"De-Dewi?" Mata Gibran melebar melihat wanita yang masih berstatus istrinya itu berdiri di ruang keluarga. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi akan datang ke rumah ibunya pagi-pagi begini. Sesuatu yang di luar kebiasaannya.
"Iya, Mas. Ini aku." Dewi menatap Gibran tanpa gentar. Meski sebenarnya hatinya tak sepenuhnya tegar. Wanita itu bahkan berusaha tersenyum. Meski senyumnya terlihat getir dan menyedihkan. Setidaknya Dewi sedang berusaha meredam hatinya yang sedang membara."Kenapa kamu enggak bilang yang sebenarnya, Mas? Kalau kamu bilang semalam, aku enggak akan repot-repot ke sini dan memergoki kalian seperti ini." Senyum masih tersungging di bibir Dewi. "Maaf, ya, aku jadi ganggu acara suap-suapan kalian."Gibran beranjak dari kursi. "Wi, Wi, ini ... enggak seperti yang kamu pikirkan." Gibran berusaha menjangkau Dewi, tetapi wanita itu mundur selangkah."Enggak apa-apa, Mas. Aku malah lega. Sekarang aku tahu alasan kamu tidak bisa meneruskan pernikahan kita.""Wi, aku ...." Gibran justru tidak bisa berkata-kata melihat senyum dan ketenangan yang ditunjukkan Dewi. Karena Gibran tahu, saat ini Dewi sedang sangat terluka. Gibran tahu betul seapik apa Dewi bisa menyembunyikan setiap luka yang diterima. "Ini ... enggak seperti yang kamu kira, Wi.""Udah, Mas. Enggak apa-apa. Silakan lanjutin lagi suap-suapannya. Sudah siang, aku harus ke kantor.""Wi ....""Oh, ya, mana Ibu?" Dewi menyapukan pandangan ke seluruh ruangan karena sejak tadi ia tidak melihat ibu mertuanya. Ia benar-benar bersikap biasa seolah-olah tidak ada masalah apa-apa."Ibu ke warung, Wi.""Ya udah, salam aja buat Ibu. Sampaiin kalau aku mampir ke sini."Gibran benar-benar tidak tahu harus menanggapi Dewi bagaimana. Ia mati kutu di depan wanita itu."Oh, ya, Rin." Dewi beralih pada perempuan yang masih terpaku di kursinya. Ia tahu betul dia siapa. "Sabar dikit, ya! Bentar lagi kami cerai, kok. Enggak usah kegatelan gitu jadi perempuan. Jijik diliat orang."Dewi kemudian meninggalkan rumah mertuanya. Ia tidak peduli dengan panggilan Gibran. Hingga akhirnya Gibran berhasil mengejarnya dan menghalanginya membuka pintu mobil."Wi, dengarkan aku dulu!" pinta Gibran."Dengarkan apalagi, Mas? Bukannya semua udah selesai? Semalam udah kamu jelasin dan pagi ini aku udah liat langsung. Jadi, mau bicara apalagi?" Sebenarnya Dewi sudah tidak sanggup berlama-lama berpura-pura baik-baik saja. Dadanya sudah teramat sesak dan ingin segera ditumpahkan melalui air mata. Namun, ia tidak ingin terlihat lemah di depan calon mantan suaminya itu."Kamu salah paham, Wi. Ini enggak seperti yang kamu duga. Aku sama Rindu enggak ada hubungan apa-apa," jelas Gibran. Awalnya ia memang ingin bercerai dengan Dewi, tetapi ia tidak ingin dengan cara seperti ini. Ia tidak mau jadi pihak yang salah. Jadi, ia harus menjelaskan kalau antara dirinya dan Rindu tidak ada hubungan apa-apa. Meski kenyataannya ada."Itu udah enggak penting lagi buat aku, Mas. Kamu ingin kita cerai, kan? Oke, mari bercerai!"Gibran justru hanya terpaku melihat Dewi yang begitu mantap berpisah. Dan kini, justru dirinyalah yang ragu untuk melepas Dewi. Keinginannya untuk bercerai entah menghilang kemana. Yang ia tahu, saat ini ia tidak ingin kehilangan Dewi, kehilangan istri yang sedingin Dewi."Kenapa malah diam, Mas?" tanya Dewi karena Gibran hanya terpaku menatapnya. "Silakan jatuhkan talak kamu! Aku udah siap."Bukannya menjatuhkan talaknya, Gibran justru langsung merengkuh tubuh Dewi dengan erat. Sangat erat. "Enggak, Wi. Semalam aku cuma emosi. Aku cuma kebawa emosi. Enggak, Wi. Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!"Dewi yang sudah terlanjur sakit hati langsung mendorong tubuh Gibran menjauh. "Kenapa jadi berubah pikiran?""Semalam aku cuma kebawa emosi, Wi. Enggak! Aku enggak mau kita cerai." Gibran benar-benar menyesal atas apa yang telah ia ucapkan semalam."Terus Rindu mau kamu apain?""Dia .... Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia, Wi.""Bohong!" teriak Rindu yang sudah berdiri di teras. "Kamu harus tahu, Wi. Kami udah nikah. Dan sekarang aku hamil anak Gibran!"Dunia Dewi runtuh mendengar itu. Baginya belum ada kesakitan yang melebihi kesakitan yang oleh pengkhianatan Gibran saat ini. Dewi kemudian menoleh ke arah Gibran yang saat ini menunduk pasrah, meraup udara dengan rakus karena rongga dadanya seperti tersumbat saling sesaknya. Berkali-kali ia menghela napas, sampai akhirnya ia kembali memiliki kekuatan."Jatuhkan talakmu sekarang!" titah Dewi dengan suara lirih dan tenang, tetapi terdengar seperti ular yang mendesis.Gibran tidak menanggapi. Ia masih menunduk tanpa berani mantap wajah terluka Dewi.Dewi memejamkan mata beberapa saat. Kesabarannya telah habis. Ia kemudian berteriak. "Mas! Jatuhkan talakmu sekarang!"Bukannya menuruti perintah Dewi untuk menjatuhkan talak, Gibran justru bersimpuh memegangi lutut Dewi. "Wi, aku semalam cuma kebawa emosi. Tolong, jangan begini!""Jangan begini kamu bilang?" Dewi membuang muka. Muak dan jengah sekali dengan Gibran. "Dia hamil, Mas! Dia hamil!""Iya, Wi, tapi ....""Tapi apa? Kamu pikir aku akan bertahan jadi istri kamu bersama-sama dengan dia?" Dewi menunjuk ke arah Rindu. "Kamu lupa dia siapa, Mas? Kamu lupa?""Wi, aku ....""Apa kamu enggak tahu kalau pernikahan kalian ini enggak sah? Apa kamu enggak tahu, Mas!?"Gibran tidak bisa berkata-kata."Dan kalau pernikahan kalian enggak sah, itu artinya yang kalian lakukan, sampai Rindu akhirnya hamil, itu adalah Zina! Dan aku, aku enggak akan pernah bisa menerima itu! Aku enggak mau punya suami seorang pezina! Aku enggak mau punya anak dari laki-laki pezina!""Wi, aku ....""Cukup, Mas! Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau enggak bisa meneruskan pernikahan kita lagi? Iya, kan? Kamu masih ingat
"Mana Gibran?" tanya Bu Rasti, ibunda Dewi. "Marni bilang dia tadi telpon Gibran, kenapa kamu malah datang sama Wina?" Suara Bu Rasti sangat lemah. Meski sudah lolos dari masa kritis, kondisinya masih sangat lemah. Diabetes yang diderita Bu Rasti, membuat jantung wanita itu bermasalah juga."Mas Gibran ....""Gibran di sini, Bu." Gibran menyela ucapan Dewi begitu memasuki kamar rawat ibu mertuanya dan mendengar ibu mertuanya menanyakan keberadaannya. "Tadi Gibran parkir mobil dulu, jadi Dewi dan Wina ke sini duluan," dusta Gibran."Oh, syukurlah. Sini, Nak ...." Bu Rasti melambaikan tangannya pada sang menantu. Sementara Dewi memilih menjauh, mengambil apel dan mengupasnya untuk sang ibu. Duduk di sofa bersama Mbak Marni. Sungguh, hati Dewi belum sebesar itu untuk bisa berdekatan dengan laki-laki yang telah mengkhianati pernikahan mereka.Wina pun mengikuti sahabatnya. Menatap wanita yang kini wajahnya tampak mendung padahal biasanya wajah Dewi secerah matahari. Wina tak berani berta
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Dewi dengan nada dingin kepada Gibran saat mereka berpapasan di lobi rumah sakit. Sore itu Dewi baru selesai meeting dan Gibran baru pulang dari kantor."Ngapain?" Gibran justru balik bertanya. "Ya jelas aku mau besuk Ibu, Wi.""Makasih buat perhatiannya. Tapi, enggak usah repot-repot! Dia bukan ibu mertua kamu lagi!""Wi, Ibu lagi sakit, enggak baik kita kayak gini. Gimana kalau sampai ibu tahu?""Dengarkan aku baik-baik, Mas Gibran!" Dewi menatap Gibran dengan tajam. "Pertama, bukan aku yang meminta perceraian kita, tapi kamu. Aku cuma menyetujui. Yang kedua, Rindu udah hamil anak kamu, terlepas pernikahan kalian sah atau enggak, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku enggak mau punya suami yang sudah menghamili perempuan lain. Yang ketiga, aku enggak akan jadikan kondisi ibu yang sakit, sebagai alasan untuk menunda apalagi membatalkan perceraian kita!""Tapi, Wi, gimana kalau Ibu sampai tahu? Kondisinya pasti akan memburuk!""Kamu tenang aja, Mas. Tugasmu
[Wi, di sini ada Mas Gibran. Dia minta agar aku pulang aja. Enggak enak aku jadinya. Aku pulang enggak apa-apa?] Dewi buru-buru membuka mukena begitu membaca pesan dari Wina."Keras kepala sekali Mas Gibran!" gumamnya dengan kesal. Dewi sampai tidak melipat dengan benar mukenanya, hanya menggulung-gulungnya bersama sajadah. Lalu ia membalas pesan Wina.[Iya, Win. Enggak apa-apa. Makasih, ya, udah jagain ibuku.][Santai. Kalau ada butuh apa-apa, hubungi aku, yes?][Sip.]Dewi langsung bersiap dan menuju rumah sakit. Tiba di ruang rawat, tampak Gibran sedang menyuapi ibunya dan mata sang ibu terlihat berbinar menatap menantunya itu."Wi," panggil Bu Rasti saat melihat putrinya datang. "Udah makan?""Belum, Bu. Gampang nanti aja." Dewi berusaha tersenyum meski hatinya sangat tidak suka melihat keberadaan Gibran."Ini aku bawain ayam goreng dari warung langganan kamu, Wi," ucap Gibran. "Makan dulu, gih! Nanti kamu ikutan sakit, lagi."Muak sekali Dewi mendengar ucapan basa-basi seperti i
Dewi menatap wajah ibunya yang sedang terlelap. Wajah tua yang tampak damai meski gurat-gurat lelah bekas perjuangan untuk bertahan hidup membesarkan seorang putri seorang diri masih tergambar jelas di sana. Namun, Dewi tak melihat penderitaan pada garis wajah itu. Yang Dewi lihat justru wajah ibunya tampak tenang dan bahagia. Garis senyum terukir indah seperti hati pemiliknya."Apa sedamai itu, Bu?" bisik Dewi. "Melepas laki-laki bergelar suami yang tega mengkhianati? Dewi lihat, Ibu enggak menyesal sama sekali, walaupun ibu harus menempuh jalan yang enggak mudah untuk tetap berdiri."Dewi menghela napas panjang lalu mengambil jemari ibunya dan menciumnya dengan hati-hati. Cukup lama. Kemudian ia tempelkan ke kening. Seolah-olah Dewi sedang meminta kekuatan pada sang ibu."Dewi pasti juga akan sekuat Ibu," bisiknya lagi. "Berjanjilah untuk tetap berdiri di sisi Dewi, Bu. Apapun yang terjadi. Karena saat ini, hanya Ibu satu-satunya yang Dewi miliki. Ibu enggak boleh seperti mereka, pe
Di taman Bu Rasti banyak diam. Meski sudah bisa memaafkan dan menerima segala yang terjadi pada pernikahannya, tetapi tetap saja pertemuannya dengan sang mantan layaknya mengorek luka lama. Luka di hati Bu Rasti yang sebelumnya telah tertutup rapat, kini kembali tergores dan berdarah. Terlebih melihat wajah Pak Wisnu membuat Bu Rasti mengingat apa yang dulu dilakukan lelaki itu kepada Dewi, darah dagingnya sendiri. Rasanya kesakitan itu melebihi saat dirinya terusir dari rumah besar yang mereka bangun berdua.Bu Rasti masih ingat betul saat Dewi pulang dari rumah ayahnya dan menangis. Dewi tidak terima dengan sikap sang ayah. Terlebih ia melihat fasilitas yang dimiliki oleh Rindu."Aku juga anak ayah, kan, Bu?" tanya Dewi saat itu sembari menangis meraung-raung. "Aku anak kandung ayah, kan?"Saat itu Dewi kemudian menceritakan apa yang terjadi di rumah ayahnya. Apa yang Dewi lihat di sana dan apa yang dilakukan ayahnya kepadanya.Hati Bu Rasti tercabik-cabik mendengar itu. Tidak ada
Gibran meremas kuat kertas berisi surat tugas itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi sudah mempersiapkan semua ini. Gibran tersenyum getir. Kini ia benar-benar sadar sedang berhadapan dengan siapa.Padahal saat tahu kalau Bu Rasti akan pulang ke rumahnya, Gibran membayangkan akan punya kesempatan untuk kembali berbaikan dengan Dewi. Ia bahkan sudah membayangkan akan melakukan apa saja agar Dewi bisa kembali jatuh dalam pelukannya. Karena saat ada Bu Rasti mau tidak mau ia dan Dewi harus bersikap seolah-olah di antara mereka tidak ada masalah apa-apa. Namun ternyata, Dewi justru sudah bertindak sejauh ini."Kalian lagi ada masalah apa, sih?" tanya Wina saat melihat Gibran semarah itu. "Enggak biasanya banget marahan sampai berhari-hari gini?"Gibran hanya tersenyum getir. Ia dan Dewi memang jarang sekali bertengkar. Dewi tidak begitu suka membesar-besarkan masalah. Sementara Gibran lebih sering mengalah jika harus mendebatkan sesuatu dengan Dewi. Karena sikap Dewi yang jarang s
"I-ibu? Ke-kenapa Ibu di sini?" tanya Gibran yang sangat terkejut dan gugup melihat keberadaan ibu mertuanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan menyusulnya ke pinggir jalan tempat mobil Rindu terparkir. Padahal dari teras jaraknya jauh karena terdapat halaman yang lumayan luas."Kenapa Ibu di sini kamu bilang!?" hardik Bu Rasti. Wajah ibunda dari Dewi itu sudah merah padam, matanya menatap nyalang pada menantu yang selama ini ia pikir lelaki baik. Pasalnya dari gelagat Gibran Bu Rasti melihat ada sesuatu yang tidak beres."I-iya, Bu." Gibran salah tingkah tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam hati ia merutuki sikap keras kepala Rindu. Karena sebenarnya Gibran tidak mengizinkan Rindu menjemputnya di area rumah, tetapi istri barunya itu tidak mau mendengarkannya. "Kenapa dia di sini? Kenapa dia yang jemput kamu?" Bu Rasti mengintrogasi Gibran dengan tatapan tajam. Tidak akan ia biarkan menantunya itu sedikit pun berkelit darinya."I-itu, Bu ....""Jawab yang be
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana