"Sori telat," ucap seorang wanita cantik seraya duduk di kursi tepat di hadapan Biru. Sebelum Biru menjawab, wanita itu segera menenggak minuman yang sudah lebih dulu dipesan oleh Biru."Gue nggak ke kantor demi lo, tapi lo justru bikin gue nunggu." Nada bicara Biru tampak kesal."Kalau Aluna udah rewel, itu benar-benar di luar kendali gue," balas Sherly. Ya, wanita itu merupakan mantan istri Erzha. "Lagian ini bukan sepenuhnya salah gue. Bukannya lo, ya, yang pilih tempat ini? Sadar nggak, sih ... ini jauh banget. Mending di restoran favorit mendiang…." Sherly tidak melanjutkan kalimatnya. “Sori, nggak ada maksud,” sambungnya."Kalau kita ketemu di tempat yang deket dan biasa didatangin orang-orang yang kita kenal, bisa panjang urusannya," balas Biru berusaha tidak menanggapi perihal restoran favorit yang Sherly maksud."Ya udah, lo mau ngomong apa?"Alih-alih menjawab, Biru malah menyodorkan ponselnya untuk menunjukkan foto-foto acara tadi malam. Hal itu sontak membuat Sherly terkej
Sakina sudah menduga kalau Erzha akan membawanya ke sebuah kafe. Mungkin inilah saatnya ia bisa menceritakan semua yang terjadi dengan apa adanya. Ya, meski sempat ragu, Sakina memang seharusnya meminta maaf pada Erzha.Kini Sakina juga sudah yakin akan mengatakan kalau selama ini ia menghindar karena salah paham dengan mengira Erzha masih menjadi suami orang. Tepatnya suami Elina. Sakina juga akan mengatakan kalau hubungannya dengan Biru hanyalah sandiwara belaka.Saat ini, Sakina sedang mengumpulkan keberaniannya untuk jujur. Tadi, begitu sampai di kafe, ia langsung izin ke toilet. Setelah cukup yakin, Sakina akhirnya keluar dari toilet itu dan melangkah menuju tempat duduknya. Erzha pasti sudah lama menunggunya.Namun, tanpa diduga kursi yang tadi Erzha duduki tampak kosong. Sakina mencoba berpikir positif, bisa jadi Erzha sedang ke toilet. Ia pun duduk untuk menunggu pria itu. Di meja juga sudah ada dua gelas minuman yang pasti dipesan oleh Erzha. Hal itu menguatkan keyakinan Saki
Awalnya Biru memutuskan tidak masuk kantor hari ini, mengingat pertemuannya dengan Sherly tidak akan berjalan dalam waktu singkat. Namun, Sherly harus pergi setelah mendapatkan telepon kalau anaknya masuk rumah sakit.Biru tidak memiliki pilihan selain berangkat ke kantor. Lagi pula, ia ingin bertemu Sakina. Menurutnya, Sakina pasti datang ke kantor untuk mengambil motornya yang sejak kemarin sengaja ditinggalkan.Benar saja, Biru melihat motor Sakina masih parkir dengan manis di depan gedung Aluna. Tak bisa dimungkiri pria itu merasa sangat senang. Itu artinya, Sakina masih di dalam. Hanya saja, begitu menginjakkan kaki di lantai dua, Biru hanya melihat Ujang dan Sutaryo yang sedang bersiap-siap mencari makan siang."Lah, saya kira Mas Biru nggak masuk," kata Sutaryo. "Jang, berarti kita pesan makan siangnya tiga.""Kenapa tiga? Sakina nggak masuk?" tanya Biru kemudian.Kali ini Ujang yang menjawab, "Sebenarnya tadi dia masuk, Mas. Tapi tiba-tiba pergi.""Pergi?""Iya pergi, dan kaya
"Maksudnya apa, Mas?" Sakina mendongak, mencoba menatap wajah Biru. Baginya, pria itu benar-benar sulit ditebak."Terus gimana perasaan kamu sama aku?" tanya Biru kemudian.Sakina malah balik bertanya, "Perasaan gimana maksudnya?"Belum sempat menjawab, telinga Biru menangkap kehadiran Ujang dan Sutaryo. Sebelum dua pria itu naik, Biru segera menarik tangan Sakina dan membawanya ke lantai tiga."Jangan berisik kecuali kamu pengen Ujang sama Tayo curiga. Mereka datang."Mendengar itu, Sakina pun mengurungkan niatnya untuk protes.Biru sengaja membawa Sakina menuju deretan rak buku paling ujung. Menurutnya, tempat itu cocok menjadi tempat persembunyian untuk mereka berbicara tanpa khawatir Ujang dan Sutaryo mendengar. Saat ini posisi Sakina dan Biru berdiri saling berhadapan."Sakina, sekarang waktunya kamu jawab pertanyaanku."Sakina masih terdiam seraya menunduk, ia bahkan tidak mau mendongak untuk menatap wajah Biru."Gimana perasaan kamu sama aku?" ulang Biru.Kali ini Sakina member
Menyibak selimut, Sakina lalu beranjak dari tempat tidurnya. Seharusnya bukan hal aneh ia tidak bisa tidur meskipun sudah tengah malam, hanya saja kali ini Sakina merasa apa yang Biru katakan tadi siang benar-benar mengusik pikirannya. Selain itu, apa yang pria itu lakukan masih terus membayangi Sakina. Ya, itu memang ciuman pertamanya.Setelah kejadian itu, Sakina memutuskan untuk izin pulang lebih awal. Ia tidak bisa bersikap biasa saja karena kenyataanya ia sangat terganggu dengan kejadian di lantai tiga tadi siang. Ia bahkan tidak memedulikan Ujang dan Sutaryo yang tampak sangat bingung sekaligus penasaran.Sakina melirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 23.50. Ia kemudian berjalan menghampiri tas yang hari ini dipakainya. Saat mengambil ponsel yang memang kehabisan baterai sejak di kafe tadi siang, fokus Sakina teralihkan pada tanda pengenal Alfian.Sialan, batinnya.Alfian memang berhasil membuat Sakina berpaling dari penantiannya terhadap Erzha selama bertahun-tahun,
“Ini serius … aku nggak apa-apa kalau tinggal agak lama di sini?” tanya Sakina pada Elina yang tengah duduk di sofa berhadapan dengannya.“Kamu bebas di sini sampai kapan pun kamu mau,” jawab Elina. “Ngomong-ngomong, setelah tiga hari di sini … nggak ada yang aneh, kan?”Ya, sudah tiga hari Sakina berada di rumah lama milik Elina. Ia memang butuh tempat untuk menghindar dan tempat yang kemungkinan besar tidak akan pernah ditemukan oleh Erzha maupun Biru. Lebih tepatnya Sakina sedang bersembunyi.Setelah menyadari Fifi tidak memungkinkan untuk diajak pergi terlebih sahabatnya itu sedang hamil muda, akhirnya Sakina memutuskan mendatangi Elina. Entahlah, dalam lingkaran pertemanan Sakina, hanya terlintas nama Elina setelah nama Fifi.Meskipun Sakina memang belum lama mengenal Elina, tapi ia yakin wanita itu bisa dipercaya. Elina pun sudah berjanji tidak akan menceritakan pada siapa pun tentang apa yang sedang Sakina alami termasuk pada Lingga, suaminya.Tak hanya itu, Elina bahkan dengan
Sakina meletakkan segelas minuman di meja. “Diminum dulu, Mas,” ucapnya seraya duduk di sofa berseberangan dengan sofa yang Erzha duduki. Ia masih terkejut dan sangat tidak menyangka Erzha mengetahui keberadaannya di sini.Erzha yang semula tengah menatap layar ponselnya, langsung beralih menatap Sakina. Pria itu bahkan meletakkan ponselnya di meja, tepat di samping minuman yang disuguhkan untuknya.“Terima kasih ya, Kina.” Erzha kemudian meminumnya sejenak. Setelah menaruh gelas kembali seperti semula, Erzha yang masih menatap Sakina bertanya, “Apa kabar?”Berbagai pertanyaan memenuhi benak Sakina. Tentang dari mana Erzha tahu ia ada di sini, kenapa bisa datang tepat setelah Elina pergi, mungkinkah Elina yang memberi tahu? Sungguh, Sakina penasaran tapi ia tidak tahu bagaimana memulainya. Apalagi dari sekian banyak pertanyaan, Erzha langsung bertanya tentang kabar.“Ba-baik,” jawab Sakina sedikit gugup. “Mas sendiri … gimana kabarnya?”“Buruk,” balas pria itu.Tentu saja Sakina bingu
“Aku udah tahu tentang itu, Kina,” kata Erzha sambil tersenyum hangat.“Siapa yang kasih tahu?” Sakina tentu saja penasaran.“Setelah ngikutin kamu sampai sini, aku yang menyadari kamu pengen sendiri akhirnya memutuskan buat ketemu Tante Nita.”“Apa? Mas Erzha ke tempat Mama?”“Iya, aku bersyukur kepikiran buat nemuin Tante Nita. Kalau nggak, mungkin aku selamanya bakal mengira kamu menghindar karena benci aku. Padahal kenyataannya karena kesalahpahaman konyol. Kalau waktu bisa diulang, mungkin aku bakal bilang status dudaku sejak awal kita ketemu.”“Jadi, Mama yang kasih tahu alasan aku mengindari Mas Erzha?” Meskipun penjelasan Erzha sudah sangat jelas, tapi Sakina masih butuh kepastian.“Iya, Kina. Kalau bukan dari Tante Nita, siapa lagi yang akan ngasih tahu fakta penting ini? Entah kenapa, aku juga jadi teringat pria yang waktu itu ada di apartemen kamu, semuanya jadi makin nggak masuk akal kalau kamu sama Biru mengklaim hubungan kalian sudah berjalan selama tiga bulan. Aku makin