“Sebenarnya alasanku ke mari … bukan hanya berlibur atau mengunjungi Kakak,” ucap Daffa.
Devanda sedikit terkejut mendengarnya. Daffa memang bukan tipe orang yang mendatangi suatu tempat tanpa tujuan, apalagi kalau itu tentang liburan. Hidup kekurangan dari kecil membuatnya enggan menghamburkan uang untuk hal yang tidak jelas. Jadi, Devanda yakin kedatangan Daffa hanya untuk menemuinya karena bocah itu memiliki perasaan padanya.
“Apa terjadi masalah?” tanya Devanda langsung. Tangannya yang dari tadi berada di belakang, langsung berpindah ke depan.
Daffa melirik ke arah jendela besar di lantai dua. Ada tubuh Andriyan yang berbalik pergi, sepertinya baru saja mengawasi atau mengintip interaksinya dengan Devanda. “Ini berkaitan dengan kemampuanku, Kak.”
Daffa menghela napas berat. Sejujurnya dia enggan mengatakan hal ini sebab Devanda sudah berpesan untuk menerima bakat yang dimilikinya sejak lahir karena Tuhan tida
Mayja duduk di samping Devanda, sedangkan Daffa di depan sebelah supir. Hari ini katanya Devanda ingin menunjukkan keindahan Bali kepada Daffa sebelum pulang ke ibukota. Tentu tidak mungkin anak itu tinggal lama di sini karena masih harus masuk sekolah.“Pak, kita ke sana saja,” ucap Devanda setelah melihat pantai di depannya. Sebenarnya di Bali ini banyak pantai dan Devanda tidak tau apa saja. Jadi dia meminta supir untuk jalan lurus sehingga bisa langsung menepi jika menemukan pantai cantik. Toh, sejak menginjakkan kaki di Pulau Bali, Devanda belum pernah berkeliling.Masing-masing dari mereka pun membuka pintu mobil dan keluar. Betapa segarnya udara yang langsung menyerbak rambut Devanda. Pemandangan yang cantik, tapi terlalu banyak orang. Devanda tidak begitu nyaman.“Mau langsung ke pantai, Nona?”Devanda menunjuk cafe kecil di pinggir. “Aku haus, kita beli minum dulu saja.”“Baik.”“Ayo, Daffa.” Devanda merangkul bahu anak itu da
“Lepasin aku, Kak! Lepas! Aku malu! Bisa nggak Kakak berhenti ikut campur sama urusanku?!”“Kamu ini adikku! Kamu tinggal di rumahku! Kalau kamu masih mau hidup bersamaku, patuhi perintahku!” hardik Rasel dengan tegas, membuat banyak orang mulai berbisik.“Rasel!” Tidak ingin semakin ricuh, Andriyan berniat menengahi keributan yang dibuat Rasel dengan adiknya. Sudah bukan hal baru bagi Andriyan karena dia paham bagaimana hidup anak itu.“Tu—Tuan?” Rasel segera memperbaiki kacamata dan posisinya. Dia juga melepas cengkramannya pada pergelangan tangan adiknya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Banyak mata melihatmu.”Kalau bukan karena ucapan Andriyan, mungkin Rasel belum sadar akan keributan yang dia buat. Pandangan dari sekitar jadi membuatnya tidak nyaman, lalu ia kembali menghadap Andriyan. “Mohon maafkan saya. Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan adik saya sehingga harus segera saya selesaikan.”Setelah itu Rasel melirik Senja dengan
Dengan bantuan kenalannya, ini akan mempermudah rencanaku. Jiwa bebas Andriyan yang sudah tertanam sejak muda harus tetap dilepaskan.Sejujurnya pertemuanku dengan Pak Johan tadi juga merupakan kesempatan, namun aku tidak menemukan banyak hal. Jejak Andriyan terlalu bersih meski aku berusaha mengoreknya sampai akar. Apa tidak ada skandal apa pun di kantor mereka?Mungkin masalahnya karena Andriyan belum diberi kesempatan untuk bertemu dengan wanita lain ….Dulu saat tinggal di ibukota, dia selalu aktif mendatangi pesta-pesta sosial konglomerat. Jadi aku tidak mengerti mengapa dia tidak ambil bagian dengan cara yang sama di sini. Aku bahkan jarang melihatnya keluar malam karena setelah pulang kerja dia hanya menemaniku di kamar.Tidak, aku tidak perlu kecewa dulu. Jika itu adalah kesempatan yang kurang darinya, aku akan menciptakan kesempatan itu sendiri.“Kamu terlihat sangat santai ya
Lahir di keluarga konglomerat membuat Devanda terlatih mandiri. Hal-hal yang bersifat pribadi cenderung dilakukan olehnya sendiri meski telah dipekerjakan pelayan maupun asisten. Dalam artian, ia tak pernah bertukar afeksi pada orang lain.Apalagi sosok laki-laki dalam hidupnya. Ayahnya yang selalu sibuk, adiknya yang brengsek, dan suami pertamanya yang merupakan bajingan hingga di dua kehidupannya. Tak ada laki-laki yang bisa dia andalkan, bahkan untuk sekedar tempat berlindung yang nyaman.Meski ayahnya tampak selalu mempedulikan keinginannya, tapi dia tak pernah benar-benar merasa dekat seperti kasih sayang murni seorang ayah, bukan hanya bentuk figur formalitas saja.Hingga dia bertemu Andriyan.“Mau kusuapi?”Bagaimana ya rasanya disuapi? Apakah itu menyenangkan?“Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri. Jadi, makan saja makananmu sendiri,” kata Devanda dengan tegas.“Kamu bahkan nggak bisa megang sendok. Aku jadi sadar, kayaknya po
“Kenapa kamu masih di sini dan belum pulang juga?”Andriyan menatap datar Daffa yang sedang bermain PS miliknya. Mendengar itu, Daffa tersenyum lebar. “Saya akan kembali setelah saya ingin kembali. Jadi pinjam rumahnya sebentar ya, Om.”Om?!Andriyan menatap jengkel bocah ingusan itu. Bisa-bisanya dia memanggil Devanda ‘kakak’, tapi menyebut dirinya ‘om’. Padahal Andriyan dan Devanda jelas merupakan suami istri yang hubungannya harus disamakan di mata Daffa.“Kamu hanya merusuh saja di sini. Lebih baik kamu segera pulang.”“Jangan bilang begitu pada adikku!” Devanda datang entah darimana dan langsung menginterupsi mereka. Perkataannya yang tiba-tiba membuat jantung Andriyan seperti hampir berhenti berdetak. Piring di tangan Devanda membuat perhatian Andriyan teralihkan.“Apa yang ada di piring itu?”Devanda mengalihkan pandangannya dari Andriyan lalu duduk di samping Daffa. “Jangan menyentuhnya. Barusan kamu mengusir adikku.”“
“Tiba-tiba hujan begini,” ucap Daffa seraya menyentuh kaca mobil yang menunjukkan tetesan air hujan. Hari ini Devanda memang meminta Daffa untuk menemaninya, sebab kebetulan dia sudah memberikan tugas lain pada Mayja untuk dikerjakan. Maka orang yang dapat dipercaya untuk membantu dan menemaninya adalah anak itu. Biar ada kerjaan juga di mansion mereka.Devanda jadi memperhatikan ke arah rintik hujan yang berjatuhan. Banyak kenangan yang melintas apabila berkaitan dengan hujan. Tawa, tangis, dan hal-hal tak terduga. Rasanya menyebalkan, Devanda jadi menempelkan keningnya pada kaca agar ia tak lagi harus memperhatikan rintik hujan itu.“Kak, haruskah aku pergi ke tokonya sendiri? Nanti Kakak basah,” ucap Daffa yang jadi khawatir Devanda kehujanan karena masih ada beberapa toko yang harus didatangi untuk menyiapkan pesta kecil di rumah.Devanda menggeleng. “Ayo masuk bareng aja. Toh, aku ingin memilih sendiri beberapa hal yang bagus untuk pestanya.”“Ngomon
Kediaman Andriyan dan Devanda pada hari pesta ….Tamu undangan yang dipersiapkan Devanda yakni para karyawan kantor Andriyan beserta keluarga pun hadir. Hampir semuanya datang secara lengkap karena merasa tersanjung diberikan kesempatan bertemu dengan istri atasan, hingga berkunjung ke rumahnya. Kalau saja bukan karena istrinya, mana mungkin seorang Andriyan akan mengundang orang lain ke rumahnya dalam frekuensi sebanyak ini. Pria itu cenderung menghindari keramaian karena wajah tampannya tidak selalu menguntungkan.Tidak hanya kesempatan reuni bersama istri para rekan kerja, tapi juga tempat bertukarnya banyak informasi dan relasi. Mereka sangat memanfaatkan momen dengan baik. Pembicaraan para pria bahkan sudah mengarah ke hal serius sejak tadi, berbeda dengan perempuan-perempuan rumpi yang saling berbagi informasi terkini.“Oh iya, saya baru ingat, tadinya saya mau bertanya, apakah Anda mengenali suami saya, Bu Vanda?” tanya salah seorang perempuan yang duduk
“Hm, yah, tentu saja, bagaimana orang sepertimu bisa mengerti? Kamu adalah putri berharga dari Keluarga Kusumawirya dan bisa kapan saja mewarisi harta kekayaan bersama adikmu. Hahaha, dan kamu bahkan … menikahi seorang Andriyan Prakarsastra.”Ini adalah kali pertama, Devanda mendapatkan kalimat seperti ini. Pertama kalinya, dia menerima pernyataan bahwa kehidupannya terlihat sangat beruntung. Apa di mata orang lain selama ini, dia terlihat semegah itu?Karena suara Bela tidak kecil, semua wanita di sana memusatkan perhatian mereka kepada Devanda dan Bela.Kamu tidak tahu apa-apa. Aku, tahu lebih baik dari siapa pun bahwa kehidupanku penuh penderitaan. Sepertinya kamu perlu berkenalan dengan Devanda versi kehidupan pertama dan kedua, batin Devanda.“Vanda?” Mendengar adanya keributan, Andriyan berdiri di tengah pintu baru datang. Dia ingin menanyakan mengenai apa yang sedang terjadi.“Kamu datang di saat yang tepat. Di mana Pak Dani?” tanya