“Baby, apa ada yang kau inginkan?” tanya Ezra setelah tiba di apartemen. Sementara Belinda memilih untuk pulang. “Tidak, aku hanya ingin tidur saja.”“Baiklah, kau memang harus banyak istirahat sekarang.” Ezra lantas membuka pintu kamar lalu mengajak Poppy untuk masuk. “Aku akan tiduran di sofa,” ujarnya lantas merebahkan diri di sofa.Namun, pria itu kembali bangkit kala melihat Poppy yang malah berdiri di ambang pintu. “Baby, kau bilang ingin istirahat. Lalu kenapa malah berdiam di sana?” “Aku memang ingin istirahat, tapi tidak bersamamu!” jawab Poppy ketus. Mengerjap pelan, Ezra dibuat bingung. Pasalnya ia sudah tiduran di sofa, yang artinya tidak akan tidur bersama Poppy. Lantas, salahnya di mana?“Baby, apa maksudmu?” tanya Ezra kebingungan. “Kau jangan tidur di kamar ini! Aku tidak ingin satu ruangan denganmu.”Tentu saja hal itu membuat Ezra terkejut. Pria itu melongo menatap sang istri dengan tidak percaya.“Baby, kau bahkan tahu jika apartemen ini tidak memiliki kamar la
Poppy yang sudah siap dengan bekal makan siangnya pun segera berangkat. Dengan menggunakan taksi, wanita itu tiba di perusahaan Ezra. Ia berjalan dengan santai melewati para karyawan di lobby yang menyapanya. Namun, lebih banyak dari mereka yang menatap Poppy dengan heran. Hanya saja, wanita itu memilih untuk membiarkan saja karena bagi Poppy sudah terbiasa. "Poppy!" panggil Rexi begitu melihat temannya itu.Sontak Poppy menoleh lalu melambaikan tangan. Wanita itu tersenyum lebar saat melihat Rexi berlari ke arahnya.Tentu saja pemandangan tersebut menjadi omongan orang-orang karena Rexi yang bersikap akrab kepada istri dari bos mereka. "Rexi, aku merindukanmu." Poppy memeluk Rexi yang langsung disambut dengan hangat oleh wanita itu. "Aku juga sangat merindukanmu!"Setelah puas berpelukan, mereka saling mengurai pelukan. Rexi menatap Poppy dengan heran, sehingga wanita itu memberanikan diri untuk bertanya."Poppy, maafkan aku jika lancang." "Maksudmu?" "Bukankah kau akan lama be
Ezra mengembuskan napasnya dengan kasar. Lalu menguar rambutnya ke belakang.Pria itu tidak mengira jika Poppy akan mengetahui kebohongannya. Padahal baru satu kali ia berbohong, tetapi sudah apes! "Baby." Ezra mendekat, tetapi Poppy menahannya."Stop, jangan mendekat! Jelaskan dulu apa yang terjadi."Langkah Ezra langsung terhenti. Pria itu menatap Poppy dengan sendu. "Tidak ada yang terjadi, Baby." "Lalu kenapa kau membohongiku?" "Itu karena ...." Ezra belum mampu menjelaskannya. Sehingga memilih menggantungkan ucapannya begitu saja, membuat Poppy semakin penasaran."Apa sulitnya berkata jujur! Kau dari mana?" tanya Poppy masih mendesak Ezra untuk berkata jujur.Sayangnya Ezra memilih bungkam seribu bahasa. Karena itu Poppy semakin kesal."Aku tidak ingin bicara denganmu, sebelum kau berkata dengan jujur!" cetus Poppy lantas turun dari ranjang.Wanita itu melewati Ezra begitu saja lalu masuk ke kamar mandi.Dapat Ezra dengar gemercik air yang membahasi lantai. Sepertinya sang ist
Ezra mengusap wajahnya dengan kasar. Pria itu dibuat pening dengan Poppy yang tiba-tiba keras kepala. Padahal istrinya itu sangat manis sebelumnya.Ini benar-benar menyebalkan! Apakah bayi yang dikandung Poppy akan menuruni sikap keras kepala Ezra? Sepertinya begitu.Hanya saja kali ini Ezra tidak mempedulikan itu. Ia harus menyusul Poppy yang kabur dari apartemen! "Baby, kau benar-benar menguji kesabaranku."Sebenarnya bisa saja Ezra menarik Poppy agar kembali ke rumah, atau sekedar mencegah dengan menahan wanita itu. Hanya saja Poppy sedang anti dengannya, yang membuat Ezra harus menjaga jarak.Karena itulah, sekarang Ezra tengah mengikuti ke manapun wanita itu pergi. Poppy tahu jika sang suami sedang mengikutinya, hanya saja wanita itu bersikap tak acuh. Ia masuk ke sebuah pusat pembelanjaan, tetapi tidak belanja sama sekali. Ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Ezra sudah berbohong padanya.Setelah cukup, Poppy lantas masuk ke restoran cepat saji. Perutnya yang tidak
Poppy masih terus menangis sambil berdoa agar Ezra yang berada di dalam sana baik-baik. Andai terjadi sesuatu kepada Ezra, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Sangat lama Poppy di sana seorang diri karena ia tidak dapat berpikir jernih untuk memberitahu Belinda. Hanya saja … wanita tua itu entah tahu dari mana, karena tahu-tahu kini sudah berada di sana.Iya, Belinda yang khawatir berlari menghampiri Poppy begitu tiba di rumah sakit. Wanita paruh baya itu menyentuh pudak rapuh Poppy yang sedang berjongkok, lantaran kakinya begitu lemas. “Poppy, bangunlah.” Sontak Poppy yang sedang memeluk lututnya pun mendongak. Sehingga dapat Belinda lihat jika sang cucu menantu sedang menangisi keadaan Ezra. Wajah Poppy begitu pucat dengan lelehan air mata yang tidak mengering. Sungguh, Belinda tidak tega melihatnya. Meski dirinya pun merasakan apa yang dirasakan oleh Poppy.“Nenek ….” Poppy memanggil Belinda dengan suara lirih juga terbata. Meski begitu, Belinda masih bisa mengerti ucapan
“Poppy, sebaiknya kau istirahat.” Belinda nampak khawatir karena semalaman wanita itu tidak tidur. Dengan pelan Poppy menggeleng. “Aku tidak mengantuk, Nek.” Bagaimana bisa wanita itu tidur, sedangkan suaminya masih terbaring lemah tidak berdaya?Iya, setelah tadi malam dokter mengatakan jika Ezra sudah membaik, Poppy masih belum bisa tenang. Padahal Ezra sudah dipindahkan ke ruang perawatan, dan tinggal menunggu sadar. Hanya saja wanita itu takut, andai ia ketiduran dan Ezra tiba-tiba saja bangun.Mendesah pelan, Belinda menatap Poppy dengan iba. Wanita tua itu paham apa yang dirasakan Poppy. Namun masalahnya, sekarang Poppy sedang dalam keadaan mengandung. Yang artinya membutuhkan banyak istirahat!“Setidaknya pikirkan janin dalam kandunganmu, Poppy. Andai terjadi sesuatu, apakah Ezra akan senang dengan itu?” Jelas pertanyaan Belinda barusan membuat Poppy sedikit terpengaruh. Wanita itu mendesah lantas mengangguk. “Aku akan tidur sebentar, Nek.” “Iya, Poppy.” Bukannya tidur
Poppy yang sudah panik berniat memanggil dokter, tetapi sebelum itu terjadi Ezra sudah lebih dulu menahan tangannya. Sehingga Poppy urung melakukannya. "Ada apa? Aku harus memanggil dokter!" Wajah Poppy sudah merah dengan linangan air mata yang menganak sungai. Tentu hal itu membuat Ezra jadi iba, tetapi tadi memang dadanya berdebar. Meski alasannya bukan karena ia yang sakit, tetapi karena Poppy menciumnya! Ezra menarik Poppy sedikit keras, sehingga wanita itu menjadi duduk yang langsung dipeluk Ezra. Ezra mendekap tubuh ringkih yang terasa bergetar itu sambil mengusap punggungnya."Aku baik-baik saja, Baby. Kau jangan mengkhawatirkan aku!""Tapi tadi---" Cup! Poppy yang berniat membalas ucapan Ezra sambil mendongak malah dibungkam oleh kecupan Ezra. Sehingga membuatnya mengerjap beberapa kali, menatap Ezra yang tersenyum ke arahnya dengan tulus. "Dadaku memang berdebar, tapi ini tidak menyakitkan! Selama kau berada di dekatku, aku akan baik-baik saja.""Benarkah?" tanya Poppy
"Poppy, kau harus banyak makan! Kasian calon anakmu karena kekurangan nutrisi, apalagi kau tidak makan sejak kemarin." Belinda mewanti-wanti membuat Poppy yang sedang membujuk Ezra untuk makan pun menoleh. "Tapi, Ezra---" "Biarkan saja anak itu! Ezra sudah besar, dia tahu apa yang terbaik untuknya," cetus Belinda membuat Ezra mendelik sebal.Pria itu memang sedang aksi mogok makan. Hal itu karena ia merajuk ingin disuapi oleh Poppy. Sayangnya Poppy yang sudah kembali pada mode tidak ingin dekat-dekat dengan Ezra pun kesulitan. Sehingga wanita itu mencoba membujuk Ezra agar mau makan, yang membuatnya melupakan isi perutnya sendiri!"Nenek, kau tega sekali! Padahal aku hanya ingin dimanja oleh istriku," keluh Ezra layaknya anak kecil.Memang setelah Poppy mengetahui penyakitnya, Ezra jadi lebih terang-terangan dalam segala hal. Poppy terkekeh lalu berkata, "Honey, sabarlah. Nanti jika aku sudah tidak begini, pasti kau kumanja lagi!" Mendesah pelan, Ezra akhirnya mengambil makannya
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t