Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya.
"Ben?"
"Hm?"
“You ok?”
Ben mengangguk meyakinkan.
“Ben..” Panggilku sekali lagi.
“Hm?”
"Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini.
"Tadikan udah."
"Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah?
"Es jeruk."
Keterlaluan.
"Itu minuman Ben."
Ben akhirnya tertawa.
Ah leganya."Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju.
Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali.
Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.
Ada nama kantor Ben di situ.Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk.
"Ini ruangan kamu?"
"Bukan. Jabatanku nggak setinggi itu."
"Oh pantes diselingkuhin." Ceplosku bercanda. Dia malah cekikikan. Syukurlah.
"Kamu tunggu di sini dulu. Aku ada rapat. Sebentar saja."
"Lah. Ngapain aku nunggu di ruangan orang?"
"Ini ruangan sepupu aku."
"Kenapa bukan di tempat kamu aja sih Ben?"
"Kan belum muhrim Nat." Bisa kulihat mata pria ini berbinar licik.
"Nggak lucu ya Ben."
"Bercanda. Ruangan aku lagi di renovasi. Nggak apa-apa ya nunggu di sini dulu? Nggak lama kok."
"Yakin Ben? Aku lagi males disangka penyusup loh kalau yang punya ruangan dateng."
Dan HP Ben berdering. Tanpa menjawabku, dia lebih memilih menjawab teleponnya.
Kudengar dia menanyakan beberapa hal sebelum menjanjikan akan hadir di ruang rapat lima menit lagi. Fix berarti aku ditinggal di ruangan orang.
Dan ya, setelah Ben pergi, seorang karyawan yang bernama Sesa datang membawakanku secangkir teh. Kami ngobrol beberapa menit sebelum dia juga pamit melanjutkan pekerjaannya. Sedang aku memainkan hpku, sampai dikagetkan dengan suara dua yang mendekat.
"Tapikan gue udah bilang desainnya nggak cocok, Raf!"
"Ngerti Mas. Tapi saya nggak tahu kalo Mas baliknya hari ini."
"Oh jadi lu semua males-malesan karena menurut jadwal, gue kerjanya minggu depan? Gitu?"
“Nggak gitu Mas. Cumakan ini kerjaan berapa kepala. Butuh waktu lebih. Toh mas yang pulang mendadak. Nggak ngabarin pula. Jadi bukan salah kita seutuhnya dong.”
“Wah gila lu masih nyalahin gue. Raffi, make it make sense!”
Aku yang kalang kabut bersusah payah memperbaiki posisi tempat dudukku sambil nguping. Ingin kabur tapi nggak tahu lewat mana, sedang dua orang pria itu baru saja menatapku.
Ya ampun rasanya.
Seperti ketahuan nyolong.BEN, KAMU DIMANA BEN? YA AMPUN BEN."Siapa nih?" Tanya pria itu ke temannya. "Tamu gue?"
Tanpa menjawab, pria yang kutebak bawahan pria yang bertanya itu langsung bertanya padaku.
"Mbak nyari siapa?"
Makin gugup, aku berdiri. Bersiap melarikan diri.
"Mm.. saya temennya Ben."
"Ini bukan ruangan Mas Ben, Mbak. Mbak salah ruangan." Ucap pria itu sambil menjelaskan dimana ruangan Ben berada.
Tanpa mendengar lebih detail, saking gugupnya aku mengangkat tangan kananku setinggi dada kemudian bilang....
"Oke sorry."
Dan aku mulai lari. Menuju pintu.
Tapi sebuah tangan menangkap dan menahan lengan kiriku.
Aku berbalik menatapnya. Pria yang tadi ngomelin karyawannya itu baru saja menangkap tanganku.
"Nata?"
Byar!
Bagaimana dia mengetahui namaku!Aku fokus menatapnya.Satu detik.Dua detik.
Dan.
DANG!
Lututku lemas.
Mata itu.Terakhir kuliat mata itu pada sebuah foto yang dia kirimkan di Line sesaat sebelum kami, bukan, dia, memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan komunikasi yang mulai kupercaya memiliki makna lebih dari sekedar teman ngobrol.
Ternyata tidak butuh waktu lama untuk aku bisa mengenal wajahnya dari hanya bermodalkan melihatnya sekali di foto.
Sadar dengan situasi, reflek aku menarik tanganku dan mundur satu langkah. Memberi jarak agar dadaku bisa memompa udara. Dan yes, masih dengan lutut yang ngilu. Bahkan untuk menyebutkan namanya pun aku butuh keberanian besar.
"Gu..gi?"
Jantungku hampir copot.
Nama itu.Aku tidak menyangka bahwa aku akan menyebutkannya langsung depan orangnya.
Setidaknya tidak di sini.Tidak Di kantornya.Tidak di ruangannya.Tidak sekarang.Tapi mendengar namanya kusebut, dia, Gugi, kulihat tersenyum.
Sedang aku?Menurutmu apa yang kurasakan ketika bertemu dengan pria ini?*
Di sinilah aku. Kembali duduk di sofa yang tadi sudah kududuki setelah beberapa puluh menit ditinggal Ben ke ruang rapat.
Bedanya, tadi aku sendiri, sedang sekarang, bersama seseorang yang tidak sedang ingin kujadikan teman duduk berdua atau bahkan ngobrol sekalipun.
"Jadi kamu kenal Ben? Waw. Dunia bener-bener sempit ya Nat."
Tidak ku jawab dengan kalimat. Hanya sedikit anggukan.
Sedikit senyuman."Finally kita ketemu ya. Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini loh."
"Sama." Lagi, dengan sedikit senyuman.
"Apa kabar?"
"Gi."
"Hm?"
"Kok bisa kamu banyak nanya? Nggak ngerasain awkward gitu? Aneh? Nggak? Aku hampir jantungan soalnya."
Kulihat Gugi tersenyum. Seolah-olah menjawab memang hanya akulah yang merasa awkward di sini. Dia nggak.
Sama seperti hanya akulah yang merasa sayang. Dia tidak.Brengsek."Nggak perlu awkward kali. Kitakan temen. Masa sama temen sendiri awkward-awkward-an." Ucap Gugi fasih lancar tanpa hambatan, walau terdengar sedikit ragu.
Ingin rasanya mulut Gugi kulempar gelas teh.
Tapi syukurlah pintu ruangan itu terbuka. Dan Ben masuk.
"Eh sorry Gi gue pinjem ruangan lu. Gue pikir lu blom masuk hari ini." Ucap Ben yang berjalan menuju arahku.
"Nggak apa-apa, santai aja. Lagian...."
Sebelum Gugi menyelesaikan kalimatnya yang apapun itu, aku mencegahnya dengan cepat-cepat berdiri kemudian mengajak Ben.
"Yuk jalan."
Ben bingung.
Gugi nggak. Kurasa dia bisa langsung mengerti kalau aku nggak mau dia menceritakan pada Ben bahwa kami berdua saling kenal dan pernah menjalin sesuatu. Yang entah apa.Singkat banget soalnya."Loh sekarang banget?" Tanya Ben lagi.
"Hu'um. Yuk." Aku menarik Ben. Dan berjalan ke arah pintu tanpa berbalik ke arah Gugi.
"Kemana? Eh Gi, thank you ya." Ucap Ben bertanya sekaligus pamit.
Tidak kujawab.
Aku menarik Ben sejauh mungkin. Menuruni lift.Menuju parkiran.Hingga duduk di kursi samping kemudi."Nat you ok?" Tanyanya khawatir melihatku agak sesak nafas.
Tidak ku jawab.
Aku masih kesusahan dan sibuk mengatur nafasku.
Lantas yang pria itu lakukan kemudian membuatku shock.
Dia memutar bahuku dan menggerakkannya agar kami berdua saling berhadapan.Dengan sekali gerakan kedua tangannya dia naikkan dan tempelkan dan menyentuh kedua sisi pipiku.Dan sesaat kemudian yang kurasakan adalah hangat. Dari telapaknya di pipiku.Membuatku otomatis memejamkan mata.Menaikkan kedua tanganku menyentuh kedua tangannya, dan menahannya agar tetap seperti itu untuk sementara.Tangan Ben di pipiku entah bagaimana penjelasannya membuatku lebih tenang.
Perlahan aku mulai bisa menyesuaikan dan mengatur nafasku yang tadi sesak.Barang beberapa menit aku menahan tangannya seperti itu.Seperti candu.Aku cukup lupa waktu,Hingga akhirnya ketika kurasa cukup,Dan membuka mataku,Kulihat mata Ben hanya berjarak beberapa senti dari mataku.Tapi bukannya menjauh,Wanita ini,Yang dia lakukan adalah menurunkan tatapannya menatap bibir Ben, exactly seperti yang sedang mata Ben lakukan. Menatap bibirnya.Lalu kemudian,
Entah bagaimana,
Sejak kapan,
Melepaskan Ben dari sebuah kecupan adalah suatu kemustahilan.
Maka dari itu, Tuhan mengirimkan orang lain untuk either menghentikan aku, atau Ben. Dengan ketukan kerasnya pada kaca jendela di sisi Ben.
Dan berhasil.
Kecupan itu terlepas. Dengan paksa.
Ben berbalik.
Aku pun.Dan tentu saja.
Sebagaimana cerita drama romance seharusnya berjalan,Yang berdiri di luar sana adalah seseorang yang mungkin sudah seharusnya di sana. Menatap lurus ke arah kami. Sesaat kutebak kaca jendela Ben tidak segelap itu untuk merahasiakan apapun yang terjadi barusan agar tidak terlihat oleh orang di luar sana.Oleh Gugi.Ben menurunkan kaca mobilnya. Tapi sebelum dia sempat mengucapkan apapun, Gugi memasukkan tangannya, meletakkan sesuatu di dashboard Ben.
Dan sebelum berbalik meninggalkan aku dan Ben yang entahlah,Gugi bilang,"HP cewek lu ketinggalan."
Dan,
"Sorry ganggu."
Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk. Ben."Hm?" Sapaku nggak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak. Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah
Besoknya sesuai apa yang Ben bilang, dia benar-benar menjemputku makan siang lagi. Kami makan di resto dekat kantorku. Siang itu Ben nggak menggunakan baju seformal kemarin."Kamu nggak ngantor?""Kenapa?""Nggak pake dasi.""Emang aku CEO pake dasi mulu?""Aamiin.""Kamu mau punya suami CEO?""Maulah.""Yaudah kalau gitu aku bakal jadi CEO."Aku tersedak. Ben senyum cepat-cepat membukakan segel botol air."Jangan gitu lagi.""Gimana?" Tanyanya menyebalkan. Nggak menganggapiku serius."Kamu kalau ngomong suka nggak mikir ya Ben?""Iya. Perihal kamu, semuanya dari hati. Nggak perlu dipikir dulu." Ucap Ben lanjut menyuapi bibirnya dengan sepotong pizza dengan toping entahlah aku lupa tadi dia pesan apa.“Oh sure, bullshit,”“Hahahahha, kita lihat nanti.” Ucapnya entah bermakna apa.Aku mengamatinya diam-diam. Siapa tahu ada clue dari ekspresinya tentang siapa dia, apa maunya. Apapun. Kenapa Tuhan bisa kepikiran pertemuin aku dengan Ben.Tapi bagiku, mungkin seperti itulah Ben. Dia denga
"Kamu apa-apaan sih? Keluar nggak!" kupikir-pikir, Gugi emang doyan mancing emosiku kapanpun dimanapun. Dengan alesan apapun."Nggak. Naik buruan!" Titahnya."Nggak. Kamu turun dulu. Ini mobil aku. Kamu ngapain?" aku masih nggak habis pikir, dan melototin di habis-habisan. Menolak diperintah, apalagi tunangan orang."Kamu mau naik sendiri apa harus aku paksa?""Enak banget kamu perintah-perintah! Turun!" Protesku nggak percaya dia punya keberanian memerintahku setelah semua kelakuannya belakangan ini. Hebat.Gugi mengangguk. Lalu turun. Kupikir akhirnya dia mengalah. Tapi yang terjadi adalah, pria ini menarik tanganku, kemudian dia giring naik ke kursi penumpang. Menutup pintu. Dan berlari kembali ke kursi pengemudi. Menatapku sekilas, menginjak gas, dan mobil inipun melaju. Persis adegan penculikan anak SD. Meninggalkan gedung itu. Meninggalkan gadis itu.Sudah sekian kilo kami duduk bersama. Tidak sedikitpun dia bicara."Kamu mau kemana sih Gi? Minimal jelasin!" Tanyaku kesal."
Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh. Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben. Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat ‘nyaman' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya,
“Tahu gini aku nggak dateng tadi,” bisikku ke Mbak Nana yang sedang riweuh dengan pom-pom yang dia buat dari kantor itu.“Hah? Kenapa emangnya?”“Nggak. Brisik banget!”“Ah lu-nya aja yang norak. Eh lucu kali ya kalo kita joget sambil lompat-lompat mini di depan tuh. Kayak anak puber lagi cheerleader, Nat. Tu wa ga pat, tu wa ga pat,” ucapnya percaya diri sambil mengayun-ayunkan kedua pom-pomnya naik turun, kaya mau nahan angkot.“Nggak-nggak-nggak-nggak. Gila lu Mbak,” ucapku memalingkan muka dari Mbak Nana, yang justru kemudian kusesali, karena mataku dan mata pria itu bertemu lagi. Kulihat keringatnya sedang diseka oleh tunangannya.“NAT! NATA!”“Hah? Apa?”“You oke?” Mas Rumi yang menghampiri kami di pinggir lapangan, dan langsung menyadari kemana arah mataku. “Heeeey..” Sapanya sekali lagi sambil mengelus kepala sambil merangkulku. Menarikku dari pemandangan yang nggak bagus. Untuk mata, maupun hatiku. Sekali lagi, bukan cemburu. Emosiku masih menggebu-gebu melihat tampang Gugi ya
PLAKKKK!Kudengar beberapa suara di sekeliling kami ikut hening seketika, mengiringi suara tamparanku pada pipi Gugi, yang kuyakin kali ini sangat keras. Aku nggak tahu berapa orang yang mendengar dan ikut mematung bersama kami bertiga. Aku terlalu fokus pada kebencianku sekarang.Dan kurasa Gugi bisa ngelihat itu semua dari mataku. Kami saling menatap beberapa detik pasca tamparan keras yang tiba-tiba itu. Sedang aku juga bisa lihat penyesalan di matanya. Yang jika sedang nggak emosi, mungkin bakal buat aku bahagia walau cuma ditatap langsung aja sama dia.“Beraninya ngatain perempuan. Laki-laki pecundang kamu Gi!” tuturku penuh tekanan, dan sangat jelas. Setelah memastikan Gugi mendengarnya, aku berbalik dan berlari ke arah parkiran. Tangisku hampir kembali pecah. Sekali lagi. Karena Gugi. Karena pria yang pernah begitu kuingini.“Nat, tunggu. Ada apa? Kalian kenapa?” Derry menahanku. Aku bahkan lupa soal orang ini saking emosinya.“Ada apaan Der? Nat? Kenapa?” Mas Rumi yang terlihat
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi.Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga.Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku.Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana."Aw! Nat pelan dong Nat. Sakit," Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar."Oh.""OH?""Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk."Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya.Aku melihat
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku.Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya.Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan.Dia,Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku.Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku pada Hokkaido milk bread hangat di satu toko rot
[ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad
Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k
“Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan
Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu
Ruang makan rumah kami selain dipenuhi aroma masakan buatan Mamah yang udah sibuk di dapur sejak berjam-jam yang lalu, juga dipenuhi alunan instrumen Sunda yang samar-samar. Salah satu hobby Papah. Menurutnya, makan sambil dengerin instrumen Sunda ngerasa dia makan di kampung halamannya. Dan nggak ada yang protes, walaupun aku kurang suka makan diiringin suara suling.“Assalamualaikum Mah, Pah,” salamku sedikit keras. Berusaha menarik perhatian kedua pasangan yang lagi sibuk Nata piring itu.“Waalaikumsalam. Eeh udah pada dateng? Ayo-ayo sini nak, kita langsung makan ya. Takut keburu dingin supnya,” ucap Papah menghampiriku dan Ben.Aku memeluknya sebentar, sebelum dia beralih ke Ben. Ben tertunduk menyalim Papah, sambil Papah puk-puk punggungnya ringan. Aku berjalan lebih dulu ke meja makan sebelum kemudian mereka susul.Kuperkenalkan Ben secara resmi dan singkat ke kedua orang tuaku. Sepanjang sarapan bareng yang hangat itu, kulihat gimana antusias Ben ngobrol dengan Mamah Papah, sa
Menjadi seorang Ibu tanpa suami, apa aku mampu?Lagi, kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan. Aku nggak fokus ngedengarin penjelasan dan obrolan orang tuaku bersama Dokter Lendro. Satu tanganku turun mengelus perutku, sedang tanganku yang lain digenggam Mamah.Malam ini berat. Tapi ringan berkat mereka.Sesampainya di rumah, aku masuk kamar yang sudah beberapa lama nggak kutempati. Nggak ada yang berubah. Kuyakin Mamah Papah repot ngebersihin kamar ini sejak pagi.Kunyalakan kembali Ponselku. Beberapa pesan masuk, nggak kuperdulikan. Mataku fokus pada Ben. Dia mengirimiku beberapa chat. Mengabari kegiatannya, juga menyampaikan khawatirnya.Kutelpon.“Nat? Assalamualaikum. Kamu dimana sekarang? Kok hp kamu baru nyala?”“Waalaikumsalam Ben. Maaf ya. Tadi ngurus sesuatu dulu.”“Gimana? You oke now?”“Aku perlu ngasih tahu kamu sesuatu Ben,”“Please jangan bilang kamu dijodohin di sana. Malam ini juga aku jemput kamu kalau sampai benar!”“Hahaha. Kamu pikir segampang itu jodohin anak jaman s
Suasana jalan siang ini cukup padat. Perjalanan menuju kantor kutempuh dengan perasaan yang bingung dan banyak takutnya. Kalian tahu betul alasannya apa. Aku nggak mau nyimpulin apapun di luar sepengetahuanku. Yang jelas, yang kutahu, sangat wajar jika seorang wanita dewasa mengalami terlambat datang bulan. Iyakan? Maksudku, nggak semua yang telat menstruasi itu hamil. Nggak perlu panik, nggak perlu takut. Aku juga nyoba buat kerja senormal mungkin. Mencari distraksi agar fokusku terpecah ke hal-hal lain. Seperti memperhatikan teman-teman kerjaku yang sedang santai. Beberapa bahkan asik ngobrol satu sama lain perihal kerjaan atau pasangan mereka masing-masing, sampai rasa itu muncul di satu pagi. Mual yang kurasa sejak bangun tidur dua hari belakangan ini, membuat pikiranku makin kacau. Aku nyoba mikirin kemungkinan-kemungkinan lain. Maagku kambuh misalnya. Atau efek dari makanan yang kukonsumsi di malam sebelumnya. Semua selalu dipatahkan dengan mual yang kembali muncul, lagi dan
Mencoba menyembunyikan panikku, aku berdehem dengan susah payah, lalu tertawa. Sungguh sebuah tawa yang juga susah.“Hm? Kok bisa? Haha,” nggak tau harus tersinggung atau gimana.“Waktu aku awal-awal hamil dia nih, aura aku kaya kamu persis. Kelihatan capek banget, kaya kurang tidur. Bawaannya lemes.”“Oh hahahhha. This, is what work did to me Mbak,” ucapku menjelaskan sambil menujuk wajahku sendiri.Kami sempat ngobrol beberapa saat, sebelum Mbak-Mbak itu meminta maaf sekali lagi pada akhirnya. Mungkin dia bisa melihat kepanikan dari wajahku. Ia kemudian berlalu. Pamit untuk mencari suaminya.Aku melanjutkan kegiatan ini hingga rampung dan bersiap pulang. Vipa mengantarku sampai di unit. Memastikanku sampai di tempat tujuan dengan aman.Ku bereskan semua belanjaan. Menempatkannya di tempat yang seharusnya. Setelah semua rapi, entah kenapa, kalimat di supermarket tadi terlintas kembali di kepalaku.Gimana mungkin seseorang mengira aku sedang hamil. Kuraba perutku yang rata. Cepat-cepa
Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu?Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak.Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci.Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk.“JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!”Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah.“Utang lu banyak ya ke gue!” sempr