Pagi itu, Ranti duduk di depan laptopnya di ruang kerja kecilnya yang nyaman. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menerangi ruangan yang penuh dengan dekorasi dan pernak-pernik pernikahan. Di meja kerjanya terdapat beberapa catatan, daftar klien, dan kalender yang penuh dengan jadwal padat. Ranti menghirup secangkir kopi yang sudah hampir dingin, bersiap untuk memulai hari kerja yang panjang. Dia membuka emailnya seperti biasa, meninjau beberapa pesan masuk dari klien yang membutuhkan konfirmasi atau mengajukan pertanyaan. Beberapa email berisi tawaran kerja sama, dan sebagian lagi adalah undangan untuk mengikuti pameran pernikahan. Semuanya terlihat normal dan rutin seperti hari-hari sebelumnya.Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada satu email yang baru saja masuk. Subjek email tersebut berbunyi, "Proposal Penawaran Jasa Wedding Organizer - Urgent.”Tidak ada yang terlalu aneh dengan email itu sendiri, akan tetapi ketika Ranti melihat pengirimnya, napasnya tiba-tiba t
Keesokan harinya,Pagi yang cerah di Kota Jakarta, Ranti dan timnya bersiap memulai hari mereka dengan energi baru di kantor wedding organizer miliknya. Kemarin pagi Ranti baru saja menerima kabar jika Light WO telah dipilih untuk menangani salah satu proyek terbesar dalam karir mereka. Yaitu pernikahan seorang pengusaha sukses, Edward Kenneth, yang akan menikahi kekasihnya, Zuri Agnesa. Lokasi resepsi adalah di hotel Raffles, Kuningan, Jakarta Selatan, dengan tema royal wedding yang elegan dan mewah."Ini adalah kesempatan besar bagi kita semua," ujar Ranti dengan antusias kepada timnya. Di hadapannya ada lima anggota timnya antara lain Rina, Rani, Dani, Bayu, dan Tika. Mereka semua duduk mengelilingi meja bundar besar di ruang rapat kantor."Benar sekali, Mbak Ranti. Kita harus memastikan semuanya berjalan dengan sempurna," tambah Rina, tangan kanannya yang selalu siap membantu di setiap situasi sulit dan memdesak.Ranti mengangguk. "Guys, sebagai informasi penting untuk kita semua
Makan siang bersama istri tercinta,Siang itu, Edward dan Zuri memutuskan untuk menghabiskan waktu makan siangnya di sebuah restoran western di Plaza Indonesia. Restoran yang mereka pilih menawarkan suasana yang elegan dan tenang, cocok untuk sepasang pengantin baru yang ingin menikmati waktu bersama di tengah kesibukan sehari-hari. Edward, seorang pengusaha sukses dengan jadwal padat, merasa perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk Zuri, istrinya yang baru saja dinikahinya.Saat pelayan datang, Edward dan Zuri dengan antusias memesan hidangan favorit mereka. "Sayang … aku akan pesan steak medium rare dan salad caesar untuk kita. Kalau kamu mau pesan apa, Cintaku?" ucap Edward dengan senyum lebar.Zuri menatap menu sebelum akhirnya memutuskan. "Mmmmm, sepertinya aku mau pasta carbonara dan jus jeruk," jawabnya sambil tersenyum manis kepada pelayan restoran.Sementara sang pelayan mulai mencatat menu pilihan keduanya.“Baik, ditunggu sebentar ya, Tuan dan Nona,” sahut pelayan terseb
Setelah makan siang yang sedikit terganggu oleh kehadiran Bertha, Edward dan Zuri melanjutkan hari mereka di Plaza Indonesia dengan langkah pasti. Saat ini keduanya sedang menuju ke sebuah butik ternama yang sudah lama terkenal dengan koleksi gaun pengantin mewahnya. Edward sudah membuat janji untuk fitting baju pengantin hari ini, dan mereka tidak ingin terlambat.Saat keduanya mulai memasuki butik, suasana langsung berubah menjadi lebih hangat. Di dalam sana, sudah ada tiga wanita beda generasi dari Keluarga Kenneth yang menunggu dengan senyum lebar. Bunda Ayu, ibunda Edward, berdiri dengan anggun mengenakan dress elegan berwarna biru. Di sebelahnya ada Kak Nesa, kakak perempuan Edward yang baru datang dari Sydney. Wajahnya memancarkan kegembiraan saat melihat Edward dan Zuri. Yang terakhir adalah istri dari Kak Andre, menantu pertama keluarga Kenneth, yang juga berdiri dengan senyum ramah."Zuri! Akhirnya kita bertemu," seru Kak Nesa dengan antusias sambil mendekat dan memeluk Zur
Plaza Indonesia di Senayan, Jakarta, masih ramai di sore hari itu. Di dalam sebuah butik mewah, Edward sedang berdiri dengan cermat di depan rak-rak tuksedo, matanya menelusuri setiap setelan dengan teliti. Di sekelilingnya, beberapa anggota keluarga dan staf butik menunggu dengan sabar, meskipun mulai merasa lelah.Bunda Ayu, ibunda Edward, tampak duduk di sofa empuk, mengamati putranya dengan pandangan penuh kasih akan tetapi juga sedikit putus asa dan mulai kesal sendiri. "Edward, kita kan sudah memilih gaun pengantin untuk Zuri yang sungguh sempurna. Apa kamu tidak bisa sedikit lebih cepat untuk memilih tuksedo-mu sendiri?" ucap sang ibu dengan nada lembut namun tegas.Edward, CEO dari EK Corp, hanya tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan tuksedo yang ada di hadapannya. "Bundaku Sayang, resepsi pernikahanku dan Zuri adalah hari yang sangat penting, bagiku. Jadi sudah pasti banget aku ingin semuanya sempurna," jawabnya, suaranya terdengar tenang namun penuh
Malam perlahan menyelimuti Kota Metropolitan, Jakarta ketika anggota Keluarga Kenneth akhirnya keluar dari butik setelah sesi pemilihan tuksedo yang panjang dan melelahkan. Edward, yang dikenal perfeksionis, akhirnya puas dengan pilihannya. Zuri, sang istri yang sabar, serta Bunda Ayu, Kak Nesa, dan istrinya Kak Andre, mengikuti di belakangnya dengan perasaan lega."Sudah malam sekali," gumam Bunda Ayu sambil melirik jam tangan berlapis emas di pergelangan tangannya. "Bagaimana kalau kita makan malam dulu sebelum pulang? Bunda lapar sekali, nih."Zuri mengangguk setuju. "Ide bagus, Bunda. Di sini ada restoran Jepang yang terkenal, namanya Shabu Shabu House. Makanan yang disediakan di sana terkenal segar dan enak. Apa kita mau ke sana saja?"Edward, sambil merapikan jasnya, mengangguk. "Tentu, itu pilihan yang baik, Sayang. Aku juga lapar setelah semua pemilihan tuksedo yang sungguh merepotkan tadi," jawabnya sambil tersenyum kecil, menyadari betapa dia telah membuat semuanya menung
Keesokan harinya,Setelah selesai dengan meeting pagi yang berlangsung hingga tengah hari, Edward, sang CEO EK Corp, berdiri dari kursinya di ruang rapat. Pria tampan itu lalu melirik jam tangannya sekilas, memastikan waktu sebelum berpaling ke arah para peserta rapat yang terdiri dari para manajer dan eksekutif perusahaannya.“Terima kasih atas kerja samanya pagi ini. Saya harus pergi sekarang karena ada urusan keluarga yang perlu saya urus,” ucapnya dengan nada tegas namun bersahabat. Para manajer mengangguk mengerti, dan ada beberapa di antaranya melontarkan senyum simpul. Edward berbalik dan berjalan keluar dari ruang rapat, menuju ruang sekretariat di mana Zuri, istrinya, bekerja. Dia melihat Zuri tengah sibuk mengatur beberapa dokumen di meja kerjanya.“Zuri, apakah kamu sudah siap?” tanya Edward sambil tersenyum, menghampiri istrinya. Zuri menoleh dan tersenyum lembut. “Ya, sebentar lagi, Mas. Aku hanya perlu merapikan ini sedikit lagi,” jawabnya sambil menutup map yang ada
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela-jendela kaca gedung perkantoran EK Corp, memberi suasana hangat di langit Jakarta yang cerah. Edward, seorang CEO muda dyang cemerlang, baru saja menyelesaikan rapat dengan para manajer serta jajaran penting di perusahaannya. Dengan senyum puas, pria tampan itu melangkah keluar dari ruang rapat dan menuju ke dalam kantornya yang berada di lantai tertinggi gedung itu.Setibanya di kantor pribadinya, Edward langsung disambut oleh pemandangan yang tiba-tiba sangat menenangkan hatinya saat ini. Zuri, sang istri, sedang duduk manis di sofa sambil membaca sebuah majalah. Zuri baru saja meminta izin dari bagian sekretariat untuk menunggu suaminya, siap memulai hari yang sudah mereka rencanakan sejak kemarin.“Halo, My Baby,” sapanya kepada istrinya.“Mas Edward. Kamu datang juga. Sudah selesai meeting-nya, Sayang?” Zuri menyambut Edward dengan senyum manisnya.Edward mendekati Zuri, mencium keningnya dengan lembut. “Sudah dong, Cintaku. Semua ber
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk
Beberapa saat yang lalu,Angin pantai Ancol berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang memenuhi area itu. Zuri berjalan dengan langkah pelan, menyusuri garis pantai. Hatinya terasa berat, penuh dengan kekesalan yang belum juga hilang setelah pertengkarannya dengan Edward, suaminya. Kata-kata tajam dari Edward tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya sulit untuk menenangkan diri.Dia berhenti sejenak, menatap riak kecil yang menggulung di permukaan air. Pasir halus di bawah kakinya terasa dingin dan menenangkan, namun rasa sakit di hatinya tetap tidak berkurang. Edward jarang sekali marah, tapi kali ini, pertengkaran mereka begitu hebat hingga Zuri memutuskan untuk menjauh sementara waktu.Dia tak ingin kembali ke apartemen yang terasa begitu sempit dengan ketegangan.Perempuan cantik itu semakin kesal kepada Edward karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya sedikitpun.Bahkan Edward malah pergi meninggalkannya di apartemen sendiri. Hal itu semakin membuat
Di sebuah apartemen,Sore yang cerah perlahan berubah menjadi kelabu di langit Jakarta ketika Ranti, seorang wanita karier yang sukses, baru saja tiba di apartemennya. Setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan di kantor, Ranti berharap bisa menemukan ketenangan di rumahnya. Namun, langkah cepatnya begitu memasuki apartemen seolah menggambarkan keresahan yang sejak tadi melanda pikirannya. Ada hal lain yang jauh lebih penting mengisi benaknya saat ini yaitu tentang sepupunya, Tari.Tari sejak beberapa bulan yang lalu tinggal bersamanya di apartemen ini. Setelah sebelumnya sang sepupu dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di salah satu sudut Kota Jakarta.Tari mengalami gangguan jiwa saat Edward, mantan kekasih dari sang sepupu memutuskan hubungan dengannya. Hal tersebutlah yang membuat Ranti ingin membalaskan dendam Tari terhadap Edward, yang juga merupakan mantan kekasih pengusaha sukses itu.Namun sayangnya, Ranti yang awalnya hanya ingin memainkan perasaan Edward. Malah benar-b
Kedatangan Bunda Ayu,Nyonya Rahayu Kenneth, dengan gaun hijau lumutnya yang menambah wibawanya, turun dari mobil mewahnya di depan kediaman megah Opa Bram. Tangannya menggenggam tas kulit elegan, sementara langkahnya mantap memasuki halaman yang asri, dipenuhi oleh pepohonan tua dan bunga-bunga yang tertata rapi. Sejak suaminya meninggal, Opa Bram, ayah mertuanya, menjadi salah satu tumpuan hidupnya dalam menghadapi berbagai situasi. Dia merasa perlu bertemu dengannya hari ini.Begitu pintu besar kayu jati terbuka lebar, Asisten Geri, pria berwajah dingin yang selalu setia melayani Opa Bram, menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat pagi, Nyonya Rahayu,” sapa Asisten Geri dengan sopan, membungkukkan badannya sedikit. “Opa Bram sudah menunggu Anda di ruang kerjanya, Nyonya.”“Terima kasih, Asisten Geri,” jawab Nyonya Rahayu. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, telinganya menangkap suara keras yang berasal dari lantai dua.Suara itu sangat dikenalnya, suara putranya, Edward
Di jalanan Kota Jakarta,“Sial! Sial! Sial!” gerutu Edward sambil memukul-mukul keras setir mobil.Pasalnya pria itu masih saja terjebak kemacetan Kota Jakarta yang begitu hakiki. “Kenapa mesti sekarang, macetnya?” kesalnya lagi.Amarah semakin memuncak di dalam dirinya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena jalanan memang sedang macet-macetnya. Pria tampan itu hanya bisa sabar untuk saat ini.Setelah beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya dia sampai juga. Edward pun melangkah cepat dan keluar dari mobilnya begitu sampai di depan rumah besar milik Opa Bram. Udara pagi yang sejuk tak mampu meredakan amarah yang membara di dadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Edward langsung masuk melalui pintu depan, yang dibiarkan terbuka oleh asisten pribadi kakeknya, Geri.Asisten Geri terlihat sedang sibuk dengan beberapa orang mekanik yang sedang mengurusi koleksi mobil milik sang kakek. Tanpa menunggu lama lagi, Edward pun menanyakan keberadaan Opa Bram kepada sang asisten."Asisten
Setelah Edward pergi dengan langkah cepat dan marah dari apartemen, Zuri hanya bisa menatap pintu yang baru saja tertutup keras dengan perasaan campur aduk. Air mata yang dari tadi dia tahan kini mulai mengalir perlahan. Dia mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia tahu Edward marah besar karena dokumen penting milik Opa Bram, namun Zuri merasa tidak adil karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya."Kenapa Mas Edward gak mau dengar aku dulu?" gumam Zuri pelan, sambil mengusap wajahnya yang mulai memerah karena menangis.Dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk terus menangis. Zuri sadar, jika dirinya perlu menenangkan diri, terutama karena dia harus menjaga kesehatannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri akan tetapi juga untuk bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Perlahan, Zuri menurunkan tangan dan mengusap lembut perutnya yang masih datar, sambil tersenyum kecil.“Maaf, Sayang. Mommy janji akan jaga kamu baik-baik," bisiknya lembut.Setelah meras
Beberapa saat yang lalu,Edward berjalan mondar-mandir di ruang tamu apartemen mereka yang luas dan mewah. Matanya tak henti-hentinya menatap setumpuk dokumen di tangannya, wajahnya memerah karena emosi yang semakin memuncak. Di hadapannya, Zuri, istrinya, berdiri dengan tatapan penuh kecemasan. Air mata menggenang di matanya, sementara tangannya gemetar mencoba meraih lengan Edward.“Mas Edward, please. Dengarkan aku dulu. Aku ingin menjelaskan semuanya.” Zuri berusaha bicara, tapi suaranya terdengar seperti pecahan kaca yang sia-sia di hadapan dinding emosi yang dibangun oleh suaminya.Tanpa menjawab, Edward menghempaskan tumpukan dokumen itu ke atas meja dengan kasar, membuat suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Dokumen-dokumen itu berserakan, beberapa halaman terlempar ke lantai, memperlihatkan judul-judul mencolok tentang “Misi Rahasia.” Ada cap tebal di pojok kanan atas yang bertuliskan: KONFIDENSIAL. Edward mendekatkan tangannya ke wajah, mengusap pelipisnya dengan ge
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dari bandara Internasional Soekarno-Hatta, Edward akhirnya tiba di apartemen tempat tinggalnya bersama sang istri, Zuri. Dia baru saja kembali dari perjalanan dinas luar kota selama tiga hari lamanya.Berjuta kerinduan untuk Zuri tercipta sempurna di dalam hati Edward. Ingin rasanya secepatnya dia memeluk istrinya dan melepaskan segala penat dan lelahnya selama berada di luar kota.Sebagai seorang CEO EK Corp, hari-harinya dipenuhi dengan rapat, strategi, dan tekanan besar. Namun, saat ini, pikirannya tertuju hanya pada satu hal yaitu bertemu Zuri, istrinya yang selalu menjadi tempatnya bersandar setelah hari yang panjang. Edward menarik napas dalam-dalam dan memijit pelipisnya, mencoba meredakan rasa capeknya.Edward pun menekan kata sandi apartemen, pintu segera terbuka, dan dia pun mulai melangkah masuk. Pria tampan itu merasa lega bisa kembali ke rumah. Edward pun mulai memanggil nama istrinya,“Zuri, aku pulang,” serunya sambil melepas