AMBARAmbar membuka matanya dan menatap ruangan sekeliling. Tempat yang penuh kesan maskulin begitu terasa asing baginya. Di balik selimut hangat, terdapat ranjang yang begitu empuk dan nyaman, bantal yang begitu pas menyangga lehernya selama tidur tadi. Matanya mengerjap, mencoba mengumpulkan seluruh fokus akan apa yang terjadi. Tak lama, kilasan memori masuk dan menciptakan ingatan utuh atas apa yang dia alami seharian ini. Dia baru saja ketiduran di ranjang Diraja setelah minum obat pereda nyeri yang membuatnya ngantuk maksimal. Dengan kaget Ambar duduk dan rasa nyeri tumpul yang lambat laun menjalar menelusup indranya. Ouch! Pipinya terasa sakit, begitu pula punggung dan pahanya. Ambar mencoba beranjak dari ranjang dengan berhati-hati. “Mas Diraja?” Ambar memanggil sang tuan rumah. Merasa kikuk ditinggal di tempat paling privat tanpa sang pemilik rumah. Tak ada jawaban. Ambar berhenti sejenak, dan berjalan mengelilingi kamar tidur Diraja. Tempat sang calon suami beristirah
Langkah kaki Ambar dan Mas Darius bergema di lantai marmer kediaman mewah milik kakak iparnya tersebut. Kakaknya dan sang suami memutuskan untuk pindah ke rumah ini setelah tahu kalau Mbak Amira hamil. Dan untuk mengurus rumah ini, mereka mempekerjakan Pak Rama sebagai kepala butler di kediamannya untuk mengurusi semua urusan rumah tangga dari A sampai Z. Ambar disapa dengan ramah ketika sang butler membuka pintu utama dan wajahnya berubah khawatir ketika melihat bagaimana kondisi wajahnya yang babak belur. “Nona Ambar, kenapa wajahnya seperti itu? Apa yang bisa saya bantu?” tanya Pak Rama dengan kekhawatiran yang tak bisa ditutupi lagi. Tapi Ambar hanya tersenyum singkat dan menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja, Pak. Sudah minum obat dan hanya butuh istirahat,” jawabnya sopan. Kakaknya yang mendengar suara di lantai dasar keluar dari kamarnya di lantai dua dan menuruni tangga penuh semangat. “Hati-hati, love! Jangan berlari seperti itu!” Suara Darius yang terdengar
DIRAJASuasana di dalam ruang pertemuan dekan fakultas terasa begitu tegang. Atau setidaknya, dari sudut pandang para mahasiswi yang duduk berdesak-desakan di samping orang tua mereka. Mata mereka bengkak dan bekas luka serta memar pun mereka alami, bahkan bisa dibilang lebih parah dibandingkan luka yang dialami Ambar. Memang benar kata tunangannya. Ambar tetap menang meskipun melawan empat berandalan yang kini ciut nyalinya ketika dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kriminalnya. “Kami benar-benar menyesal atas kejadian yang dialami oleh Ambar Tri Handayani… Kami tak tahu kalau mahasiswi tersebut merupakan kerabat Pak Darius dan Pak Diraja,” ujar salah satu staf pengajar yang wajahnya sudah pucat pasi dan pias. Ini memang bisa menjadi skandal dari universitas bertaraf internasional di Jakarta dan jelas-jelas mencoreng citra yang susah payah dibangun. “Saya nggak ngerti bagaimana sistem rekrutmen kalian. Bisa-bisanya kalian meloloskan orang-orang seperti ini,” ujar Diraja d
Jika dihitung-hitung, hanya beberapa kali saja Diraja mengunjungi kantor Darius dan bertandang di ruangannya. Tapi yang pasti, kali ini tak ada tendensi buruk yang Diraja simpan di balik prasangkanya ketika dia melangkahkan kaki di lantai lima puluh, tempat tertinggi pemimpin perusahaan ini bekerja siang dan malam. Saat tiba, Diraja langsung diantar oleh resepsionis muda yang memasang senyum lebar ketika melihat Diraja. Pria itu tahu gelagat sang resepsionis yang terlihat begitu terbuka, hangat dan flirty kepadanya. Untungnya perjalanan dari lift menuju ruang kerja Darius begitu singkat sehingga dia tak perlu meladeni perempuan tersebut. “Bapak Darius ada di dalam, silakan.” Sang resepsionis mengetuk pintu dan meminta izin agar Diraja masuk. Setelah Darius mengatakan masuk, Diraja melangkah masuk sebelum pintu ditutup kembali oleh resepsionis muda itu. Di dalam, sudah ada Nero yang berdiri di samping Darius yang sedang berkutat di depan monitor besar seraya berdiskusi. Nero menga
AMBARSemalam dia menelepon ibu dan bapak setelah didesak oleh kakaknya. Mbak Amira sudah mengatakan kalau Ambar ingin menginap di rumahnya beberapa hari ke depan, namun alasan yang kakaknya berikan begitu rancu yang jelas membuat kedua orang tuanya semakin curiga. Apalagi kakaknya itu tidak bisa berbohong layaknya Ambar yang sedikit lebih ‘bandel’ dan ‘carefree’ dibanding sang kakak. Ambar sengaja menelepon kedua orang tuanya terlebih dahulu sebelum mereka memaksa menghubunginya lewat video call dan melihat betapa ‘bengep’ wajahnya setelah beradu cakaran dan pukulan dengan keempat mahasiswi gila yang entah kenapa begitu dendam kepada Ambar. Setelah berhasil meyakinkan keduanya bahwa Ambar baik-baik saja dan dia melakukan tindakan impulsif ini karena begitu kangen dengan kakaknya, akhirnya kedua orang tuanya percaya dan tidak mempermasalahkan dirinya yang menginap di rumah Mbak Amira beberapa hari ke depan. Semoga saja bekas memarnya bisa tersamarkan ketika dia kembali pulang ke ru
“Pasti nggak bakal sekacau itu, kan?” Ambar mencoba mengkonfirmasi ke kakaknya. Tapi rupanya Mbak Amira memilih bungkam dan memperhatikan kuku-kuku cantiknya yang telah di-manicure dengan apik. “Justru kakakmu itu yang paling tahu bagaimana gilanya mereka bertiga kalau sudah merencanakan sesuatu.” Tante Angela tersenyum puas. Ambar menghela napasnya perlahan. Masalah ini akan dia urus belakangan setelah dia bertemu Mas Darius atau Diraja kelak. Lihat saja kalau mereka macam-macam dan membuat hidup Ambar di kampus semakin rumit karena ‘display of power’ yang mereka lakukan untuk memberikan pelajaran kepada para mahasiswi preman penyebar teror itu. “Aku akan bereskan itu nanti, Tante,” tandasnya. Dia harus kembali pada agenda awalnya bertemu Tante Angela. Mencari tahu informasi tentang Diraja dan sepupunya Biantara. Bagaimana hubungan mereka satu sama lain. Baik dari sisi profesional maupun kehidupan personal mereka. “Tante… aku sebenarnya ke sini karena ingin menanyakan sesuatu
DIRAJA Memang seharusnya Diraja mengindahkan peringatan yang dicetuskan oleh Darius tadi sebelum mereka bertolak menuju kediaman Kakek Abisena di daerah Menteng. Awalnya Diraja berpikir jika punggawa keluarga besar Sastrowilogo itu tak akan semenyeramkan itu. Mengingat perjumpaan mereka pertama kali di acara pertunangannya dengan Ambar, kakek itu tidak memberikan kesan yang aneh-aneh. Pribadinya kuat seperti orang yang memang memiliki kuasa, kebijaksanaan, dan pengaruh sejak dahulu. Auranya memang begitu ‘megah’ dan Diraja tak memungkiri jika dia melihat Abisena Sastrowilogo adalah pria paling karismatik yang pernah dia temui. Tapi kini… ketika dia sudah tiba di kediaman Kakek Abisena yang mewah namun tertutup dari mata orang asing di luar gerbang, akhirnya Diraja paham apa yang Darius maksud tadi. Apa kalimat yang dituturkan Darius sebagai peringatan, tadi? Menyebalkan dan merepotkan? Hah! Bagi Diraja… kalimat yang cocok adalah penuh intrik dan intimidasi. Dia harus meralat
“That was intense,” ujar Diraja sesaat ketika mereka keluar dari patio dan berjalan menuju mobil mereka masing-masing. Darius hanya menggelengkan kepalanya dengan miris. “Hari yang sama jika berbincang dengan orang tua yang keras kepala itu,” balas Darius sambil bersungut. “Mau bertemu Ambar?” tanya Darius kepadanya tepat sebelum Diraja membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Diraja terhenti sejenak dan menoleh ke arah Darius yang juga bersiap masuk setelah pintu penumpangnya terbuka oleh sang supir. “Lo tahu dia di mana?” Diraja bertanya balik, dan dia baru ingat kalau Ambar semalam tidur di kediaman Amira dan Darius. “Mereka lagi ngeteh cantik di restoran terbaru. Gue mau pick up istri dan nyokap di sana,” balas Darius. Diraja mengangguk. Dia memang perlu bertemu dengan Ambar, ada yang harus dibicarakan denganya. “Ya, gue mau ketemu Ambar, kirim lokasinya.” Setelah menyampaikan hal tersebut, Diraja tiba-tiba menganggukkan kepalanya tanda pamit kepada Darius. Hah! Darius D
“Selamat ulang tahun!” Suara yang mengagetkan Ambar ketika membuka pintu apartemennya membuatnya terhenti sejenak. Tangan kanannya masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan kirinya sontak mengurutkan dadanya karena terperanjat kaget. Confetti dan suara terompet bersahutan menyambutnya masuk ke dalam apartemen malam ini. Wajah-wajah familiar menyapanya dengan senyuman dan tawa lebar. “Ya ampun, kok ada surprise segala?” ujarnya penuh haru. Dia menatap Diraja yang berjalan dengan langkah pelan dan pasti ke arahnya. Di tangan sang suami ada kue ulang tahun lengkap dengan lilin angka 20 yang sudah terbakar di atasnya, menunggu untuk ditiup olehnya. “Yang penting surprise-nya berhasil, ‘kan!” jawab Diraja penuh dengan kebanggaan. Ini memang sebuah pencapaian tersendiri untuk suaminya. Sebelumnya dia tak pernah melakukan ini. Ini merupakan surprise event perayaan ulang tahun pertama sejak mereka menikah. “Repot-repot banget, makasih banyak loh, sayang!” Ambar menjawab deng
AMBAR Dua bulan kemudian, Apakah mungkin keinginan menjadi ibu itu menular, apalagi jika sudah memegang bayi kecil, imut dan lucu di pelukannya sendiri? Ini sebenarnya yang dirasakan Ambar ketika dia melihat anaknya Mbak Amira dan Mas Darius yang akhirnya tiba juga menyapa mereka di dunia ini. Kakaknya baru saja selesai melahirkan putra pertama mereka yang diberi nama Maximilian Naradipta Danudihardjo. Nama keponakan pertama Ambar ini berdasarkan kompromi ayah dan ibu Maxi. Mbak Amira ingin tetap membawa nama lokal yang membumi sedangkan sang ayah ingin sesuatu yang memiliki sentuhan modern namun tetap terdengar regal. Ambar ingat sekali bagaimana mereka berdebat sedemikian rupa ketika satu waktu Ambar mengunjungi mereka. “Maxi… Maxi baby… ya ampun kamu lucu bangeeet! Mbak! Aku bawa pulang ya!” Ambar berceletuk asal tatkala melihat baby Maxi terlelap di tangan Mas Darius. Rasanya baru sekejap saja dia menggendong Maxi, tapi ayahnya sudah melebarkan tangannya agar Ambar men
Makan siangnya dengan Ambar di sebuah restaurant Chinese Food yang terletak di sebuah gedung perkantoran lantai teratas di kawasan dekat kampus Ambar berjalan begitu cepat di mata Diraja.Dua jam yang dihabiskan bersama sang istri terasa seperti sekedipan mata saja. Ketika hidangan selesai disantap dan dia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 13.45 siang.“Aku habis ini masih ada kelas, Mas.” Ambar pun terlihat bolak-balik mengecek jamnya, berharap dia tak telat untuk kelas selanjutnya.“Jam berapa? Perjalanan dari restoran ini ke kampus kan nggak terlalu lama,” balas Diraja seraya memberikan sinyal kepada waitress untuk mengirimkan bill ke meja mereka.Sang waitress mengangguk dan mempersiapkan bill sambil membaw
DIRAJABreaking news, Sebuah penggerebekan terjadi di kawasan pedalaman Myanmar dan Kamboja oleh aparat setempat dibantu dengan koordinasi interpol dan kepolisian Republik Indonesia. Disinyalir gudang tersebut merupakan headquarter, atau markas besar tindakan kriminal judi online dan penipuan online dengan target masyarakat Indonesia. Menurut perkembangan terbaru, ada fakta yang lebih mengejutkan dibaliknya. Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata terungkap banyak tindakan kejahatan transnasional yang bernaung dibalik operasi tersebut. Ada indikasi human trafficking atau penjualan manusia yang dipekerjakan secara ilegal dengan kondisi memprihatinkan tanpa adanya kesejahteraan dan hak asasi manusia yang dipenuhi. Pihak kepolisian masih mendalami dugaan kejahatan organ harvesting dan sex trafficking lintas negara dan benua dalam pemeriksaan lebih lanjut. Yang cukup mengejutkan, terendusnya jaringan kejahatan transnasional ini bermuara pada seorang konglomerat asal Singapura berinisia
RAKA Selama beberapa hari belakangan ini, dia selalu kembali ke apartemennya di atas jam dua malam. Begitu banyak yang harus dia kerjakan setelah mereka berhasil membawa Joseph Ong untuk diinterogasi di markas kepolisian. Tentu saja tarik ulur begitu hebat terjadi di balik layar. Pihak Joseph Ong lewat kedutaannya secara formal meminta pria itu diekstradisi segera kembali ke Singapura untuk menjalani pemeriksaan di sana. Yang turun tangan membereskan masalah berkaitan dengan hukum, legalitas, melihat loophole dari aturan tentu saja dirinya. Raka bertugas di belakang layar membersihkan dan menguraikan kusutnya benang birokrasi, ditambah dengan berbagai channel dan networking yang luas dari Darius, mereka akhirnya berhasil memberikan waktu lebih banyak untuk kepolisian Indonesia serta interpol mengulik sampai dalam dan menarik bukti sebelum tim kuasa hukum beserta backingnya Joseph Ong menutup akses penyelidikan, atau yang paling parah–menghilangkan alat bukti. Dan orang yang cuku
Ibu bersikeras jika mereka kembali ke kediaman beliau di daerah Dharmawangsa. Bersama Mbak Rengganis dan ayah, mereka bertiga menolak keinginan Diraja untuk kembali ke apartemen dan memulihkan diri di sana. Ambar pun setuju dengan keputusan tersebut. Ini sudah hari ketiga sejak Diraja diputuskan bisa kembali ke rumah dan memulihkan diri di kediamannya. Kemarin tim dokter selesai melakukan kontrol pertama dan memastikan proses penyembuhan Diraja berjalan seperti yang semestinya. “Sayang, aku bosan makan bubur terus,” ujar Diraja saat Ambar membantunya mengeringkan rambut suaminya setelah dia bersikeras untuk mandi karena sudah lebih dari dua hari dia tidak melakukannya. “Tapi–takutnya kamu sulit mengunyah, makanya ibu dari kemarin menyiapkan bubur untukmu, Mas!” balas Ambar dengan sabar. Sebenarnya bahkan sejak kembali dari rumah sakit, sikap Diraja jauh lebih manja dan terkadang dia tak ingin ditinggal oleh Ambar. Setiap saat jika Ambar keluar kamar untuk melakukan sesuatu, d
AMBARDerap langkahnya menggema sepanjang koridor rumah sakit. Ibu mertuanya pun bergandengan tangan dengannya berjalan dengan langkah cepat, membawa kekhawatiran yang tak dapat diungkapkan tatkala Mas Darius menghubunginya malam tadi. Pikirannya kalut, bahkan selepas Diraja berpamitan dan meminta Ambar untuk menyampaikan pesan singkatnya kepada Pak Rama. Ambar sempat membaca secarik kertas tersebut, isinya meminta agar Pak Rama menghubungi kakak iparnya–Mas Darius dan meminta mereka untuk tracking lokasinya. Dari pesan itu saja Ambar bisa menakar jika Diraja melakukan hal yang berbahaya. Makanya dari tadi dia harus menyembunyikan kegelisahannya di hadapan ibu mertuanya dan menganggap semuanya baik-baik saja. Pak Rama dan Mas Darius pun tak bisa dihubungi sehingga tak ada kepastian akan apa yang sebenarnya terjadi. Pertahanannya runtuh tatkala kakak iparnya mengabari jika Mas Diraja berada di rumah sakit. Saat ini Pak Rama sudah on the way untuk menjemput Ambar untuk ke rumah saki
DARIUSRaka akhirnya memberikan lokasi tujuan Diraja pergi tepat sebelum mereka keluar pintu tol. Setelah mendapatkan lokasi, dengan cepat dirinya mengatur alamat tersebut pada sistem GPS mobil Nero sehingga mereka bisa langsung melaju menuju tempat Michelle disekap oleh Joseph Ong. “Tim terbaik kita ada di belakang, estimasi sekitar lima menit akan bisa menyusul kita,” ujar Nero memberikan update kepadanya. “Bagaimana dengan tim kepolisian dan medis?” Darius bertanya. Kali ini Raka yang menjawab pertanyaannya. “Sudah diinfokan ke pusat, mereka sekarang sedang koordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Kontak kita juga sudah berangkat dari Mabes agar bisa berkomunikasi dengan jaringan interpol,” jawab Raka dengan mendetail. “Keep us updated,” ucapnya sebelum memutus sambungan dan kembali fokus untuk menyelamatkan Michelle dan Diraja. Entah apa yang harus Darius katakan kepada Diraja atas tindakan impulsifnya itu. Pergi begitu saja tanpa menyusun langkah dan rencana matang denga
DIRAJA Diraja memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Joseph Ong. Dia yakin jika Ambar mengerti instruksinya dengan baik dan dia menunggu mobilisasi tim Darius dan Nero untuk membantunya kelak dalam menghadapi Joseph Ong nanti. Dia tiba di tempat yang diminta, sebuah rumah yang masih setengah jadi. Kanan kiri masih berupa kavling kosong. Namun dia yakin ini tempat yang benar karena ada beberapa orang preman berbadan tegap sudah berjaga di sekitar tempat tersebut. Ini berbahaya. Semoga saja pesannya tersampaikan dan tim Darius memberikan bantuan untuknya, agar dia tak mati konyol di sini menyelamatkan Michelle. Diraja turun dari mobilnya dan secepat kilat tiga orang mengelilinginya, dengan satu orang langsung mengikat tangannya dengan borgol dan menempelkan plester agar dia tak dapat berbicara. Ah, sial! Diraja benar-benar berada dalam keadaan terpojok datang ke tempat ini seorang diri. “Masuk! Bos sudah nunggu dari tadi!” ujar salah