[Cepetan, Ze. Kunci sudah di gua. Gak usah dandan cantik-cantik lu. Nanti juga lu bakal buka baju.]Sialan pria itu. Dasar kepala preman tidak punya otak. Aku membayar dia untuk mengawasi gerak gerik Mas Rama. Bukan untuk mengkritikku. Sebelum pria itu mengeluarkan seisi kebun binatang, aku bergegas menuju hotel Mas Rama. Aku juga tak mau rencana yang sudah disusun rapi ini malah gagal. Maka, sebisa mungkin, diriku harus tepat waktu. "Mana kuncinya?" tanyaku sesudah sampai di parkiran. Aku sengaja masuk ke dalam mobilnya. Agar tidak ada yang mencurigai gerak-gerik kami. "Nih, gua bakal jaga dari luar. Lu bisa 'kan sendirian di kamar itu? atau harus gua bantu video kelakuan mesum lu nanti?""Sialan. Gua bisa sendiri. Lu cukup ngamanin dari luar." Reno hanya merespon dengan anggukan. "Oh, iya, gimana caranya lu dapetin kunci cadangan ini?""Gampang. Gua bilang aja lu istri Si Rama. Nunjukin foto pernikahan kalian, dan bilang kalau lu mau ngasih surprise sama Si Rama. Ditambah uang p
Mataku membulat sempurna. Aku benar-benar yakin tadi paket itu berserakan di lantai halaman depan. Namun, sekarang paketnya sudah digantikan dengan sebuah boneka. "Tapi ... tadi ... isi paketnya bukan itu, Pak. Tadi ada di sini. Potongan jari manusia. Saya gak bohong, Pak.""Orang gak ada apa-apa, Mbak Anin. Kayaknya Mbak kurang tidur, hanya halusinasi. Banyak-banyak minum, Mbak biar psikisnya tetap sehat," ujar Bu RT seakan menyindirku. Wajahnya menelisik ke arahku. Seakan mengira kalau aku kena gangguan mental. "Tadi paketnya ada di sini, Bu, Pak. Saya benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri. Tidak halusinasi. Paketnya benar-benar ada.""Sudah Mbak Anin. Lebih baik Mbak istirahat. Saya dan istri pamit balik lagi ke rumah. Kalau Mbak butuh apa-apa, silakan datang lagi saja ke rumah.""Tapi pastikan dulu, yah, Mbak Anin. Biar gak tipu-tipu kaya gini. Saya udah kaget, eh, ternyata cuman boneka kaya gini. Anak saya saja suka boneka. Masa Mbak ketakutan cuman gegara boneka.""Su
"Dasar pria bajingan!" teriakku membanting bantal dan guling. Semua barang yang ada di kamar menjadi sasaran amarah. Hatiku remuk redam. Tak menyangka suamiku bisa berbuat demikian. Dia bilang dijebak, dia pikir aku bodoh bisa percaya begitu saja? kalau yang dikirim orang misterius itu berbentuk file foto, mungkin aku masih bisa percaya alasan Mas Rama. Foto bisa diedit dan di akali supaya mirip. Namun, tidak dengan video. Rekaman itu benar-benar asli wajah suamiku dengan mantan maduku. Gila Mas Rama. Jangan-jangan selama ini dia juga berbohong. Bilang kalau tak pernah menyentuh Zea. Namun, bisa saja di belakangku main kuda-kudaan dengan pelacur itu. Dasar pria brengsek."Tega kamu, Mas ...."Napasku berderu tak karuan. Akibat menahan kekesalan dan amarah yang membludak. Tumpah ruah bagai banjir bandang. Istri mana yang tak sakit hatinya menyaksikan adegan perzinahan suaminya dengan pelacur? pasti semua perempuan akan terluka. Hatinya hancur lebur bagai sebuah kertas yang dilahap Ap
"Apa! Zea kabur?" tanya Mas Rama kaget. Begitu pula denganku. Ke mana perempuan titisan Dajjal itu. Dia pasti sengaja tak mau menemui kami berdua."Iya. Jangan ganggu keluarga saya lagi!" teriak Mamahnya Zea sambil menutup pintu sangat keras."Buka pintunya Tante. Saya belum selesai bicara," teriakku terus menggedor pintu. "Percuma, Nin. Pasti Zea sengaja kabur. Dasar perempuan gila. Lebih baik kita pulang dulu, untuk memikirkan cara agar perempuan gila itu keluar dari tempat persembunyiannya."Aku tak menanggapi ucapan Mas Rama. Berjalan menuju mobil. Berusaha menegakkan emosi jiwa. Aku harus tenang. Agar masalah ini menemukan titik terang. "Kita coba cari Zea di tempat nongkrong atau di mana gitu. Tempat yang biasa dia kunjungi."Mobil segera di arahkan menuju tempat yang biasa dikunjungi Zea. Hanya sebagian kecil saja tempat yang aku ketahui. Hasilnya, sampai sore tetap saja kami tidak menemukan keberadaan Zea. Aku dan Mas Rama memilih pulang ke rumah. Biarkan saja kalau perempua
"Maaf, Nin, Mas terpaksa mengizinkan dia di kamar ini. Mas sudah melarang, tapi dia bilang keinginan bayi.""Mas, sudah diskusinya. Cepat sini, perutku kram. Mau dielus-elus.""Gila kamu, Zea. Itu bukan anakku. Kamu boleh tidur di mana saja. Tapi jangan minta perhatian apalagi cintaku. Percuma saja. Selamanya hatiku hanya untuk Anin. Bukan untukmu. Jadi, lebih baik kamu menyerahlah. Hentikan permainan bodoh ini.""Terserah kamu mau ngomong apa, Mas. Aku hanya butuh tanggung jawab. Kamu mau anak ini mati? lihat saja kamu, Mas Kalau kamu tak mau tanggung jawab, aku bakal laporkan ke polisi.""Laporkan saja. Di mata hukum, aku istri yang sah. Sedangkan kamu, sebagai istri kedua tidak punya kekuatan hukum untuk menuntut.""Berisik, Mbak. Perutku sakit nih. Arrgh ... Mas sakit ....""Zea ...."Pada akhirnya, Mas Satria tetap tertipu dengan akting perempuan murahan itu. Dia pasti tidak tega. Takut anak itu benar-benar darah dagingnya. Rasa simpatinya, sanggup mengalahkan kekesalannya pada Z
Godaan PelakorAku putuskan untuk segera pergi ke rumah Zea. Pasti mereka masih ada di sana. Entah memang sedang bermesraan, atau Pelakor tak mengizinkan suamiku pulang. "Sialan. Dasar cewek pelakor. Awas saja kamu," ujarku sambil mengendarai mobil. Tidak butuh waktu lama. Hanya dalam kurun waktu kurang satu jam, mobilku sudah terparkir di halaman rumah Zea. Namun, aku tidak menemukan mobil Mas Rama di sana. Apa mereka di rumah orang tua Zea? tak mungkin. Aku lihat, lampu rumah ini menyala. Maka aku putuskan untuk menggedor pintu. Pasti ada seseorang di sini. "Zea... Mas Rama ... buka pintunya!""Woy, pelakor buka pintunya!" teriakku naik pitam. Emosi benar-benar menguasai jiwa. Tangan mengepal kuat. Rasanya inginku bakar saja rumah ini. Namun, aku bukan orang gila. Masih punya akal sehat. Harus memikirkan segala langkah dengan matang. Tidak boleh asal bertindak.Manusia diberikan akal agar tidak salah jalan. Bisa memikirkan Setiap langkah dan pilihannya dengan matang. Maka, suda
Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Allah mengatakannya dalam Al Qur'an surat Al insyirah sebanyak dua kali. Maka, manusia sudah sepatutnya mempercayai firman tersebut. Sesulit apapun cobaan hidup, pasti akan terselesaikan. Asalkan mau berusaha dan terus berdoa. Supaya mendapat pertolongan dari-Nya. "Makasih, Sayang. Kamu juga makan yang banyak, yah. Habis ini kita jalan-jalan ke mall, buat nonton bioskop. Gimana?""Serius, Mas? shopping boleh yah?""Boleh dong. Kamu bebas beli apa aja. Anggap aja, hari ini kita mau nostalgia buat pacaran. Mengulang masa-masa indah dulu.""Asyik. Oke deh, ayok cepetan makannya, Mas. Habis ini aku mau dandan yang cantik. Mau menikmati hidup sama kamu, hihi.""Kamu udah cantik Sayang.""Bisa aja bohongnya, Mas. Kalau aku cantik, kamu gak bakal mau main ranjang sama perempuan itu."Kami terdiam bersamaan. Hanya saling berpandangan. Seolah-olah saling bertukar kesedihan lewat pandangan. Momen kebersamaan kami yang hampir terasa indah seketika berubah
"Tolong, Mas cari tahu tentang perempuan ini. Namanya Zea. Dia sedang hamil. Dia mengaku hamil anak suami saya. Tapi, saya yakin, perempuan itu bohong. Saya kenal betul siapa suami saya."Aku sodorkan foto Anna yang ada di sosial medianya. Detektif Akbar mengangguk sambil mengamati foto Zea."Sepertinya saya tidak asing sama perempuan ini," ucap Akbar sembari meletakkan telunjuk tangannya di bawah dagu. Aku mengerutkan dahi karena mendengar pernyataan dari Akbar. Mengenal Zea? Apakah Akbar salah satu pelanggan Zea? Ah sesempit itukah dunia? Zea benar-benar menjijikkan. "Oh ya? Kenal di mana? Apa anda salah satu pelanggannya?" ucapku tanpa menyaring dulu apa yang akan aku katakan ini. Dapat kulihat Akbat membelalakkan matanya sedangkan aku menatapnya heran. Mataku beralih pada Anna dan ia pun sama membelalak menatqpku lebih tepatnya melotot. Ada apa sih mereka berdua? "Kok pada ngeliatin aku? Kenapa?" tanyaku pada akhirnya pada mereka. "Apa menurut anda, saya ada tampang penyuka
Bugh. Anin memukulkan sepotong bambu sepanjang tangan orang dewasa ke arah Siti secara cepat sehingga membuat Siti tersungkur ke arah samping dan pisau itu terlepas dan mendarat di bawa kaki Anin. Jadi, Anin sudah melihat bambu itu sejak tadi dan Anin sudah memikirkan ke arah sana karena ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Kini pisau itu sudah aman berada di tangannya. Reno dan pak Slamet segera memegangi Siti yang berniat ingin menyerang kembali Anin meski dengan tangan kosong. Tidak lama kemudian tiga orang polisi pun masuk ke dalam rumah pak Slamet dan membantu Reno juga pak Slamet mengamankan Siti. Siti meronta dan berteriak minta untuk dilepaskan. Ternyata para polisi itu juga diminta Anin untuk datang ke rumah Siti. Namun, di tengah perjalanan ban mobil mereka pecah sehingga mengharuskan mereka menggantinya terlebih dahulu dengan ban serep. "Lepaskan aku dasar bangsat kalian semua. Lepaskan!" Siti terus saja berteriak dan meronta membuat para tetangga yang sejak tadi k
"Tolong buka pikiranmu, Siti. Lepaskan Rama, biarkan dia hidup tenang bersama keluarganya sendiri," ucap pak Slamet, "Kalau kau sayang pada lelaki itu ... Kau pasti tidak akan tega melihatnya menderita dan jauh dari keluarganya seperti sekarang ini bukan?"Suaranya kini terdengar melemah dan tulus. Ia menatap Siti dengan tatapan dalam, sampai-sampai membuat gadis itu tampak terdiam dan menundukkan kepalanya.Sepertinya ucapan pak Slamet sedikit berpengaruh, membuat senyuman pak Slamet mulai terlihat.Sedangkan mak Jumi, wanita itu masih terisak dan terus berharap sebuah keajaiban datang dan merubah jalan pikiran Siti.Beberapa detik berlalu, Siti mulai mengangkat wajahnya, dengan sedikit melemahkan bahkan meSitiunkan pisau yang menempel pada pergelangan tangannya.Hal itu sontak membuat mak Jumi dan pak Slamet sedikit tersenyum simpul."Tidak!" ucap Siti dengan lantang. Membuat sepasang suami istri tersebut kembali tercengang.Kening pak Slamet kembali mengerut karenanya, senyuman yan
Siti yang merasa frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan mendapat penolakan dari Bapaknya langsung emosi. Tanpa pikir panjang, dia meraih pisau yang berada di rak dapur.Siti mengacungkan pisau itu ke arah Mak Jumi dan Pak Slamet yang bergidik ngeri.“Apa yang kamu lakukan Siti?” teriak Pak Slamet.“Kalau Bapak tidak mau menikahkan aku, maka aku akan bunuh diri.”“Siti..”"Astagfirullah, Siti! Apa-apaan kau ini, Nak!?" teriak mak Jumi yang mulai terlibat histeris.Betapa terkejutnya mak Jumi tat kala anak gadis satu-satunya tengah memegangi sebilah pisau, bahkan tanpa rasa takut sekalipun.Mak Jumi tidak menyangka jika Siti akan bertindak sejauh ini, setan apa yang tengah merasuki gadis itu? Sungguh tak dapat dipercaya.Siti yang sudah terobsesi oleh ambisinya sendiri, oleh rasa cintanya
“Tidak seperti itu Mak, Mas Rama itu belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, jadi kita harus cepat, tolong nikahkan aku dengan Mas Rama,” Siti tetap bersikukuh untuk menikah dengan Rama.Tapi Pak Slamet masih bertindak waras, sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, dia tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lebih baik tidak jadi menikah jika kedepannya pernikahan itu tidak bisa di jamin kelanggengannya.Dan dia yakin Rama akan sadar dengan sepenuhnya, jika waktu itu tiba, dia yakin Rama akan membuang anak gadisnya.Dengan latar belakang yang di miliki Rama, dia yakin Rama akan melakukan itu. Masih untung jika hanya di ceraikan, bagaimana kalau putrinya di laporkan ke polisi dengan pasal penipuan.Pak Slamet sendiri sudah berkonsultasi dengan orang-orang pintar seperti Pak RT, Pak Kepala desa bahwa tindakan penipuan bisa berakhir di penjara, bukan hanya anaknya tapi j
“Kamu itu Siti, Bapakmu baru datang, sudah kamu cerca pertanyaan, buatkan minum sana dulu,” cerca Mak Jumi.Mak Jumi tak habis pikir dengan perubahan sikap Siti yang sangat drastic antara sebelum berangkat ke kota dan sesudahnya, hingga Mak Jumi berpikir apakah kehidupan kota begitu cepat merubah sikap seseorang?“Iya Mak, aku kan cuman nanya saja, kok Mak marah,” gumam Siti sembari masuk ke dapur, tidak lupa dia menghentak-hentakkan kakinya tanda kesal karena omelan Mak Jumi.“Apakah kita salah mendidik anak kita Mak?” tanya Pak Slamet sedih. Dia kecewa dengan perubahan sikap Siti yang semakin menjadi-jadi, minim sopan santun dan sangat suka menggerutu, sama sekali tidak menunjukkan kasih sayang kepadanya.“Entahlah Pak, selama ini kita juga menyayangi dia dengan tulus ikhlas, Mak ini juga selalu mendoakan Siti agar menjadi anak sholehah, tapi kok jadinya be
Maka dari itu, pak RT kini sudah mengizinkan semua pelaku keributan itu untuk pulang ke rumah masing-masing."Yasudah, kalau begitu kalian pulanglah!" ucap pak RT."Terimakasih, Pak," ucap pak Selamet dengan senyuman yang samar."Terimakasih untuk semuanya, Pak." Pun juga dengan bu Lela yang juga mengucapkan terimakasih untuk pak RT.Tak berselang lama, kini pak Selamet pun menangkup bahu sang istri. Di mana ia menuntun mak Jumi untuk segera pulang dari rumah pak RT. Sedangkan bu Lela ... dia berjalan di depan kedua pasangan suami istri itu.Tetapi setelah berjalan cukup jauh dari rumah pak RT, pak Selamet yang sedari tadi menatap punggung bu Lela dengan tajam dan penuh amarah itu, pun pada akhirnya membuka suaranya."Bu Lela, tunggu sebentar!" ucapnya dengan cukup penuh ketaj
"Ya itu bukan urusan saya! Kan memang Bu Lela yang maunya menunjukkan ke orang-orang kalau anak saya itu berbuat zina! Ya kalau tidak ada buktinya, mau dibawa ke pengadilan pun tidak bisa dibuktikan! Selama ini saya yang jadi saksi kuncinya bersama Mak Jumi. Kalau saya sudah bilang anak saya tidak tinggal sekamar, tanyakan saja kepada Rama, kasarannya dia sebagai korban pun juga akan berkata jujur kalau dia tidak pernah sekamar dengan anak saya. Mau apa kalau sudah begitu? Dia bisa saja mengatakan kalau dia tidak ingin dibawa Siti ke sini, tetapi saya yakin dia pasti dengan jujur mengatakan kalau tidak melakukan hal zina itu. Dia ini pria yang bertanggung jawab, Bu. Dia sendiri juga tidak tahu selama ini kenapa walaupun anak saya mengaku istrinya, tapi tidak pernah bersentuhan dengannya. Kalau memang dia pria seperti kebanyakan, sejak awal juga pasti menagih-nagih, Bu, untuk diberikan haknya dia sebagai suami oleh anak saya dan anak saya pun kalau memang tidak bermoral
Pak Slamet masih dengan tatapannya menghina itu langsung berceloteh, "Mau apa lagi, Bu? Tidak bisa membalas, ya, karena ketahuan? Begini sajalah, Bu, selama ini saya tidak mau mengikuti langkah Ibu. Ibarat kata gajah dipelupuk mata tidak kelihatan, kuman di seberang lautan kelihatan yaitu Bu Lela sendiri. Kesalahannya sendiri saja sebesar gunung tidak ditampakkan ke publik, tapi kalau tahu ada kesalahan orang lain saja paling cepat mengompori yang lainnya. Memangnya semua orang di sini sempurna apa? Tidak pernah membuat dosa begitu? Lagi pula, Siti ini anak saya! Buat apa turut campur? Orang, saya saja tidak pernah ikut campur masalah Ibu. Saya sendiri sudah tahu dari dulu kelakuan Ibu, tapi saya pendam sendiri saja. Tidak ada untungnya juga. Buat apa saya suka lihat ibu dikeroyok massa?"Bu Lela menelan ludah menutupi rasa gugupnya yang sudah merebak di dada. Ia tidak mau terlihat kalah, karena kalau seandainya ia sampai gemetar di hadapan Pak Slamet, maka otom
Pria paruh baya itu pun terus berusaha untuk menjelaskan secara rinci permasalahan yang sebenarnya terjadi. Tetapi bagaimanapun penjelasan yang diutarakan oleh Pak Slamet sama sekali tidak mengubah pemikiran Bu Lela dan juga Bu Sri. Kedua wanita itu terus saja berusaha keras menepis penjelasan yang Pak Slamet berikan. Bahkan Pak RT pun dibuat kewalahan dengan ulah kedua wanita itu. Terlebih ucapan Bu Lela dan Bu Sri yang terkadang tidak bisa untuk di sela."Apa pun alasannya tetap saja yang dilakukan oleh Siti itu tidak benar, Pak Slamet. Walaupun tidak berbuat zina di sini, tetapi aku yakin Siti dan pria kota itu pasti sudah pernah berbuat zina saat berada di kota. Ulah mereka justru hanya akan membuat malapetaka untuk desa kita. Siti sangat pantas untuk diusir dari Desa ini dan jangan biarkan dia kembali lagi," seru Bu Sri dengan begitu lantang."Benar apa yang dikatakan oleh Bu Sri, Pak RT. Sebagai rukun tetang