Selamat pagi, bu Ameera.” “Selamat pagi, sus.” Sapaan demi sapaan dibalas oleh Ameera dengan ramah. Pagi ini, rasanya lebih menyenangkan dari pada hari-hari sebelumnya. Semalam, Ameera memutuskan untuk melepas penat dengan berendam. Baru saja Ameera hendak membuka pintu ruang praktiknya, ia dikejutkan dengan sebuah tangan yang kini berpangku pada punggung tangannya yang memegang kenop pintu. Pandangan Ameera beralih. Bak adegan lambat ia menolehkan kepalanya ke samping. “Senang pagi ini aku melihatmu begitu bahagia. Apakah aku bisa menjadi bagian dari kebahagiaanmu, Ibu Ameera?” Akbar menarik sudut bibirnya ke atas. Senyum licik ia tampilkan sebagai pengawal hari Ameera pagi ini. “Apa maumu?” ucap Ameera tegas dan lantang. Suaranya rendah namun penuh penekanan. “Jangan panik, sayangku. Bukankah kita masih berstatus sebagai pasangan kekasih?” balas Akbar. Aroma musk yang menguar dari tubuhnya mengingatkan Ameera pada momen dimana semalam ia menggandeng tangan kekar milik akbar
Ameera asyik menatap gelagat Akbar yang dikuasai oleh amarahnya sendiri. Pria itu mengacak-acak rambutnya geram. Wajah Akbar memerah bak kepiting rebus. Sadar dirinya sedang menjadi objek pengamatan, Akbar menatap Ameera tajam. “Apa yang kamu lihat? Senang kamu melihat aku dicampakkan oleh Valentine?” Akbar memaki. Jaraknya hanya beberapa meter dari Ameera namun pria itu tak segan untuk berteriak. Ameera hanya diam. Menatap lurus ke arah Akbar tanpa suara. Tak peduli betapa Akbar mencoba mengintimidasi Ameera dengan segala kekesalannya. Bisik tamu resto terdengar di telinga. Namun sepertinya hal itu tak membuat amarah Akbar surut seketika. Entah apakah pria ini sudah tidak lagi memiliki rasa malu atau memang ia tidak menganggap perilakunya sebagai sebuah kesalahan. Tanpa bicara sepatah katapun, Ameera membuka purse yang ia bawa lalu mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja.Ia bangkit, dan meraih tangan Akbar menyeret pria itu keluar dari kerumunan orang-orang ya
Sudah satu minggu lamanya Ameera menjalani hidup seperti sedia kala. Waktu satu bulan ke belakang ini Ameera habiskan dengan kesibukan yang membuatnya seolah tak mampu lagi mengingat Akbar. Pria itu, pergi begitu saja semenjak perdebatan mereka terakhir kali. Hingga detik ini, Ameera tak lagi mendapatkan kabar atau bertemu dengannya sekalipun. “Aku dengar Akbar sibuk belakangan ini,” kata Vira. Ameera seringkali bertanya-tanya apakah yang membuat sang sahabat yang begitu jeli akan semua informasi tentang Akbar.“Aku pikir selain seorang dokter, kamu juga seorang detektif handal, Vira.” Ucapan Ameera mengundang gelak tawa dari sahabatnya. Vira menutup mulutnya dengan sebelah tangan sambil menahan tawa.“Kamu bisa saja, Ameera. Aku hanya membantumu memberikan sedikit informasi yang mungkin saja bisa memberi sedikit petunjuk. Aku tahu kamu galau tanpanya, hahaha.” Lagi, tawa Vira kembali terdengar.Mendengar itu, gerakan tangan Ameera yang sedang menulis terhenti. Vira seolah bisa menj
Sepanjang perjalanan Ameera menekuk wajahnya masam. Sesampainya di rumah juga ia tidak menggubris sapaan sang asisten rumah tangga yang menyambut kedatangannya. Di kamar, ia juga berjalan mondar-mandir mencoba menenangkan diri tapi segala pikiran buruk mulai berkecamuk di dalam dadanya. “Bagaimana aku bisa membawa Akbar datang ke rumah baru mama, untuk saling berkomunikasi saja aku tidak pernah,” gumamnya gelisah sambil menggigit kuku-kukunya yang panjang. Sebuah kebiasaan buruk Ameera kala ia tidak mampu lagi menahan diri. Di tengah kebingungannya, terlintas sebuah ide di benak Ameera. Ia meraih ponselnya dan mencari kontak sang sahabat. Tanpa berpikir lama, Ameera menekan ikon hijau di layar ponselnya.“Halo, Vira, aku butuh bantuanmu,” ucap Ameera pada sang sahabat. Terdengar panik sekaligus penuh tuntutan. Setengah jam berlalu, Ameera duduk dengan perasaan gelisah yang menjalar di sekujur nadinya. Beberapa kali ia melihat ke arah pintu masuk kafe bernuansa vintage ini. Seseor
Dibalik dress warna champagne dengan butiran batu safir yang membalut setiap lekukan tubuh Ameera. Sambil memupuk kepercayaan diri yang tak kunjung meninggi, Ameera melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Suasana rumah sepi. Padahal hari ini adalah akhir pekan yang rencananya akan Ameera habiskan dengan beristirahat. Dress bergaya span selutut itu tak biasanya Ameera pilih dalam kondisi apapun. Namun, Vira memaksanya untuk memilih gaun itu khusus acara malam ini. Dengan wajah yang sudah dipoles riasan yang elegan, seharusnya bisa membangkitkan kepercayaan diri Ameera sekarang. Namun, hal itu jangankan bisa dirasakan Ameera, yang ada hanyalah kegelisahan yang terus bergelora di dalam dada.‘Bagaimana jika rencana yang sudah ia dan Vira buat gagal?’‘Bagaimana jika Ameera kehilangan karir impiannya sebagai seorang psikolog handal?’‘Bagaimana jika Akbar justru tak mau membantunya kali ini?’ Sungguh, isi pikiran Ameera tidak pernah jauh dari hal-hal negatif yang bersumber dari ketakut
Baik Ameera, mamanya, juga Akbar kompak menoleh kala suara panggilan yang tertuju pada mama Ameera itu digaungkan. Ameera tak mengenal sosok wanita yang kini berjalan ke arah mereka. Kerutan di dahi Ameera sudah cukup menunjukkan dirinya tak bisa menebak bahkan mengingat wanita ini.Di usia wanita yang Ameera perkirakan sama dengan usia mamanya, Ameera hanya bisa berasumsi wanita dengan dress merah marun itu adalah kerabat mamanya. Wajah sumringah tante-tante itu begitu manis. Pesonanya semada muda seolah tak pernah luntur karena selalu dirawat dengan baik. “Ya ampun, stefanie?!” pekik Mila—mama Ameera. Wanita itu bergegas meninggalkan Ameera dan Akbar yang masih mematung di tempatnya. “Stefanie, akhirnya kita bertemu lagi. Aku rindu sekali sama kamu. Bagaimana kehidupanmu di Jerman?” ucap Mila seraya memeluk erat sahabat lamanya. Ameera memandang interaksi yang mirip dengan dirinya dan Vira dulu. Sekian lama berpisah dan tepat saat mereka kembali bertemu lagi membuat Ameera tengge
“Iya, dia kekasihku, ma.” Jawaban Akbar membuat Ameera sontak menoleh. Dengan santainya pria itu melenggang duduk di samping Ameera dan meraih punggung tangan wanita itu. “Kami memiliki hubungan yang baru berjalan beberapa bulan.” Akbar menyambung lagi kalimatnya. Pria yang memiliki hidung lancip bak piramida itu mengulas senyum halus di wajahnya. Untuk kedua kalinya Ameera melihat senyuman hangat itu dari Akbar. Pertama, saat mereka pertama kali bertemu. Dan yang kedua adalah saat ini. “Benar begitu, Ameera?” tanya Stefanie. Dalam hati Ameera gelagapan. Bingung harus berkata jujur atau membongkar semua rencananya. Namun, ketika ia melihat mamanya yang tersenyum penuh harap, niat berkata jujur itupun lenyap. Ameera gelagapan menjadi satu-satunya objek perhatian saat ini. Semua mata tertuju padanya menunggu jawaban. Tetapi sialnya otak Ameera seolah kosong melompong. Semua rencana yang sudah disusun rapi di pikirannya. Hendak meminta pertolongan, pertolongan siapa? “Benar itu, Am
Malam ini bagaikan malam terburuk bagi Ameera. Setelah pulang dari taman komplek rumah mamanya.Ia menghempaskan tas sling bag yang ia pakai ke atas kasur. Dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya Ameera berlalu menuju kamar mandi. Dress yang ia pakai dilepas begitu saja. Sedangkan Ameera masuk ke dalam bath tub untuk menenangkan diri.Berendam di air hangat di tengah malam seperti ini cukup mampu membuat pikiran Ameera tenang.“Ya Tuhan, kenapa semuanya semakin rumit sekarang?” keluh Ameera sambil bersandar pada dinding bath tub. Kepala Ameera berdenyut nyeri ketika membayangkan kejadian tadi. Dengan beraninya Akbar menyentuh Ameera dan mengikis jarak seolah mereka berdua benar-benar saling mengenal.Pikiran Ameera tak bisa lagi dikendalikan. Jangankan untuk menyentuh, berada di dekat pria itu saja sudah membuat Anya hampir saja menghentikan degup jantungnya.Akbar terlalu mempesona. Di balik persona diri Akbar yang terlihat ganas, Ameera bisa merasakan sisi lain dari pria
Suhu dingin di ruangan ini terasa menusuk bagi Ameera. Entah kenapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Ameera menggeliat di atas kasur besar yang ia tempati saat ini. Kepala pening dan berat tubuh yang kehilangan banyak tenaga, ada apa ini sebenarnya? Ia mencoba membuka mata, melihat ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum fokus. Kini ia berada di sebuah kamar yang terasa asing baginya. Kamar ini juga baru pertama kali ia singgahi. “Apakah aku masih di vila milik Akbar?” Ameera bergumam sendiri. Sadar tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Pintu kamar terkunci rapat. Nuansa kamar yang serba putih ini membuat Ameera cukup kesulitan menyeimbangkan kinerja otaknya setelah bangun tidur. Dengan langkah tertatih, Ameera berjalan menuju pintu. Kepalanya masih terasa berat seolah ada benda yang membebaninya saat ini. Di luar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain suara sandal yang dipakai Ameera. Ia menatap sekeliling namun tidak menemukan satupun tanda Akbar ada di
Tubuh Ameera terhuyung ke belakang setelah sebuah tamparan melandas mulus di pipinya. Untuk beberapa saat Ameera mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang ia hadapi. Suara tamparan yang begitu keras membuat kesadaran Akbar terpulihkan. Ameera berdiri di depannya sambil menatapnya bingung. “Ameera? Kenapa kamu yang di sini?” tanya Akbar tak kalah bingung. Semua kejadian yang melibatkan mereka berdua tadi ternyata hanya ilusi semata. Akbar mengusap kedua matanya berusaha menetralkan pandangan yang sebelumnya buram. “Aku di sini sejak tadi. Menemani kamu melewati banyak hal. Tapi aku rasa kamu terlalu fokus dengan Valentine sehingga tidak ingat ada aku di sini.” Ameera bicara dengan nada yang sedikit dinaikkan. Mendengar betapa Ameera berusaha keras untuk menahan emosinya, Akbar menunjukkan sedikit rasa bersalah di wajah tampan pria itu.“Jadi.. Valentine yang aku lihat tadi..” “Dia hanya halusinasimu,” sela Ameera cepat menampar balik pria itu agar sadar dengan keadaan ya
Ameera memandangi sebuah rumah di depannya dengan pandangan yang tak biasa. Di sekitar rumah itu dikelilingi dengan taman bunga yang nampak indah. Ia tidak menyangka Akbar akan membawanya ke sini setelah insiden yang mendebarkan terjadi.“‘Masuklah. Setidaknya di sini aman,” kata Akbar setelah mengunci mobilnya. Pria itu berjalan tergopoh sambil memegangi tangannya yang luka. “Perlahan saja, aku juga merasa di sini aman,” balas Ameera. Ia membantu Akbar yang kesakitan untuk menaiki tangga menuju teras rumah itu. Akbar termangu melihat perlakuan Ameera yang begitu lembut padanya. “Arggh!” “Kamu tunggu sini, aku akan mencari kotak P3K untuk menangani lukamu.” Ameera bergegas pergi menyusuri setiap sudut rumah ini. Tidak peduli apakah Akbar akan mengizinkannya atau tidak. Bagi Ameera, keselamatan Akbar saat ini adalah yang utama. Rumah ini terbagi menjadi beberapa bagian. Ruang tengah di dominasi dengan cat dinding berwarna biru yang menyejukkan. Seperti rumah pada umumnya, ruang ten
Akbar melenggang pergi dari hadapan Ameera dengan obat-obatan yang ia abaikan.Sebagai orang yang berniat untuk membantu, tentu ada rasa tersinggung akan sikap Akbaryang terkesan seenaknya.“Kalau kamu tidak meminum obat ini, kamu akan terus dihantui perasaan gelisah. Tidak adasalahnya untuk rileks sebentar, Akbar,” kata Ameera mencoba membujuk.“Aku bukan orang gila, Ameera. Harus berapa kali aku katakan padamu?” balas Akbardengan nada sedikit tinggi.“Baiklah kalau begitu. Kita pulang sekarang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”Ameera bangkit dari tempatnya, menarik lengan Akbar dan menyeret pria itu keluar darikamar hotel.Sebelum benar-benar meninggalkan hotel, Ameera harus menyelesaikan tanggung jawabatas ulah yang dilakukan Akbar. Membayar denda untuk aset hotel yang hancur karenalampiasan emosi Akbar.Sedangkan Akbar sendiri hanya diam termangu menatap ke sekitar dengan pandanganmalas. Benar-benar seperti orang yang tak berniat untuk hidup.“Totalnya j
Beberapa hari sudah berlalu setelah pertemuan terakhir Ameera dengan Valentine waktu itu.Ameera melanjutkan hari-harinya dengan perasaan gelisah.Semenjak itu pula Akbar kembali menghilangkan jejak. Pikir Ameera, mungkin saja pria itusedang sibuk dengan pekerjaannya. Terakhir kali informasi yang Ameera dapatkan, Akbarmulai aktif kembali untuk menjalankan tugasnya sebagai pilot. Setidaknya dengan informasiyang ia dapatkan itu Ameera bisa sedikit membuatnya tenang.“Bu Ameera, apakah anda masih menangani klien atas nama Akbar?” Seorang suster yangduduk di depan Ameera bertanya di sela-sela jam istirahat mereka. Ameera yang hendakmenyuapkan makanan menghentikan niatnya.“Beliau masih menjadi klienku, sus. Tapi beberapa waktu ini beliau ada kesibukan. Ada apa,sus?” Ameera bertanya balik.“Tidak apa, bu. Kemarin saya lihat beliau sempat mengunjungi rumah sakit. Saya pikir beliaumau konsultasi dengan Bu Ameera, tapi ternyata menjemput seorang wanita yang dokterobgyn,”
Kamu hati-hati di jalan ya.” Vira menempelkan kedua pipinya secara bergantian di wajah Ameera. Jam praktik mereka sudah habis dan waktunya untuk pulang.“Iya, kamu juga hati-hati. Aku duluan ya.” Ameera pamit sembari melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Mobil putih miliknya terparkir di area paling ujung. Membuat Ameera mau tak mah harus berjalan lebih jauh dari biasanya. Setelah bercengkrama dengan Vira, rasanya sebagian besar bebannya terangkat meski Ameera tidak menceritakan dengan gamblang masalahnya.“Ameera.” Langkah Ameera terhenti saat seseorang memanggil namanya. Ameera tidak langsung membalikkan tubuhnya untuk mencari tahu siapa orang itu. Ia memilih diam. Tak sedikitpun berkutik. Derap langkah kaki orang itu terdengar semakin jelas dan dekat. Rasanya, Ameera harus menunjukkan sikap lebih waspada sebelum berbagai hal tak diinginkan terjadi.“Ameera, apakah kamu sudah mau pulang?” tanya orang itu sambil menepuk pundak Ameera. Tubuh Ameera seketika menegang.“Ameera ini
Suasana hati Ameera mendadak kacau karena rencana yang tadi malam dicanangkan oleh mamanya. Beban pikiran semakin bertambah dikala Ameera tak memiliki pilihan lain. Lalu, bagaimana ia bisa mengatasi semuanya? Sepertinya kapasitas otaknya tak mampu lagi menahan beban pikiran yang semakin menumpuk. Wajahnya terlihat semakin frustasi. Tak tahu lagi bagaimana ia harus bersikap saat ini. Deretan data pasien sudah menjadi makanannya sehari-hari. Namun masalah di luar pekerjaan justru yang paling dirasa berat bagi Ameera.“Wajah kamu kusut banget. Ada apa?” Vira tiba-tiba datang dari ruang konsultasi di sebelah ruangan Ameera yang hanya dibatasi oleh tirai. “Astaga, sejak kapan kamu di sana, Vira?” ucap Ameera terkejut. Sebelah tangannya mengelus dada. Vira nyengir kuda. Memampang raut wajah tak bersalah di depan Ameera. “Ku lihat sejak tadi pagi sahabatku begitu frustasi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu wahai sobat?” Goda Vira sambil mengedipkan sebelah matanya. Jangan heran deng
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kaku bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang d