Maya pingsan, untung ada Reynand di sampingnya yang sigap menagkap tubuh Maya.
"Gimana ini, Om?" tanya Reynand.
"Bawa ke UGD aja dulu, Rey. Ini hanya efek dari racun itu saja kok. Nanti setelah sadar baru dibawa pulang."
Reynand menggendong Maya ke ruang UGD. Sekitar sepuluh menit Maya akhirnya sadar. Maya mengerjapkan mata untuk memperjelas pandangannya. Dia melihat Reynand yang tersenyum berdiri di samping tempat tidur..
"Nona sudah baikan?"
"Aku dimana Rey?"
"Nona di ruang UGD, tadi Nona pingsan."
"Terus aku harus dirawat lagi?"
"Tidak, Nona. Ini hanya efek dari racun itu saja. Kata Om Wira, setelah minum obat penetralisir racun, Nona akan baik-baik saja. Nona memang harus bersabar untuk sementara waktu. Karena efek samping dari racun itu akan terus Nona rasakan sebelum racunnya benar-benar bersih dari tubuh Nona."
Maya berusaha bangun, Reynand membantunya sampai bisa duduk dengan benar.
"Nona masih lemah. Tapi sudah boleh pulang. Saya sudah memanggil perawat untuk membawakan kursi roda. O iya tadi Om Wira pamit karena harus visit pasien."
Maya mengannguk mendengar penjelasan Reynand. Tak berapa lama perawat yang dimaksud datang membawakan kursi roda.
"Biar saya saja," kata Reynand pada perawat yang akan mendorong Maya.
Sesampainya di mobil Reynand membuka pintu belakang dan bersiap mau menggendong Maya.
"Eh ... gak usah digendong. Aku bisa jalan Rey. Cuma masuk mobil aja kok."
Maya sungkan. Tidak ... lebih tepatnya Maya menghindari desiran halus di hatinya yang selalu datang setiap kali berdekatan dengan Reynand.
"Nona masih lemah, jangan terlalu dipaksakan."
"Udah nggak pa-pa. Bantuin jalan aja."
Nah kan ... desiran ini entah apa Maya tidak tahu. Yang jelas dia sangat bahagia mendapatkan perlakuan istimewa dari Reynand. Berbeda sekali dengan suaminya, yang entah sekarang berada dimana. Harusnya kan dia yang menjemput Maya dari rumah sakit.
"Kita masuk lewat gerbang samping saja ya, Nona. Langsung ke paviliun. Tadi saya sudah menghubungi Mang Darto untuk membuka gerbang samping," ucap Reynand setelah mobil mereka memasuki area rumah.
Maya yang duduk di kursi belakang tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Reynand melirik dari kaca spion depan. Maya terlihat murung.
"Anda baik-baik saja, Nona?" Maya tak menjawab. Akhirnya Reynand memilih diam.
Mang Darto menyambut kedatangan mereka di gerbang samping. Reynand melajukan mobil pelan dan berhenti tepat di depan paviliun yang ditempati Maya.
Reynand membukakan pintu untuk Maya dan bermaksud menggendongnya.
"Rey ... aku bisa sendiri," sekali lagi Maya menolak.
Reynand mengalah dan membiarkan Maya turun sendiri. Baru berjalan beberapa langkah kaki Maya goyah. Sebelum jatuh Reynand berhasil menangkap tubuh Maya.
"Bandel ...," kata Reynand pelan. Lalu menuntun Maya, mereka beriringan masuk ke paviliun.
"Apa tadi kamu bilang?" tanya Maya sambil berpegangan pada lengan Reynand yang kokoh.
"Nona tidak boleh kemana-mana sebelum sembuh benar. Semua keperluan Nona akan disiapkan Bi Munah. Urusan kantor biar saya yang handle."
"Bukan itu ...."
"Saya tidak mengatakan apa-apa Nona."
"Ah tadi aku dengar kok."
"Tidak."
Maya memilih diam daripada bedebat. Reynand tersenyum merasa menang. Sikap manja Maya membuat Reynand senang sekali menggoda Nona Mudanya ini.
Bi Munah sudah menunggunya di kamar. Wanita separuh baya itu sangat mengkhawatirkan keadaan Maya.
"Non, gimana? Udah baikan? Sini-sini cepat berbaring. Nona masih harus banyak istirahat," katanya sambil memegang dahi Maya.
"Bibik ini apaan sih, kayak anak kecil aja pakai dipegang dahi. Aku udah pulang itu tandanya aku udah sehat, Bik."
Bi Munah tersenyum penuh kasih sayang.
"Ya udah, Bibik buatin sup ya, Non. Biar badannya hangat."
Maya mengangguk, Bi Munah lalu keluar ruangan untuk membuatkan sup. Ketika melewati Reynand Bi Munah tersenyum dan melirik penuh arti.
Bram yang mengetahui Maya sudah pulang ke rumah, langsung masuk ke kamar dengan terburu-buru lalu duduk di samping Maya.
"Sayang, gimana? Udah sehat? Maaf ya, di kantor banyak sekali kerjaan. Jadi aku nggak sempat jemput kamu." kata Bram sambil meraih tangan Maya.
Reynand yang menyaksikan pemandangan itu merasakan sedikit nyeri di dadanya. Reynand merasa Bram telah mengabaikan Maya. Sepenting itukah pekerjaannya sampai mengabaikan istrinya sendiri.
"Nggak pa-pa kok, Mas. Aku udah baikan, lagi pula ada Reynand," kata Maya lemah.
"Lain kali tolong sempatkan waktu untuk Nona, Tuan," entah kenapa Reynand nyeletuk begitu saja. Ada nada tidak terima di situ.
Bram tersulut emosi. 'Bisa-bisanya dia mengajari aku. Dasar tak tahu diri' katanya dalam hati. Bram berdiri dan berkacak pinggang lalu mendekati Reynand
"Eh ... jaga omongan kamu ya. Kamu tahu apa soal aku, hah? Pandai sekali kamu bicara. Jangan karena kamu asisten pribadi Maya terus kamu bisa ngomong seenaknya seolah kamu tahu semua tentang kehidupan Maya. Aku ngurus kerjaan, bukan jalan-jalan, paham?"
"Sudahlah, Mas. Nggak usah diributkan," kata Maya tidak ingin terjadi keributan di kamarnya.
"Dia ini nih yang cari gara-gara. Sekarang sebaiknya kamu keluar. Jangan terlalu ikut campur urusanku dengan istriku."
Reynand juga sebenarnya geram, ingin rasanya ditonjok muka si Bram itu kalau tidak mengingat kesehatan Maya. Dia kemudian mendekati Maya dan membungkuk hormat.
"Saya permisi, Nona. Kalau perlu apa-apa saya ada di luar."
Maya hanya mengangguk pelan. Setelah Reynand keluar Bram kembali duduk si samping Maya.
"Mau kurang ajar dia ini. Sembarangan ngomong," Bram menggerutu sendiri.
"Sudahlah, Mas. Jangan terlalu diambil hati. Reynand kan hanya menjalankan tugasnya."
"Kamu juga, jangan terlalu dikasih hati dong. Jadi ngelunjak kan?"
"Duuhh ... cekepnya kalau lagi cemburu," kata Maya sambil mencubit lembut pipi suaminya. Berharap dengan sikap manis seperti itu hati Bram melunak dan balas memberikan perhatian.
"Yeee ... siapa juga yang cemburu. Aku cemburu sama dia? Nggak level lah."
"Nggak mau ngaku nih?"
Maya memperhatikan ekspresi yang diberikan Bram. Datar saja, biasa saja. Ah sepertinya Maya terlalu berharap suaminya ini sedikit memberikan perhatian manis sepeti Reynand memperlakukannya.
Eh ... kenapa jadi Reynand lagi? Hatinya bertanya. Suaminya Bram tapi Reynand yang selalu memberikan perhatian.
"O iya, Sayang. Besok aku berangkat ke kantor lebih awal. Ada berkas yang harus aku selesaikan. Biasanya aku bawa pulang, tapi ini tadi buru-buru karena pengen cepet ketemu kamu. Obatnya nanti aku taruh di tempat biasa ya. Jangan lupa diminum."
Tuh kan, baru saja Maya ingin bermanja Bram sudah membahas soal kerjaan. Membuat mood hilang saja.
"Kata Om Wira udah nggak perlu lagi minum yang itu kok, Mas. Ini tadi dibawain resep yang baru."
"Kok gitu? Nggak bisa dong. Kamu harus tetap minum obat yang biasanya. Kalau nggak bisa panjang urusannya, Maya. Obat itu kan sudah ada ...."
Bram menutup mulut menghentikan kalimatnya.
"Sudah ada apanya, Mas?"
Maya sudah merasa jauh lebih baik. Rencananya dia akan ke kantor hari ini. Dia sedang duduk di kursi rias ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya."Masuk," jawab Maya."Selamat pagi, Nona."Ah ... ternyata Reynand yang datang. Dari cermin rias dia melihat Reynand datang mendekatinya lalu berdiri tepat di belakangnya.Maya memejamkan mata sebentar, menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari tubuh asistennya. Maya sangat menyukai aroma citrus itu. Desiran itu datang lagi. Desiran aneh tiap kali berdekatan dengan Reynand. Entahlah, Maya juga tidak tahu apa."Nona, agenda Anda pagi ini adalah bertemu dengan Pak Kevin, dari PT Global Blue. Beliau ingin membicarakan kelanjutan kerjasama pembuatan iklan untuk produk kecantikan dari klien kita. Terus agenda siang nanti Anda akan ...."Reynand menghentikan laporannya karena Maya mengangkat tangan isyarat Reynand harus berhenti memberikan laporan."Rey, bisa nggak kalau satu agenda saja? Kalau dua agenda kayaknya aku belum kuat d
Mang Darto menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk Kafe Biru, tempat yang disepakati Kevin untuk pertemuan mereka pagi ini. Kafe Biru memang benar-benar berwarna biru, mulai dari warna dinding, meja kursi, lampu, hiasan, dan pernak-perniknya semua bernuansa biru. Begitu masuk ke dalam kafe mereka disambut musik slowrock yang mengalun pelan. Membuat para pengunjung betah berlama-lama duduk sambil mengobrol dengan teman ataupun rekan kerja. Maya dan Reynand berjalan beriringan menuju meja resepsionis. "Atas nama Bapak Kevin?" tanya Reynand pada pelayan di situ. "O iya, Bapak Kevin sudah menunggu di ruang VVIP, mari saya antar," jawab pelayan itu ramah. Mereka dibawa masuk ke arah pintu sebelah kiri kafe, melewati beberapa gazebo out door dan ruang meeting. Mereka tiba pada sebuah ruangan tertutup dengan pernak-pernik bulan dan bintang yang juga berwarna biru tua. "Silahakan Tuan ... Nyonya. Bapak Kevin sudah menunggu di dalam," kata pelayan itu. "Terima kasih," jawab Maya da
Reynand duduk di depan Maya sambil membolak-balik berkas kerjasama dengan Kevin. Dia tidak berani banyak bicara karena nona mudanya sedang merajuk."Nona, jangan marah begini-lah. Saya minta maaf," kata Reynand pasang muka memelas.Saat ini mereka sudah berada di kantor seusai acara sarapan di Kafe Biru bersama Kevin.Maya diam, masih terus menandatangi berkas-berkas yang menumpuk di mejanya tanpa mempedulikan kata-kata Reynand."Pak Kevin berpesan kepada saya untuk menyampaikan seperti itu. Dia ingin melihat berkas kerjasama untuk mengetahui sudah sejauh mana pengerjaan proyek ini.""Dan kamu mengiyakan begitu saja?""Saya tidak tahu kalau ternyata bukan berkas itu yang Pak Kevin inginkan. Sumpah, Nona. Beneran saya tidak tahu."Maya menaruh berkas ditangannya agak sedikit kasar dan menatap tajam asistennya. Reynand blingsatan, dia menunduk salah tingkah."Diam kamu, lain kali kalau ada appointment konfirmasi dulu. Selalunya kan juga begitu, Rey. Atau jangan-jangan kamu kerjasama ya s
"Mama ...?" Maya kaget melihat Mama Widya berada di dalam ruang Bram."Kok Mama ada di sini? Ngapain?"Maya heran karena tidak biasanya ibu tirinya itu datang ke kantor. Widya memang salah satu pemegang saham di perusahaan tapi bukan tipe yang suka mencampuri urusan pekerjaan.Justru cenderung malas berurusan dengan seluk beluk perusahaan. Dia hanya datang ketika ada rapat pemegang saham saja. Selebihnya semua urusan pekerjaan dia serahkan ke staf-stafnya. Jadi agak mengherankan ketika tiba-tiba mama tirinya itu berada di kantor sepagi ini.Semenjak ditemukan fakta bahwa obatnya mengandung racun, Maya memang mulai berhati-hati dengan siapapun. Biarpun itu keluarganya sendiri. Maka tidak salah jika sekarang Maya juga menaruh curiga terhadap mama tirinya.Entah apa yang sedang direncanakan oleh Widya dan suaminya, yang jelas saat ini Maya harus waspada."Oo ini Mama lagi ada perlu sebentar sama Bram. Tadi Mama nyari di rumah nggak ada, kata Bi Munah suamimu ini berangkat pagi, jadi Mama
Pagi ini Reynand berkunjung ke rumah sakit menemui dr. Wira. Selain menanyakan keadaan Maya, ada sesuatu yang harus dia kerjakan di ruangan ayah angkatnya itu."Tumben kesini nggak ngabari, Rey. Apa ada sesuatu yang mendesak?" tanya Dokter Wira."Oo ... iya ini, Om. Cuma mampir bentar kok. Rey bawa bunga Sansivera ini, katanya sih bagus. Bisa untuk penyegar ruangan. Saya taruh di rak kecil itu aja ya, Om. Yang deket lemari," kata Reynand bangkit lalu meletakkan satu pot kecil tanaman Sansivera disebuah rak menghadap meja Dokter Wira.Pot yang sama dengan yang dia taruh di kamar Maya tempo hari. Tanpa Dokter Wira ketahui, ada sesuatu dalam pot Sansivera mini itu."Mau nanya kondisi, Nona Maya sih sebeneenya ,Om. Kemarin siang badannya gemetaran lagi, padahal obat dari Om sudah diminum.""Ya seperti racunnya Rey, obat penetralisir itu juga bekerja bertahap. Kamu bantu kontrol aja. Makan harus teratur, istirahat yang cukup, jangan terlalu capek, dan situasi hatinya harus benar-benar dijag
Kevin pamit pulang dengan meninggalkan tanya di hati Maya. Dia pamit tepat lima menit sebelum meeting dimulai.Maya berfikir untuk menanyakan kepada Kevin setelah urusan kantornya selesai. Meeting kali ini banyak menguras emosi karena Bram tidak hadir."Maaf, Bu Maya. Pak Bram tidak bisa hadir," lapor Karin, sekretaris Maya."Pak Bram kemana memangnya, Karin?""Kurang tahu, Bu. Tasya yang meminta ijin bahwa Pak Bram tidak bisa hadir.""Ya sudah, kita lanjut saja. Nanti biar saya yang ngubungi Pak Bram."Entah kemana keberadaan suaminya itu. Maya coba menelfon tapi jawaban mengecewakan yang dia dapatkan."Halo, Mas. Lagi di mana? Ini meeting sebentar lagi loh," ucap Maya ketika sambungan telfon terhubung."Aduuh, Maya. Kan aku udah pesen sama Tasya aku nggak bisa hadir, lagi ada acara.""Acara apa sih, Mas. Reynand bilang Mas sering banget keluar kantor untuk urusan yang nggak jelas.""Ah Reynand lagi Reynand lagi, sok tahu dia itu.""Tapi ini penting, Mas.""Ah sudahlah! Aku sibuk, May
Maya bergidik sendiri, tidak pernah menyangka Andini akan berbuat kotor seperti itu. Dia ragu antara mau mendekat atau membiarkan saja, karena itu adalah kehidupan pribadi Andini.Tapi tunggu ... sepertinya Maya tidak asing dengan suara lelaki yang bersama Andini. Dadanya bergemuruh, suara itu mirip suara Mas Bram.Tapi, rasanya tidak mungkin. Benarkah Mas Bram yang sedang bersama Andini?Gemuruh di dadanya mendorong Maya untuk mendekat ke kamar Andini. Dia berjalan pelan agar tidak terdengar. Maya memejamkan mata untuk mengumpulkan kekuatan ketika sampai di depan kamar.Maya sudah memegang knop pintu ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik Maya untuk menjauh dari kamar Andini. Maya membalikkan badan."Bik Munah?!" kata Maya setelah tahu siapa yang menarik tangannya."Ssssst ... jangan keras-keras, Non. Nanti ketahuan," kata Bi Munah sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuk sebagai isyarat agar Maya tidak terlalu berbicara keras."Bik ... apa-apaan ini Bik? Bik Munah tahu siapa
"Oh ini ... bukan apa-apa, Nona. Hanya kalung biasa," jawab Reynand sambil memasukkan kalung itu ke dalam kaos putihnya."Tapi aku sepertinya tidak asing dengan kalung itu, boleh aku lihat, Rey?" Maya masih penasaran dengan kalung itu."Pastilah tidak asing. Kalung seperti ini di pasar kan banyak, Nona.""Bukan di pasar malam. Tapi beneran deh aku sepertinya pernah lihat. Kenapa sih disembunyikan?""Mmmhhh ... sebenarnya ini kalung dari ...." jawab Reynand ragu."Ooo aku tau, itu kalung dari Ijah ya?""Nah i-iya, Nona. Betul dari Ijah, buat pengobat rindu katanya he he ...," jawab Reynand cengengesan seperti menemukan alasan yang tepat.Maya terlihat masam dan Reynand tersenyum tanpa Maya sadari.Mereka melangkah lagi menyusuri pantai, tapi pikiran Maya masih tertuju pada kalung Reynand. Masalah dengan Bram justru bisa sedikit teralihkan.Maya menghentikan langkah dan menghadap Reynand."Tunggu ... itu tadi pakai liontin bintang kan ya?"Reynand mendengus kasar. Niat hati ingin mengali
Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
Setelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar
Tok .. tok ... tok Reynand mengetuk pintu sedkit agak ragu. Ah semarah-marahnya Maya masak iya sih nggak akan reda. "Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci."Pintu dibuka dengan sangat pelan. Sambil menyiapkan hati jikalau tiba-tiba Nonanya marah lagi. Entahlah, nanti pikir nanti. Yang penting dia ketemu dulu sama Maya. Sudah tiga hari Reynand tak melihat wajah ayu miliknya. Rindu ...."Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu, boleh saya masuk?"Maya kaget, bukan Bik Mumah seperti sangkanya, tetapi Reynand sang asisten yang selama tiga hari ini menghiasai angannya. Sejenak jantungnya berdegup lebih kencang karena desiran aneh yang selalu datang.Maya terpaku memandamg asistennya. Wajah itu, senyum itu, seakan berabad rasanya tak bertemu. Ada rindu yang menuntut untuk diluahkan. Jikalau tak memandang gengsi ingin rasanya Maya menghambur ke dalam pelukan Reynand.Ah tidak, dia tidak boleh menunjukkan per
"Nggak bisa gitu dong, Om. Aku nggak setuju kalau begini caranya," kata Reynand yang saat ini sudah berada di rumah Dokter Wira.Mereka terlibat dalam sebuah perbincangan tentang bagaimana bisa menangkap Widya dan anak buahnya."Tapi, Reynand, Om juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tolonglah mengerti, semua memang salah Om. Seperti yang sudah kuatakan, Om terjebak dalam lingkaran yang di buat Nyonya Widya. Om buntu, Rey, dan Om butuh seseorang untuk mendukung.""Mendukung untuk membunuh Maya? Tidak, Om. Ini gila ... mana mungkin aku melukai gadis yang sangat aku cintai. Om Wira juga tahu perasaanku seperti apa ke Maya."Reynand frustasi, sedang Dokter Wira hanya terdiam. Dia tahu yang dilakukan terhadap Maya adalah salah. Bagaimanapun nyawa Maya bisa tetancam.Reynand berdiri, dia berjalan mondar mandir, berusaha mencerna pengakuan Dokter Wira. Dan bagaimana bisa ide konyol itu muncul, dan su
Dalam layar tampak Maya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih sebatas dada. Reynand terpesona dengan apa yang dilihatnya. Berdosakah sekarang jika dia mengagumi gadis pujaannya itu? Pemandangan itu terlalu indah untuk dilewatkan.Maya berhenti membelakangi kamera seperti mencari sesuatu. Tapi tidak ketemu. Dengan posisi Maya seperti itu, Reynand dapat dengan jelas melihat kaki Maya yang putih mulus karena handuk yang dikenakan Maya berada di atas lutut.Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Jiwa kelakiannya terusik ketika melihat keadaan Maya yang nyaris tanpa busana. Tampak Maya berjalan ke kiri lalu hilang dari layar monitor.Syukurlah ... Reynand mengelus dada. Sedikit merasakan kelegaan akhirnya Maya menghilang dari pandangan. Karena jika terus disuguhi pemandanhan seperti itu Reynand bisa gila dibuatnya. Dia menghela nafas dalam. Sesak di dadanya kini sedikit menghilang.Tapi