Pagi hari tiba,Pagi itu, sinar matahari lembut masuk melalui celah-celah tirai tebal di kamar suite hotel mereka. Edward perlahan membuka matanya, mendapati Zuri masih terlelap di sampingnya. Dia memandangi wajah istrinya yang damai, sesekali mengelus rambutnya yang terurai di atas bantal. Edward pun tersenyum, merasa beruntung bisa menghabiskan malam yang panjang bersama wanita yang sangat dia cintai.Zuri menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya mulai terbuka. "Pagi, Sayang," gumamnya lembut, mengusap pipi Edward dengan jemarinya."Pagi juga, Cintaku," balas Edward, suaranya rendah dan hangat. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya menikmati momen tenang di atas tempat tidur. Tidak ada tergesa-gesa, tidak ada gangguan, hanya mereka berdua dalam kehangatan pagi itu.Zuri menarik selimutnya lebih tinggi, merasa nyaman. "Aku masih ingin di tempat tidur sebentar lagi," ucapnya dengan suara malas.Edward tersenyum dan menunduk, memberikan kecupan ringan di dahinya. "Kita bisa tetap di sini
Di sebuah kamar hotel president suite,Pagi yang cerah di Kota Vienna, Edward dan Zuri baru saja selesai menikmati sarapan di kamar mereka. Matahari dari tadi telah bersinar lembut melalui jendela kamar tersebut yang berada di lantai atas, gedung megah itu, yang memberikan pemandangan kota yang menakjubkan. Setelah sarapan, mereka masih berada di dalam kamar untuk beristirahat sejenak, menikmati kenyamanan kasur yang empuk dan suasana tenang. Edward merebahkan diri di sofa sambil menatap keluar jendela.“Mas, aku ngantuk deh,” ucap Zuri kepada suaminya.“Yes, Baby. Kamu tidurlah, istirahatlah sebentar. Nanti agak sorean kita akan berkeliling kota ini,” ucap Edward sambil tersenyum, sambil memandang istrinya yang sedang membaringkan diri di atas ranjang.Zuri yang sedang meraih selimut untuk menutupi badannya, mengangguk pelan. “Siap, Mas. Aku juga penasaran dengan museum yang kamu bilang tadi. Museum Kunsthistorisches, kan?”“Iya, Sayang. Tempat itu adalah salah satu museum seni terb
Keheningan malam di sebuah kamar hotel,Kamar suite mewah di salah satu sudut Kota Vienna itu terasa sunyi dan tenang. Kegelapan malam menyelimuti seisi ruangan tersebut, hanya sedikit cahaya bulan yang masuk melalui celah tirai yang setengah tertutup, menciptakan bayangan lembut di atas ranjang. Di dalam kamar, Edward dan Zuri, sepasang suami istri yang sedang berbulan madu, tampak terlelap dalam balutan selimut tebal. Udara malam yang pekat terasa dingin terasa kontras dengan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua.Waktu menunjukkan tengah malam ketika Edward tiba-tiba terbangun. Pria tampan itu membuka matanya perlahan, merasakan keheningan yang menenangkan di sekitar mereka. Sejenak, dia memandangi langit-langit kamar, membiarkan kesadarannya pulih dari tidurnya. Namun, tak lama kemudian, pandangannya beralih ke arah Zuri, istrinya, yang sedang tidur di sampingnya. Wajah Zuri yang tenang dan menawan tampak begitu memikat hatinya dalam cahaya remang-remang kamar.Seketika alat
Setelah acara panas mereka selesai menjelang pagi. Edward dan Zuri pun memutuskan berada di dalam kamar hotel sepanjang hari. Saat ini keduanya malah sedang bermesraan di kolam renang pribadi, indoor yang terhubung langsung dengan kamar president suit yang mereka tempati.Pasangan suami istri tersebut rupa-rupanya sedang melakukan gaya kuda-kudaan di dalam air. Saling menyentuh, membelai dan melakukan beberapa serangan.Untuk kali ini, Edward yang memimpin serangan bertubi-tubi di dalam gua sempit milik istrinya.“Ah, Sayang! Ouuughh!” desah Zuri saat Edward melakukan penyerangan dari arah belakang.Riak-riak air tercipta sangat dahsyat seolah-olah menggambarkan bagaimana kuatnya guncangan goyangan pinggul Edward. Jari-jari suaminya juga ikut meremas kedua bukit kembarnya dan memainkan pucuk indah itu. Sementara tangan Zuri bertumpu kuat di besi yang ada di pinggiran kolam renang.“Baby! Akh!” Zuri akhirnya mendapat pelepasannya.Namun Edward tidak berhenti, dia kini melakukan penyera
Sudah satu bulan berlalu sejak Edward dan Zuri kembali dari bulan madu mereka di Negara Austria, sebuah pengalaman indah yang mereka nikmati bersama di tengah-tengah pegunungan Alpen dan keindahan kota-kota bersejarah. Namun, kini keduanya harus kembali ke rutinitas sehari-hari. Edward, sebagai CEO EK Corp, selalu sibuk dengan berbagai rapat dan perjalanan bisnis. Sementara itu, Zuri bekerja di bagian sekretariat di perusahaan yang sama, menjalani tugas-tugas administrasi yang lebih ringan.Dua hari terakhir, Edward sedang dalam perjalanan dinas ke luar kota bersama beberapa kolega bisnisnya. Selama kepergian Edward, Zuri tinggal sendirian di apartemen mereka yang modern dan nyaman. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis jendela apartemen, namun bukannya merasakan semangat pagi, Zuri justru merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya.Kepalanya tiba-tiba terasa berat, dia merasakan pusing yang tidak biasa. Tanpa peringatan, rasa mual tiba-tiba menyerangnya, membuatnya segera
Sore pun tiba,Matahari mulai tenggelam perlahan di balik gedung-gedung tinggi di Kawasan Jakarta Selatan. Udara terasa sedikit sejuk dengan angin sore yang berhembus perlahan. Di tengah suasana tersebut, Bunda Ayu tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sejak mengetahui jika menantunya, Zuri, positif hamil dari hasil tes di rumah tadi, sang ibu mertua langsung memutuskan untuk membawa menantunya ke rumah sakit ternama di kawasan tersebut.Mereka berdua tiba di Rumah Sakit Bunda Sejahtera, tempat di mana dokter Stevi, seorang dokter kandungan terkenal, praktek. Sepanjang perjalanan, Zuri hanya terdiam sambil mengusap perutnya yang belum tampak membesar, merasa campur aduk antara bahagia dan gugup. Sementara itu, Bunda Ayu duduk di sebelahnya, tak henti-hentinya tersenyum sambil sesekali memandang Zuri dengan penuh kasih sayang.“Zuri, kamu pasti senang sekali, kan, saat ini?” tanya Bunda Ayu lembut.Zuri mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Bunda. Aku ... aku masih nggak percaya
Malam telah tiba ketika Zuri dan Nyonya Rahayu, yang akrab dipanggil Bunda Ayu, selesai memeriksakan kehamilan Zuri di sebuah rumah sakit terkenal di Kawasan Jakarta Selatan. Hasilnya menunjukkan kabar bahagia jika Zuri, sang menantu positif hamil lima minggu. Bunda Ayu terlihat begitu senang, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tak dapat disembunyikan. Sementara itu, Zuri tampak bahagia akan tetapi juga gugup. Ini adalah kehamilan pertamanya, dan dia ingin menyampaikan kabar ini kepada suaminya, Edward, dengan cara yang istimewa.“Zuri, bagaimana kalau kita makan malam dulu sebelum pulang? Kita mampir ke Mall Pondok Indah. Ada restoran Nusantara di sana yang masakannya sangat enak. Kamu pasti suka,” usul Bunda Ayu dengan senyum keibuan.Zuri tersenyum sambil mengangguk pelan. “Boleh, Bunda. Saya juga sudah mulai lapar, dan masakan Indonesia pasti pas sekali untuk kita santap malam ini.”Tanpa menunggu lebih lama lagi, Bunda Ayu pun segera memerintahkan sopir mereka untuk menuju k
Keesokan harinya,Pagi telah tiba di apartemen Zuri dan Edward yang terletak di salah satu kawasan elit Kota Jakarta. Suasana sepi menyelimuti seluruh ruangan, hanya suara halus AC yang mendinginkan udara di dalam apartemen yang terdengar.Di dapur, Zuri, seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang diikat ke belakang, terlihat sedang sibuk mencampur bahan-bahan untuk membuat stroberi cake untuk suaminya yang akan pulang hari ini dari luar kota. Pancaran sinar matahari dari jendela dapur menerangi wajahnya yang bersemangat, meskipun baru beberapa hari ini dia berhasil mengatasi rasa mual dan muntah yang mengganggu kehamilannya.Dengan hati-hati, Zuri mulai mengayunkan pengocok adonan ke dalam mangkuk besar, mengikuti langkah demi langkah dari tutorial cara membuat stroberi cake yang sedang diputar di ponselnya.“Okay ... sekarang tambahkan tepung terigu,” gumam Zuri sambil fokus melihat layar ponsel yang berada di atas meja dapur.Hari ini, Zuri punya rencana khusus. Dia ingin me
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk
Beberapa saat yang lalu,Angin pantai Ancol berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang memenuhi area itu. Zuri berjalan dengan langkah pelan, menyusuri garis pantai. Hatinya terasa berat, penuh dengan kekesalan yang belum juga hilang setelah pertengkarannya dengan Edward, suaminya. Kata-kata tajam dari Edward tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya sulit untuk menenangkan diri.Dia berhenti sejenak, menatap riak kecil yang menggulung di permukaan air. Pasir halus di bawah kakinya terasa dingin dan menenangkan, namun rasa sakit di hatinya tetap tidak berkurang. Edward jarang sekali marah, tapi kali ini, pertengkaran mereka begitu hebat hingga Zuri memutuskan untuk menjauh sementara waktu.Dia tak ingin kembali ke apartemen yang terasa begitu sempit dengan ketegangan.Perempuan cantik itu semakin kesal kepada Edward karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya sedikitpun.Bahkan Edward malah pergi meninggalkannya di apartemen sendiri. Hal itu semakin membuat
Di sebuah apartemen,Sore yang cerah perlahan berubah menjadi kelabu di langit Jakarta ketika Ranti, seorang wanita karier yang sukses, baru saja tiba di apartemennya. Setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan di kantor, Ranti berharap bisa menemukan ketenangan di rumahnya. Namun, langkah cepatnya begitu memasuki apartemen seolah menggambarkan keresahan yang sejak tadi melanda pikirannya. Ada hal lain yang jauh lebih penting mengisi benaknya saat ini yaitu tentang sepupunya, Tari.Tari sejak beberapa bulan yang lalu tinggal bersamanya di apartemen ini. Setelah sebelumnya sang sepupu dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di salah satu sudut Kota Jakarta.Tari mengalami gangguan jiwa saat Edward, mantan kekasih dari sang sepupu memutuskan hubungan dengannya. Hal tersebutlah yang membuat Ranti ingin membalaskan dendam Tari terhadap Edward, yang juga merupakan mantan kekasih pengusaha sukses itu.Namun sayangnya, Ranti yang awalnya hanya ingin memainkan perasaan Edward. Malah benar-b
Kedatangan Bunda Ayu,Nyonya Rahayu Kenneth, dengan gaun hijau lumutnya yang menambah wibawanya, turun dari mobil mewahnya di depan kediaman megah Opa Bram. Tangannya menggenggam tas kulit elegan, sementara langkahnya mantap memasuki halaman yang asri, dipenuhi oleh pepohonan tua dan bunga-bunga yang tertata rapi. Sejak suaminya meninggal, Opa Bram, ayah mertuanya, menjadi salah satu tumpuan hidupnya dalam menghadapi berbagai situasi. Dia merasa perlu bertemu dengannya hari ini.Begitu pintu besar kayu jati terbuka lebar, Asisten Geri, pria berwajah dingin yang selalu setia melayani Opa Bram, menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat pagi, Nyonya Rahayu,” sapa Asisten Geri dengan sopan, membungkukkan badannya sedikit. “Opa Bram sudah menunggu Anda di ruang kerjanya, Nyonya.”“Terima kasih, Asisten Geri,” jawab Nyonya Rahayu. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, telinganya menangkap suara keras yang berasal dari lantai dua.Suara itu sangat dikenalnya, suara putranya, Edward
Di jalanan Kota Jakarta,“Sial! Sial! Sial!” gerutu Edward sambil memukul-mukul keras setir mobil.Pasalnya pria itu masih saja terjebak kemacetan Kota Jakarta yang begitu hakiki. “Kenapa mesti sekarang, macetnya?” kesalnya lagi.Amarah semakin memuncak di dalam dirinya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena jalanan memang sedang macet-macetnya. Pria tampan itu hanya bisa sabar untuk saat ini.Setelah beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya dia sampai juga. Edward pun melangkah cepat dan keluar dari mobilnya begitu sampai di depan rumah besar milik Opa Bram. Udara pagi yang sejuk tak mampu meredakan amarah yang membara di dadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Edward langsung masuk melalui pintu depan, yang dibiarkan terbuka oleh asisten pribadi kakeknya, Geri.Asisten Geri terlihat sedang sibuk dengan beberapa orang mekanik yang sedang mengurusi koleksi mobil milik sang kakek. Tanpa menunggu lama lagi, Edward pun menanyakan keberadaan Opa Bram kepada sang asisten."Asisten
Setelah Edward pergi dengan langkah cepat dan marah dari apartemen, Zuri hanya bisa menatap pintu yang baru saja tertutup keras dengan perasaan campur aduk. Air mata yang dari tadi dia tahan kini mulai mengalir perlahan. Dia mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia tahu Edward marah besar karena dokumen penting milik Opa Bram, namun Zuri merasa tidak adil karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya."Kenapa Mas Edward gak mau dengar aku dulu?" gumam Zuri pelan, sambil mengusap wajahnya yang mulai memerah karena menangis.Dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk terus menangis. Zuri sadar, jika dirinya perlu menenangkan diri, terutama karena dia harus menjaga kesehatannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri akan tetapi juga untuk bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Perlahan, Zuri menurunkan tangan dan mengusap lembut perutnya yang masih datar, sambil tersenyum kecil.“Maaf, Sayang. Mommy janji akan jaga kamu baik-baik," bisiknya lembut.Setelah meras
Beberapa saat yang lalu,Edward berjalan mondar-mandir di ruang tamu apartemen mereka yang luas dan mewah. Matanya tak henti-hentinya menatap setumpuk dokumen di tangannya, wajahnya memerah karena emosi yang semakin memuncak. Di hadapannya, Zuri, istrinya, berdiri dengan tatapan penuh kecemasan. Air mata menggenang di matanya, sementara tangannya gemetar mencoba meraih lengan Edward.“Mas Edward, please. Dengarkan aku dulu. Aku ingin menjelaskan semuanya.” Zuri berusaha bicara, tapi suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang sia-sia di hadapan dinding emosi yang dibangun oleh suaminya.Tanpa menjawab, Edward menghempaskan tumpukan dokumen itu ke atas meja dengan kasar, membuat suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Dokumen-dokumen itu berserakan, beberapa halaman terlempar ke lantai, memperlihatkan judul-judul mencolok tentang “Misi Rahasia.” Ada cap tebal di pojok kanan atas yang bertuliskan: KONFIDENSIAL. Edward mendekatkan tangannya ke wajah, mengusap pelipisnya dengan ge
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dari bandara Internasional Soekarno-Hatta, Edward akhirnya tiba di apartemen tempat tinggalnya bersama sang istri, Zuri. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas luar kota selama tiga hari lamanya.Berjuta kerinduan untuk Zuri tercipta sempurna di dalam hati Edward. Ingin rasanya secepatnya dia memeluk istrinya dan melepaskan segala penat dan lelahnya selama berada di luar kota.Sebagai seorang CEO EK Corp, hari-harinya dipenuhi dengan rapat, strategi, dan tekanan besar. Namun, saat ini, pikirannya tertuju hanya pada satu hal yaitu bertemu Zuri, istrinya yang selalu menjadi tempatnya bersandar setelah hari yang panjang. Edward menarik napas dalam-dalam dan memijit pelipisnya, mencoba meredakan rasa capeknya.Edward pun menekan kata sandi apartemen, pintu segera terbuka, dan dia pun mulai melangkah masuk. Pria tampan itu merasa lega bisa kembali ke rumah. Edward pun mulai memanggil nama istrinya,“Zuri, aku pulang,” serunya sambil melepas