Aku duduk manis di mobil Gugi. Nggak mau repot-repot menatapnya di samping. Tadi kami sempat berdebat di parkiran.Menurutnya yang sok pintar itu, aku harus pulang bersamanya, dan menitipkan kunci mobilku pada satpam disitu untuk nanti diambil oleh temannya. Kuiyakan setelah depat panjang yang nggak bakal berakhir kalau aku nggak nurut. Aku menyandarkan kepalaku pada kacanya yang berembun, sedang pandanganku lurus ke depan. Memerhatikan jalanan dini hari ibu kota yang nggak seramai jam-jam sebelumnya. Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Mataku sesekali mengikuti arah wiper yang Gugi aktifkan. Sampai akhirnya mobil itu berbelok memasuki kawasan apartemen tempatku tinggal. Gugi memarkirkan mobilnya di basement, tapi nggak mematikan mesinnya. Dengan lemas, aku membuka seatbelt yang kukenakan. Kemudian diikuti olehnya. Baru aku mau membuka pintu mobil, tangannya terjulur menghentikanku. "Nat.." "Udah malem Gi. Aku capek banget." "Aku tahu, tapi please jangan gitu lagi." Aku berba
Yang kusyukuri adalah, Gugi nggak ngotot malem ini menyusulku naik ke unit. Mungkin dia tahu betul, keadaannya sedang nggak kondusif dan aku bener-bener kehabisan tenaga buat lanjut ngehadepin dia malam ini.Sesampainya di lantai yang kutuju, mataku menangkap sesuatu di depan pintu. Itu bukan Gugi lagikan? Dan memang bukan. Itu bouquet bunga dengan kertas coklat lusuh yang membungkusnya.Dahiku mengernyit membuat dua alisku yang lupa kupertebal tadi pagi hampir bertemu di tengah. Aku mengangkatnya dan membuka pintu. Langkahku kuseret hingga sofa. Kuperhatikan bunga di tanganku dengan seksama. Ini kali pertama aku ngelihat bunga jenis ini.Oh ada catatan kecil tergulung dan diselip agak dalam.Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi aku janji bakal jawab semuanya. Nanti, saat semua keterlanjuran ini beres aku tanganin.Ini Hyacinth, Nata.Yang ungu melambangkan kesedihan dan penyesalah. Maafin aku udah nyakitin kamu dengan cara yang paling kamu benci. Nyakitin kamu rasanya nyakitin
Aku nggak pernah secanggung ini makan bareng orang tua sendiri. Nggak pernah, sampai hari ini. Sampai Gugi di sini. Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Papah. Dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung di kedua sisi hingga beberapa senti di bawah sikunya. Hari ini rambutnya rapi nggak kaya biasanya. Di sepanjang garis rahangnya terlihat bulu-bulu halus yang mulai tumbuh. Kumisnya pun begitu. Kenapa dia di sini? Tepat saat kedua orang tuaku sedang berkunjung?Bukankah seharusnya dia berada dimanapun selain di sini? “Jeee, kamu kok nggak bilang sih kalau janjian sama temennya? Tahu gitu Mamah masak lebih banyak tadi." Aku menatap wanita di sampingku yang tengah tersenyum-senyum menatap Gugi itu. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya.“Oh saya memang nggak janjian sama Nata, Tante. Tadi kebetulan emang lewat daerah sini.” Gugi menjelaskan dengan senyuman yang tertarik dari ujung kuping kanan ke kirinya. “Kebetulan katanya Pah, hahaha. Lucu ya temen Jeje,” kini Mamahku m
Ben disana. Duduk di salah satu bangku nggak jauh dari pintu masuk kafetaria. Entah ngapain."Nat, cowok yang waktu itu Nat." Ucap Dita yang terlihat sama kagetnya denganku. Apalagi ketika melihat orang yang tengah dia bicarakan berjalan ke arah kami. "Nat gue cabut ya. Gue makan di meja lain deh." Lanjutnya. Melarikan diri. Karena fokus menatap Ben, aku bener-bener kalah cepat dengan kesigapan dan kesatsetan Dita yang amat setia kawan itu. Cepet banget dia kabur. "Jenata.." Panggilnya. Mendengar suaranya, aku reflek menggeleng. "Nggak sekarang Ben. Ini tempat aku kerja. Aku nggak mau ngobrol sama kamu di sini." Ucapku menolak mentah-mentah kehadiran pria itu. "Kamu mau kita ngobrol di kantor aku aja?" "Kayaknya kamu ada gila-gilanya deh Ben. Udah pernah periksa? Ke Dokter Jiwa?" Nggak ngehirauin omonganku yang jelas-jelas menghinanya, dia menarikku ke salah satu meja di sisi jendela. Meja itu selalu kuhindari, anyway. Dijam-jam seperti ini, mataharinya bisa nembus tabir suryamu
Kuputuskan untuk cepat-cepat kembali ke ruang kerjaku. Tempat dimana kurasa Ben nggak punya akses, dan aku bisa menghindar. Tapi, sesampainya di sini, aku malah disamperin oleh dua orang yang sedari tadi sudah nahan rasa penasarannya. Tahu banget aku.Mataku bertemu dengan mata Mas Rumi. Lalu mata Mbak Nana. Aku benar-benar ngerasa seperti produk yang baru mau launching. Disorotin habis-habisan. Nyari salahnya dimana.Mencoba untuk pura-pura nggak sadar lagi diperhatiin, aku pelan-pelan menarik headset-ku. Mencoloknya ke hp, sebelum memakainya.“Dia lagi pura-pura nggak ngelihat kita ya?” Kudengar Mbak Nana bertanya pada Rumi tanpa sedikitpun melepaskan tatapannya padaku.“Uhum. Dia bakal pura-pura nyalain lagu, padahal volumenya dikecilin biar bisa nguping obrolan kita.” Jawab Rumi sepedes biasanya. Aku masih ngotot dalam misiku.“Lu kenal nggak cowok yang nyamperin dia tadi Ru?”“Itu sodaraan sama temen gue. Tapi setau gue dia udah tunangan.”“Sumpah lu?”“Sumpah, sumpah. Dia sendiri
Melihat Gugi di depan mata, aku nggak punya pilihan lain selain ngehadepin dia. Tapi, Mas Rumi mendahuluiku. Dia melarangku berdiri. Menyuruhku tetap duduk di kursi. Sedang Gugi menatapnya serius. “Masih berani lu nyari Nata? Kurang ungu pipi lu kemarin?” Ucap Mas Rumi mendekati Gugi. “Ru, gue nyari Nata. Bukan lu.” “Nggak gue izinin. Lu kalau mau bikin stres cewek, cari yang lain. Jangan temen gue!” Aku yang nggak tahan mendengar keributan mereka di tengah teman kerjaku yang lain, mencoba melerai. “Kamu duduk,” titahku menunjuk Mas Rumi, “kamu, pulang!” lalu menunjuk Gugi. “Iya, sama kamu. Ayo.” Ucapnya menarik pergelangan tanganku. Usahanya dihentikan Mas Rumi yang langsung melepaskan genggaman Gugi dengan menepaknya keras. Dan berhasil. “Udah gue bilang, gue nggak ngasih izin! Lu yang ikut gue sekarang!” Selanjutnya, mereka berdua meninggalkan ruangan. Entah kemana. Entah bahas apa..[ Rumi’s POV ] “Percaya omongan gue, lu nggak bakal mau lihat gue naik pitam G
Mas Rumi balik ke ruangan dengan muka yang tegang dan menekuk. Sudah kubilang padahal, ngadepin Gugi tuh kita butuh exercise dulu sebelumnya. Butuh pemanasan dulu. Biar otot-otot nggak tegang. Tekanan darah aman. Nggak bisa langsung ngehadepin dia tanpa persiapan. Nggak bisa. Aku bahkan nggak berani nanya-nanya saat dia ngelewatin aku sama Mbak Nana yang sebenernya penasaran banget-buuuanget. Bukan karena takut atau segan. Tapi karena aku paham betul tenaga pria itu barusan terkuras habis-habisan. Jadi kubiarkan dia bernafas dulu. Menenangkan diri. Apapaun yang terjadi di luar, apapun yang dia bicarain dengan Gugi, kuharap semua terselesaikan dengan baik. Tanpa merusak pertemanan mereka berdua. Aku bener-bener nggak enak hati mengetahui karena kebodohanku, dua orang harus musuhan. Apa lagi dua saudara. Nggak banget. Dosaku dah banyak, ogah nambah. Hari ini, dihadapkan dengan Gugi - Ben – lalu Gugi lagi, kayaknya aku bener-bener sudah sampai di tahap pengen resign terus pindah rumah
Sudah dua minggu aku ninggalkan Jakarta dengan semua dramanya. Dramaku. Kepalaku terasa lebih ringan, tekanan darahku juga normal. Tegang-tegang di tengkuk karena khawatir sama hal-hal yang bisa dilakuin Gugi atau Ben secara tiba-tiba juga nggak berasa. Ngertikan sekarang kenapa I love my job?Oke, lanjut.Kalau kalian penasaran apa dua manusia itu mencoba menghubungiku atau nggak, jawabannya tentu saja ‘ya’. Mereka nyoba. Berhasil? No. Kupastiin nggak ada satupun staff kantorku yang memberi info apapun ke siapapun, seperti biasa, tapi kali ini lebih ketat. Ben beberapa kali terlihat di kantorku, sedang Gugi sibuk mondar mandir di depan unit apartemenku. Bahkan Mbak Nova, tetangga di unit sebelah beberapa kali nelepon. Ngelapor katanya ada orang mabok ngegedor-gedor pintuku teriak -NATAAAAAAAA- katanya. Aku cuma bisa meresponnya dengan tawa ringan, memberitahunya bahwa itu salah satu temanku jadi dia ngga perlu khawatir. Yang khawatir adalah aku. Me. My self. Setelah laporan itu, ak
[ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad
Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k
“Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan
Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu
Ruang makan rumah kami selain dipenuhi aroma masakan buatan Mamah yang udah sibuk di dapur sejak berjam-jam yang lalu, juga dipenuhi alunan instrumen Sunda yang samar-samar. Salah satu hobby Papah. Menurutnya, makan sambil dengerin instrumen Sunda ngerasa dia makan di kampung halamannya. Dan nggak ada yang protes, walaupun aku kurang suka makan diiringin suara suling.“Assalamualaikum Mah, Pah,” salamku sedikit keras. Berusaha menarik perhatian kedua pasangan yang lagi sibuk Nata piring itu.“Waalaikumsalam. Eeh udah pada dateng? Ayo-ayo sini nak, kita langsung makan ya. Takut keburu dingin supnya,” ucap Papah menghampiriku dan Ben.Aku memeluknya sebentar, sebelum dia beralih ke Ben. Ben tertunduk menyalim Papah, sambil Papah puk-puk punggungnya ringan. Aku berjalan lebih dulu ke meja makan sebelum kemudian mereka susul.Kuperkenalkan Ben secara resmi dan singkat ke kedua orang tuaku. Sepanjang sarapan bareng yang hangat itu, kulihat gimana antusias Ben ngobrol dengan Mamah Papah, sa
Menjadi seorang Ibu tanpa suami, apa aku mampu?Lagi, kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan. Aku nggak fokus ngedengarin penjelasan dan obrolan orang tuaku bersama Dokter Lendro. Satu tanganku turun mengelus perutku, sedang tanganku yang lain digenggam Mamah.Malam ini berat. Tapi ringan berkat mereka.Sesampainya di rumah, aku masuk kamar yang sudah beberapa lama nggak kutempati. Nggak ada yang berubah. Kuyakin Mamah Papah repot ngebersihin kamar ini sejak pagi.Kunyalakan kembali Ponselku. Beberapa pesan masuk, nggak kuperdulikan. Mataku fokus pada Ben. Dia mengirimiku beberapa chat. Mengabari kegiatannya, juga menyampaikan khawatirnya.Kutelpon.“Nat? Assalamualaikum. Kamu dimana sekarang? Kok hp kamu baru nyala?”“Waalaikumsalam Ben. Maaf ya. Tadi ngurus sesuatu dulu.”“Gimana? You oke now?”“Aku perlu ngasih tahu kamu sesuatu Ben,”“Please jangan bilang kamu dijodohin di sana. Malam ini juga aku jemput kamu kalau sampai benar!”“Hahaha. Kamu pikir segampang itu jodohin anak jaman s
Suasana jalan siang ini cukup padat. Perjalanan menuju kantor kutempuh dengan perasaan yang bingung dan banyak takutnya. Kalian tahu betul alasannya apa. Aku nggak mau nyimpulin apapun di luar sepengetahuanku. Yang jelas, yang kutahu, sangat wajar jika seorang wanita dewasa mengalami terlambat datang bulan. Iyakan? Maksudku, nggak semua yang telat menstruasi itu hamil. Nggak perlu panik, nggak perlu takut. Aku juga nyoba buat kerja senormal mungkin. Mencari distraksi agar fokusku terpecah ke hal-hal lain. Seperti memperhatikan teman-teman kerjaku yang sedang santai. Beberapa bahkan asik ngobrol satu sama lain perihal kerjaan atau pasangan mereka masing-masing, sampai rasa itu muncul di satu pagi. Mual yang kurasa sejak bangun tidur dua hari belakangan ini, membuat pikiranku makin kacau. Aku nyoba mikirin kemungkinan-kemungkinan lain. Maagku kambuh misalnya. Atau efek dari makanan yang kukonsumsi di malam sebelumnya. Semua selalu dipatahkan dengan mual yang kembali muncul, lagi dan
Mencoba menyembunyikan panikku, aku berdehem dengan susah payah, lalu tertawa. Sungguh sebuah tawa yang juga susah.“Hm? Kok bisa? Haha,” nggak tau harus tersinggung atau gimana.“Waktu aku awal-awal hamil dia nih, aura aku kaya kamu persis. Kelihatan capek banget, kaya kurang tidur. Bawaannya lemes.”“Oh hahahhha. This, is what work did to me Mbak,” ucapku menjelaskan sambil menujuk wajahku sendiri.Kami sempat ngobrol beberapa saat, sebelum Mbak-Mbak itu meminta maaf sekali lagi pada akhirnya. Mungkin dia bisa melihat kepanikan dari wajahku. Ia kemudian berlalu. Pamit untuk mencari suaminya.Aku melanjutkan kegiatan ini hingga rampung dan bersiap pulang. Vipa mengantarku sampai di unit. Memastikanku sampai di tempat tujuan dengan aman.Ku bereskan semua belanjaan. Menempatkannya di tempat yang seharusnya. Setelah semua rapi, entah kenapa, kalimat di supermarket tadi terlintas kembali di kepalaku.Gimana mungkin seseorang mengira aku sedang hamil. Kuraba perutku yang rata. Cepat-cepa
Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu?Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak.Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci.Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk.“JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!”Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah.“Utang lu banyak ya ke gue!” sempr