“Aku udah tahu tentang itu, Kina,” kata Erzha sambil tersenyum hangat.“Siapa yang kasih tahu?” Sakina tentu saja penasaran.“Setelah ngikutin kamu sampai sini, aku yang menyadari kamu pengen sendiri akhirnya memutuskan buat ketemu Tante Nita.”“Apa? Mas Erzha ke tempat Mama?”“Iya, aku bersyukur kepikiran buat nemuin Tante Nita. Kalau nggak, mungkin aku selamanya bakal mengira kamu menghindar karena benci aku. Padahal kenyataannya karena kesalahpahaman konyol. Kalau waktu bisa diulang, mungkin aku bakal bilang status dudaku sejak awal kita ketemu.”“Jadi, Mama yang kasih tahu alasan aku mengindari Mas Erzha?” Meskipun penjelasan Erzha sudah sangat jelas, tapi Sakina masih butuh kepastian.“Iya, Kina. Kalau bukan dari Tante Nita, siapa lagi yang akan ngasih tahu fakta penting ini? Entah kenapa, aku juga jadi teringat pria yang waktu itu ada di apartemen kamu, semuanya jadi makin nggak masuk akal kalau kamu sama Biru mengklaim hubungan kalian sudah berjalan selama tiga bulan. Aku makin
Keesokan harinya, Sakina memutuskan untuk pulang. Sebenarnya Erzha juga cukup terkejut karena Sakina mendadak ingin pulang, padahal semalam wanita itu sama sekali tidak mengatakan akan pulang hari ini. Akhirnya, Erzha tidak memiliki pilihan selain menyetujuinya.Dengan menaiki taksi online, mereka kembali membicarakan banyak hal. Dari yang penting sampai yang sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap hidup mereka. Sakina bahkan enggan memberi tahu Erzha tentang Sherly yang mengajaknya bertemu.Ya, Sherlylah yang menjadi alasan Sakina ingin segera pulang. Siap tidak siap, Sakina merasa harus bertemu Sherly. Lagi pula ini demi menjawab segala rasa penasarannya.Untung saja kemarin ia meminta waktu dua hari untuk menjawab lamaran Erzha, dengan begitu pertemuannya dengan Sherly hari ini sangat menentukan keputusannya besok, apakah akan menerima atau menolak lamaran Erzha.“Oh ya, aku mau tanya tentang Aluna, Mas. Waktu itu, kan, masuk rumah sakit … terus sekarang gimana keadaannya?” tany
“Serius udah mau balik? Asyik!” Fifi tampak kegirangan. “Kina, terus sekarang sebenarnya kamu lagi di mana, sih?” lanjutnya seraya meneliti tempat di belakang Sakina. Saat ini Fifi sudah ada di restoran. Sambil menunggu kedatangan Biru yang seharusnya membawa pesanannya, Fifi memutuskan untuk melakukan panggilan video dengan Sakina. Kabar baiknya Sakina langsung mengangkatnya.“Di mana aja boleh.”“Ih, serius. Kamu sama siapa? Kok kayak sendirian, ya?” Fifi terus berusaha memperhatikan.Melihat Fifi yang sedang meneliti tempatnya, Sakina sengaja mengarahkan ponselnya ke sekitar sehingga Fifi bisa melihat sekeliling. “Tebak aku di mana,” ucap Sakina sengaja membuat Fifi penasaran.“Bodo amat kamu di mana. Aku sekarang lebih penasaran kamu lagi nungguin siapa, Na.”“Ada deh, rahasia.”“Begitu, ya? Kamu nggak bakal bisa main rahasia-rahasiaan sama aku, Na. Lihat aja nanti.”“Tenang Fi, tenang. Nanti aku cerita kalau udah beres semua. Jadi sabar aja. Tapi ngomong-ngomong kamu ada di resto
Waktu seolah berjalan sangat lambat saat menunggu. Ya, Sakina merasa sudah cukup lama menanti kedatangan Sherly. Sambil menunggu, Sakina bahkan sempat melakukan panggilan video dengan Fifi, tapi sampai detik ini Sherly belum juga tiba.Sakina memang datang lebih awal dari waktu yang mereka janjikan, hanya saja sekarang sudah satu jam berlalu. Kenapa Sherly tidak ada kabar sama sekali? Sakina bahkan menunda makannya demi menunggu Sherly. Ia takut jika makan lebih dulu, lalu tiba-tiba Sherly datang, tentu hal itu sangat tidak enak baginya.Bersamaan dengan minuman ketiga yang mulai tandas, seorang wanita tersenyum seraya berjalan ke arah Sakina. Mungkinkah itu Sherly? Sakina belum pernah melihat wajahnya sehingga tidak bisa memastikan rupa wanita itu.Namun, saat wanita itu sudah benar-benar di hadapannya, Sakina spontan berdiri. Sepertinya wanita yang sangat cantik di hadapan Sakina memang benar mantan istri Erzha.“Sakina, ya? Maaf udah bikin kamu nunggu lama,” ucap Sherly penuh rasa
Begitu sampai, Sakina langsung turun dan membuka helmnya. Biru yang baru saja turun setelah memarkirkan motornya, tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah pucat Sakina. Biru tidak menyangka Sherly benar-benar menerima sarannya untuk memisahkan Erzha dan Sakina.Jujur, Biru senang jika Sakina menyerah pada cinta pertamanya. Dengan begitu, ia memiliki kesempatan untuk bersama Sakina. Namun, jika melihat Sakina sampai pucat begini, Biru jadi agak merasa bersalah.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Biru kemudian.Sakina mengangguk. “Aku duluan ya, Mas. Makasih atas tumpangannya.” Tanpa menunggu jawaban Biru, Sakina bergegas menuju lift. Tentu saja Biru segera mengikuti.Dalam diam, mereka kini sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Sakina masih bertahan dengan kebungkamannya, begitu juga dengan Biru yang masih tetap mengikuti Sakina.“Aku masuk dulu ya, Mas,” pamit Sakina yang kini berada tepat di depan pintu.“Aku boleh masuk?”Pertanyaan Biru membuat Sakina mengernyit. “Ma-mau apa?”
Biru mengajak Sakina menikah? Apa tidak gila?Berbicara tentang Sherly, Sakina jadi teringat tentang pembicaraan mereka di kafe tadi....________“Saya pengen rujuk sama Erzha.”Jawaban Sherly seharusnya sudah cukup mampu membuat Sakina mundur teratur. Benar kata Biru, seharusnya dirinya mendengarkan pria itu dari awal. Hanya saja, Sakina tidak mau mengulangi kesalahan yang pernah dilakukannya yakni men-judge sembarangan. Ya, ia pernah menganggap Erzha adalah suami orang tanpa mendengar langsung fakta sebenarnya sehingga ia cukup lama tenggelam dalam kesalahpahaman.Oleh karena itu, saat Sherly mengajaknya bertemu, Sakina tidak mau langsung berpikir yang tidak-tidak. Meskipun sebenarnya perasaannya tidak tenang, khawatir Sherly akan memintanya menjauhi Erzha, tapi Sakina tetap datang untuk menemui wanita itu. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan Sherly katakan agar tidak larut dalam berbagai prasangka.Dengan begitu, Sakina akan bisa memutuskan langkah mana yang seharusnya diambil
Setelah tertidur hampir lima jam, Sakina mengerjapkan matanya perlahan. Saat matanya sudah terbuka sepenuhnya, ia memperhatikan sekeliling. Tidak salah lagi, kini ia berada di ruangan rumah sakit. Terlebih infus terpasang di tangannya yang semakin mendukung keyakinannya.“Kina, kamu udah bangun.”Menoleh ke sumber suara, Sakina mendapati Fifi sedang duduk di sofa dan kini mendekat ke arahnya. Sakina tidak akan heran kalau Biru yang ada di sini karena ingatan terakhirnya yaitu sedang berbicara serius dengan Biru. Namun, bagaimana bisa Fifi yang berada di sini?“Kenapa kamu di sini?” tanya Sakina sambil berusaha duduk. Tentu saja Fifi secepatnya membantu.“Pertanyaan kamu ada-ada aja. Aku di sini karena kamu ada di sini, Kina.”“Kamu yang bawa aku ke sini? Thanks banget kalau gitu.”“Aku sama Biru,” jawab Fifi.Sakina mengernyit. “Kok bisa?”“Biru nelepon aku. Dia nggak tahu harus menghubungi siapa lagi selain aku.”“Kok dia tahu nomor kamu?”“Bukan itu yang penting, Kina. Sekarang piki
"Kina....""I-iya, Mas?" balas Sakina gugup.“Gimana keadaan kamu?” tanya Biru.Sakina tidak langsung menjawab, ia memperhatikan Biru yang sepertinya sudah bersikap seperti biasa seolah pembicaraan kemarin sekaligus penolakannya tidak pernah terjadi. Jujur, Sakina masih merasa canggung. Sangat.“Wah, malah ngelamun. Tapi kamu kelihatannya udah sehat, sih. Buktinya datang ke sini sendiri,” kata Biru lagi.“Itu tahu. Ngapain nanya?” balas Sakina dengan nada bercanda demi mengusir kecanggungan. Ya, mulanya Sakina pikir hubungannya dengan Biru akan sangat canggung, tapi melihat sikap dan ekspresi pria itu ternyata seperti biasa jelas membuatnya sangat lega.“Emang pria yang udah ditolak nggak berhak nanya, ya?”“Bu-bukan begitu, Mas.”“Tapi?”“Maaf, kita seharusnya nggak membahas ini, Mas. Terlebih di sini,” balas Sakina.“Sori, sori. Bercanda.”“Oh iya, kalau boleh tahu … apa Mas Biru tahu Aluna sakit apa?” tanya Sakina kemudian.“Tumor otak,” jawab Biru. “Erzha sama Sherly rapi banget m