Hatinya mendadak galau. Jauh sebelum momen saat itu, Mama – yang ternyata pernah memiliki pacar yang sesuku dengan Adri – pernah mengatakan bahwa ‘nekad’ memang adalah satu ciri pria dari sana. Saat mereka menyatakan cinta, mereka yang terbiasa pemalu, pendiam, introvert, bisa berbalik 180 derajat. Seperti kura-kura yang terkesan lambat tapi mendadak bisa bergerak sangat refleks ketika mengejar dan memangsa buruannya, pria suku ini pun seperti itu. Mereka itu tak ubahnya Kura-kura Ninja!
Alasannya sederhana: mereka melihat masa depan yang penuh tantangan dan sadar mereka tak bisa sendiri. Mereka butuh kekuatan dari pasangan pendamping untuk membantu menjalani kehidupan. Pemilihan pasangan pendamping yang tepat adalah keniscayaan. Itulah yang membuat mereka sangat nekad dan gigih sekalipun dalam batas tertentu terkesan tak masuk akal karena melanggar pakem sebagai orang yang seharusnya tidaklah seagresif itu.
Bermaksud mengalihkan rasa gu
“Halaaah.... bilang aja lu emang mau kissing gue. Dasar badung lu!” “Habisnya kamu ragu-ragu, ya udah deh. Aku kecup dirimu. Hehehe... Tapi kamu suka nggak?” “Idih, malah kecewa.” “Kecewa karena ternyata aku bisa lancang?” “Bukan itu.” “Terus? Kecewa karena apa?” “Kecewa karena .... gak puas.” “Haaaa? Gak puas?” “Koq kamu beraninya cuma sekilas sih. Lamaan dikit keq...” Dan kenekadan Adri pun naik berkali-kali lipat. Ia tidak peduli ucapan Dessy tadi hanya canda atau apa. Ia pun tak peduli bahwa gadis itu masih memiliki pacar di luar sana yang entah apa yang dilakukannya saat ini. Ia juga tak peduli dengan larangan orangtuanya. Yang jelas tak berapa lama ia kembali mengecup hangatnya mulut gadis itu yang sama sekali tak menyangka bahwa Adri akan kembali melancarkan ‘serangan balik’ berupa kecupan kedua. Sebuah ciuman hangat, penuh sensasi, membakar jiwa, membangkit gairah nan memabukkan. Yang membuatnya terlupa sekeliling sampai kemudian kecupan berakhir di mana langit jauh di
Dessy terlihat panik. Ia melihat ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar apa yang Arjun ucapkan. Ia meminta agar Arjun memelankan suara. Arjun malah bangkit dari bangku yang diduduki dan melangkah keluar. “Kalo gue hancur, lu juga hancur.” “Nggak apa-apa. Orang-orang udah banyak tau gue cowok badung, malas, badboy. So what? Nothing to loose kalo gue hancur. “ “Gue m-minta elo jangan n-nekad.” Nada suara Dessy bergetar menahan takut. “Oh malah elo tau sifat gue kan? Gue bisa nekad kalo gak ngedapetin apa yang gue mau. Tapi elo, orang ngenal elo sebagai cewek santun, berprestasi, anak manis. Begitu elo hancur, hancur juga masa depan elo. Ngerti? Jangan nangis! Gue udah muak liat elo bikin drakor seperti ini.” Tangis Dessy makin keras. Ia terpojok. Arjun benar. Ia telah tahu dan mendapat kelemahannya yang ia siap jadikan kartu truf untuk menjatuhkan dirinya. Dan Dessy tak kuasa untuk m
Beberapa siswa pria berteriak spontan atas aksi tak terduga tadi. Dua siswi terpekik. Tapi Adri ternyata sudah mengantisipasi kemungkinan itu. Ia lebih dari siap saat menyongsong serangan lawan. Tanpa melepas Paw Paw di tangan, kedua kaki dan tangannya sudah membentuk kuda-kuda sendiri. Jadi ketika Arjun melancarkan serangan ia menghindar ke samping. Posisi Arjun jadi rentan karena pijakan kaki belum sepenuhnya imbang dan bagian tubuh depannya pun ikut terbuka. Ini jadi mangsa empuk bagi Adri yang langsung melontarkan jurus kepalan tegak. Sebuah teknik bela diri silat dimana dengan kepal jari tangan ia melakukan gerakan memukul dengan tangan kanan tepat ke arah dada. Satu jurus. Dan selesai begitu saja. Semua orang di dalam kantin terpana melihat hasil akhir yang tidak seru karena pertarungan berlangsung hanya beberapa detik dan tiba-tiba saja ‘game over’. Mereka bagai tidak percaya melihat Arjun yang kini tergeletak di pojok ruangan dalam posisi terduduk. Ini
Tempat kos dimana Adri tinggal berada tidak jauh dengan sebuah SMP. Hari itu Adri dalam kondisi kurang sehat dan sudah mengajukan izin untuk tidak masuk. Kendati begitu sifat rajinnya membuat Adri tetap beraktifitas. Di teras ia sibuk menge-cat meja yang mulai kusam. Saat itu jam bubar sekolah dan rombongan demi rombongan siswa yang pulang sekolah melewati di depan Wisma Hijau. Adri tidak pernah banyak memperhatikan ketika rombongan berseram putih – biru tua berbondong-bondong pulang. Namun kali ini beda. Ketika sudah semakin sedikit yang lewat karena hari semakin siang, sekelompok siswa berhenti di depan rumah. Ia sempat melihat mereka sekilas saja dan meneruskan pekerjaan sampai kemudian telinganya mendengarkan ketika terdengar teriakan salah seorang di antara mereka. “Tinggalin aku!” Teriakan itu disusul sebuah suara gadis lain yang meniru ucapannya namun dengan intonasi dibuat-buat. “Thingghalin akyuuu. Hihihi....”
Ia melihati Adri. Tatap wajahnya yang tadi galak kini berubah memelas minta dikasihani. Tapi Adri juga sudah tiba di batas kesabaran. Ia mendekatkan wajah dan berbisik di telinganya. “Kamu berulah lagi, berikutnya nasib kamu akan seperti hape kamu. Paham?” Ia mengangguk. “Jangan sekali-kali membalas. Aku bisa lakukan lebih dari itu.” Itu jelas hanya semata-mata sebuah gertakan. Tapi sukses. Terbukti dari siswi pemimpin gang kini mengangguk-angguk cepat dengan jauh lebih meyakinkan. Sebuah gestur yang menunjukkan bahwa ia pasti akan mematuhi apa yang Adri mau. “Pergi kamu.” Siswi itu pergi. Setengah berlari tepatnya, yang kemudian diikuti rekan-rekan lainnya. Suasana kini sedikit sepi dimana hanya Adri dan siswi pertama yang ada. Tak ada percakapan di antara mereka. Gadis itu masih terlihat shocked dan tidak mengucap terima kasih atau apa pun. Sedikit berbeda dengan kebanyakan sekolah, Adri sempat melihat namanya di seragam yang dikenakan. Dewi. Adri tak mau menggunakan kesempata
“Hubungan lu dengan Ilham gimana?” Pertanyaan itu diajukan Dessy ketika mendapat kesempatan berbicara empat mata di satu sudut sekolah. Dan Fitri sepertinya tahu arah tujuan pertanyaan itu. “Kenapa ditanyain? Hubungan kami baik-baik aja atau nggak baik-baik aja apakah itu ada pengaruhnya sama elo, Des?” Dessy terdiam. “Ini ada kaitannya dengan pertemuan kita di mall dua hari lalu?” Fitri bertanya dengan tatapan tajam. “Waktu nonton Adri manggung di foodcourt mal, gitu?” “Kalo dibilang ada kaitannya, ya.” Fitri mengangguk-angguk. Ia lalu menyangkutkan rambut ke belakang telinga. “Gue udah nggak mood lagi sama Ilham.” “Putus?” “Putus sih nggak. Cuma vakum aja dulu. Break sampe sekian minggu ke depan.” “Terus, apa itu yang jadi alasan elo deketin Adri?” “Deketin Adri, iya. Dengan liat dia tampil di panggung, gue nilai tuh anak jadi s
“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”“Sok tau lu.”“Vokal kamu bagus. Dan akan lebih bagus lagi kalau…”“Kalau apa?”“Kalau nyanda menyanyi. Atau.... menyanyi bareng aku. Hehehe…”Melihat Dessy menanggapi dengan diam, ia menyambung lagi. “Jadi kapan kita nyanyi bareng?”Dessy menoleh kesana-kemari seperti hendak mencari sesuatu. “Untung di sekitar sini gak ada benda keras.”“For apa?”“Buat apa? Ya buat nyambit elo lah. Si bopung yang nggak ngehargai karya seni orang!”Adri terkikik dan sambil tangan bersedekap menyampaikan maaf dengan hormat. “Maaf. Tapi kamu dengar sendiri kan aku bertanya kapan nyanyi bareng. Itu artinya vokal kamu keren. Jadi,
Topik itu terasa tidak menarik dan Adri merasa perlu bertanya langsung pada gadis itu. “Ada apa nih kamu ke sini?” “Gue denger lu sakit.” “Hanya migrain. Sepertinya ini akibat perubahan cuaca.” “Karena gue denger elo migrain lah makanya gue dateng ke sini bawa obat buat lo. Sebetulnya ini adalah obat migrain ex tante gue. Dia beli dari Kanada, tapi dia udah nggak pake lagi. Daripada dibuang atau mubazir, gue pikir kasih ke elo aja. Apalagi kadaluarsanya tinggal seminggu lagi.” Adri memperhatikan beberapa pil dalam tube sangat kecil yang baru saja diletakkan gadis itu ke telapak tangannya. Bentuk kemasan yang elite membuatnya siap mengkonsumsi obat tadi. “Jadi ini buat aku?” “Iya.” “Makasiiiih.” “Cepat sembuh ya, Dri.” “OK, aku minum sehabis makan siang.” “Kalo gitu kenapa kita nggak makan siang samaan?” Adri tak menyangka dengan tawaran tak ter