Ivy tak menyangka, jika hidupnya yang biasa saja, walaupun penuh kesusahan akan berakhir dengan penyimpangan.Tak pernah terlintas dalam pikiran sekali pun, membiarkan tubuhnya menjadi objek seksual seorang pria, tapi melihat wajah Daniel yang penuh hasrat, membangkitkan sisi liar dalam diri Ivy.Dia hanya manusia normal, yang tak lepas dari jerat nafsu. Dan pria tampan ini menginginkannya, membutuhkan bantuannya. Ivy melupakan semua sakit hatinya, bertahan dalam jerat bernama pernikahan.Ivy sudah bersumpah setia dalam janji pernikahan. Hal sakral yang seharusnya membuatnya bertahan meskipun sulit. Ia gadis tulus, selalu berkorban untuk orang lain dan menjadi people pleaser selama ini. Selama dibutuhkan, selama seseorang menginginkannya, Ivy akan berjuang.Menyedihkan memang, tapi begitulah yang dipelajari gadis malang itu. Tumbuh tanpa orang tua dan dukungan, membuat selalu menekan perasaannya sendiri.Mungkin ini juga yang dilihat Daniel pada dirinya. Mereka sama-sama kesepian, tum
"Hah! Mengotori tanganku saja." Daniel mendesah kesal, mengibaskan tangannya yang terkena darah Kevin."Biarkan aku yang menanganinya." Suara Christ terdengar dingin. Ia menjambak rambut Kevin, mengekspos leher pria itu. "Haruskah kita potong lidahnya?" Matanya beralih menatap Daniel. "Supaya dia tak bisa berbicara lagi."Daniel tertawa kecil, membuat bulu kuduk Ivy merinding ketakutan, tawa penuh dengan cemooh. "Jangan dulu, aku tak mengerti kenapa Ivyku yang manis bisa jatuh hati dengan sampah modelan begini.""Kau yang sampah!" teriak Kevin, meski kondisinya menyedihkan, dia masih berusaha mempertahankan ego. Darah mengalir dari hidungnya yang terluka, mengotori bagian depan bajunya."Kau kira Ivy-ku yang manis akan percaya dengan kata-katamu, setelah apa yang kau lakukan padanya?"Kevin menggertakkan gigi. "Aku mengenalnya lebih lama, dia pasti percaya padaku. Ivy pasti masih mencintaiku!""Cinta? Jangan membuatku tertawa, Kevin." Daniel menepuk pipi Kevin main-main. "Ivy sudah me
Jika dia tak muntah, apa kebohongan Daniel tetap berlanjut? Ivy menggigit bibirnya hingga terluka. Vitamin yang dia minum jelas mengandung obat tidur. Sekarang, bagaimana caranya dia melarikan diri? Daniel tak benar-benar mencintainya, suatu hari ketika dia bosan, pria itu akan membuang Ivy, berselingkuh dengan wanita lain. Ivy tak sanggup sakit hati lagi.Jika sekarang Ivy menunjukkan bahwa ia tahu, Daniel pasti menggunakan cara lain menjebak simpatinya lagi. Tidak! Ivy tak ingin jatuh semakin dalam. Ia memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Mencintai Daniel adalah kesalahan. Dia harus mematikan perasaan ini. Ivy terduduk di tempat tidur, kepalanya berdenyut menyakitkan."Kau ingin menaklukkanku, tidak ... aku yang akan membuatmu jatuh cinta padaku, lalu ... aku akan meninggalkanmu," gumam Ivy.Hari-hari berlanjut seperti biasa, tak ada perubahan dalam sikap maupun pelayanan Ivy. Malah wanita cantik itu semakin perhatian. Mansion yang selama ini dingin dan sepi, terasa lebih hidup
Suasana taman bermain itu tampak cerah dengan orang-orang yang menikmati hari mereka. Namun, bagi Daniel, ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupnya. "Ivy!" teriaknya, suaranya menggema di antara riuhnya taman. Ia berlari dari satu permainan ke permainan lainnya, matanya menatap sekeliling dengan gelisah. "Ivy! Di mana kau?"Rasa panik mulai merayapi dirinya. Biasanya, Ivy selalu ada di dekatnya, selalu mematuhi segala permintaannya—tapi kali ini, dia hilang tanpa jejak.Daniel berhenti sejenak, mencoba untuk menarik napas. Memeriksa sekali lagi ke seluruh area taman. Lalu, dengan kecepatan yang semakin meningkat, dia melangkah menyusuri jalan setapak di taman, berbicara dengan beberapa orang yang terlihat ada di sekitar, bertanya apakah mereka melihat istrinya."Kau lihat gadis dengan pakaian warna gelap, tinggi segini ...." Rata-rata menjawab dengan gelengan.Setiap detik terasa seperti selamanya, dan ketakutan mulai meresap. “Jangan bilang dia pergi ... jangan bilang dia .
Ivy mundur menjauh, menatap wajah Christian lamat-lamat. Pria itu tersenyum kecil, menegakkan tubuh dan berdeham."Christ, aku tak sebaik itu ...."Christian mengangguk, seolah mengiyakan, tapi Ivy bisa melihat ketidaksetujuan di bola mata pria itu."Aku juga, tak sebaik kelihatannya." Christian menghela napas. "Ah, kita harus berangkat sekarang Nyonya.""Ok." Ivy berjalan cepat demi mengusir rasa canggungnya.Keduanya tiba di mansion Forrester, Daniel sudah menunggu di sana."Bagaimana harimu?" Daniel menarik Ivy dengan sikap posesif. Matanya menyelidik, menerka apa yang ada di pikiran Christian.Pria itu menunduk, menyembunyikan ekspresinya. "Kalau begitu saya permisi dulu.""Christ!""Ya, Tuan." Christian menunggu dengan patuh."Lain kali, kau tak perlu mengantar Ivy pergi berbelanja lagi."Ivy menatap suaminya heran. "A-aku tak boleh keluar lagi?" tanyanya cemas, jika begitu, semua rencananya selama ini akan sia-sia."Bukan, Sayang. Kau bisa berbelanja sendiri sekarang." Daniel me
Ivy terkesiap mendengar pernyataan Daniel. Gerakannya berhenti tiba-tiba. Kemarahan merosot naik. Kenapa sampai akhir pria ini berusaha menipunya. Dia memberi tekanan pada leher Daniel, semakin kuat bersama emosi yang campur aduk."Ukh!" Tubuh Daniel mengejang, paru-parunya membutuhkan udara.Suara gemerincing rantai terdengar nyaring saat refleks kedua tangan Daniel memberontak.Ivy sudah gelap mata, kebencian menguasai hati gadis itu. Sampai akhirnya Daniel mencapai klimaks, menyemburkan benih ke dalam tubuh Ivy dan membuatnya terkesiap. Barulah cengkeraman Ivy mengendur.Daniel batuk-batuk hebat. Ia bukannya marah malah tertawa parau. "Ah, jadi begini rasanya.""Kau tak takut?" tanya Ivy tak percaya.Daniel menggeleng kuat. "Aku pernah hampir mati beberapa kali, sama sekali tak membuatku takut.".Ivy menarik dirinya, berbaring di samping Daniel. "Lalu ... apa yang kau takutkan?""Kau." Daniel merengkuh tubuh Ivy."Jangan bercanda.""Aku serius, Iv. Aku takut kau pergi dari hidupku?
Ivy melangkah ke depan cermin besar di walk in closet, memastikan penampilannya sempurna. Riasannya sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai dengan lembut, dan ia mengenakan gaun hitam yang selama ini selalu disukai Daniel. Ia menatap dirinya sejenak, lalu menarik napas panjang. Ini adalah langkah pertama dalam rencana yang telah disiapkannya. Hari ini, aku akan pergi, batinnya.Setelah puas mematut diri, Ivy berjalan ke kamar di basement. Menatap wajah tampan Daniel yang tengah tertidur lelap di ranjang. Pria itu terlihat damai saat tidur. Jemari Ivy terulur, hendak menyentuh suaminya, tapi Ivy menarik diri seketika.Tidak! Dia tak ingin membangunkan Daniel. Ivy menggertakkan gigi, ia berbalik cepat dan kembali ke lantai atas.Jenna sudah menunggunya saat pintu dibuka. "Aku akan pergi membeli barang sebentar, jika Tuan bangun, sarapannya dipanaskan saja.""Baik, Nyonya. Saya akan memanggil sopir."Ivy mengangguk pelan. Tak berapa lama kemudian sopir sudah menyiapkan mobil, menunggu I
Ivy duduk di meja kecil di sudut cafe sederhana. Dinding-dinding kayu yang lapuk, meja-kursi yang terbuat dari bahan tua, serta lampu-lampu temaram memberikan nuansa hangat, meskipun cuaca di luar desa ini dingin dan mendung. Cafe ini adalah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar dan kehidupan glamor yang dulu ia jalani. Di sini, ia merasa tenang, jauh dari semua orang yang mengejarnya.Ia bekerja sebagai pelayan di cafe kecil yang terletak di sudut desa, menyajikan secangkir kopi atau teh kepada pelanggan yang datang, sebagian besar warga desa yang sudah lanjut usia. Terkadang, ia melihat mata mereka yang penuh perhatian, dan beberapa dari mereka bahkan memandangnya dengan kasihan. Namun, Ivy sudah terbiasa. Ia tidak lagi peduli dengan pandangan orang."Ivy, bawa ke meja delapan," panggil Joana—pemilik cafe kecil ini."Baik, Bos." Ivy bergegas membawa secangkir teh pada nyonya tua yang datang setiap sore."Selamat menikmati tehmu, Mrs. Anne.""Oh, Ivy. Terima kasih."Ivy membal
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen
Ivy membekap mulutnya tak percaya, antara lega dan takjub. Daniel berhasil menahan serangan pria itu dan malah membalikkan serangan dengan memuntir lengan si pria hingga menusuk dirinya sendiri.Temannya tak tinggal diam, ia langsung menyerang Daniel menggunakan pisau dapur."Daniel awas!" teriak Ivy histeris.Satu hal yang mereka tak tahu, Daniel bukan orang sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya dunia hitam hingga mempelajari banyak jenis beladiri.Buk! Prak!Pria satunya lagi terkapar di lantai dengan tangan kanan patah. Keduanya mengaduh kesakitan.Daniel berjongkok, menjambak rambut pria yang ia patahkan lengannya. "Siapa yang menyuruhmu?"Pria itu membungkam mulutnya, tapi matanya jelas memperlihatkan ketakutan mencekam."Oh, jadi kau memilih mati daripada berbicara?" Dengan kasar, Daniel mengambil pisau dan menggores lengan pria itu.Si pria mengerang semakin keras. "Le-lepaskan kami! Kami hanya orang suruhan!" Keningnya sudah banjir oleh keringat."Siapa yang menyuruh
Ivy menarik napas panjang saat ia membuka pintu rumah kecilnya. Bau kayu tua dan aroma lavender dari lilin yang biasa ia nyalakan menyambutnya. Hari ini, ia siap menghadapi kebenaran. Ya! Semua tentang Christian dan Nicolas. Bagaimana mereka bisa saling mengenal, bagaimana Christian tahu Nicolas meracuninya.Ia meletakkan recorder di atas meja, menyalakan lampu ruang tamu yang remang, dan mulai berjalan ke dapur untuk mengambil air. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari luar jendela—seperti langkah berat, diseret.Tok! Tok! Tok!Ketukan keras mengentak pintu depan. Ivy mendekat, jantungnya mulai berdebar tak karuan. Sebelum sempat bertanya siapa di balik pintu, suara keras menghantam kayu, pintu didobrak paksa.“Apa yang—?!”Dua pria bertubuh besar berpakaian gelap masuk dengan cepat. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka langsung merusak isi rumah. Vas hancur, lampu terlempar ke lantai, dan recorder jatuh ke lantai, ditendang ke dinding sampai hancur.Ivy m
Amy duduk anggun di ruang baca pribadi miliknya, lampu gantung kristal memantulkan cahaya temaram ke rambutnya yang ditata rapi. Di tangannya, secangkir teh melati menghangatkan jemari. Pintu diketuk pelan, lalu seorang pria bersetelan gelap masuk membawa amplop cokelat tebal.“Saya membawa kabar terbaru, Nyonya.”Amy menaruh cangkirnya ke atas meja kecil, mengambil amplop itu dengan anggun, sorot matanya tajam penuh ekspektasi. Ia membuka perlahan dan menarik beberapa lembar foto.Satu per satu, foto-foto itu ia amati. Wajahnya datar, sampai matanya menangkap gambar Christian—berdiri di depan gerbang sebuah kompleks sederhana, mengenakan pakaian kasual. Beberapa foto lain memperlihatkannya keluar dari rumah kecil yang tampak akrab bagi Amy.Tatapannya membeku saat melihat Ivy muncul di foto berikutnya. Rambut Ivy terikat rapi, wajahnya pucat, tapi tetap terlihat memesona. Ia menggendong seorang bayi dan berdiri di depan rumah itu bersama Christian.Senyum tipis mulai membentuk di bib
Daniel terbangun dengan sakit kepala kuat, ia terkejut menyadari seseorang berada di sampingnya.Wanita itu meringkuk tak berdaya, kedua pergelangan tangannya lebam, begitu juga dengan sudut bibir yang pecah dan rambut berantakan."Siapa kau?" tanyanya heran. Sama sekali tak mengingat apa yang telah dia lakukan semalam, tangan Daniel terulur hendak menyentuhnya. Wajah wanita itu tampak familier.Si wanita menangis histeris, menggeleng kuat ketakutan."Fuck!" Daniel memaki kesal. Christian membawanya ke sini dan dia lagi lagi lepas kontrol. Ah! Kebiasaan buruknya sepertinya kembali lagi."Ivy ...," lirihnya galau.Daniel meraih bajunya buru-buru, ia membuka pintu ruang VIP itu. Anak buahnya menunggu sigap."Urus semuanya!" perintah Daniel, berjalan cepat menuju pintu keluar."Baik, Bos." Salah satu anak buahnya masuk ke dalam kamar, melemparkan uang pada wanita itu dan beranjak pergi."Mana Christ?" tanya Daniel setelah masuk ke dalam mobilnya. "Tuan Christ sudah menunggu di mansion."
Lampu-lampu neon kelab malam berpendar liar dalam bayangan gelap ruangan. Musik mengentak telinga, aroma alkohol dan parfum mahal memenuhi udara. Daniel duduk di sofa VIP, dasi longgar tergantung di leher, matanya setengah tertutup karena pengaruh alkohol.Christian duduk di seberangnya, gelas wine di tangan. Tatapannya santai, menilik pada gadis-gadis seksi yang tengah menari liar. “Kau butuh melepaskan semua itu dari pikiranmu, Tuan” ujarnya, mengisyaratkan pada pelayan untuk menuangkan lagi minuman.Daniel menghela napas berat. “Aku kehilangan Ivy, Christ. Tak ada yang lebih buruk dari itu.” Gelasnya sudah kosong, entah sudah ke berapa kali di menambah minuman keras itu.“Tuan, kau dulu tak peduli pada hal begini. Wanita bagimu hanya objek. Mereka bisa datang dan pergi, ucap Christian. Benar! Jika itu dirinya yang dulu, Daniel mungkin tak akan terpuruk begini. Ivy sudah pernah lari darinya, bukan tak mungkin dia memang sengaja menghilang lagi. Apa Nicolas berhasil meluluhkan hati
Di ruang bawah tanah mansion Forrester, cahaya lampu redup berpendar pucat. Udara lembap dan bau keringat bercampur darah memenuhi ruangan. Di tengahnya, Daniel berdiri dengan wajah garang, kemejanya kusut, dan tangan kanannya masih berlumur darah.Seorang anak buahnya tergeletak di lantai, tubuhnya memar dan berdarah. Dua orang lainnya berlutut di sudut ruangan, gemetar ketakutan.“Dua bulan,” desis Daniel, suaranya tenang, dingin. “Sudah dua bulan kalian mencari ... dan tak satu pun dari kalian bisa membawanya kembali!”“Tu-tuan Forrester, kami—”Buk!Daniel memukul anak buahnya sekuat tenaga sampai pria itu muntah darah. "Sialan! Kalian sama sekali tidak becus!"Buk!Sebuah tendangan keras menghantam pria itu, membuatnya jatuh dengan teriakan parau. Daniel mencengkeram kerah bajunya, menariknya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.“Ivy adalah milikku,” ucap Daniel, matanya merah penuh amarah. “Kalau kalian tak bisa menemukannya, maka kalian tak layak hidup!”Anak buah lain menc
Amy duduk di balkon kamar, angin sore meniup lembut gaun hamilnya. Wajahnya lelah, tapi matanya masih menyimpan api ambisi yang belum padam. Di hadapannya, Christian berdiri dengan tangan menyelip di saku celana, ekspresinya datar, penuh perhitungan.“Aku ingin kau menjauhkan Ivy dari Daniel,” ujar Amy pelan. “Aku tak peduli bagaimana caranya. Asal mereka tak pernah bertemu lagi.”Christian memiringkan kepala. “Dan jika aku menolak?”Amy menatapnya tajam. “Aku tahu cukup banyak rahasiamu untuk menghancurkan kredibilitasmu di depan Daniel.”Christian tertawa pelan, tak terintimidasi. “Baiklah. Aku akan urus.”Namun saat ia meninggalkan balkon itu, senyumnya berubah samar. Bukan Ivy yang harus dijauhkan, tapi kenyataan yang harus dihadapi Daniel.***Beberapa hari kemudian, Daniel tengah berjalan bersama Amy di sebuah toko bayi ternama. Amy memaksa Daniel menemaninya memilih pakaian dan perlengkapan bayi. Meski enggan, Daniel menuruti demi menjaga ketenangan.Amy tengah sibuk memilih pa
"Tidak ada! Dia tak ada di manapun! Ayah aku harus bagaimana?" Nicolas terpuruk di tengah jalan, tak tahu harus mencari di mana. Mr. Jacob menghela napas keras. "Christian pasti sudah membawanya. Sekarang kita datangi Mr. Sean."Nicolas merasa separuh jiwanya telah hilang, dia tampak linglung."Ayo, Nak. Kita harus merebut kembali menantu dan cucuku, apa pun yang terjadi." Mr. Jacob menarik putranya bangkit, menyeretnya ke mobil. Mereka lalu melaju menuju tempat tinggal Mr. Sean.Sean tak menyangka bakal mendapat tamu tak diundang. Kedua pria itu masuk ke dalam ruangannya dengan wajah muram, terutama Nicolas."Ada apa? Kenapa wajah kalian begitu? Apa obatnya tak berefek?"Mr. Jacob mendesah sambil memijit pelipisnya. "Justru obat itu berhasil. Hanya saja, hari ini menantuku sudah kabur dibawa orang.""Oh." Alis Mr. Sean terangkat tinggi. Ia menangkupkan tangan di atas meja kerjanya. "Kau yakin menantumu tak melarikan diri sendiri?""Ceritakan apa yang Ivy katakan padamu, Nic." Mr. Ja