"Aku sudah meminta Arata dan Devonn untuk berbelanja. Mungkin mereka akan tiba nanti sore."
Grace mengangguk lesu, mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu menghela napas pelan."Terima kasih banyak, Aizen."Aizen balas mengangguk dengan senyum hangat di wajahnya."Kau harus makan setelah ini, aku ingat kau belum makan sejak tadi." Grace tertawa pelan mendengarnya."Perutku mual, rasanya aku tidak bisa makan apapun saat ini.""Mungkin karena kau sudah lama tidak pergi dengan pesawat?" gurau Aizen yang langsung membeku begitu Grace melontarkan jawaban padanya.Aizen mendesah kasar mendengar itu. Grace benar, jika saja wanita itu sudah sejak awal memberitahunya mengenai hal ini, ia tidak mungkin membawanya pergi ratusan kilometer jauhnya dari New York."Kau harusnya katakan sejak awal padaku, Grace. Bagaimana jika—""Nyatanya aku baik-baik saja sekarang," sela Grace lalu menyeringai lembut."Sudahlah Aizen."Aizen terhenyGrace memejamkan matanya dan membiarkan air mata itu kembali menuruni wajahnya, menyapu seluruh riasan tipisnya bersama air mata kesedihan yang dia keluarkan. Mungkin dia bisa saja tidak kembali. Dan sejauh apapun dia coba untuk berpisah, akan selalu membuatnya merindukan pria itu. Benar-benar menyebalkan. Grace tersentak begitu mendapati ponselnya bergetar tanda ada panggilan yang masuk. Dan nama seseorang yang terpampang di layarnya membuat dia menyingkirkan ponsel itu asal."Kau tidak angkat teleponnya?" tanya Aizen yang baru saja melangkah masuk ke dalam kamar.Grace menggeleng samar lalu mematikan ponselnya lagi saat panggilan itu selesai. Aizen duduk di tepi kasur lalu memandangi wanita di hadapannya lekat-lekat. Grace terdiam murung, entah mengapa ada rasa takut di hatinya untuk bertemu dengan Marvel lagi."Aku tidak bisa Zen," tuturnya pelan."Kenapa?" balas Aizen lembut.Dia merapihkan selimut yang dipakai Grace lalu kembali memandanginya dengan han
Di dalam kamar, Deven terus meluruhkan air matanya. Berapa kalipun dia mengusapnya, rasanya percuma. Pria tua itu pun bangkit dari duduknya begitu mendengar panggilan putra sulungnya. Dia amati foto pernikahannya dengan Noza 38 tahun lalu yang menggantung di dinding."Noza-ku ..." Deven menekan dadanya yang sesak, kemudian menyeka air matanya."Daddy."Deven tersenyum begitu bersitatap dengan Marvel."Semua orang menunggu di bawah. Aku akan panggil Wei."Deven mengangguk. Marvel berjalan menuju kamar adiknya. Jeritan gadis itu terus terdengar. Ia buka pintu kamar Wei. Begitu terbuka, tubuh Wei terlempar padanya. Marvel menangkapnya dengan sigap. Di balik badan adiknya, netra Marvel bertemu dengan milik Lones yang kepayahan."Kakak! Ayo, bangunkan Mommy!""Kau tidak lihat?""Huh?" Gadis itu terdiam."Bukan hanya kamu yang kehilangan Mommy."Air mata Wei kembali mengalir."Kakakmu ini ..." Marvel menepuk dada kirinya." ... r
Lagi-lagi air mata Grace bergulir mendengar itu."Bagaimana dengan anak yang ada pada Ginie? Aku tidak sanggup membayangkannya."Aizen terdiam mendengarnya, ia kembali mengusap wajah Grace perlahan."Anak yang dikandung Ginie, bukanlah anaknya Grace. Aku sudah mendengarnya sendiri dari Marvel, hanya aku belum melihat bukti-buktinya.""Benarkah?"Anggukan yang diberikan Aizen memberikan perasaan aneh yang muncul pada dada Grace. Sebuah perasaan ringan yang sarat akan kebahagiaan. Tapi, bisa saja pria itu memanipulasinya dan mengancam Ginie untuk tidak mengakui anak itu adalah anaknya, mungkin saja begitu."Mungkin Marvel membayar Ginie untuk menutup mulutnya.""Tidak, dia bukan lagi pria seperti itu Grace. Dia sudah berubah.""Tapi—""Aku akan bawakan bukti-buktinya jika aku sudah mendapatkannya langsung dari Marvel."Grace mendesah kasar mendengarnya. Bagaimanapun juga,Aizen pasti akan memintanya untuk kembali. Meski sejujurnya
Grace tentu tahu apa yang sedang dipikirkan Aizen saat ini. Jujur, perasaannya juga sedang tidak baik karena keputusan besar yang telah diambilnya. Berusaha menepis perasaan khusus di hatinya yang nyatanya justru memperparah kekalutan di kepalanya, membuat Grace memutuskan untuk tidak membahas apapun dengan Aizen. Dan malam itu, berakhir dengan tenang seperti biasa meski nyatanya kesedihan itu tetap menyelimuti mereka tanpa henti. Grace dengan keputusannya dan Aizen dengan perasaannya.Desahan frustrasi keluar dari bibir Aizen. Setelah menenggak segelas air putih untuk mengusir rasa tercekat di tenggorokannya, dia memutuskan untuk tidur lebih cepat malam ini. Matanya yang langsung menangkap tubuh seorang wanita yang sudah terbungkus selimut, berhasil membuat setitik air mata yang ditahannya bergulir dengan bebas. Dia mengusapnya cepat dan naik ke atas kasur. Tubuhnya dia bungkus dengan selimut setelah merapihkan selimut itu untuk wanita di sebelahnya. Kemudian pandangannya just
"Kamu suka?"Grace mengangguk dan kembali merapatkan tubuhnya pada Marvel manja."Ini semua karena aku yang pandai mengarahkanmu, Dad."Marvel tertawa pelan mendengarnya."Terserah apa katamu, Sayang, tapi aku senang kamu menyukainya," balasnya sembari mengusap puncak kepala wanitanya lembut.Membiarkan tubuh Grace bersandar nyaman pada dada bidangnya sembari wanita itu menghabiskan jus alpukatnya dengan lahap. Wajah dan dada padat Grace yang kian berisi juga pinggulnya yang membesar, selalu berhasil membuat milik seorang Marvel menegang tanpa terkendali. Ingin sekali rasanya mengulang percintaan panas yang tidak dilaluinya selama berbulan-bulan ditahannya itu dengan Grace. Mendengar desahan erotisnya serta remasan lembut pada bahunya saat wanita itu mencapai puncak kepuasannya. Dia akan melakukannya selama tujuh hari tanpa henti. Marvel mengulum senyum nakalnya membayangkan hal erotis di kepalanya itu."Kamu mau, Dad?""Gak Sayang."Gracee ke
"Apa membunuh pelakunya bisa membuatnya tak jadi depresi?" tanya Marvel.Dokter bernama Audrey itu menghela napas panjang."Aku tidak tahu soal itu." Ia tatap bola mata Marvel yang menggelap."Aku memberinya obat tidur agar dia bisa tidur nyenyak. Kalau begitu, permisi, Tuan."Setelah dokter itu pergi, Marvel berjalan menuju kamarnya. Dia lihat gadis tak berdaya itu tidur dengan tenang akibat obat yang diberikan padanya. Marvel berjalan mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Dia sugar anak rambut yang menutupi wajahnya. Pipi yang biasanya merona karena tawa ataupun malu itu, kini merah akibat gambar tangan. Sudut bibirnya bahkan lecet."Kamu bisa melewati ini," lirih Marvel.Pria berusia 31 tahun itu bangkit dari duduknya setelah menaikkan selimut tebal berwarna dark grey itu hingga sebatas leher Grace. Dia tak ingin mengintip semua luka di tubuh gadis itu. Tadi saat di gudang, meski hanya berbekal penerangan minim, dia masih bisa melihat betapa mengenas
Azlan sedari tadi memperhatikan tuannya yang hanya diam ditemani secangkir kopi yang mungkin sudah dingin. Pandangan pria yang lebih tua darinya itu kosong. Azlan telan ludahnya. Tak biasanya bosnya itu begitu. Dia cukup kaget saat tiba-tiba mendengar helaan napas berat dan panjang."Are you okay, Sir?"Marvel menoleh."Ya. I'm fine," ucapnya lalu menyeruput kopinya.Azlan masih menatapnya lekat."Kapan Wei ke sini?""Dia masih jalan-jalan dengan Joayo, Sir."Marvel letakkan cangkir kopinya."Kau tidak melepasnya, 'kan?""Tidak, Sir. 24 jam orang itu mengawasi Nona Wei."Marvel mengangguk. Dia menoleh cepat saat suara bel berbunyi. Azlan bangkit tanpa instruksi. Setelahnya, lengkingan suara wanita menusuk gendang telinga Marvel."Kakak!"Wei Restica Marie berhambur memeluk kakak sepupunya."Do you have fun?"Wei mengangguk mantap."Kita makan malam bersama, ya?""Of course, ya."Wei girang bukan mai
Mobil Marvel pun berlalu. Rinrada masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Sayup-sayup ia dengar tangis putrinya. Dia pun melangkahkan kakinya dan berdiri di depan pintu kamar putrinya. Grace di dalam sana tengah menjerit histeris. Rinrada pun berlalu menuju kamarnya. Grace menyapu meja riasnya. Segala pernak-perniknya hancur berantakan di lantai. Dia jambak rambutnya sendiri. Napasnya tersengal. Giginya menaut menahan nyeri di dalam dadanya."Kenapa kamu gitu, Vel?" rintih Grace."Padahal kupikir kamu malaikat penolongku."***"Bukan begitu cara membunuhnya, Junio. Lakukan lebih rapi, ya?"Marvel berdiri di belakang bocah remaja yang tengah memegang pisau bersimbah darah dengan korban sekarat penuh luka sayatan di depannya. Tapi, yang ia lihat, bocah ini merencanakan misinya dengan matang. Buktinya dia memakai sarung tangan. Namun, amarahnya yang terlalu meledak bisa menghancurkan misi mereka. Ya, mungkin karena sakit hati atas perbuatan bejat korbannya pad
"Sekarang buka gerbangnya, kalian bisa memastikannya saat aku sudah pergi," ujar Nantsu menatap sinis pada pengawal.Pengawal itu berpikir keras, mungkin saja itu benar. Nantsu adalah salah satu orang kepercayaan tuannya, jadi tidak mungkin dia berbohong."Baiklah, tetapi cepatlah kembali!" pengawal kemudian membuka gerbangnya.Tanpa mengacuhkan pengawal tersebut, Nantsu kemudian mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang. Nantsu tersenyum puas dan sangat lega, karena semua rencananya berjalan dengan lancar. Sesekali dia melihat ke belakang dan melihat Grace yang masih tidak sadarkan diri di sana."Sebentar lagi Sayang, sebentar lagi!" Nantsu berujar dengan smirknya yang licik.2 jam lamanya Nantsu mengemudikan mobilnya, dia ha
Kemudian dia segera mencari kamar Marvel, dan ketika dia membuka pintu kamarnya dia tersenyum senang melihat Grace di sana. Akhirnya tujuannya akan tercapai yaitu merebut Grace dari Marvel dan membawanya pergi. Nantsu masuk dan menutup pintunya kembali. Terlihat seorang gadis sedang terlelap tidur di atas ranjang.'Oh, jika saja aku sedang tidak terburu-buru, akan aku pastikan kita akan bercinta saat ini juga,' batin Nantsu melongo menatap keindahan tubuh Grace meskipun dari belakang.Nantsu berjalan mendekat ke arah Grace dan duduk di sampingnya. Perlahan Nantsu membelai lembut pipi Grace membuat Grace terganggu dan mengerjap membuka matanya. Seketika Grace membuka matanya lebar dan menjauhi Nantsu."Apa yang kau lakukan?! Bagaimana bisa kau sampai di sini?! Untuk apa kau kemari?!!" bentak Nantsu merasa terkejut akan keberadaan Nantsu di kamar Marvel."Waktu kita tidak lama, pergilah bersamaku
"Ah tidak, aku akan menerimanya. Tapi aku tidak akan memakainya, bagaimana jika tergores, bagaimana jika hilang dan bagaimana jika kalung ini diambil orang. Aku akan menyimpannya, dan akan aku pakai lain kali di acara penting saja," lanjut Grace merasa sayang dengan kalung itu."Terserah padamu saja!" Marvel kembali memasukkan kalung itu pada kotak beludru itu dan menyerahkannya pada Grace.Grace menerima kotak itu dan menatap mata Marvel begitu dalam. Lalu dengan tiba-tiba dia berdiri dan meraih tengkuk Marvel Menciumnya dengan penuh kelembutan, memainkan lidah Marvel dan menyesapnya dalam. Marvel terkejut tetapi sangat menikmati ciuman ini, dia terkejut dengan ciuman Grace. Rasanya masih tidak percaya jika saat ini Grace sedang menciumnya. Grace melepas ciumannya dengan nafas yang masih tersenggal-senggal dan dengan cepat dia berlari ke kamar mandi menahan malu. Grace merutuki kebodohannya sendiri yang dengan tiba-tiba mencium Marvel.
Grace hanya diam dan kembali mengeratkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Marvel berdiri dari duduknya dan mengambil sebuah buket bunga dan kotak beludru biru yang cukup mewah. Entah apa isinya tetapi Grace bisa menebak bahwa isinya pasti sebuah kalung atau perhiasan lainnya."Pilihlah salah satu, ini hadiah untukmu!" Marvel menyodorkan buket bunga sederhana di tangan kanannya yang menurut Grace itu benar-benar payah, karena bunga itu cukup berantakan dan dapat Grace tebak jika bunga itu dipetik dari kebun belakang, sementara kotak beludru biru di tangan kirinya."Hadiah? Untuk apa?" Grace menatap Davian bingung. Hari ini bukan hari ulang tahunnya lalu mengapa Marvel repot memberinya hadiah, Grace menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Untuk semalam."Grace yang semula menunduk kemudian menatap mata Davian. Ingatannya kembali kepada kejadian semalam, saat dirinya dengan paksa harus mengulum junior Marvel. Oh, sun
Marvel berjalan memasuki mobilnya dan berlalu pergi ke kantor meninggalkan mansion mewahnya. Setelah melihat mobil Marvel pergi, Grace bergegas masuk. Grace mulai menjalankan semua aktivitas paginya, tanpa tahu seseorang sedang mengawasinya dari jauh. Hari berlalu begitu cepat, jam menunjukkan pukul 7 malam. Dan benar saja, Marvel mengirimkan seseorang untuk meriasnya. Grace bingung dibuatnya, pasalnya dia tidak tahu alasan dibalik ini. Dia hanya bisa Grace semua perintah Marvel. Satu jam kemudian Grace sudah siap. Grace berdiri di depan cermin dan memandangi dirinya, dia menelan ludahnya sendiri.'Ke mana dia akan mengajakku pergi, mengapa aku harus memakai gaun terbuka seperti ini,' batin Grace menghela napasnya.Grace berjengit kaget ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Marvel memeluk erat Grace dari belakang dan mendaratkan ciuman di leher jenjang Grace, kemudian menumpukkan dagunya di bahu Grace.
Jeol berhenti di tepi jalan yang sepi setelah tadi usai kebut-kebutan di jalanan. Jeol berteriak, memukul kepalanya sendiri dan berulang kali menghantam kemudinya dengan keningnya."Bego lo Jeol! Gila! Sinting!" maki Jeol pada dirinya sendiri."Dia Grace, istri Marvel, sahabat lo!" teriaknya yang tentu di tujukanpada dirinya sendiri."Jeol gila!" Lagi, Jeol kembali menghantam kemudi dengan keningnya sendiri."Kak ... jangan nyakitin diri sendiri." Sebuah suara halus, lembut dan begitu ia kenali membuat Jeol cepat-cepat mengangkat kepalanya, menatap kursi di sebelahnya yang semula kosong namun kini sudah terisi dengan objek kegilaannya tadi. Jeol berteriak, memukul kepalanya sendiri guna menghilangkan sosok Grace di sampingnya."Pergi Grace! Pergi!" teriak Jeol frustasi.Setelah bermenit-menit kemudian, baru Jeol berani membuka mata, di tatapnya kursi sebelahnya yang kini telah kosong seperti semula. Jeol lelah, ia menyandarkan punggung dan kepalan
la kembali ikut tertawa begitu melihat Bryan dikerjai oleh ayahnya, tawa kosong, tawa yang diam-diam di penuhi rasa iri hingga membuat matanya di isi buliran air yang siap jatuh kapan saja. Marvel yang sedari tadi memperhatikan istrinya, kini sedikit bergerak merapatkan kursinya agar lebih dekat pada istrinya. la genggam jemari Grace yang di letakkan di paha lalu membawanya ke pahanya sendiri. Begitu Grace mengalihkan tatapan ke arahnya, Marvel makin mengeratkan genggaman tangannya, ia berikan tatapan seteduh mungkin, sehangat yang ia bisa untuk menyalurkan rasa hangat pada istrinya. Grace tersenyum kecil, matanya yang sedikit memerah jadi menyipit kala bibirnya tertarik ke atas. "Mau nambah?" tanya Grace sebisa mungkin meredam rasa sesaknya. Marvel menggeleng, ia malah meletakkan sendoknya dan beralih mengusap pelan pipi Grace. "I'm here," bisik Marvel pelan, Grace mengangguk dengan mata memerahnya yang cepat-cepat ia usap dengan gerakan seolah mengusap hidungnya.
"Terus nanti kalau mogok lagi, Bapak gimana?" tanya Grace. "Gini ajalah, kebetulan di depan sana sekitaran beberapa meter lagi ada pom bensin. Bapak berhenti di situ, nanti saya carikan tukang bengkel yang bisa jemput Bapak," ucap Jeol pada Pak Didit. Grace kali ini setuju, Pak Didit pun mengiyakan. Sebelum menaiki mobil Jeol, Grace berjalan menuju mobilnya terlebih dahulu guna mengambil tasnya. Setelah segala macam barang bawaannya sudah di tangannya, Grace menghampiri Jeol dan Pak Didit yang masih menunggu. "Bapak duluan Pak, biar kita ngiringin di belakang," ucap Grace sebelum masuk ke dalam mobil Jeol. Setelah mobil Pak Didit melaju, barulah Jeol juga ikut melajukan mobilnya tepat di belakang mobil Pak Didit. Sementara Jeol sibuk menyetir, Grace sendiri sibuk mengistirahatkan badan. "Capek, ya?" tanya Jeol yang diangguki Grace. "Aku boleh numpang tidur nggak, Kak?" tanya Grace dengan suara lelah dan bercampur ngantuk. Jeol menoleh kearah Graxe
"Ya biarin," jawab Grace tak acuh.Marvel hanya tersenyum kecil, ia tahu Grace hanya ingin dirinya istirahat, tapi ya mau bagaimana lagi, pekerjaannya masih ada sedikit lagi, dan ia pun baru selesai makan. Dengan Grace masih berada di gendongan depannya, Marvel kembali menuju sofa tempatnya bekerja tadi, ia duduk di sana dengan Grace yang juga ikut duduk di pangkuannya. Marvel mulai kembali bekerja, sementara Grace hanya bisa cemberut karena Marvel kembali berkutat pada laptopnya.Merasakan gerakan abstrak jemari Grace di punggungnya, Marvel membujuk, "sebentar ya, ini dikit lagi selesai."Setelahnya, ia kembali fokus pada laptopnya. Dua keluarga besar kini sudah berkumpul memenuhi meja makan Marvel, para orang tua sedang asik berbincang sambil menunggu masakan siap di sajikan. Sementara Bryan dan Gio asik berdebat mengenai ajang badminton yang memang sedang diadakan di Korea. Marvel? Marvel ya Marvel, ia hanya akan bersuara ketika di tanya, atau bahkan hanya mengangg