti bangga padamu.” Ezra menarik Poppy ke pelukannya. “Aku juga bangga padamu. Meski … pada akhirnya harus kecewa karena kau malah jatuh cinta kepada pria perebut itu!” “Bagaimana tidak, dia … pria yang baik.”Pelukan langsung dilepas. Ezra menatap Poppy tajam.“Kau … apa tidak ma
"Coba jelaskan, Ezra! Kenapa hanya diam saja?"Poppy melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Ezra yang membuang muka dengan tajam."Ezra!" Wanita itu kembali menegur karena Ezra tidak kunjung menjawab pertanyaannya.Habis sudah kesabaran Poppy. Ia memilih pergi begitu saja."Poppy, kau mau ke mana?" Ezra segera menyusul dan menahan Poppy. "Lepaskan aku, Ezra!" Dengan kasar Poppy menepis tangan Ezra. Sayangnya Ezra terlalu kuat menahan. Sehingga usaha Poppy hanya sia-sia.Pria itu menggeleng. "Tidak, aku tidak akan melepaskanmu! Aku bahkan kesulitan mendapatkanmu. Untuk apa aku menyia-nyiakan kesempatan?""Kau bahkan sudah menyia-nyiakan kesempatan itu, Ezra!" balas Poppy sambil menatap mantan kekasihnya dengan sengit."Poppy ...." "Katakan yang sejujurnya, Ezra, jika malam itu ... kita tidak melakukan apapun." Karena terdesak dengan sikap Poppy yang keras, akhirnya pria itu membenarkan. "Kau benar, pada malam itu ... tidak ada yang terjadi di antara kita."Tentu saja Po
Perlahan Poppy membuka matanya. Wanita itu terhenyak saat menyadari jika dirinya sedang berada di tempat asing. "Aku di mana?" Ia memegang kepalanya yang terasa sakit. Mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi yang ia ingat hanya saat menunggu Ezra yang sedang membeli minum. Hingga tiba-tiba seorang pria masuk ke ruangan yang terasa pengap. Pria itu menyerangai saat melihat Poppy yang sudah sadarkan diri. "Ternyata kau sudah bangun," ujar si penculik membuat Poppy ketakutan. "Siapa kau sebenarnya?" Poppy beringsut saat si penculik mendekati. "Aku? Aku hanya pria yang mendapatkan amanat untuk menculikmu." Seringai itu begitu mengerikan. Dalam keadaan begini, hanya Ezra yang Poppy harapkan untuk datang. "Siapa yang menyuruhmu?" "Rahasia! Kau tidak perlu mengetahuinya." Semakin penasaran saja Poppy, tetapi untuk saat ini ia hanya ingin terbebas. "Berapa orang itu membayarmu?" tanyanya ragu. Si penculi tampak minat dengan pertanyaan Poppy. "Harga yang sangat mahal! Kau tidak
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t