Wajah Camellia sedikit bersemu begitu kata tersebut keluar dari mulutnya. Dengan kepala beralih pandangan, gadis itu menghindari kontak mata.
Hagen yang saat itu berada di depan pintu seakan mematung, tidak yakin dengan pendengarannya barusan. Namun, mendapati Camellia yang sedikit tersipu, sudut bibirnya pun berkedut.
“Aku keluar untuk mencari sarapan,” ujar Hagen yang semakin membuat pipi gadis itu memerah, tetapi tidak sedikit pun dia merasa bersalah, karena itu merupakan pemandangan yang langka. Sehingga dia pun menikmati wajah rupawan itu berubah gradasi warna.
Agar tidak menimbulkan kecanggungan, Hagen pun bertanya; “Apa kau mau bubur?”
Sebisa mungkin dia mencairkan suasana dengan nada bicara yang hati-hati. Hagen tidak ingin Camellia merasa tidak nyaman berada di sekitarnya.
“Ti-tidak,” jawab gadis itu, masih dengan gesture enggan melihat.
Dengan senyum memaklumi, Hagen memutuskan untuk pergi saat i
Camellia baru saja keluar dari toilet ketika tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh kehadiran sosok pria di salah satu kursi, tepat di sebelah ranjang perawatan.Nyaris saja gadis itu berteriak, namun bibirnya bungkam begitu menyadari siapa yang duduk di sana.“Paman,” bisik Camellia dengan kaki berdiri gelisah.Sosok laki-laki yang baru saja dipanggil itu pun menoleh dari ponsel yang sedang dimainkan dalam genggaman.Kepala pria berusia tiga puluh lima tahun itu terangkat sedikit, dan matanya pun menatap lurus ke depan. Pada Camellia yang membeku di depan pintu kamar mandi dengan gaun rumah sakit masih membalut tubuh.“Aku mendengar kau dirawat,” ucap pria itu, tidak sedikit pun berniat berdiri dari kursi un
Saat turun dari mobil, Blake Hagen memperlakukan Camellia dengan hati-hati, terutama pada langkah gadis itu yang seolah tidak lagi menapak tanah.Ada begitu banyak kesedihan yang bermain di wajah rupawannya, seolah-olah dunia baru saja runtuh. Sehingga Hagen pun berusaha untuk tidak mengatakan sesuatu, atau melakukan hal-hal yang dapat menyentuh perasaan sensitif gadis itu.“Kau tinggal sendirian di rumah ini, apa kau yakin akan tetap di sini? Aku bisa saja menyuruh seseorang untuk menemani,” ujar Hagen yang saat itu berjalan tepat di belakang Camellia.Mendengar usulan tersebut, Camellia pun berhenti sejenak. Dia melihat pria itu melalui baju, dan tidak ada sedikit pun senyuman di sana.“Kau memang sudah banyak membantu, tapi bukan berarti aku membiarkanmu unt
Bibir Edric menipis begitu dia mendengar cara Hagen memanggilnya, seolah-olah pria itu enggan menyebutkan kata Winston yang tersemat di belakang namanya.Namun, sebisa mungkin pria itu mengabaikan dan mempersilahkan Hagen masuk ke dalam kediaman Winston yang sudah lama tidak ditempati. Akan tetapi, setelah skandal perselingkuhan keluarga Duncan, Amanda beserta beberapa orang yang berkaitan dengan wanita itu pun kembali lagi ke sana.Namun, tidak semua orang tahu akan hal tersebut. Karena itu mereka pun menutup mulut setiap orang, dan meminta media untuk diam.Bahkan, Camellia juga tidak mengetahui akan hal ini.Gadis itu layaknya anak terbuang yang dibiarkan hidup terlunta-lunta tanpa arah.Mengingat hal itu, tangan Hagen yang
Camellia menyeruput milk shakenya dengan sangat malas. Gadis itu bahkan tampak termenung dengan mata kosong yang memandang ke arah dinding.Sesekali dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan, layaknya orang yang lelah.Setelah sekian lama, gadis itu pun menyandarkan punggung pada kursi, sedangkan matanya mulai mengawasi pengunjung di sekitar.Tampaknya Lancester sangat padat oleh pengunjung dari berbagai kota. Hal itu dikarenakan sebuah pertandingan tinju bawah tanah yang akan dilaksanakan nanti malam oleh organisasi Red Cage di salah satu club mereka, yaitu Magnolia.Sayangnya Camellia tidak memiliki akses ke sana, padahal dia juga ingin melihat acara paling ditunggu-tunggu oleh setengah penduduk Lancester itu.“
Mata Camellia membulat ketika melihat Hagen berjalan menuju kafe tempatnya berada. Dengan kepala menoleh ke sekitar, gadis itu pun mencari-cari cara untuk keluar dari sana.Namun, dia tetap tidak menemukan jalan, sehingga gadis itu merasa terjebak begitu mendengar suara lonceng pada pintu kafe mulai berbunyi nyaring, dan sosok Hagen pun sudah berada di ambang pintu dengan pandangan terfokus ke meja yang dia tempati.Dengan tatapan gelisah, Camellia mengawasi Hagen yang berjalan perlahan ke arahnya.Kini, dia merasa de javu, karena mengingat sosok sang ibu yang tadinya juga melewati pintu dan jalan yang sama ketika mendekati meja.Dan saat pria itu tiba, kata pertama yang Blake Hagen ucapkan adalah; “Wanita itu bukan siapa-siapa, aku memberitahu agar kau tidak salah paham.&
Keduanya makan dalam diam. Namun, tidak lama setelahnya, Hagen pun menarik tangan Camellia begitu burger mereka habis sekitar sepuluh menit yang lalu.Dengan tatapan bingung, gadis itu menatap Hagen yang seolah hendak mengajaknya ke suatu tempat.“Lepaskan tanganku lebih dulu, baru aku mengikutimu,” ucap Camellia yang tidak pria itu dengarkan sedikit pun, membuat gadis itu melempar delikan, yang lagi-lagi tidak Hagen tanggapi.“Kau ingin menonton pertunjukan?” tanya pria itu tiba-tiba yang seketika mendiamkan Camellia.Beberapa kali mata gadis itu melirik ke arah Magnolia yang jalanannya sudah terlihat sepi. Tampaknya semua orang telah berada di dalam sana, menambah rasa penasaran gadis itu.Mengetahui a
Camellia memegangi lengan Hagen dengan erat, sedangkan kepalanya berputar melihat ke segala arah. Pada kerumunan orang di sekitar mereka yang hendak masuk ke dalam gedung Magnolia. Ketika seorang pria bertubuh besar hendak menabrak Camellia dari arah belakang, dengan refleks Hagen pun memeluk tubuh feminim itu. Sebuah tatapan mata menyala ia arahkan ke pria setengah mabuk yang mulai menyadari kesalahannya. “Ma-maaf kan aku,” gumam lelaki asing itu sembari berjalan mundur dan menjauh dengan sangat tergesa. Sementara itu, Camellia yang masih berada dalam pelukan Hagen, tampak meremas kemeja pria itu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang tadi nyaris terjatuh. “Tetaplah di sampingku,” ucap Hagen dengan suara rendah, tepat d
Ketika ciuman mereka terlepas, tubuh Camellia pun sedikit bergetar hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan tubuh. Namun dengan cepat Hagen memegangi pinggang Camellia yang terasa pas dalam genggaman untuk menyangga tubuhnya.Susah payah gadis itu memegangi lengan Hagen yang tengah memeluk dari depan.Rona merah yang awalnya hanya berada di pipi gadis itu, kini tampak menjalar hingga ke telinga. Menjadikan Hagen menggigit bibir bagian dalam serta menahan tangannya untuk tetap di tempat.Entah mengapa, dia ingin menyibak rambut panjang Camellia, lalu memainkan sedikit rambutnya yang menyulur itu, kemudian mengagumi sedikit perubahan warna pada kulitnya yang sensitif.Mendapati cara pandang Hagen, dimana manik mata obsidiannya berdilatasi, seketika Camellia membuang wajah. Menyem
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid