"Tunggu!" Audi menahan tangan Marvel.
Mencegahnya agar tidak pergi."Kenapa kamu pergi?""Kamu menjebakku.""Aku tak menjebakmu! Bukankah kamu ditelpon oleh asisten Fuevras Itu juga yang terjadi padaku."Sialnya, yang dikatakan Audi itu benar. Ponsel Marvel berbunyi, dia segera menjawabnya dan mendengar suara Hell di sebrang sana. Dia mengatakan bahwa dia terkena sakit kepala secara mendadak sehingga tidak bisa menemuinya hari ini. Pria itu memintanya untuk menikmati makan malam yang sudah susah payah dia siapkan untuknya. Kemudian dia menoleh pada Audi yang masih tersenyum seolah tidak terjadi sesuatu."Tak ada salahnya kita berdua di sini. Lihat, mereka sudah menyiapkan makan sebanyak ini."Tangan Audi menunjuk ke arah meja yang sudah berisi beberapa hidangan yang semuanya mewah dan mahal dan yang paling mencolok adalah anggur merah langka dari merek terkenal. Marvel mendengus, jika dia memiliki waktu luang untuk dimanfaatkan dia memilih menemuiSaat musim dingin mereda, suhu menjadi lebih hangat, pohon-pohon bertunas dengan warna cerah dan bunga-bunga bermekaran di taman-taman terlihat begitu indah. Sinar matahari memantulkan air biru jernih. Kicauan berbagai burung memenuhi telinga dan aroma mawar yang terbawa angin memenuhi indra penciuman. Grace semakin mengeratkan sweater rajutnya untuk menghalau rasa dingin musim semi masih yang membuatnya menggigil. Dia berjalan menyusuri tepian sungai kenbeck yang atasnya masih tertutup es yang mulai mencair. Tanpa terasa tiga tahun telah berlalu dan dia telah jauh meninggalkan keramaian kota besar dengan tinggal di daerah terpencil di ujung timur Amerika. Daerah yang bernama Winslow, di negara bagian Maine. Pengobatan yang wanita itu lakukan berjalan lebih lancar dari perkiraan. Hanya butuh satu tahun pengobatan dan semua penyakit di tubuh Lin hilang. Semua orang yang pernah mengenalnya pasti tidak menyangka bahwa tempat yang indah dan damai itu adalah tempat tinggal Lin Reganne Al
Grace menjalani hari yang berat selama dua Minggu terakhir. Ia bekerja keras, berlatih dan belajar lebih keras. Restoran itu telah tiba pada musim ramainya. Ditambah koki mereka baru saja merilis menu baru masakan Perancis, membuat pelanggan mereka semakin menggila. Pada hari biasa mereka melayani lima ratus tamu dalam sehari. Pada akhir pekan jumlahnya bisa menjadi dua kali lipat.Setelah bekerja, dia harus membuat evaluasi, menghafal naskah dan latihan untuk melatih aktingnya. Banyak teknik dasar yang harus cepat dikuasai. Begitu banyak perbedaan diantara akting layar lebar yang dia pelajari dari Marvel dengan akting dalam seni teater. Sisi baiknya, pola tidur Grace mengalami kemajuan. Sekarang, dia berhasil bertahan hingga pukul empat pagi. Tetapi pada pagi harinya dia kesulitan untuk bangun ketika alarmnya berbunyi. Matanya begitu sulit untuk terbuka. Dia tak pernah lagi menggunakan bus. Memilih untuk meminta tetangga terdekatnya, seorang pria paruh baya baik hati bernama T
Marvel mengangkat bahu."Bukan masalah, asal bisa menemukanmu.""Kamu seharusnya gak ambil resiko," sanggah Grace.."Aku bisa ngambil resiko lebih besar lagi untuk menemukanmu. Tapi sepertinya lolos dari perbuatan kriminalku, kecuali kamu mau menyerahkanku ke kantor polisi.""Tentu saja enggak!"Marvel memperhatikan sekali lagi tubuh Grace. Wajahnya semakin cantik seiring usianya yang telah dewasa. Aset atasnya yang itu terlihat jauh lebih besar daripada terakhir kali dia lihat. Jujur saja Grace terlihat lebih menggiurkan. Dia sepenuhnya telah menjadi wanita dewasa dengan lekuk tubuh yang menjadi bahan fantasi sebagian besar pria. Namun melihat baju yang Grace kenakan membuat dada Marvel diliputi amarah. Blouse pendek berwarna biru telur asin itu mengekspose kulit Grace yang halus dengan belahan rendah dan memperlihatkan sedikit perut rata perempuan itu. Sadarkah dia bahwa itu hanya akan mengundang lelaki brengsek untuk mencicipinya?"Sepertinya kamu ud
Marvel berkata ringan dan penuh kuasa. Sambil menyusun rencana untuk membuat Grace berhenti dari pekerjaannya. Dia menyadari tatapan aneh dari salah satu pria ketika Marvel berkata bahwa dia adalah kekasih Grace. Marvel yakin pria itu berani melawannya seandainya ada duel untuk memperebutkan Grace."Oh ya, aku senang orang-orang di sini gak kenal denganku.""Itu karena mereka lebih suka melihat pertunjukan drama panggung daripada pergi ke bioskop. Dan untuk aktor Hollywood kayak kamu, bagi mereka kamu terlalu lembek."Mata Marvel sempat melebar kemudian kembali pada ekspresi normal."Wah, aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku pernah berenang bersama buaya di hutan Amazon. Tapi biarkan aja, jarang sekali ada tempat di Amerika yang bisa buatku bergerak bebas."Marvel tidak pernah gagal untuk membuat Grace tersenyum dengan selera humor yang tersembunyi dibalik wajah tampan dan tenang."Baiklah, sekarang ceritakan padaku Bagaimana gadis kota kayak kam
Seperti permintaan Grace kemarin, berkedok sedang ada waktu luang, Marvel berjalan santai memasuki gedung agensi dengan sebelah tangan memasuki saku celana. Berbalut kaus hitam dan celana jins ketat dengan beberapa sobekan di sekitarnya, Marvel sama sekali tidak mempedulikan berbagai macam tatapan yang dilemparkan beberapa orang padanya. Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk sembari menunggu pintu lift terbuka, birainya juga sesekali bergumam mengikuti lirik lagu yang entah sejak kapan mendadak terapi indah di dalam otaknya. Denting lift membuat kepala Marvel yang tadi menunduk menatap ujung sepatunya terangkat spontan. Niat hati ingin segera melangkah, namun Marvel mendapati dirinya terdiam saat sepasang mata menatap dirinya dengan sorot terkejut. Tidak berniat menyapa, namun Marvel menggeser langkahnya memberi ruang agar Grace bisa keluar dari lift yang ditumpanginya."Hai?" sapa Grace saat berhasil keluar dari ruang persegi tersebut dengan beberapa langkah seok.Tersenyum tip
Marvel mematikan panggilan sepihak. Untuk kali ini, Marvel rela api neraka menerkamnya karena sudah bersikap durhaka pada sang ibu. Tapi, Marvel hanya tidak sanggup mendengar kelanjutannya. Sama sekali tidak sanggup. Menghela napas, Marvel berdecak gusar, kakinya menendang lantai kasar sebagai pelepas emosi."Bajingan," desis Marvel.Tangannya terangkat mengusap belakang kepalanya gusar. Marvel mendadak pening. Kaki Marvel bergerak menuju bar. Pikirannya mendadak penuh kendati hanya satu masalah yang menghinggapinya saat ini. Tapi walau cuma satu, rasa-rasanya teramat mengganggu dan butuh menunggu waktu saja sampai Marvel lepas kendali untuk mengumpati siapa saja yang berlalu di depannya dan menghadiahi beberapa bogeman mentah. Ya, berlebihan, tapi setidaknya begitu penjelasannya. Marvel juga enggan mematik masalah. Pokoknya Marvel emosi. Menduduki belakang tubuhnya kembali ke kursi semula, Marvel enggan merespon saat Gerald mencondongkan tubuhnya sembari bertanya dengan w
Tidak pernah sungkan dan seenaknya tapi tidak pernah memercik amarah. Marvel sering berlaku seenaknya pada Grace. Sering bersikap kurang ajar seperti mengecup bahunya, mengecup bahkan menjilat tengkuknya, atau mungkin mengecup bibirnya. Apa saja. Saat ini mungkin bisa dikatakan hal yang sama. Tanpa izin, tanpa kata, tanpa suara. Hanya sikapnya, pergerakannya. Seakan tiada batas di antara mereka. Dan salahkah Grace merasa nyaman dengan semua itu? Benar, ini terdengar gila, tapi demi Tuhan, Grace tidak pernah merasa terganggu."Sengaja karena aku udah mengklaimmu," jawab Marvel.Menunduk menatap Grace yang kini juga menatapnya. Polos, dan Marvel suka. Grace menyipit."Kamu pikir aku barang?" sinisnya tidak senang.Berniat bangkit lagi tapi, Marvel kembali menahan dengan decakan peringatan."Barangku. Milikku seorang dan aku tak senang berbagi," tekan Marvel.Matanya tenang tapi sorotnya tegas. Sukses membuat Grace mematung. Mendengus. Terbang. Melayang. S
Jaeh melirik ke arah pintu kantor sejenak menimbang-nimbang berapakah waktu yang secara tidak sadar Marvel sediakan untuknya berbincang dengan Grace. Selepasnya, netra coklat Jaeh tanpa sungkan menumbuk langsung pada netra Grace, satu ujung birainya terangkat naik, sorotnya berubah meremehkan."Sudah putus dengan Abang Gerald, ya?" tanyanya lagi seakan menolak untuk berbasa-basi.Kening Grace berlipat tujuh."Abang—-oh? Kamu temannya Gerald?" Grace menyimpulkan.Air mukanya berubah jengah. Entahlah, segalanya berubah menjadi begitu menjengkelkan begitu berkaitan dengan Gerald, terkecuali Marvel tentunya."Seumuran dengan Bradley, bukan? Aku gak berniat skeptis atau apa, tapi apa sopan berbicara informal dengan orang yang dua tahun lebih tua darimu terlebih baru bertemu?"Dengus remeh menjadi jawaban Jaeh akan pertanyaan Grace. Ditatapnya gadis yang kini sudah mengangkat dagu tinggi, menunjukkan kekuasaannya. Sejujurnya Jaeh sedikit terpana melihat
"Sekarang buka gerbangnya, kalian bisa memastikannya saat aku sudah pergi," ujar Nantsu menatap sinis pada pengawal.Pengawal itu berpikir keras, mungkin saja itu benar. Nantsu adalah salah satu orang kepercayaan tuannya, jadi tidak mungkin dia berbohong."Baiklah, tetapi cepatlah kembali!" pengawal kemudian membuka gerbangnya.Tanpa mengacuhkan pengawal tersebut, Nantsu kemudian mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang. Nantsu tersenyum puas dan sangat lega, karena semua rencananya berjalan dengan lancar. Sesekali dia melihat ke belakang dan melihat Grace yang masih tidak sadarkan diri di sana."Sebentar lagi Sayang, sebentar lagi!" Nantsu berujar dengan smirknya yang licik.2 jam lamanya Nantsu mengemudikan mobilnya, dia ha
Kemudian dia segera mencari kamar Marvel, dan ketika dia membuka pintu kamarnya dia tersenyum senang melihat Grace di sana. Akhirnya tujuannya akan tercapai yaitu merebut Grace dari Marvel dan membawanya pergi. Nantsu masuk dan menutup pintunya kembali. Terlihat seorang gadis sedang terlelap tidur di atas ranjang.'Oh, jika saja aku sedang tidak terburu-buru, akan aku pastikan kita akan bercinta saat ini juga,' batin Nantsu melongo menatap keindahan tubuh Grace meskipun dari belakang.Nantsu berjalan mendekat ke arah Grace dan duduk di sampingnya. Perlahan Nantsu membelai lembut pipi Grace membuat Grace terganggu dan mengerjap membuka matanya. Seketika Grace membuka matanya lebar dan menjauhi Nantsu."Apa yang kau lakukan?! Bagaimana bisa kau sampai di sini?! Untuk apa kau kemari?!!" bentak Nantsu merasa terkejut akan keberadaan Nantsu di kamar Marvel."Waktu kita tidak lama, pergilah bersamaku
"Ah tidak, aku akan menerimanya. Tapi aku tidak akan memakainya, bagaimana jika tergores, bagaimana jika hilang dan bagaimana jika kalung ini diambil orang. Aku akan menyimpannya, dan akan aku pakai lain kali di acara penting saja," lanjut Grace merasa sayang dengan kalung itu."Terserah padamu saja!" Marvel kembali memasukkan kalung itu pada kotak beludru itu dan menyerahkannya pada Grace.Grace menerima kotak itu dan menatap mata Marvel begitu dalam. Lalu dengan tiba-tiba dia berdiri dan meraih tengkuk Marvel Menciumnya dengan penuh kelembutan, memainkan lidah Marvel dan menyesapnya dalam. Marvel terkejut tetapi sangat menikmati ciuman ini, dia terkejut dengan ciuman Grace. Rasanya masih tidak percaya jika saat ini Grace sedang menciumnya. Grace melepas ciumannya dengan nafas yang masih tersenggal-senggal dan dengan cepat dia berlari ke kamar mandi menahan malu. Grace merutuki kebodohannya sendiri yang dengan tiba-tiba mencium Marvel.
Grace hanya diam dan kembali mengeratkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Marvel berdiri dari duduknya dan mengambil sebuah buket bunga dan kotak beludru biru yang cukup mewah. Entah apa isinya tetapi Grace bisa menebak bahwa isinya pasti sebuah kalung atau perhiasan lainnya."Pilihlah salah satu, ini hadiah untukmu!" Marvel menyodorkan buket bunga sederhana di tangan kanannya yang menurut Grace itu benar-benar payah, karena bunga itu cukup berantakan dan dapat Grace tebak jika bunga itu dipetik dari kebun belakang, sementara kotak beludru biru di tangan kirinya."Hadiah? Untuk apa?" Grace menatap Davian bingung. Hari ini bukan hari ulang tahunnya lalu mengapa Marvel repot memberinya hadiah, Grace menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Untuk semalam."Grace yang semula menunduk kemudian menatap mata Davian. Ingatannya kembali kepada kejadian semalam, saat dirinya dengan paksa harus mengulum junior Marvel. Oh, sun
Marvel berjalan memasuki mobilnya dan berlalu pergi ke kantor meninggalkan mansion mewahnya. Setelah melihat mobil Marvel pergi, Grace bergegas masuk. Grace mulai menjalankan semua aktivitas paginya, tanpa tahu seseorang sedang mengawasinya dari jauh. Hari berlalu begitu cepat, jam menunjukkan pukul 7 malam. Dan benar saja, Marvel mengirimkan seseorang untuk meriasnya. Grace bingung dibuatnya, pasalnya dia tidak tahu alasan dibalik ini. Dia hanya bisa Grace semua perintah Marvel. Satu jam kemudian Grace sudah siap. Grace berdiri di depan cermin dan memandangi dirinya, dia menelan ludahnya sendiri.'Ke mana dia akan mengajakku pergi, mengapa aku harus memakai gaun terbuka seperti ini,' batin Grace menghela napasnya.Grace berjengit kaget ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Marvel memeluk erat Grace dari belakang dan mendaratkan ciuman di leher jenjang Grace, kemudian menumpukkan dagunya di bahu Grace.
Jeol berhenti di tepi jalan yang sepi setelah tadi usai kebut-kebutan di jalanan. Jeol berteriak, memukul kepalanya sendiri dan berulang kali menghantam kemudinya dengan keningnya."Bego lo Jeol! Gila! Sinting!" maki Jeol pada dirinya sendiri."Dia Grace, istri Marvel, sahabat lo!" teriaknya yang tentu di tujukanpada dirinya sendiri."Jeol gila!" Lagi, Jeol kembali menghantam kemudi dengan keningnya sendiri."Kak ... jangan nyakitin diri sendiri." Sebuah suara halus, lembut dan begitu ia kenali membuat Jeol cepat-cepat mengangkat kepalanya, menatap kursi di sebelahnya yang semula kosong namun kini sudah terisi dengan objek kegilaannya tadi. Jeol berteriak, memukul kepalanya sendiri guna menghilangkan sosok Grace di sampingnya."Pergi Grace! Pergi!" teriak Jeol frustasi.Setelah bermenit-menit kemudian, baru Jeol berani membuka mata, di tatapnya kursi sebelahnya yang kini telah kosong seperti semula. Jeol lelah, ia menyandarkan punggung dan kepalan
la kembali ikut tertawa begitu melihat Bryan dikerjai oleh ayahnya, tawa kosong, tawa yang diam-diam di penuhi rasa iri hingga membuat matanya di isi buliran air yang siap jatuh kapan saja. Marvel yang sedari tadi memperhatikan istrinya, kini sedikit bergerak merapatkan kursinya agar lebih dekat pada istrinya. la genggam jemari Grace yang di letakkan di paha lalu membawanya ke pahanya sendiri. Begitu Grace mengalihkan tatapan ke arahnya, Marvel makin mengeratkan genggaman tangannya, ia berikan tatapan seteduh mungkin, sehangat yang ia bisa untuk menyalurkan rasa hangat pada istrinya. Grace tersenyum kecil, matanya yang sedikit memerah jadi menyipit kala bibirnya tertarik ke atas. "Mau nambah?" tanya Grace sebisa mungkin meredam rasa sesaknya. Marvel menggeleng, ia malah meletakkan sendoknya dan beralih mengusap pelan pipi Grace. "I'm here," bisik Marvel pelan, Grace mengangguk dengan mata memerahnya yang cepat-cepat ia usap dengan gerakan seolah mengusap hidungnya.
"Terus nanti kalau mogok lagi, Bapak gimana?" tanya Grace. "Gini ajalah, kebetulan di depan sana sekitaran beberapa meter lagi ada pom bensin. Bapak berhenti di situ, nanti saya carikan tukang bengkel yang bisa jemput Bapak," ucap Jeol pada Pak Didit. Grace kali ini setuju, Pak Didit pun mengiyakan. Sebelum menaiki mobil Jeol, Grace berjalan menuju mobilnya terlebih dahulu guna mengambil tasnya. Setelah segala macam barang bawaannya sudah di tangannya, Grace menghampiri Jeol dan Pak Didit yang masih menunggu. "Bapak duluan Pak, biar kita ngiringin di belakang," ucap Grace sebelum masuk ke dalam mobil Jeol. Setelah mobil Pak Didit melaju, barulah Jeol juga ikut melajukan mobilnya tepat di belakang mobil Pak Didit. Sementara Jeol sibuk menyetir, Grace sendiri sibuk mengistirahatkan badan. "Capek, ya?" tanya Jeol yang diangguki Grace. "Aku boleh numpang tidur nggak, Kak?" tanya Grace dengan suara lelah dan bercampur ngantuk. Jeol menoleh kearah Graxe
"Ya biarin," jawab Grace tak acuh.Marvel hanya tersenyum kecil, ia tahu Grace hanya ingin dirinya istirahat, tapi ya mau bagaimana lagi, pekerjaannya masih ada sedikit lagi, dan ia pun baru selesai makan. Dengan Grace masih berada di gendongan depannya, Marvel kembali menuju sofa tempatnya bekerja tadi, ia duduk di sana dengan Grace yang juga ikut duduk di pangkuannya. Marvel mulai kembali bekerja, sementara Grace hanya bisa cemberut karena Marvel kembali berkutat pada laptopnya.Merasakan gerakan abstrak jemari Grace di punggungnya, Marvel membujuk, "sebentar ya, ini dikit lagi selesai."Setelahnya, ia kembali fokus pada laptopnya. Dua keluarga besar kini sudah berkumpul memenuhi meja makan Marvel, para orang tua sedang asik berbincang sambil menunggu masakan siap di sajikan. Sementara Bryan dan Gio asik berdebat mengenai ajang badminton yang memang sedang diadakan di Korea. Marvel? Marvel ya Marvel, ia hanya akan bersuara ketika di tanya, atau bahkan hanya mengangg