"Loh, Bran? Sepeda motor kamu mana?" tanya Bu Santi begitu melihat Gibran memasuki pekarangan rumah dengan berjalan kaki. Kebetulan siang itu Bu Santi sedang menyapu teras. "Tadi aku keserempet mobil, Bu. Jadi motorku lagi diperbaiki di bengkel," dusta Gibran. Ia berusaha bersikap biasa saja. Terus berjalan dengan membawa dua kantong belanjaan cukup besar.Bu Santi justru yang sangat terkejut mendengar itu. Wanita berdaster hitam tersebut langsung membuang sapunya dan mengejar putranya yang sedang berjalan ke arahnya. "Ya ampun, terus kamu gimana? Apanya yang luka? serunya sembari meraba-raba badan Gibran."Aku enggak kenapa-napa, Bu. Motornya aja yang bagian depannya hancur.""Ya ampun, ada-ada aja, Bran. Tapi untung kamu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada yang lecet?""Enggak, Bu. Aku baik-baik aja." Dalam hati ingin sekali Gibran memeluk ibunya dan mengatakan yang sebenarnya, kalau motornya telah ia jual murah. Hanya saja ia tidak mau ibunya kepikiran."Syukurlah, kalau begitu." Bu Sa
Hari-hari selama proses persidangan Gibran semakin berubah menjadi sosok yang lebih pendiam. Sering sekali saat duduk di teras belakang rumah sendirian dia termenung. Kehancuran pernikahannya dengan Dewi benar-benar menjadi pukulan terbesar dalam hidupnya. Bahkan saat ayahnya meninggal pun, Gibran tidak seberduka itu. Namun, kehilangan Dewi dan anak yang ada dalam kandungan Dewi, benar-benar membuat Gibran berada di titik terendah.Senyumnya, kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya untuk menenangkan hati Rindu. Gibran tidak ingin Rindu terus-menerus keluar masuk rumah sakit, terlebih kandungannya pun semakin besar. Gibran berusaha bersikap sebaik mungkin pada Rindu. Meski hatinya tak sejalan dengan apa yang dia lakukan dan katakan.Bibirnya menyebut Rindu dengan panggilan sayang, sementara hatinya dipenuhi kerinduan tak terbendung kepada Dewi. Tangannya menyentuh Rindu untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, tetapi matanya melihat wajah Rindu dengan rupa Dewi. Bahkan ser
Kehamilan pertama tanpa didampingi seorang suami dan juga harus menghadapi peliknya sebuah perceraian, terlebih perceraian karena sebuah pengkhianatan, tentu bukan hal mudah bagi siapapun. Begitu juga bagi Dewi.Pedih, sakit, dan hancurnya dikhianati tidak akan semudah itu terobati. Meski segala tuntutan yang Dewi ajukan ke pengadilan dikabulkan oleh hakim, tetapi itu tidak cukup untuk menjadi penawar kesakitannya, penebus dosa bagi Gibran, Rindu, Asih, Bu Santi, dan Gina yang telah mengkhianatinya.Dewi masih tidak ikhlas dengan semua yang terjadi. Cintanya yang tulus untuk Gibran, kepercayaannya yang penuh ia berikan pada Gibran, kejujurannya dalam menjaga dirinya hanya untuk Gibran, dibalas dengan pengkhianatan. Gibran selingkuh dan menikahi adik tirinya, bahkan ketahui dan direstui oleh ibu dan adik Gibran yang selama ini ia tanggung biaya hidupnya.Adakah yang lebih memilukan dari ini?Puing-puing kepercayaan yang bertahun-tahun telah hancur lebur dalam hidup Dewi, tertatih-tatih
"Wi ...." Gibran menatap Dewi dengan wajah memelas. "Apa ...." Ingin sekali Gibran membujuk Dewi untuk mengurungkan perceraian mereka. Namun, lidahnya kelu. Ia tidak mampu meminta itu sementara di belakangnya ada Rindu yang menunggu.Dewi hanya tersenyum masam melihat Gibran gamang seperti itu."Dre, udah, yuk! Sebentar lagi persidangan dimulai. Aku enggak mau telat," ucap Dewi pada akhirnya."Oke." Andre mendorong kembali kursi roda Dewi untuk memasuki gedung kantor pengadilan agama diikuti Bu Rasti.Sementara Gibran memandang mereka bertiga berlalu meninggalkannya. Ia bahkan sampai tidak ingat tentang Candra yang seharusnya jug sudah datang untuk mendampinginya.Setelah rombongan Dewi tidak terlihat, baru Gibran menoleh ke belakang, dimana Rindu masih berdiri dengan jantung terbakar."S-Sayang ...." Gibran berjalan kembali ke arah Rindu.Sementara pada saat itu, mata Rindu sudah dipenuhi genangan air mata. "Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau Mbak Dewi juga hamil?" hardik Rindu.
Usai sidang Dewi dan Bu Rasti saling berpelukan. Ada rasa sedih karena pernikahan yang mereka harapkan bisa untuk selamanya harus hancur berantakan. Namun, mereka merasa jauh lebih lega karena pada akhirnya Dewi berhasil lepas dari lingkaran orang-orang tidak tulus dan hanya memanfaatkan dirinya saja."Kamu punya Ibu, Wi. Kamu tidak usah khawatir," ucap Bu Rasti sembari memeluk putrinya."Iya, Bu. Dewi enggak khawatir sama sekali. Dewi sekarang udah lega. Dewi tinggal menata hidup ke depan bersama Ibu dan anak yang ada dalam kandungan Dewi.""Iya, Nak. Maafin Ibu karena dulu maksa-maksa kamu buat nikah ...." Bu Rasti sangat sedih dan menyesal."Ibu enggak salah. Ini semua udah jadi garis takdir Dewi, Bu. Ibu enggak salah sama sekali. Dewi yakin, setelah ini Allah akan kasih kita semua hadiah yang lebih besar, yang enggak pernah kita sangka sebelumnya."Bu Rasti begitu terharu mendengar kata-kata Dewi. Sehingga kali ini justru Bu Rasti yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan putrinya.
"Iya, emang uang segini mau buat buka usaha apa?" tanya Bu Santi. "Buka warung kelontong di rumah aja tidak akan cukup."Rindu dan Gibran bersamaan menghela napas. "Iya juga, sih," gumam Gibran. "Tapi ... Gibran malu, Bu.""Emang malu bikin kenyang?" tegur Bu Santi. "Yang penting sekarang, uang ini tidak habis percuma. Ini uang diputar buat usaha. Baru keuntungannya yang kita pakai untuk kebutuhan sehari-hari.""Tapi jualan apa ya, Bu?" tanya Gibran dengan sangat tertekan. Begitu juga Rindu. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan akan menjadi istri dari pedagang keliling yang pasti hasilnya tidak seberapa untuknya."Jualan bakso tusuk aja gimana?" usul Bu Santi. Ia masih ingat apa yang diajarkan Dewi untuk membuat bakso tusuk yang enak."Bakso tusuk?" tanya Gibran tak percaya."Iya, Ibu masih punya catatan resep dari Dewi."Gibran tertegun. Ia jadi kembali teringat pada mantan istrinya itu. Dewi memang pecinta bakso. Sehingga Dewi sering membuat bakso di rumah. Baik itu bakso kuah sep
"Astaga! Siapa sih, tengah malam gini berisik banget?" gerutu Gibran masih sembari memejamkan mata. Seharian berjualan keliling membuat badannya sangat lelah sehingga di pikirannya hanya ingin beristirahat.Namun, pada saat ia menjatuhkan tangan ke bagian tempat tidur Rindu, Gibran merasa ada yang aneh. Kasur di sisinya kosong. Gibran memicingkan mata sembari bergumam, "Kemana Rindu?"Pada saat itu Gibran terlonjak. Ia teringat suara berisik dari arah rumah bagian belakang. "Jangan-jangan itu Rindu!" pekiknya. Kontan matanya langsung terbuka lebar. Ngantuknya seketika hilang.Bergegas lelaki yang mengenakan kaos putih itu beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mencari istrinya. "Yang! Sayang!" seru Gibran sembari menelah ke arah ruang tamu kemudian ke arah dapur."Ada apa, Bran?" tanya Bu Santi yang terbangun karena mendengar seruan Gibran."Ibu kebangun?""Iya. Ada apa tengah malam gini teriak-teriak?""Itu, Bu. Rindu enggak ada di kamar. Tadi kayaknya ada suara gaduh di b
Gibran termenung di taman rumah sakit. Menatap orang-orang yang lalu-lalang di tempat berhawa sejuk tersebut. Ada yang sedang berjalan-jalan dengan pasangannya sembari mendorong tiang infus, ada yang didorong dengan kursi roda oleh pasangannya, ada juga wanita hamil yang berjalan-jalan dengan suaminya sembari sesekali berhenti dan meringis layaknya orang kesakitan. Gibran tersenyum getir. Menertawakan hidupnya yang berantakan saat ini.Meski perpisahannya dengan Dewi sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, tetapi sering kali Gibran masih merasa tidak percaya terhadap semua yang terjadi. Ia masih sulit percaya bahwa hidupnya sekarang seperti ini. Karirnya hancur, pernikahannya dengan Dewi apalagi. Dewi, wanita yang dulu ia kejar mati-matian telah benar-benar pergi dari hidupnya. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah sedikitpun terlintas di benak Gibran sebelumnya.Dulu, berita-berita tentang perselingkuhan, hanya Gibran dengar dari teman-temannya. Si A selingkuh dengan si B, si C deng
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana