Share

[ 23 ]

Penulis: brokolying
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-31 12:59:25
Sudah dua minggu aku ninggalkan Jakarta dengan semua dramanya. Dramaku. Kepalaku terasa lebih ringan, tekanan darahku juga normal. Tegang-tegang di tengkuk karena khawatir sama hal-hal yang bisa dilakuin Gugi atau Ben secara tiba-tiba juga nggak berasa. Ngertikan sekarang kenapa I love my job?

Oke, lanjut.

Kalau kalian penasaran apa dua manusia itu mencoba menghubungiku atau nggak, jawabannya tentu saja ‘ya’. Mereka nyoba. Berhasil? No. Kupastiin nggak ada satupun staff kantorku yang memberi info apapun ke siapapun, seperti biasa, tapi kali ini lebih ketat.

Ben beberapa kali terlihat di kantorku, sedang Gugi sibuk mondar mandir di depan unit apartemenku. Bahkan Mbak Nova, tetangga di unit sebelah beberapa kali nelepon. Ngelapor katanya ada orang mabok ngegedor-gedor pintuku teriak -NATAAAAAAAA- katanya.

Aku cuma bisa meresponnya dengan tawa ringan, memberitahunya bahwa itu salah satu temanku jadi dia ngga perlu khawatir. Yang khawatir adalah aku. Me. My self.

Setelah laporan itu, ak
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • OUCH IT'S YOU   [ 24 ]

    Nyatanya, yang dikatakan Mas Rumi seperti angin segar di kupingku. Sejuk, sampai kesadaranku kembali. Aku diusahan oleh seseorang yang udah punya tunangan? Kenyataan manis yang kupikir nggak diinginkan wanita manapun.Seketika bayangan Gugi tersedu-sedu di depan pintuku menjadi bayangan yang menyeramkan. Fakta bahwa pemandangan itu membangkitkan kembali satu rasa di hatiku yang sudah mati-matian kukubur, membuatku takut. Takut aku terlalu lemah, lalu kalah, lalu membiarkan perasaan mengendalikan pilihanku, lalu merusak sesuatu yang sudah utuh, lalu apa? Bukannya kita semua sepakat, merusak kebahagiaan perempuan lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan?Tapi seperti yang biasa kehidupan lakukan pada kita semua, apapun keputusan yang kita pilih akan sesuatu, kepala kita bakal ditimpukin semua logika-logika setan untuk menggoyahkan.Kali ini contohnya adalah, kenapa harus ngejauhin Gugi? Bukannya Gugi yang memilih untuk ngedeketin aku lebih dulu? Bukannya kalau Gugi bertingkah sepe

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-15
  • OUCH IT'S YOU   [ 25 ]

    [ BEN’S POV ]Dua minggu. Dua minggu aku bolak balik kantor Nata. Dua minggu aku ngebujuk orang-orang yang menurutku tahu Nata dimana. Dua minggu aku gagal. Sampai aku nggak sengaja dengar orang ngobrol soal tim yang berangkat ke Singapura, saat sedang makan siang di gedung kantor itu.Dua minggu ini, entah sudah berapa kali aku makan di gedung tempat Nata bekerja. Aku mulai kenal dengan ibu-ibu penjaga stall gado-gadonya. Bu Ningsih namanya. Asli Surabaya, suaminya bekerja sebagai satpam di gedung itu, dan anak mereka ada lima. Tiga tinggal dengan nenek mereka di Surabaya, sedang yang dua lagi di Jakarta. Ikut dengannya.“Kasian deh anak-anak yang lagi ngeproyek di Singapur. Deadline-nya bentar, tapi katanya cuaca lagi jelek banget.”“Iya gue baca tuh di grup semalem. Mana jauh banget. Kek di Indonesia nggak ada lokasi aja.”“Ya gimana. Kliennya yang minta.”“Harusnya kalau karena cuaca, tenggatnya bisa dimolorin tuh.”“Nggak mau katanya.”“Amit-amit dapat klien kaya gitu.”“Sama.”En

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-19
  • OUCH IT'S YOU   [ 26 ]

    Aku membenarkan posisi dudukku. Melemparkan pandangan kemanapun selain ke mata Ben.“Ben, kamu sadar nggak sih lagi ngomongin siapa? Sepupu kamu loh itu. Yang mana kamu tahu persis dia punya tunangan. Sejak jauh sebelum dia kenal aku. Kalaupun ada yang Gugi menangin, it’s her. Not me.” Aku meneguk hampir setengah gelas kopi yang lumayan pahit itu. Lebih pahit lagi karena sambil ngebahas Gugi, bersama Ben. “Aku tahu Gugi masih gangguin kamu, dan dia berhasil bikin kamu makin susah buat berhenti mikirin dia,” tebaknya benar. Benar banget.“Ben, aku jelasin ya. Apapun hubungan yang pernah terjalin antara aku sama dia, itu nggak lebih dari komunikasi yang super nyaman sampai kebawa perasaan. Kita nggak punya status apapun. Komunikasi pun dia yang putusin karena sadar kalau itu bisa ngerusak hubungan dia sama tunangannya. Sampai situ Ben ngerti?” Dia mengangguk. Menatapku fokus. “Nah sekarang, kalau pun masih ada komunikasi terjalin antara aku sama tunangan orang itu, aku pribadi nyebut

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • OUCH IT'S YOU   [ 27 ]

    Mendengar kalimat Ben barusan, walaupun sempat terkesiap, aku reflek menepak bahu kirinya yang dia balas dengan kekehan. Ngelunjak ni anak. Setelah makan malam, dia mengantarku kembali ke hotel. Aku nggak nanya dia bakal balik kapan atau mau tidur dimana. Belajar untuk nggak terlalu mau tahu banyak, semoga bisa ngurangin resiko dikecewain lagi pas udah nyaman-nyamannya. Mari berdoa. “Dari mana aja kamu?” Mas Rumi yang entah udah sejak kapan berada di kamarku, menodong dengan pertanyaan orang tuanya. “Ngopi. Makan.” “Sama siapa?” “Orang?” “Oh ayolah Nat!” “Ya lagian ngapain nanya sih kalau kamu udah tahu jawabannya apa?” “Kok dia bisa nyampe sini?” “Pesawat Mas.” Ucapku seadanya, yang kemudian kena jewer. Jadi aku nggak punya pilihan selain ceritain semuanya. Eh nggak deh. Secukupnya. Mereka mendengarku dengan ekspresif. Mas Ru dan Mbak Nana. Bingung juga kok rasanya masalah pribadiku sekarang udah jadi konsumsi tim gini. “Gue sih tim Ben ya di kasus ini.” Seru wanita yang n

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • OUCH IT'S YOU   [ 28 ]

    “Ngapain sih Ben?” Bisikku pada Ben yang lagi-lagi nyengir. Dia doyan nyengir kalau ngerasa menang.“Nggak ngapa-ngapain. Pengen duduk sama kamu aja,” jawabnya padat sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Lalu menatapku.“Eh, berisik lu berdua!” Tegur Mas Ru dari samping tanpa mau repot ngebuka mata. Nggak tahu dia beneran tidur apa nggak dari tadi. “Hai Ru.” Sapa Ben mencondongkan tubuhnya untuk mengintip pria darah tinggi di kiriku. “Hai Ben. Bisa duduk tenang nggak lu tanpa gombalin temen gue?” tanya Mas Ru masih sambil merem.“Nggak bisa. Tapi gue coba ya,” tawaku hampir meledak mendengar jawaban Ben yang kurang ajar.“Oke. Thank you ya,” ucap Rumi pasrah. “You’re welcome, man.” Responnya sambil mengangguk paham, lalu menatapku. “Tuh denger Nat. Gombalnya nanti ya. Sabar,” sambungnya sambil mengelus ubun-ubunku. Emang cuma Ben kayaknya sejauh ini yang bisa buat aku kehabisan kata-kata, saat pria lain doyan banget mancing dan ladenin semua debat-debat juga nyolot-nyolotku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • OUCH IT'S YOU   [ 29 ]

    Aku melihat keluarga itu reunian. Saling peluk. Aku dan Ben mundur selangkah memberi ruang untuk mereka.“Hay Ben. Loh Mbak Nata? Kok kalian bareng? Kenal?” Tanya wanita yang sedang rangkulan dengan Tante Sarah tadi. Mamanya Gugi ternyata.“Hey Tar. Loh kamu kenal Nata?”“Kenal dong. Pernah ketemu. Yakan Mbak?”Aku cuma tersenyum sambil mengangkat tangan kananku. Menyapa gadis mungil di sisi Gugi itu.“Hey, man.” Ben menyapa sepupunya itu tanpa maju sedikitpun.“Ben,” sambut Gugi menatap Ben, lalu menatapku, sebelum menatap pinggangku yang tengah dirangkul erat oleh Ben.Aku merasa seketika udara di sekitar kami nggak ada oksigennya. Karbondioksida semua.“Yaudah kalau gitu kita berdua pamit duluan ya Tant, Om. Aku harus nganter Jenata dulu soalnya.”“Loh naik apa? Nggak mau bareng aja? Cukup kok mobil Gugi. Cukupkan nak?” Gugi nggak bersuara. Hanya mengangguk.“Ben ada nyimpen mobil kok Tant di parkiran. Aman.”“Oh gitu. Yaudah kamu hati-hati nyetirnya. Jangan sampai anak orang kenapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • OUCH IT'S YOU   [ 30 ]

    Kubaca chat Gugi yang berbaris-baris itu. Dengan tatapan nanar, mengingat gambaran di bandara tadi. Bagaimana dia dan gadis itu genggaman ketika datang, bagaimana hubungan mamanya dan tunangannya begitu dekat, dan pernikahan mereka yang sebentar lagi. Tanganku tremor dikit.Kututup pesan Gugi lalu mengabari orang tuaku. Setelahnya, kuhela nafasku sekali lagi. Yang panjang. Mengeluarkan semua kesal juga pening yang muncul. Aku mengambil obat sakit kepala yang selalu standby di atas kulkas. Kuminum satu, berharap itu menolong.Tapi hpku kembali bergetar. Panggilan masuk. Nama Gugi di sana.Aku sempat berdebat dengan kepalaku sendiri. Perihal harus apa tidak perlu telepon itu kuangkat. Tapi ini Gugi. Manusia yang ngototnya selalu berlebihan. Kuputuskan untuk mengangkat teleponnya. Kenapa harus takut lagian? Nggak ada yang perlu aku takutin dari ngobrol sama pria itu.“Ya?” Angkatku dengan suara yang lemas. Bukan dibuat-buat ya. Emang lagi lemes.“Bukain pintu Nat,” titahnya. Ternya dia s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • OUCH IT'S YOU   [ 31 ]

    Dari semua benda tajam yang pernah melukaiku, kurasa tatapan Gugi salah satu yang paling menyakitkan. Melihatnya menatapku seperti sekarang, aku bisa melihat jutaan emosi dan kecewa di sana. Sedang yang bisa kulakukan hanyalah menambah kekesalannya. Tidak mengurangi. Tidak pula menenangkan.“Nat,”“Hm?”Aku memperhatikan tiap geriknya saat mencoba meraih tangan kananku untuk kemudian dia genggam. “Kasih aku waktu ya,” bisiknya lirih nyaris nggak terdengar.“Gi, ini nggak sesulit itu kok. Kita pernah lakuin ini sebelumya kan? Saling menjauh untuk ngehindarin apapun yang bisa merusak. Dan berhasil. Kita cuma perlu ngelakuin itu sekali lagi.”“Ini yang kamu bilang berhasil?” tanyanya mengangkat tanganku yang entah sejak kapan sudah membalas genggamannya.“Ini namanya sisa-sisa ego Gi. Bakal habis nggak bersisa. Cuma masalah waktu.”Gugi melepaskan tanganku. Sedikit dengan kekuatan hingga terasa dilempar. Aku cuma bisa tersenyum kecut. Ada kecewa saat itu terjadi.“Aku pikir perasaan kamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09

Bab terbaru

  • OUCH IT'S YOU   [ 40 ]

    [ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad

  • OUCH IT'S YOU   [ 39 ]

    Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k

  • OUCH IT'S YOU   [ 38 ]

    “Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan

  • OUCH IT'S YOU   [ 37 ]

    Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu

  • OUCH IT'S YOU   [ 36 ]

    Ruang makan rumah kami selain dipenuhi aroma masakan buatan Mamah yang udah sibuk di dapur sejak berjam-jam yang lalu, juga dipenuhi alunan instrumen Sunda yang samar-samar. Salah satu hobby Papah. Menurutnya, makan sambil dengerin instrumen Sunda ngerasa dia makan di kampung halamannya. Dan nggak ada yang protes, walaupun aku kurang suka makan diiringin suara suling.“Assalamualaikum Mah, Pah,” salamku sedikit keras. Berusaha menarik perhatian kedua pasangan yang lagi sibuk Nata piring itu.“Waalaikumsalam. Eeh udah pada dateng? Ayo-ayo sini nak, kita langsung makan ya. Takut keburu dingin supnya,” ucap Papah menghampiriku dan Ben.Aku memeluknya sebentar, sebelum dia beralih ke Ben. Ben tertunduk menyalim Papah, sambil Papah puk-puk punggungnya ringan. Aku berjalan lebih dulu ke meja makan sebelum kemudian mereka susul.Kuperkenalkan Ben secara resmi dan singkat ke kedua orang tuaku. Sepanjang sarapan bareng yang hangat itu, kulihat gimana antusias Ben ngobrol dengan Mamah Papah, sa

  • OUCH IT'S YOU   [ 35 ]

    Menjadi seorang Ibu tanpa suami, apa aku mampu?Lagi, kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan. Aku nggak fokus ngedengarin penjelasan dan obrolan orang tuaku bersama Dokter Lendro. Satu tanganku turun mengelus perutku, sedang tanganku yang lain digenggam Mamah.Malam ini berat. Tapi ringan berkat mereka.Sesampainya di rumah, aku masuk kamar yang sudah beberapa lama nggak kutempati. Nggak ada yang berubah. Kuyakin Mamah Papah repot ngebersihin kamar ini sejak pagi.Kunyalakan kembali Ponselku. Beberapa pesan masuk, nggak kuperdulikan. Mataku fokus pada Ben. Dia mengirimiku beberapa chat. Mengabari kegiatannya, juga menyampaikan khawatirnya.Kutelpon.“Nat? Assalamualaikum. Kamu dimana sekarang? Kok hp kamu baru nyala?”“Waalaikumsalam Ben. Maaf ya. Tadi ngurus sesuatu dulu.”“Gimana? You oke now?”“Aku perlu ngasih tahu kamu sesuatu Ben,”“Please jangan bilang kamu dijodohin di sana. Malam ini juga aku jemput kamu kalau sampai benar!”“Hahaha. Kamu pikir segampang itu jodohin anak jaman s

  • OUCH IT'S YOU   [ 34 ]

    Suasana jalan siang ini cukup padat. Perjalanan menuju kantor kutempuh dengan perasaan yang bingung dan banyak takutnya. Kalian tahu betul alasannya apa. Aku nggak mau nyimpulin apapun di luar sepengetahuanku. Yang jelas, yang kutahu, sangat wajar jika seorang wanita dewasa mengalami terlambat datang bulan. Iyakan? Maksudku, nggak semua yang telat menstruasi itu hamil. Nggak perlu panik, nggak perlu takut. Aku juga nyoba buat kerja senormal mungkin. Mencari distraksi agar fokusku terpecah ke hal-hal lain. Seperti memperhatikan teman-teman kerjaku yang sedang santai. Beberapa bahkan asik ngobrol satu sama lain perihal kerjaan atau pasangan mereka masing-masing, sampai rasa itu muncul di satu pagi. Mual yang kurasa sejak bangun tidur dua hari belakangan ini, membuat pikiranku makin kacau. Aku nyoba mikirin kemungkinan-kemungkinan lain. Maagku kambuh misalnya. Atau efek dari makanan yang kukonsumsi di malam sebelumnya. Semua selalu dipatahkan dengan mual yang kembali muncul, lagi dan

  • OUCH IT'S YOU   [ 33 ]

    Mencoba menyembunyikan panikku, aku berdehem dengan susah payah, lalu tertawa. Sungguh sebuah tawa yang juga susah.“Hm? Kok bisa? Haha,” nggak tau harus tersinggung atau gimana.“Waktu aku awal-awal hamil dia nih, aura aku kaya kamu persis. Kelihatan capek banget, kaya kurang tidur. Bawaannya lemes.”“Oh hahahhha. This, is what work did to me Mbak,” ucapku menjelaskan sambil menujuk wajahku sendiri.Kami sempat ngobrol beberapa saat, sebelum Mbak-Mbak itu meminta maaf sekali lagi pada akhirnya. Mungkin dia bisa melihat kepanikan dari wajahku. Ia kemudian berlalu. Pamit untuk mencari suaminya.Aku melanjutkan kegiatan ini hingga rampung dan bersiap pulang. Vipa mengantarku sampai di unit. Memastikanku sampai di tempat tujuan dengan aman.Ku bereskan semua belanjaan. Menempatkannya di tempat yang seharusnya. Setelah semua rapi, entah kenapa, kalimat di supermarket tadi terlintas kembali di kepalaku.Gimana mungkin seseorang mengira aku sedang hamil. Kuraba perutku yang rata. Cepat-cepa

  • OUCH IT'S YOU   [ 32 ]

    Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu?Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak.Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci.Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk.“JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!”Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah.“Utang lu banyak ya ke gue!” sempr

DMCA.com Protection Status