"Karena mbak Dinda sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri sejak menyelamatkan keponakan saya," ujar Adinata penuh harap. "Jadi mau kan mbak Dinda datang ke acara family gathering besok di kantor papa?" Dinda menghela napas panjang. Ini pilihan sulit. Kalau dia mengiyakan permintaan Adinata, dia akan bertemu dengan Herman dan juga Dita. Tapi sejujurnya dia juga ingin ikut dengan Adinata. Jauh di dalam hatinya, Dinda merasa puas saat melihat Herman tercengang dengan kondisi nya yang semakin baik dan bahagia setelah mereka bercerai. Lalu Dinda menatap ke arah Adinata. Jujur saja Dinda merasa Adinata bisa membantunya untuk mengembangkan rencana klinik bersalin yang akan dibuka tahun ini. Yah, memang masih wacana, tapi sudah ada dalam pikirannya. "Bagaimana Mbak Dinda? Apa Mbak Dinda dan Windi akan datang besok lusa di acara family gathering perusahaan?""Wah, bagaimana ya? Saya belum bisa memutuskan karena ...""Karena ada pak Herman dan istri barunya?" tebak Adinata. Melihat Din
Beberapa saat sebelumnya,Herman yang sudah membayarkan utang Dita merasa kesal karena istrinya itu sudah membuat kaca jendela nya retak. Lelaki itu dengan gusar masuk ke dalam kamar dan memainkan ponselnya. Sedangkan Dita yang masih di ruang tamu menunggu penagih utang nya pulang, lalu berkacak pinggang di teras. "Hei, para tetangga! Lebih baik enggak usah kepo dengan urusan rumah tangga orang lain. Tiap orang mempunyai urusan masing-masing dan kalian tidak perlu jadi cctv untuk mencari bahan gibah. Sana, lebih baik kalian masuk ke rumah masing-masing. Kalian pasti masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan!" usir Dita lalu langsung masuk ke dalam rumah. "Heh, Dit! Apes benar sih Herman bertemu perempuan seperti kamu! Kamu ini benar-benar bisa membuat anakku jatuh bangkrut!" ujar Tuti dengan berkacak pinggang. "Lah, anak nya ibu itu yang aneh. Masa seorang suami nggak mau membayar utang istrinya. Suami macam apa itu? Jadi nggak salah dong kalau Dita melakukan segala car
Empat orang polisi segera masuk ke dalam aula dan menangkap Herman tanpa perlawanan. Semua orang yang berada di aula kantor hanya bisa terdiam saat melihat Herman yang ditangkap dengan tangan terborgol ke belakang. "Pak Adi, ini salah paham. Saya tidak melakukan apa yang telah bapak tuduh kan. Saya tidak melakukan korupsi!" ujar Herman dengan saat melewati kerumunan orang yang ada di ruangan itu sebelum digelandang ke kantor polisi. "Semua bukti sudah berada di kantor kami, Pak. Bapak berhak untuk diam dan berhak didampingi oleh kuasa hukum saat proses pengadilan berlangsung," ujar polisi itu. "Pak, ini salah paham!" Herman menoleh ke saentero ruangan lalu menatap ke arah Dinda. Mantan istri nya itu menatap nya dengan pandangan yang ekspresi nya sulit diartikan. Akhirnya para polisi itu pun membawa Herman keluar dari ruang aula, meninggalkan gumaman-gumaman diantara para karyawan kantor. "Saya harap semuanya bisa tenang!" pinta Adinata. Lelaki itu menatap ke seluruh tamu undang
"Gugat cerai saja dia di pengadilan agama! Laki-laki itu sudah nggak berguna!"Dita mengangguk. "Ya, aku setuju, Ma. Kalau begitu sekarang kita harus mencari bantuan dulu pada tetangga untuk membawa Bu Tuti ke rumah sakit.""Betul, tapi sebelum itu kita harus membersihkan dulu mangkok bakso yang pecah itu. Kita nggak mau kan kalau misal nya dituduh bertengkar sehingga akhirnya menyebabkan Tuti terkena penyakit jantung?" tanya Ambar. "Baiklah, ibuk benar! Ayo kita bersihkan sama-sama, Bu!" Ambar dan Dita segera menuju ke tempat pecahan mangkok dan membersihkan semua pecahan dan sisa bakso yang tercecer di sana."Udah selesai, sekarang kamu segera teriak-teriak di depan pintu depan, biar ibu yang berakting di kamar membangunkan mertuamu!" "Sip!"Dita mengacungkan kedua jempol nya lalu segera menuju ke arah pintu depan."Tolong! Tolong! Mertua saya pingsan!" Dita berteriak-teriak memilukan. Dia melakukan hal itu dengan menjiwai dan bahkan sampai turun ke halaman rumah untuk memanggil
"Tutup, tutup, telepon nya!" bisik Ambar pada Dita. Dita segera mengakhiri panggilan telepon dari adik ipar nya dan menonaktifkan wifi. "Buk, bagaimana ini? Kenapa Hani bisa tahu tentang keadaan maminya yang sudah meninggal dan kakak lelakinya yang ditahan?" tanya Dita panik. Ibunya mengedikkan bahunya. "Kayaknya ada tetangga kita yang menjadi mata-mata Hani dan tentu saja dia mengadukan berita apapun yang telah terjadi pada keluarga nya," ujar Ambar kesal. "Lalu apa yang harus kita lakukan, Bu? Aku tidak mau dipenjara!" ujar Dita dengan tubuh gemetar."Kita tidak akan dipenjara! Kamu tenang saja. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah memblokir nomor Hani, membuang nomor hp lama, lalu segera pergi dari rumah ini sejauh-jauhnya dengan membawa perhiasan ini, Dit!" ujar Ambar berapi-api. "Tapi bagaimana dengan sertifikat rumah ini? Kita tidak jadi meminta tanda tangan Herman?"Ibunya mendelik. "Astaga, agak lain ya otakmu! Sebelum kamu meminta tanda tangan Herman, kamu sudah menjad
Ambar hanya menangis tersedu mendengar teriakan anaknya dan Dita pun merasakan tubuhnya begitu sakit, mendadak teringat pada Herman, Dinda, Rina, Windi, dan Ambar secara bergantian. Dan akhirnya Dita hanya bisa menangis tanpa suara.Dita merasakan tubuhnya lebam dan area kewanitaan nya sangat sakit. Tangis dan jeritannya tidak juga membuat para begal itu berhenti menodainya. "Tidak! Anakku! Anakku!" jerit Ambar, mendadak dia menunduk dan di bawah sinar motor yang masih dibiarkan menyala, dia menginjak kaki begal sekuat tenaga yang memegangi tangannya."Aaargghh! Perempuan tua si*lan!'Begal itu berteriak keras sehingga pegangan nya pada kedua tangan Ambar merenggang. Ambar tidak menyia-nyiakan kesempatannya. Dia segera membalikkan badannya dan menggigit tangan begal itu sekeras mungkin. Begal itu berteriak lagi dan langsung menggampar wajah Ambar sekencang-kencangnya. Dan seketika telinga Ambar berdenging dan kepalanya sakit. Ambar terjatuh di atas hamparan tanah. "Heh, kamu! B
Beberapa saat sebelumnya, Dita masih terus menangis sesenggukan dalam posisi berbaring. Ambar menatap anaknya dengan posisi campur aduk. Ambar yang masih kesakitan karena mendapat tendangan bertubi-tubi dari begal, mencoba untuk berdiri dan mendekati Dita dengan menyeret tiang infusnya. "Dita, maafkan ibuk. Ibuk tidak tahu kalau ternyata ada begal di daerah itu," ucap Ambar dengan mengelus rambut Dita. "Huhuhu, Ibu jahat! Memang semua karena Ibu! Kalau dari awal ibu enggak menyuruh aku minggat dari mas Damar, aku tidak akan bercerai dari mas Damar. Kalau aku tidak bercerai dengan mas Damar aku tidak akan mengalami kejadian menyakitkan seperti ini!"Dita menangis sesenggukan. Hati Ambar sangat sakit saat melihat anaknya yang terluka karena sarannya. "Iya, ibu salah. Ibu minta maaf padamu, Dit.""Huhuhu, ibu kira mudah minta maaf begitu saja? Ibu kira semua masalah ini akan menghilang jika ibu minta maaf! Huhuhu! Bahkan jika ibu membayar dengan nyawa ibu pun, aku tetap menyedihkan s
"Dinda! Maafkan aku! Demi anak kita, tolong lah bujuk Adinata yang sepertinya mencintai mu untuk mencabut laporan nya! Aku akan berusaha mengembalikan semua uang yang telah kukorupsi, Din, aku mohon!"Dinda menatap ke arah suaminya dengan dingin. "Pergilah, Mas. Aku tidak mungkin mengatakan hal itu pada pak Adinata. Kamu tahu sendiri kan kalau kamu tidak ada hubungan apa-apa."Herman lalu berjongkok di atas lututnya dan memeluk Windi yang terdiam. "Windi, tolong bilang sama mama, agar mau menolong papa!" seru Herman dengan suara menghiba. Windi hanya menghela napas panjang dan menatap papanya. "Papa, kan sudah menjadi papanya Rina dan satu rumah dengan Tante Dita, kenapa tidak meminta tolong pada Tante Dita saja dan Rina saja?" tanya Windi balik. "Windi, kenapa kamu ngomong seperti itu, Nak? Papa sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Rina dan Tante Dita. Papa ingin keluarga kita menjadi satu lagi. Apa kamu tidak mau jika kita satu rumah lagi? Papa akan menjadi papa yang ba
Beberapa saat sebelumnya, Herman yang gagal mencari informasi tentang keberadaan anaknya, tidak putus asa. Lelaki yang telah membaca pesan ancaman dari Dita ke nomor handphone Dinda bergegas ke alun-alun kota kendati masih belum jam tujuh malam. Akhirnya Herman menemukan sosok yang mencurigakan sedang mondar mandir di sekitar bak sampah alun-alun kota. Herman memilih bersembunyi di sekitar tempat sampah itu dengan menyamar memakai topeng dan masker warna hitam. Beberapa saat berlalu, dan setelah Herman melihat Dinda memasukkan tas ransel ke dalam tempat sampah itu, Herman memergoki sesosok tubuh yang mengambil tas itu dan langsung pergi. Herman pun langsung mengikutinya dengan hati-hati.Setelah sampai di vila dan melihat sosok itu masuk ke dalam vila, Herman segera mengitari hutan yang ada di belakang vila. Beberapa saat kemudian dia berpikir untuk menyelamatkan Windi lebih dahulu daripada polisi, karena dia ingin merebut hak asuh anak dari Dinda. "Lebih baik, aku membuat jebakan
Beberapa saat sebelumnya,"Kita jadi membawa anak ini ke bekas vila yang kemarin bapak tunjukkan padaku?" tanya Dita saat mereka dalam perjalanan setelah membawa Windi. "Jadi! Bapak sudah membuat kunci duplikat nya. Kebetulan vila itu adalah bangunan rusak yang tidak pernah dijenguk lagi oleh Sulis. Yah, mungkin karena dia lelah mengurus terlalu banyak aset, sehingga salah satu vilaya ya yang terburuk dan dan terpencil tidak tersentuh.""Baiklah, aku nurut saja. Yang penting nanti dapat duit dan aman," sahut Dita seraya memegangi badan Windi. Sementara itu di depannya, Santosa sedang fokus mengemudi. Mereka tiba di vila yang dimaksud Santosa dan segera menggendong tubuh Windi ke salah satu kamar lalu memotret nya dan mengirim fotonya melalui nomor baru ke nomor Dinda lalu membuang nomor itu. "Nanti kalau kamu menghubungi nomor Dinda, kamu bisa menggunakan nomor lama yang diprivat, Dit. Kalau untuk mengirim foto dan pesan, pakai nomor baru itu kemudian buang ya," pesan Santosa, Dita
[Sediakan uang tiga ratus juta dan letakkan di tempat sampah alun - alun kota kalau ingin anakmu selamat!]Dinda tercengang membaca pesan whatsapp dari nomor yang belum tersimpan di ponsel nya itu. Belum sempat Dinda berpikir untuk mengambil keputusan, pesan terbaru masuk lagi ke ponsel nya. [Jangan coba-coba lapor polisi, atau anak kamu akan kami habisi!][Kamu harus meletakkan uang senilai tiga ratus juta dalam sebuah tas, malam ini jam tujuh di tempat sampah warna hijau yang ada di ujung taman alun-alun.][Tempat sampah itu bertuliskan nomor tiga. Anak kamu akan dikembalikan selamat setelah uang itu kamu letakkan di sana!]Dengan cepat dia menelepon bi Inah. Namun sayang sekali, nada dering tidak kunjung berubah menjadi suara bi Inah. Dinda semakin bingung. Dia menarik napas panjang dan berusaha untuk tetap tenang. Akhir nya dia teringat dengan Adinata. Dengan cepat, Dinda menekan nomor telepon Adinata. Tak perlu menunggu lama, suara nada tunggu di hp langsung berubah menjadi s
Adinata berlalu dari rumahnya menuju ke rumah Dinda. Dan tidak seperti biasanya, dia yang selalu langsung menekan bel pintu sekarang duduk terpekur sendirian di kursi teras rumah Dinda. "Hah, hatiku berantakan sekali gara-gara pertemuan dengan papa dan anak simpanan nya. Sebenarnya nggak tega melihat papa yang meminta modal usaha, tapi melihat papa yang telah mengkhianati mama dan ternyata sampai mempunyai anak segede aku, membuatku sakit hati," ujar Adinata. Lelaki itu menangkupkan kedua belah tangannya di muka seraya membuang napas berat. "Ya Allah ternyata melihat orang tua bercerai sangat menyakitkan. Apalagi melihat papa selingkuh dari mama. Hatiku sakit banget. Jadi seperti ini rasa nya. Pasti sakit hati yang dirasakan oleh Dinda lebih parah dari yang kurasakan," gumam Adinata. Mendadak pintu terbuka dari dalam. "Mama, aku mau beli buku tulis dulu. Eh, ada papa baru! Kok disini saja, Pa? Biasanya kan masuk ke rumah?" tanya Windi terkejut melihat Adinata yang terbengong-bengo
"Bu Sulis! Bu Sulis! Bagaimana denganku? Angkat aku sebagai karyawan Ibu! Bukankah saya sudah memberikan informasi yang berharga?" tanya Herman dengan penuh harap.Sulis menatap ke arah Herman lalu menghela napas panjang. "Baiklah. Kamu bisa bekerja denganku. Tapi sebagai satpam di perusahaan. Bagaimana? Apa kamu bisa menerima hal itu?" tanya Sulis menatap ke arah Herman. Herman tercengang. "Hah? Saya kan seorang sarjana. Saya tidak mungkin bekerja sebagai satpam, Bu! Tolong lah yang masuk akal jika memberikan pekerjaan."Sulis mengangkat sebelah alisnya. "Saya sudah memeriksa penyebab kamu dipecat dari perusahaan, dan kesalahan kamu adalah telah melakukan korupsi kan?" tanya Sulis dengan mendelik. Herman tertunduk. Matanya tampak menatap ke arah bawah. Menekuri kakinya."Saya minta maaf. Waktu itu saya khilaf. Saya melakukan korupsi karena saya gelap mata dan saya dipaksa oleh Dita. Saya sangat menyesalinya, Bu," ujar Herman lirih. "Hm, kalau begitu kamu harus bisa membuktikan pa
Beberapa saat sebelumnya, "Mang Udin, kamu harus menjaga rahasia tentang hari ini. Tentang apapun perkataan Herman, pokoknya kamu harus menyimpan rahasia jika kita bertemu dengan Herman. Jangan membicarakan tentang Istri simpanan bapak maupun anaknya pada bapak, maupun pada Adinata dan Adista. Apa kamu paham, mang Udin?" tanya Sulis saat mereka baru saja masuk melalui pintu gerbang rumah. Mang Udin dengan wajah bingung menatap Sulis dari kaca spion tengah mobil nya. Tapi akhirnya Mang Udin hanya bisa menurut dan mengangguk kan kepalanya. "Baik, Bu. Bu Sulis yang semangat ya. Sebaiknya ibu lebih bijak dalam menghadapi hal ini, jangan terburu mengambil kepuasan agar Bu Sulis tidak menyesal pada akhirnya," ujar Mang Udin. Sulis melirik ke arah Mang Udin yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu. "Mang, mang! Kamu tidak tahu rasa nya dikhianati. Andai kan saja istri kamu yang berkhianat setelah kalian menikah sekian tahun bahkan sampai mempunyai anak dengan lelaki lain, apa
Herman perlahan mendekat ke arah supir pribadi Sulis. "Heh, ngapain kamu dekat-dekat kami? Kamu mau minta ganti rugi? Ck, gimana minta ganti rugi, yang salah itu kamu! Kamu kan yang menyeberang jalan sembarangan dan nggak pakai noleh kanan dan kiri? Masa mau minta ganti rugi pada saya?" tanya sopir pribadi Sulis dengan nada tak terima. Herman menatap ke arah Sulis, membuat Sulis jengah. Dia segera mengalihkan pandangan nya ke arah sang supir. "Sudah lah, Mang. Biar saja saya bayar semua kerugian ini. Satu juta, dua juta tidak menjadi masalah untuk saya yang penting semuanya berakhir dengan damai," ujar Sulis lalu membuka tas tangan nya yang mungil dan cantik. "Ah, ibu terlalu baik sama tukang bakso ini. Wong saya tahu dengan pasti bahwa dia duluan yang menyeberang jalan tanpa melihat-lihat kanan dan kiri. Kalau ibu bertanggung jawab atas kesalahan tukang bakso ini bukan tidak mungkin kalau tukang bakso ini akan mengulangi perbuatannya lagi. Sengaja menabraknya kan dagangan nya yan
"Astaga! Itu kan Dita? Kurang ajar, Dita harus mengembalikan perhiasan mami!' gumam Herman seraya mendekati Dita dengan mempersiapkan tinjunya. "Dita! Sini kamu!" Dita yang hendak memasuki warung Padang mendadak berhenti dan tahu-tahu Herman sudah mencekal tangan Dita. Dita terkejut dan melongo saat melihat Herman sudah mendelik dengan wajah menahan marah di samping nya membuat Dita tidak bisa kabur lagi. Dita menggerak-gerakkan tangannya yang sedang dipegangi tangan Herman sekuat-kuatnya. "Lepaskan, aku! Atau aku akan berteriak kalau kamu adalah orang yang akan mencopet ku. Dan kamu akan dipukuli orang!"Herman melotot dan tertawa. "Kamu pikir aku bodoh? Aku bisa mengatakan yang sejujurnya pada orang-orang di sini kalau kamu itu istriku dan kamu telah mencuri uang dari lemari mami!" ujar Herman balik mengancam Dita. Dita tersenyum meledek untuk menutupi hatinya yang takut. "Hei Mas, mereka tidak akan percaya karena tampang gembel kayak kamu mana mungkin suamiku?" "Mereka akan
"Jadi kamu memang benar-benar anakku?"Dita menatap ke arah lelaki yang berumur hampir dari lima puluh tahun di hadapannya."Benar. Tentu saja. Ibuku adalah mantan pacar bapak. Dan karena cintanya pada bapak, ibuku tidak menggugurkan ku dalam kandungan. Ibu juga rela diusir oleh keluarga nya karena hamil di luar nikah."Sesaat wajah Santosa tampak gusar. Dia menatap Dita dengan ekspresi yang campur aduk. "Dita." Santosa menghela napas dan menatap ke arah anak gadisnya yang sudah disia-siakan nya selama ini. "Ya, Pak?""Jangan menganggu keluarga Bapak!"Wajah Dita berbinar karena mendengar bapaknya mengakui keberadaan dirinya. Tapi juga menjadi sedih karena seperti nya dia belum bisa menjadi bagian dari keluarga bapaknya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu keluarga bapak. Tapi dengan satu syarat...""Katakan berapa yang kamu inginkan?"Dita tersembunyi mendengar kata-kata dari bapaknya yang memotong pembicaraan nya. "Syukurlah bapak sudah paham dengan permintaanku. Karena itu aku