Camellia memegangi lengan Hagen dengan erat, sedangkan kepalanya berputar melihat ke segala arah. Pada kerumunan orang di sekitar mereka yang hendak masuk ke dalam gedung Magnolia.
Ketika seorang pria bertubuh besar hendak menabrak Camellia dari arah belakang, dengan refleks Hagen pun memeluk tubuh feminim itu.
Sebuah tatapan mata menyala ia arahkan ke pria setengah mabuk yang mulai menyadari kesalahannya.
“Ma-maaf kan aku,” gumam lelaki asing itu sembari berjalan mundur dan menjauh dengan sangat tergesa.
Sementara itu, Camellia yang masih berada dalam pelukan Hagen, tampak meremas kemeja pria itu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang tadi nyaris terjatuh.
“Tetaplah di sampingku,” ucap Hagen dengan suara rendah, tepat d
Ketika ciuman mereka terlepas, tubuh Camellia pun sedikit bergetar hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan tubuh. Namun dengan cepat Hagen memegangi pinggang Camellia yang terasa pas dalam genggaman untuk menyangga tubuhnya.Susah payah gadis itu memegangi lengan Hagen yang tengah memeluk dari depan.Rona merah yang awalnya hanya berada di pipi gadis itu, kini tampak menjalar hingga ke telinga. Menjadikan Hagen menggigit bibir bagian dalam serta menahan tangannya untuk tetap di tempat.Entah mengapa, dia ingin menyibak rambut panjang Camellia, lalu memainkan sedikit rambutnya yang menyulur itu, kemudian mengagumi sedikit perubahan warna pada kulitnya yang sensitif.Mendapati cara pandang Hagen, dimana manik mata obsidiannya berdilatasi, seketika Camellia membuang wajah. Menyem
Saat memasuki ruangan VVIP, pertama kali Hagen lihat adalah kumpulan pria-pria berjas hitam yang berdiri di sekitar meja bundar dan sebagiannya duduk di sofa.Pria-pria itu melihat secara bersamaan ke arah Blake Hagen yang melangkahkan kaki masuk ke dalam bersama Camellia di sisinya. Seketika mata gadis itu pun membulat begitu menemukan lebih dari dua belas pasang mata menatap ke arahnya.Tanpa sadar, tangan gadis itu yang berada dalam genggaman tangan Hagen pun mengerat.Tubuhnya merapat semakin lekat, hingga nyaris berlindung di balik tubuh besar Blake Hagen yang kini menyembunyikan diri Camellia.Menyadari apa yang gadis itu lakukan, Hagen pun mengelus pelan permukaan tangan feminim itu pelan, mencoba menenangkan kegugupan yang jelas tercetak di wajah rupawan itu.
Terdengar suara dengusan serentak dari para pria dalam ruangan, membuat Camellia sedikit berjengit kaget hingga bahunya terlonjak. Sementara itu, Hagen yang tetap memfokuskan pandang pada Camellia, seolah tuli akan sindiran halus teman-temannya.“Ya, dia bisa mengusir kami, Miss Duncan,” seloroh pria berambut blonde yang bernama Gavin, menimbulkan tawa dari semua pria di sana. “Bukankah begitu, Jax? Mr. Hagen dapat mengusirmu, aku, Rey, dan semua anggota Red Cage dalam ruangan ini!”Pria yang tadi menyambut kedatangan mereka, Rey Fredrick, hanya menoleh sejenak ke arah Gavin.Sementara itu, Jax yang dikenal dengan nama Jaxon Bradwood — si pemilik kursi putih yang nyaris Camellia duduki tadi — tidak merespon sama sekali.Dan si pria berwajah ra
Camellia tampak enggan ketika Hagen membukakan pintu mobil untuknya. Gadis itu menoleh ke sekitar, mencari-cari jalan pulang selain tumpangan yang Hagen tawarkan, namun mengingat uang di dompet tidak akan membawanya sampai ke rumah, Camellia pun menghela napas dan menatap layu ke arah mobil pria itu.“Pulang sendiri bukan solusi yang bagus saat ini. Sudah terlalu pagi, Princess, dan aku tidak bisa membiarkanmu sendiri saja,” kata Hagen yang kembali membukakan pintu mobilnya lebih lebarDengan isyarat kepala, pria itu menyuruh Camellia masuk ke dalam.Cukup lama gadis itu berpikir, sebelum akhirnya peran batin mengalahkan logika.“Aku tidak akan masuk sebelum kau berjanji sesuatu.”Mendapati tatapan
Pagi itu, Camellia mendapatkan jadwal apartemen yang hendak dia bersihkan. Dengan sedikit rasa malas, dia pun bangkit dari ranjang untuk bersiap-siap.Baru saja dia membuka pintu lemari ketika secara tiba-tiba suara ponselnya berdering nyaring.“Morning, Princess,” sapa suara maskulin dari seberang, yang Camellia tanggapi dengan memutar bola mata.Untungnya pria itu tidak dapat melihat apa yang Camellia lakukan, sehingga gadis itu pun memusatkan kembali perhatian pada ponsel di telinga.“Apa lagi kali ini?” tanya Camellia sembari menarik salah satu baju untuk dipakai hari itu. “Aku sudah bilang padamu untuk berhenti mengganggu,” geram gadis itu sembari meletakkan baju-baju dalam genggaman ke atas ranjang.
Camellia membukakan pintu rumahnya, di mana Frank sudah berdiri di depan pintu dengan kedua tangan penuh akan jinjingan bingkisan.Pria itu memasang wajah datar, yang menunjukkan rasa tidak suka sangat kentara telah diberi tugas sangat tidak masuk akal baginya. Namun, loyalitas membungkam mulut pria itu.Dan dengan tatapan pasif, dia menyapa Camellia ala kadarnya saja.“Mr. Hagen memintaku untuk mengantarkan semua ini.”Camellia yang saat itu terpaku akan banyaknya barang-barang bawaan pria itu, hanya bisa mematung di depan pintu. Lama gadis itu termenung dengan mata melirik ke segala bingkisan yang ada.“Dia bilang … acaranya dua hari lagi,” ucap Camellia dengan nada heran.Tampaknya pria itu sudah memprediksi bahwa dia akan menjawab ‘iya’ sehingga dengan sangat percaya diri pria itu mengirim suruhannya mengantarkan semua baju dan perlengkapan ke pesta, jauh sebelum ada kata persetujuan.Men
Kepala Camellia tertunduk ke bawah begitu dia turun dari bus yang membawanya ke halte menuju jalan ke rumah. Gadis itu tidak menatap sekitar, karena kepalanya penuh akan pikiran dari wanita yang tadi.Bahkan, dia juga tidak mengangkat wajah saat menabrak seseorang di depannya dengan tidak sengaja. Gadis itu hanya mengatakan maaf, tanpa sekali pun menoleh. Kemudian dia berjalan melewati tubuh kekar di hadapannya itu.Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara maskulin dari si pemilik tubuh.“Apa yang ada di kepala cantikmu itu, Princess?” tanya pria itu yang seketika membuat Camellia terpaku, sebelum akhirnya dia menoleh ke sumber suara yang kini telah berdiri tepat di belakang tubuh.Untuk sesaat, Camellia hanya menatap sendu pada wajah rupawan yang seakan mencari jawaban. Tetapi, tentu saja Camellia tidak akan mengatakan apa-apa tentang kejadian barusan.Lagi pula, bukan urusannya jika wanita itu merasa dicampakkan.Bahka
Hagen memasuki pintu rumah yang terlihat seperti kastil di perbukitan petunia.Seorang pria paruh baya bernama Baron Caldewell tampak menyambut kepulangannya dengan wajah khas yang serius tanpa senyuman.Pria berparas keras itu mempersilahkan tuannya masuk ke dalam sembari menawarkan minuman segar.“Jika aku tahu anda datang sekarang, kami pasti sudah menyiapkan makan malam,” ucap Baron, butler kepercayaan keluarga Hagen sejak dua generasi sebelumnya.Pria itu bahkan sudah melayani kakek dari Hagen yang sudah tiada sejak dua puluh lima tahun lalu. Saat itu, Baron muda terlihat jauh lebih ramah dibandingkan ekspresi yang selalu menghiasi wajahnya sekarang.“Tidak perlu, aku hanya singgah sebentar,” ucap Hagen yang meninggalkan butlernya itu di bawah tangga.Dia terus berjalan menuju lantai dua mencari-cari satu sosok yang menjadi alasan kedatangannya ke Kastil Petunia.Namun, karena tidak menemukan wanita
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid