Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” Teriak Ameera dari dalam ruangan kerjanya. Seorang suster muncul dari balik pintu. Di tangannya tumpukan dokumen tertata rapih kemudian disodorkan ke depan Ameera.“Pasien terakhir sudah datang, dok. Dan ini dokumen data diri beliau,” ucap suster sopan. Ameera mengambil alih map biru dari genggaman suster.“Terima kasih, suster. Tolong persilahkan pasien masuk.”“Baik, dok.”Suster pergi meninggalkan Ameera, beberapa detik kemudian bayangan wanita berganti menjadi sosok pria jangkung yang memasuki ruangan berukuran 3x5 itu.“Selamat siang, dok.”Tubuh Ameera sontak menegang kala suara yang barusan ia dengar seolah tak asing di telinga. Ia mendongak, dan mendapati sosok pria yang ia temui setengah jam lalu.“Kamu?” ucap Ameera tak percaya. Ia memalingkan pandangannya dari pria itu ke map berisi data diri pasien. Nama Akbar dimitri beserta selembar pas foto terpampang di sana.Wajah pria di foto dengan sosok yang berdiri di dekat pintu sama persis. Bahkan, pria itu seolah tak mengganti pakaiannya.“Bu Ameera?” Susul Akbar menyebut nama Ameera dengan sangat mulus. Ia sama terkejut ya dengan Ameera hingga tak mampu mengontrol raut wajahnya.“Silahkan duduk, Pak Akbar.” Nada bicara Ameera langsung berubah formal. Ia sadar situasi saat ini bukanlah momen yang sama dengan yang ia hadapi sebelumnya. Setelah mempersilahkan Akbar untuk duduk, Ameera menyiapkan beberapa catatan untuk merekam jejak-jejak informasi penting pasiennya.“Saya tidak menyangka kamu yang akan membantu saya,” ucap Akbar. Seulas senyum terlukis indah di wajah tampannya. Dua bola mata biru menyorot tepat di kedua manik mata Ameera dalam. Seolah ia bisa mengeruk banyak-banyak kenyamanan yang terkuak dari sana.“Sepertinya ini kebetulan, tapi, saya berharap bisa sedikit meringankan beban yang sedang kamu hadapi saat ini. Jadi, apakah kita bisa memulainya sekarang?” tanya Ameera lembut. Sikapnya saat ini sedikit berbeda dengan yang ia tunjukkan saat perkenalan tadi. Ameera tetap menjaga profesionalitasnya sebagai seorang Psikolog meski pasien yang ia tangani saat ini adalah orang yang ia kenal.Ameera menunggu respon Akbar dengan sabar. Dalam hati menduga masalah yang sedang dihadapi oleh pria itu adalah masalah yang cukup berat. Namun, tak bisa disanggah ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul di benak Ameera. Khawatir Akbar justru segan untuk membagikan keluhannya pada Ameera karena pertemuan awal mereka tadi.“Jika kamu masih merasa ragu, kita bisa mengobrol banyak hal lain yang mungkin bisa membuatmu sedikit rileks,” saran Ameera. Ia tak bisa memaksakan siapapun untuk menumpahkan keluh kesahnya.“Bagaimana caranya melupakan masa lalu, Ameera? Bolehkah aku memanggilmu demikian? Aku pikir itu akan membuatku merasa lebih leluasa.” Akbar menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Menghela napas pelan dan berat.“Kamu bisa memanggilku dengan nama saja selama itu bisa membuatmu nyaman.” Ameera mengulas senyum yang tak pernah ia lepaskan dari wajahnya. Sikap lembutnya tak ayal sering kali membuat para pasien nyaman ketika berada di dekatnya.Akbar menatap lurus ke arahnya, seketika itu pula jantung Ameera berdegup kencang di luar batas normal. Siapa yang bisa mengelak ketampanan pria ini? Wanita norma seperti Ameera saja kesulitan mengontrol diri.“Panggil saja Akbar, baiklah, bagaimana cara melupakan masa lalu yang paling efektif?” Akbar mengulang lagi pertanyaannya. Masih konsisten dengan tatapan penuh misteri untuk Ameera.Jika biasanya Ameera bisa dengan mudah menjawab pertanyaan pasien, kali ini satu pertanyaan pembuka saja sudah membuat dadany kembang kempis. Ameera menghela napas pelan sebelum menjawab. Di otaknya sudah diatur sedemikian rupa untuk menjawab sesuai teori psikologis yang sudah ia hafal di luar kepala.“Tentunya, dengan melepaskan semua hal yang dirasa menjerat diri kita dari masa lalu itu. Apakah belakangan ini kamu mengalaminya?” Ameera balik bertanya.Akbar sontak mengalihkan pandangan ke arah lain kala pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Raut wajahnya berubah tegang apalagi saat Ameera mencoba mendeteksi keluhan yang ada dalam diri pria itu.“Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia terlihat frustasi sekali?” Batin Ameera bergejolak. Menyimpan rasa penasaran yang begitu besar akan latar belakang pria ini.“Ya, belakangan aku sering kali merasa cemas akan masa lalu dan masa depan. Apakah itu hal yang normal untuk orang-orang seusia kita?” tanya Akbar lagi. Jarinya yang tergeletak di atas meja ia ketuk-ketukan senada dengan detak jarum jam yang suaranya mendominasi di kala hening.Tiap kali Ameera hendak mengajukan pertanyaan, ribuan kali pula ia menimbang-nimbang. Pria ini terlihat kokoh di luar namun gestur tubuhnya menunjukkan hal sebaliknya.“Aku tidak bisa tidur nyenyak tiap kali aku mengingat masa lalu, apakah ini yang dinamakan trauma?” Akbar menyambung lagi seolah tak sabar ingin mendengar jawaban Ameera. Kini, Ameera yang bersikap seolah ia adalah tersangka penyebab keluhan yang dialami oleh Akbar. Mendadak Ameera tak bisa mengatur suasana. Pesona Akbar terlalu kuat bahkan untuk diabaikan.“Sebelum aku menjawab lebih jauh, bolehkah aku mengetahui inti masalah kamu terlebih dahulu?” kata Ameera mencoba membalikkan keadaan.Tatapan mereka kembali bertemu, sedangkan bibir Akbar bagaikan gerbang yang dikunci rapat. Tak sedikitpun bersuara.“Apakah aku bisa memberimu kepercayaan untuk menjaga rahasia terbesarku?”“Tentu, aku memiliki tanggung jawab untuk hal itu. Kamu bisa membagi keluhanmu dengan berproses,” balas Ameera ramah.Hidung mancung dan bibir tipisnya seolah menggoda lelaki manapun yang melihatnya. Paras cantik dengan segudang talenta yang Ameera miliki kelihatannya mampu membuat Akbar cukup banyak menaruh perhatian padanya.“Aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku. Mengikhlaskan seseorang yang pernah memberikan banyak kontribusi dalam hidupku ternyata tidak semudah yang aku kira. Aku terlalu percaya bahwa dia tidak akan direnggut dariku hingga…. ,” Akbar sengaja menggantungkan kalimatnya. Di depannya.Momen diskusi menjadi momen paling menegangkan selama perjalanan karir Ameera sebagai seorang psikolog. Kehadiran Akbar yang tiba-tiba langsung membuat segenap perhatian dan rasa penasaran disematkan pada pria itu.“Aku mengalami kegagalan cinta. Psikologku terdahulu mengatakan bahwa aku mengalami Obsession Love Syndrome yang membuat aku tak bisa melepaskan kepergian kekasihku. Ketika kamu mengetahui hal ini, apakah kamu bisa membantuku?” tanya Akbar. Untuk sekejap ruangan serba putih itu diselingi oleh keheningan. Meski pekerjaan yang Ameera lakoni saat ini akan berkesinambungan dengan kondisi mental seseorang, bagaimanapun ia tetaplah manusia biasa. Meski tahu apa itu Obsession Love Syndrome, Ameera tak menyangka, di balik wajah tampan dan tubuh atletis Akbar menyimpan banyak kerapuhan.“Aku akan membantumu selama kamu bisa mengikuti prosedurnya, Akbar. Dan ini semua butuh proses. Kamu tidak perlu khawatir, selama kamu mengikuti semua aturannya aku yakin kamu bisa terlepas dari keluhan ini,” ucap Ameera. Membuka diri untuk mengenal lebih jauh pasien yang hari ini membuatnya meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengarkan.Waktu liburan yang Ameera nantikan akhirnya tiba. Setelah melewati lika-liku permasalahan pasien, kini waktu untuk dirinya melepas penat. Salah satu aktivitas yang sudah masuk ke dalam daftar prioritas hal yang harus ia lakukan adalah berbelanja. Saat ini langkah kakinya tengah menyusuri selasar salah satu swalayan paling besar di kota. Waktunya Ameera mengisi ulang stok kebutuhan dapurnya untuk bulan depan.Semua bahan makanan terhampar sepanjang mata Ameera memandang. Lauk pauk, makanan olahan, buah-buahan hingga peralatan dapur menjadi salah satu alat terapi untuk memanjakan mata. “Sayang, aku mau beli buah-buahan. Kamu mau buah apa?” Suara lembut seorang wanita entah kenapa membuat pikiran Ameera langsung terdistraksi. Suara itu terdengar jelas berdayun di telinganya. Ameera menduga wanita itu kini tengah berdiri di belakangnya. Awalnya Ameera mengabaikan interaksi sepasang kekasih yang terdengar menggemaskan itu. Tangan Ameera terulur ke depan, hendak meraih kotak sereal yang
Orang-orang di sekitar swalayan yang berada di dalam mall ini masih memaku pandangan mereka ke arah Ameera dan Akbar. Ameera memutuskan untuk membawa pria itu keluar dari lingkaran orang-orang yang tidak memahami situasinya.“Ikutlah denganku. Kita bicara di luar,” katanya tegas. Ameera menarik pelan tangan Akbar yang masih diam membisu. Pria itu mengikuti langkah Ameera tanpa menunjukkan sedikitpun pemberontakan. Mendadak Ameera was-was. Khawatir jika ucapannya tadi membuat Akbar sakit hati.Mereka berdua masuk ke dalam sebuah kafe yang cukup sepi pengunjung. Ameera memesan minuman untuk sekedar formalitas lalu mendudukkan Akbar di kursi seberangnya. “Duduk, dan tenangkan dirimu.” “Aku tidak bisa tenang sebelum dia ikut denganku, Ameera,” sentak Akbar tiba-tiba. Ameera pikir, kediaman Akbar tadi karena pria itu setidaknya sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Nyatanya, hal itu hanyalah sebuah kamuflase belaka.Ameera menghela napas pelan, menguraikan kesabarannya yang mulai m
Ameera melirik akbar lewat ujung matanya. Pria itu kini tengah menatapnya lamat dengan sedikit perasaan curiga.Buru-bury Ameera melepas rangkulan Akbar dari pundaknya seraya berkata. “Lebih baik kita masuk terlebuh dahulu. Aku akan menjelaskannya di dalam,” putus Ameera kemudian mengepalai langkah mereka menuju rumah. Kedatangan Akbar di rumah bergaya minimalis modern itu disambut oleh pemandangan design interior yang memanjakan mata. Ameera mempersilahkan Akbar untuk duduk di sofa ruang tamu sedangkan ia melenggang pergi menuju dapur.Akbar mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Memperhatikan setiap sudut rumah Ameera dengan lamat. Dua buah bingkai foto keluarga tergantung di salah satu sisi dinding tepat di atas nakas tingkat berisi ornamen pajangan. Foto keluarga yang terlihat harmonis menunjukkan senyuman sepasang suami istri penuh wibawa diapit oleh dua wanita muda. Salah satu dari dua wanita itu adalah Ameera. Rambut sebahu dengan wajah cantiknya yang khas berhasil menarik
Ameera menghempaskan tasnya secara sembarang ke atas kasur bersamaan dengan tubuhnya yang melandas tepat di tempat yang sama. Pandangannya menerawang, menatap ke segala sudut kamar yang kosong. Plafon putih di atasnya bak sebuah layar besar yang ia jadikan sebagai tempat untuk melampiaskan imajinasinya sendiri. Setelah pulang dari rumah Akbar, gejolak perasaan aneh mulai mengganggunya. Perbincangan singkat namun serius tadi membuat Ameera berpikir berulang kali, apa yang membuat mantan kekasih Akbar mencampakkan pria itu demi pria lain?Sekelumit pertanyaan tak kunjung mendapatkan jawaban. Jiwa-jiwa penasaran mulai meronta dalam dada namun tak bisa dengan mudan Ameera lepaskan. Ini bukan tentang dirinya, melainkan tentang sosok pria yang hampir mati karena ditinggal cinta.Sial! Ameera harus menelan mentah-mentah nasibnya yang harus terjerembab ke dalam lingkaran masa lalu orang lain.“Ah, andai saja aku tidak bertemu dengan dia, pasti hari-hariku tidak akan seperti ini,” gumam Ameer
“Kamu jangan bercanda, aku tidak mungkin bisa bersama dia. Secara kriteria calon pendamping yang aku harapkan bukan seperti dia,” kilah Ameera malu-malu. Ameera berharap usahanya kali ini tak bisa membuat Vira menjamah lebih jauh isi pikirannya. Dengan begitu, ia bisa dengan leluasa bernapas. “Aku hanya berharap di kemudian hari kamu bisa mendapatkan apa yang kamu harapkan Meera,” kata Vira memanjatkan doa-doa sebagai harapan baik untuk sang sahabat. Ameera tersenyum simpul, dalam hati juga mengaminkan ucapkan Vira. Mereka berdua pada akhirnya berpisah setelah saling mengucapkan salam hangat. Sebelum masuk ke ruangan kerjanya, Ameera menghembuskan napas pelan. “Semoga aku tidak benar-benar menyukainya. Mungkin ini hanya perasaan kagumku saja,” gumam Ameera kemudian menekan kenop pintu. Suasana ruangan kerja Ameera sama seperti biasanya, Ia menaruh tasnya di atas meja, lalu duduk menguasai area kerjanya. “Aku sudah menunggumu sejak tadi Bu Ameera, sepertinya kamu datang terlambat
Ice cappucino di dalam gelas masih utuh tak tersentuh, Pikiran Ameera mengawang tanpa batas sejak kepergian Akbar yang tiba-tiba. Kedua matanya sayu, pandangannya kosong. Ameera seperti sosok mayat hidup yang tak memiliki tujuan. Duduk di kantin berhadapan dengan Vira yang kini tengah memandangnya dengan tatapan aneh. “Kamu yakin kamu baik-baik saja, Ameera?” tanya Vira khawatir, gelagat yang ditunjukkan sahabatnya sama sekali berbeda dengan kesehariannya. Banyak pertanyaan yang kini bersarang di pikirannya. Ameera mengalihkan perhatiannya pada sang sahabat, tatapan kosongnya membuat Vira semakin khawatir. Ia bagaikan seorang yang kehilangan arah. Bahkan Ameera sendiri tak tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Sentuhan Vira di tangan Ameera membuatnya terperanjat. Lamunannya buyar seketika. Sadar dirinya sedang menjadi pusat perhatian oleh sahabatnya sendiri, Ameera menjawab,“Aku rasa aku kurang enak badan hari ini, Vira.” Sebuah jawaban yang terdengar aman untuk menyembu
Ameera menatap mata pasangan itu dengan segenap sisa keyakinan yang ia miliki. Keberaniannya kian menipis saat sorot mata Valentine dan kekasihnya seolah menuntutnya untuk menjawab sebuah kenyataan yang dibalut dengan kebohongan.“Ameera adalah kekasihku. Untuk apa kalian mengetahui urusan kami?” Ameera sontak menoleh saat pinggangnya terasa dirangkul erat. Betapa terkejutnya ia saat Akbar sudah berdiri di samping tubuhnya dengan ekspresi dingin dan ketus pada Valentine.“Apa yang salah denganmu, Valentine? Apakah kamu belum bisa berpindah hati dariku?” ucap akbar dengan nada merendahkan. Gestur tubuhnya terlihat superior karena telah berhasil membuat Valentine mati kutu. “Aku tahu kamu masih membutuhkan aku, hingga akhirnya kamu memutuskan untuk menyelidiki tengangku lewat Ameera,” sambung Akbar lagi. “Jangan geer kamu Akbar. Aku hanya menyapanya. Tidak ada urusan denganmu sama sekali,” tandas Valentine tak kalah sinis.Ameera berada di tengah-tengah dua orang yang pernah terikat
Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala Ameera sepanjang perjalanannya pulang ke rumah. Beberapa kali Ameera harus menerima makian dari pengendara lain karena tidak fokus menyetir mobilnya. Tempat yang kini ia tempati, adalah tempat yang sebelumnya dipijak oleh Akbar. sepulangnya pria itu, justru meninggalkan banyak sekali pertanyaan yang mengisi pikiran Ameera. jejaknya seolah tak bisa hilang. bahkan saat ini, Ameera masih bisa mencium aroma musk dari parfum yang biasa dipakai oleh Akbar. Ameera menghela napas pelan, melepaskan kegundahan yang sekarang tengah menggelayuti hati. Dibuat galau oleh seseorang yang ia tahu tidak merasakan hal yang sama adalah sebuah tutorial penyiksaan diri sendiri. Bagaimana tidak, jika kebanyakan orang yang jatuh cinta selalu memiliki cara untuk membuat dirinya berada di sekitar orang yang mereka cintai, berbeda dengan Ameera. Terlalu dini untuk berpikir apa yang ia rasakan untuk Akbar saat ini adalah perasaan cinta. Yang Ameera tahu, ia terpeson
Suhu dingin di ruangan ini terasa menusuk bagi Ameera. Entah kenapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Ameera menggeliat di atas kasur besar yang ia tempati saat ini. Kepala pening dan berat tubuh yang kehilangan banyak tenaga, ada apa ini sebenarnya? Ia mencoba membuka mata, melihat ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum fokus. Kini ia berada di sebuah kamar yang terasa asing baginya. Kamar ini juga baru pertama kali ia singgahi. “Apakah aku masih di vila milik Akbar?” Ameera bergumam sendiri. Sadar tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Pintu kamar terkunci rapat. Nuansa kamar yang serba putih ini membuat Ameera cukup kesulitan menyeimbangkan kinerja otaknya setelah bangun tidur. Dengan langkah tertatih, Ameera berjalan menuju pintu. Kepalanya masih terasa berat seolah ada benda yang membebaninya saat ini. Di luar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain suara sandal yang dipakai Ameera. Ia menatap sekeliling namun tidak menemukan satupun tanda Akbar ada di
Tubuh Ameera terhuyung ke belakang setelah sebuah tamparan melandas mulus di pipinya. Untuk beberapa saat Ameera mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang ia hadapi. Suara tamparan yang begitu keras membuat kesadaran Akbar terpulihkan. Ameera berdiri di depannya sambil menatapnya bingung. “Ameera? Kenapa kamu yang di sini?” tanya Akbar tak kalah bingung. Semua kejadian yang melibatkan mereka berdua tadi ternyata hanya ilusi semata. Akbar mengusap kedua matanya berusaha menetralkan pandangan yang sebelumnya buram. “Aku di sini sejak tadi. Menemani kamu melewati banyak hal. Tapi aku rasa kamu terlalu fokus dengan Valentine sehingga tidak ingat ada aku di sini.” Ameera bicara dengan nada yang sedikit dinaikkan. Mendengar betapa Ameera berusaha keras untuk menahan emosinya, Akbar menunjukkan sedikit rasa bersalah di wajah tampan pria itu.“Jadi.. Valentine yang aku lihat tadi..” “Dia hanya halusinasimu,” sela Ameera cepat menampar balik pria itu agar sadar dengan keadaan ya
Ameera memandangi sebuah rumah di depannya dengan pandangan yang tak biasa. Di sekitar rumah itu dikelilingi dengan taman bunga yang nampak indah. Ia tidak menyangka Akbar akan membawanya ke sini setelah insiden yang mendebarkan terjadi.“‘Masuklah. Setidaknya di sini aman,” kata Akbar setelah mengunci mobilnya. Pria itu berjalan tergopoh sambil memegangi tangannya yang luka. “Perlahan saja, aku juga merasa di sini aman,” balas Ameera. Ia membantu Akbar yang kesakitan untuk menaiki tangga menuju teras rumah itu. Akbar termangu melihat perlakuan Ameera yang begitu lembut padanya. “Arggh!” “Kamu tunggu sini, aku akan mencari kotak P3K untuk menangani lukamu.” Ameera bergegas pergi menyusuri setiap sudut rumah ini. Tidak peduli apakah Akbar akan mengizinkannya atau tidak. Bagi Ameera, keselamatan Akbar saat ini adalah yang utama. Rumah ini terbagi menjadi beberapa bagian. Ruang tengah di dominasi dengan cat dinding berwarna biru yang menyejukkan. Seperti rumah pada umumnya, ruang ten
Akbar melenggang pergi dari hadapan Ameera dengan obat-obatan yang ia abaikan.Sebagai orang yang berniat untuk membantu, tentu ada rasa tersinggung akan sikap Akbaryang terkesan seenaknya.“Kalau kamu tidak meminum obat ini, kamu akan terus dihantui perasaan gelisah. Tidak adasalahnya untuk rileks sebentar, Akbar,” kata Ameera mencoba membujuk.“Aku bukan orang gila, Ameera. Harus berapa kali aku katakan padamu?” balas Akbardengan nada sedikit tinggi.“Baiklah kalau begitu. Kita pulang sekarang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”Ameera bangkit dari tempatnya, menarik lengan Akbar dan menyeret pria itu keluar darikamar hotel.Sebelum benar-benar meninggalkan hotel, Ameera harus menyelesaikan tanggung jawabatas ulah yang dilakukan Akbar. Membayar denda untuk aset hotel yang hancur karenalampiasan emosi Akbar.Sedangkan Akbar sendiri hanya diam termangu menatap ke sekitar dengan pandanganmalas. Benar-benar seperti orang yang tak berniat untuk hidup.“Totalnya j
Beberapa hari sudah berlalu setelah pertemuan terakhir Ameera dengan Valentine waktu itu.Ameera melanjutkan hari-harinya dengan perasaan gelisah.Semenjak itu pula Akbar kembali menghilangkan jejak. Pikir Ameera, mungkin saja pria itusedang sibuk dengan pekerjaannya. Terakhir kali informasi yang Ameera dapatkan, Akbarmulai aktif kembali untuk menjalankan tugasnya sebagai pilot. Setidaknya dengan informasiyang ia dapatkan itu Ameera bisa sedikit membuatnya tenang.“Bu Ameera, apakah anda masih menangani klien atas nama Akbar?” Seorang suster yangduduk di depan Ameera bertanya di sela-sela jam istirahat mereka. Ameera yang hendakmenyuapkan makanan menghentikan niatnya.“Beliau masih menjadi klienku, sus. Tapi beberapa waktu ini beliau ada kesibukan. Ada apa,sus?” Ameera bertanya balik.“Tidak apa, bu. Kemarin saya lihat beliau sempat mengunjungi rumah sakit. Saya pikir beliaumau konsultasi dengan Bu Ameera, tapi ternyata menjemput seorang wanita yang dokterobgyn,”
Kamu hati-hati di jalan ya.” Vira menempelkan kedua pipinya secara bergantian di wajah Ameera. Jam praktik mereka sudah habis dan waktunya untuk pulang.“Iya, kamu juga hati-hati. Aku duluan ya.” Ameera pamit sembari melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Mobil putih miliknya terparkir di area paling ujung. Membuat Ameera mau tak mah harus berjalan lebih jauh dari biasanya. Setelah bercengkrama dengan Vira, rasanya sebagian besar bebannya terangkat meski Ameera tidak menceritakan dengan gamblang masalahnya.“Ameera.” Langkah Ameera terhenti saat seseorang memanggil namanya. Ameera tidak langsung membalikkan tubuhnya untuk mencari tahu siapa orang itu. Ia memilih diam. Tak sedikitpun berkutik. Derap langkah kaki orang itu terdengar semakin jelas dan dekat. Rasanya, Ameera harus menunjukkan sikap lebih waspada sebelum berbagai hal tak diinginkan terjadi.“Ameera, apakah kamu sudah mau pulang?” tanya orang itu sambil menepuk pundak Ameera. Tubuh Ameera seketika menegang.“Ameera ini
Suasana hati Ameera mendadak kacau karena rencana yang tadi malam dicanangkan oleh mamanya. Beban pikiran semakin bertambah dikala Ameera tak memiliki pilihan lain. Lalu, bagaimana ia bisa mengatasi semuanya? Sepertinya kapasitas otaknya tak mampu lagi menahan beban pikiran yang semakin menumpuk. Wajahnya terlihat semakin frustasi. Tak tahu lagi bagaimana ia harus bersikap saat ini. Deretan data pasien sudah menjadi makanannya sehari-hari. Namun masalah di luar pekerjaan justru yang paling dirasa berat bagi Ameera.“Wajah kamu kusut banget. Ada apa?” Vira tiba-tiba datang dari ruang konsultasi di sebelah ruangan Ameera yang hanya dibatasi oleh tirai. “Astaga, sejak kapan kamu di sana, Vira?” ucap Ameera terkejut. Sebelah tangannya mengelus dada. Vira nyengir kuda. Memampang raut wajah tak bersalah di depan Ameera. “Ku lihat sejak tadi pagi sahabatku begitu frustasi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu wahai sobat?” Goda Vira sambil mengedipkan sebelah matanya. Jangan heran deng
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kaku bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang d