Di dalam kamar kontrakannya, Rose menatap foto di tangannya dengan hati sedih. Itu adalah foto dirinya dengan Steven dan Megan. Air matanya jatuh deras. Hati Rose sakit ketika melihat suaminya yang dulu memandangnya dengan cinta dan senyuman, kini menatapnya dengan amarah yang membara seolah-olah Rose adalah musuhnya. Suaminya yang dulu membelai pipinya dengan lembut, kini malah menamparnya dengan keras. Suaminya yang dulu mempercayainya dan selalu berada di sisinya, kini malah tidak mempercayainya dan meninggalkannya. Suaminya yang dulu berbicara lembut padanya, kini berbicara kasar bahkan membentaknya. Rose merindukan Steven. Steven yang hangat, memandangnya dengan penuh kasih, berbicara dengan lembut seolah takut menyakiti Rose, yang selalu ada di sisinya, dan bahkan tidak ingin meninggalkannya. Sekarang tidak ada lagi Steven yang seperti ini, sekarang hanya ada Steven dengan versi baru. "Beraninya kamu mengusirku. Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu mencintaiku?
“Nih, kopinya,” kata Bu Vega sambil menyodorkan secangkir kopi di depan suaminya. Bu Vega langsung duduk tepat di samping suaminya. Senyum Bu Vega tak pernah lepas dari bibirnya sejak ia membukanya. Bagaimana bisa? Rencananya berhasil, tentu saja, dan dia senang. Rencananya untuk menyingkirkan Rose berhasil! "Mengapa kamu memperhatikan senyummu sebelumnya?" Tanya Pak Dion penasaran. Kedokteran Vega membalas perkataan suaminya dengan senyum manis. "Bagaimana mungkin kamu tidak bahagia? Kami berhasil menyingkirkan Rose, kami berhasil menjauhkan Rose dari Steven. Saya merasa sangat puas!" Bu Vega menjawab dengan senyum manis. Aku. Dion yang sedang membaca koran menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu menatap istrinya dengan senyum tipis. "Aku sedikit kasihan pada Rose, lagipula dia sedang mengandung anak Steven," kata Pak Dion sambil menyeruput kopinya. Tapi tidak sampai tenggorokannya, Pak Dion mendorong kopinya karena tersedak. Dion menatap Vega seolah meminta penj
Sudah beberapa hari rumah ini kosong dan hampa tanpa Rose. Steven baru saja pulang kerja pukul 10 malam, ia melirik Megan yang tertidur lelap di ranjang. Steven dengan lembut menepuk pantat putrinya, berusaha menyampaikan ketenangan padanya. Saat sudah merasa tenang, Steven menyelimuti putri kecilnya lalu tak lupa mengucapkan sepatah kata pun. Steven juga terkejut dengan Megan. Dia selalu merengek ingin bertemu ibu tirinya, bukan Jane, ibu kandungnya. Megan tidak pernah bertanya bagaimana keadaan Jane, tapi lihat! Baru beberapa hari kehilangan Rose, Megan terlihat sangat frustasi. Begitu juga dengan Stevan. Pria itu masih tidak yakin apa yang istrinya lakukan, tapi apa yang bisa dia lakukan? Membantah? Apa yang bisa disangkal ketika bukti nyata ada tepat di depan mata Anda? Ada perasaan jengkel, marah, dan tidak setuju di benak Steven. Steven mengira Rose adalah wanita yang baik, tapi dia sama saja! Tak ingin memikirkan Rose lagi, Steve langsung berusaha menghi
Niat Steven hanya ingin menenangkan Megan, malah mendapat kejutan saat melewati kamar orang tuanya. Segera Steven masuk ke kamar orang tuanya yang terbuka sedikit. "Apa?" Pak Dion dan Bu Vega menatap Steven dengan heran. Pak Dion dan Bu Vega saling berpandangan, tatapan mereka seakan bertanya kenapa Steven ada disana. Bu Vega menggerutu dalam hati. Bagaimana mungkin dia tidak mengunci pintu kamar tidurnya? Karena kecerobohannya, Steven mengetahui segalanya. “Jadi, ibu dan ayah merencanakan semua itu? Dan memfitnah Rose di depanku, ya?” tanya Steven dengan emosi membara. Nyonya Vega menggelengkan kepalanya. "Kamu baru saja salah paham, Steven," jawab Mrs. Vega. Steven menatap kedua orang tuanya dengan marah. Kemudian, dia pergi begitu saja. Pak Dion dan Bu Vega saling berpandangan, mata mereka berkilat khawatir. "Aduh. Apa yang harus dilakukan?" tanya Bu Vega panik. Ia mengguncang lengan suaminya. "Aku juga tidak tahu, Bu." Jawab Pak Dion tak kalah panik
Di kamar sewaan Rose, Megan menjadi penghibur bagi Rose. Sejak Megan tinggal di rumah kontrakan Rose, dia merasa punya teman dan lebih sibuk. Seperti sekarang, Rose sedang duduk di ranjang bersama Megan, setelah Megan terbangun dari tidurnya. "Megan, jangan main hp mu terus. Kamu belum makan, kamu mau masak ma?" dia bertanya. "Ingin!" Megan menjawab dengan antusias. Megan merindukan masakan Rose, meski hanya selisih satu hari. Tapi percayalah, rasa sayang Megan pada Rose adalah rasa sayang pada ibu kandungnya, tidak ada yang bisa menandinginya. Rose tersenyum lembut sambil mengelus kepala Megan yang sedang tidur. "Bu, jangan belai kepala Megan, bagaimana Megan bisa tertidur lagi?" tanya Megan, namun matanya terpejam menikmati belaian lembut Rose. Rose terkekeh melihat tingkah dan perkataan Megan yang menurutnya lucu. "Ayo bangun, jangan tidur lagi." Megan membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Ibu, Megan mau makan sama telur dadarnya," tanya Mega
Pagi ini Rose membuatkan makanan sederhana untuk Megan. Rose berharap putrinya nanti menyukainya. Pasalnya, Megan tidak terbiasa mengonsumsi makanan seperti milik Rose. Setelah merasa makanannya sudah matang, Rose segera menyajikannya di atas piring lalu membawanya ke depan, tempat Megan sedang bermain dengan boneka beruangnya. "Apa yang kamu lakukan sayang?" tanya Rose sambil meletakkan masakannya di atas meja yang tersedia. "Aku hanya bermain, Bu," jawab gadis kecil itu sambil tersenyum. “Ibu memasak sarapan untukmu, ayo makan dulu. Jika kamu tidak suka, kamu bisa mengatakannya, biarkan Ibu memasak sesuatu yang baru untukmu. Ibu belum sempat berbelanja,” kata Rose sambil tersenyum hangat. Senyuman yang disukai Megan, dan aksi yang dilakukan Rose tentu bisa memikat hati siapa saja, bukan hanya wajahnya saja yang cantik, tapi hatinya juga demikian, tentunya Megan bahagia saat berada di dekat wanita ini. "Aku suka semua masakan Ibu," kata Megan dengan mata berbinar y
Steven meregangkan otot-ototnya yang sakit. Steven melihat ke kiri, di mana istri dan anaknya tertidur lelap. Stevan dengan hati-hati turun dari tempat tidur, tidak lupa memberikan ciuman hangat kepada Rose dan anaknya, setelah itu Stevan meninggalkan mereka. Tidak, bukan keluar rumah, tapi menuju dapur. “Untung kemarin bisa beli susu ibu hamil buat Rose, kok ibu itu nggak beli susu?” Gerutu Steven sambil membongkar kantong plastik yang dibawanya kemarin. Banyak sekali makanan bahkan berbagai macam snack yang dibawa Steven. Semua ini disengaja untuk Rose dan juga Megan. Steven tahu tidak mudah bagi Rose untuk memaafkannya, jadi Stevan menyiapkan segalanya. “Saya tidak pandai memasak, saya takut rasanya tidak enak bahkan membahayakan nyawa anak saya,” kata Steven santai. "Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya haus untuk pergi mencari sarapan untuk mereka?” monolog pria itu lagi. Steven memang sengaja bangun pagi untuk membuatkan makanan untuk anak dan istrinya,
Sekarang Rose masih mengalami morning sickness hingga 3 bulan. Rose terus merasa mual saat berada di dekat Steven, seperti sekarang. Steven duduk di meja makan, tepatnya di samping Rose. "Rose kamu-" Kata-kata Steven terpotong oleh rasa mual Rose. Steven dengan cemas memegang bahu Rose. "Aku akan membantumu ke kamar mandi," kata Steven. Namun, tangan Steven ditepis oleh Rose. Rose menarik diri dari Steven dengan menutupi hidungnya, membuat Steven bingung. Megan, sementara itu, sedang makan dengan tenang tanpa terganggu oleh pertengkaran orang tuanya. "Mengapa?" Steven bertanya melihat dirinya sendiri, apakah ada yang berbeda atau salah dengan dirinya? Rose masih menjauh dari Steven dengan menutupi hidungnya. "Kamu bau!" Steven mencium bau badannya. "Baunya enak," katanya. "Bau! Bikin mual. Jangan terlalu dekat denganku dulu," kata Rose yang terus menjauh dari Steven. Steven semakin dekat dengan Megan. "Megan, apakah ayah bau, ya?" Dia bertanya. Megan
Andrew telah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah operasi dua hari lalu. Sebelumnya, si kecil harus dirawat di ICU selama dua malam. Steven dan Rose pun tidur di kursi ruang tunggu selama dua malam, hal itu dikarenakan Rose sama sekali enggan meninggalkan Andrew. Padahal harus mengorbankan punggungnya dan Steven yang sudah sangat kaku karena duduk semalaman. Itu terjadi dua malam berturut-turut. Bagaimana lagi, kalau bukan di sini Rose juga tidak akan tenang. Dia akan gelisah sepanjang malam memikirkan putranya. Pagi-pagi sekali perawat memindahkan Andrew ke ruang rawat inap VVIP sesuai permintaan Steven. Steven dan Rose cukup lega karena Andrew sudah memasuki masa pemulihan. Setidaknya Andrew menjadi lebih baik. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Andrew juga telah menunjukkan tanda-tanda sadar. Dengan menggerakkan jarinya beberapa kali, dia pun mulai mengigau. Ponsel Steven berbunyi, ia lalu menjawab panggilan masuk itu. Karena
Hari ini adalah hari pertama Rose bekerja. Dia akan tiba di kantor sepuluh menit sebelum bel berbunyi, dia tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya. Dia diantar ke mejanya oleh orang yang mewawancarainya kemarin. Ketika dia ditunjukkan tempat duduknya, dia terkejut karena orang yang duduk di sebelahnya adalah Claire. Dulunya pegawai suaminya, kini satu kantor lagi. “Rose, perkenalkan. Ini Claire, asistenmu, dan Claire adalah manajer baru kita," kata wanita itu. "Halo, Rose?" Claire juga terkejut. "Kalian saling kenal?" "Iya bu, dia adalah istri dari mantan bos saya di perusahaan sebelumnya," ucap Claire. "Wah? Benarkah? Bagus sekali, tidak meminta pekerjaan pada suamimu." "Hanya mencari suasana baru, Bu." Rose tersenyum canggung. “Padahal seingatku, perusahaan tempat Claire bekerja dulu itu besar lho. Kamu pasti bosan, makan, dan ingin bekerja.” “Jangan panggil aku ibu, panggil saja namaku. Bukankah kamu asisten CEO? Seharusnya aku yang memangg
Sesampainya di rumah, Luna dan Rose langsung berpelukan bak saudara kembar yang sudah lama berpisah. Keduanya banyak mencarter bersama, bahkan lucunya Luna banyak memasak hari ini. Entah kenapa, dia ingin sekali memasak, dan ternyata tuan rumah dan nyonya rumah pulang setelah satu tahun. Padahal keduanya baru saling kenal setahun lalu. Tak satu pun dari mereka tahu apa pun tentang latar belakang satu sama lain. Tapi mereka berteman dan saling mencintai. Bisa dibilang saudara kandung yang baru bertemu saat dewasa. Tidak berhubungan tetapi searah. "Apakah Andrew dan Andrea nakal, Luna?" dia bertanya. Dia ingin tahu apakah anak-anaknya mengganggu Luna atau tidak. Bukankah buruk jika kedua anaknya menyusahkan Luna? Mungkin orang yang mendengar ini akan merasa aneh, bagaimana bisa seorang tuan merasa tidak enak karena telah merepotkan pelayannya? Karena menurut Rose, pembantu juga manusia, dan derajat manusia pun sama. Jika kita ingin dihormati maka kita harus belajar me
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada t
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada tiga gelas. "Kenapa hanya tiga?" dia bertanya. “Bukankah hanya kamu dan si kembar? Apakah
Pagi ini Rose akan menjalani beberapa terapi di rumah sakit. Steven tidak berangkat ke kantor dan memilih menemani Rose. Wanita itu sedikit gugup karena ini adalah yang pertamanya. Tentu saja, bukan? Seperti sebelumnya, Rose menggunakan pakaian tertutup serta masker dan topi. Wanita tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya. “Rose, kita hampir sampai. Jangan gugup, lakukan yang terbaik, aku bersamamu,” kata Steven. Pria itu menatap mata manik istrinya. Rose terdiam, wanita itu lalu mengikuti langkah perawat itu hingga menemui dokter yang akan membantunya dalam terapi. "Hai! Bagaimana kabar Rose?" tanya seorang dokter wanita muda. Ya, dokter tersebut adalah dokter yang mendiagnosis Rose mengalami gangguan kecemasan umum. "Hei, apa yang akan kita lakukan?" tanya Rose sedikit gugup. Dokter muda itu memandang sekelilingnya, dan dia mengert
Andrew tiba-tiba terbangun dan melihat ibunya sedang melamun. Andrew lalu berdiri dan memeluk Rose dari belakang. Rose melemparkan Andrew ke tanah, untung Andrew terjatuh di tempat tidur. Supaya tidak berdarah atau terluka, mungkin hanya sedikit syok saja. Tangisan Andrew menyadarkan Rose dan Steven pun terbangun. Steven berlari menghampiri Andrew yang menangis dengan wajah memerah. Steven memeluk Andrew dengan erat, berusaha menenangkan putranya. “Aku baru saja ingin memeluk Ibu, tapi Ibu malah dilempar,” kata Andrew sambil menangis. Rose merebut Andrew dari Steven lalu memeluk erat putranya itu. Rose terus menangis sambil terus menggumamkan kata maaf. Andrew memeluk Rose dengan erat, sangat erat. Ketika Andrew menyadari bahwa dia membuat ibunya menangis, anak berusia tujuh tahun itu langsung berhenti menangis. Dia menyeka air mata ibunya. Andrew tak ingin ada air mata di antara mereka. Yang ada hanya senyuman, semoga selamanya. "Hentikan Ibu! Jangan menangis, A
Setelah orang tuanya kembali, Rose langsung menuju kamarnya, wanita itu terdiam di dalam kamar, dan Rose masih berkata bagaimana jika ada sesuatu yang sangat penting, padahal tadi wanita itu bisa saja? Tentu saja hal itu membuat Steven khawatir, Steven langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ingin memeriksa apakah Rose baik-baik saja. Sesampainya di kamar, pria itu mendapati istrinya sedang duduk kosong. Akhir-akhir ini ia sering menatap Rose sambil melamun sendirian dalam waktu yang lama. Semua ini karena teror gila yang dikirimkan Helen. Dia mendekati istrinya dan menariknya untuk bersandar di dadanya. Rose masih menatap satu titik dengan tatapan kosong, padahal tubuhnya sudah berada dalam pelukan Steven. “Sekarang kamu tidak perlu khawatir, kami sudah pergi menemui Helen. Dia sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Steven berusaha menenangkan istrinya. Ia berharap perkataannya cukup menenangkan istrinya.
Penjelasan “Rose, kenapa kamu masih duduk disana? Ayo berangkat!” ajak Nyonya Vega. Mereka sudah bersiap berangkat ke rumah Helen, namun tidak bersama Rose. Ia merasa enggan untuk bertemu dengan Helen, apalagi mengingat teror yang mengerikan. "Aku tunggu di rumah saja, aku tidak akan pergi," ucap Rose dengan tidak nyaman. "Ada apa Rose? semuanya akan baik-baik saja, ayo kita jelaskan semua yang terjadi pada Helen," ucap nyonya Vega. Namun Rose tetap menggelengkan kepalanya, mengingat ia tak ingin bertemu dengan wanita yang menerornya. Rose sepertinya tidak bisa menerima kelakuan Helen yang diberikan padanya. Saat mengangkat pun kata Andrea hanya Rose yang selalu berusaha menghindari wanita itu. Lalu bagaimana ceritanya jika kali ini Rose harus ke rumahnya? Temui dia secara terbuka? "Ada apa sayang? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Steven bertanya dengan lembut."A-aku, aku tunggu sa