“Tapi sebelum kamu pergi ada yang aku mau tanya.” cetus Dessy. “Ini soal dua ucapan kamu di kolam renang yang aku masih ingat jelas sampai sekarang.”
“Dua ucapan? Mmm... yang mana?”
Dessy lantas berkata hati-hati. Suaranya kini setengah berbisik. “Waktu kamu mengajarkan gerakkan kaki dan tangan di kolam, kamu bilang bahwa kamu sering melihat caraku berenang.”
“Iya, memang.”
“Selain itu kamu mengingatkan aku soal warming up. Kamu ternyata tahu bahwa aku sebetulnya belum melakukan itu sejak tiba di kolam renang.”
"Memang." Adri mengangguk membenarkan. “Lantas?”
“Apakah dua hal itu bukan berarti…” Dessy menatap tajam, “… kamu suka diam-diam memperhatikanku?”
Adri sama sekali tak menyangka dengan munculnya pertanyaan itu. Tergagap-gagap, ia sekuat tenaga mencoba member
Decit ban terdengar keras menggetar gendang telinga. Adri menoleh dan melihat sebuah mobil berhenti semeter di belakangnya. Dari kaca yang kemudian terbuka, ia menemui sesosok wajah teman sekelasnya. Fitri.“Ikut gue yuk? Mumpung hari ini gue bawa mobil sendiri.”“Apakah perjalanan kita searah?”“Nggak perlu searah apa nggak. Yang jelas gue nawarin nganter elo untuk pulang,” katanya sebelum kemudian menyambung dengan nada genit.“Elo mau ke diskotik juga gue anterin.”Adri menolak halus. “Biar kita pulang sendiri. Sudah jo.”“Sudah aja? Tapi elo gak liat langit? Sebentar lagi hujan.”Ucapan Fitri benar. Awan tebal dan kehitaman sudah lama menggayuti langit Jakarta. Dan rintik tipis hujan sudah sejak tadi turun membasahi jalan. Dengan sedikit sungkan Adri membuka pintu mobil dan kemudian duduk di sisi Fitri.Ketika
Nathan hari ini tidak ikut aktifitas olahraga di lapangan. Kondisi pilek membuatnya mendekam di kelas dan sesekali ia harus membuang ingus dengan saputangan yang ia miliki. Kondisi yang parah membuat ia berulang-ulang harus memakai benda itu. Dari mulanya berada di kantung celana, tak lama kemudian sapu tangan ia geletakkan begitu saja di meja. Sebuah kecerobohan dilakukan Arjun saat masuk ke dalam kelas bersama dengan siswa-siswa lain. Ia yang masih dalam keadaan berkeringat main ambil saja sapu tangan milik Nathan yang memang adalah rekan sebangkunya. Dan ketika itu digunakan untuk menyeka wajah, bayangkan saja kehebohan yang terjadi. Peristiwa ini terasa lucu bagi mereka yang melihatnya. Bahkan sepertinya tidak ada siswa yang tergelak menyaksikan atau setidaknya mendengar peristiwa itu. Namun bagi Arjun ini peristiwa yang sangat memalukan. Dan entah kenapa ketika ia melihat bahwa Adri juga ikut tertawa, kemarahannya meledak dan ditujukan hanya pada Adri. Kebenciannya pada Adri pu
Dessy sekarang duduk di bangku panjang yang sama di samping Adri. Namun karena merasa jarak keduanya menjadi sangat dekat, Adri yang merasa jengah lantas menggeser tubuhnya untuk sedikit menjauhi."Dri, elo udah nolong di kolam renang. Apa salahnya kami balas kebaikan elo.""Maksudmu?" Adri kembali memainkan gitar."Gue kepengen banget ngebales budi. Beliin elo ponsel baru atau yang lain. Tadi gue denger elo pengen banget gitar ini. Kalo elo mau gue rela ngasih Epiphani Hummingbird untuk elo."Alis Adri terangkat."Bukannya gitar ini milik Arjun?""Minggu lalu dia kasih ke gue."Adri meng-ooo tanpa bersuara. Bermaksud menampik tawaran Dessy, ia secara cerdik mengganti topik pembicaraan. "Enak ya punya pacar orang kaya."Komentar itu membuat Dessy tergelak. Adri yang ikut-ikutan, mulai tertawa beberapa detik kemudian."O ya, jadi bagaimana kah?"Dessy yang mengerti maksud kalimat yang se
“Kalo pun iya, emang kenapa? Apakah bisa orang yang mau ditolong nggak disentuh secara fisik? Apakah bisa dokter nolong pasien tanpa nyentuh?” “Gue ngerti maksud lo. Tapi tetap aja dia jangan sentuh-sentuh gitu dong.” “Sentuh gimana?’ “Nyentuh buah dada.” “Siapa yang bilang gitu? Panggil dia, biar kita kroscek bareng.” “Pokoknya ada deh.” “Kalo nggak tau beritanya jangan ngada-ngada. Itu hoax namanya.” Sadar dirinya terpojok, Arjun menyerang dari sisi lain. “Koq elo jadi nyolot? Dan lihat sikap lu sekarang. Elo makin sering ketawa-ketiwi sama dia.” “Menurut elo dia itu kuman yang harus dijauhin?” “Kalo perlu.” “Elo jealous?" "Amit-amit." "Elo marah?” “Jelas dong, gue marah ke dia. Mangkanya gue sama tim gue, kreatif banget.” “Maksudnya kreatif?” “Terus-terusan bikin ulah yang bikin dia sengsara lah,” Arjun menyeringai. “Ngilan
“Mamah Tanti!” panggilnya dengan bertepuk-tepuk tangan, “Dessy ikut pulang pake mobil anter jemput!”Arjun masih berusaha menahan gadis itu. Tapi Dessy yang sudah terlanjur sebal mengabaikannya. Ia tetap mengambil keputusan untuk masuk ke dalam mobil jemputan.*Penolakan Dessy untuk tawaran antar, jemput, menonton, atau apapun dengan kendaraannya sendiri membuat kemarahan Arjun naik ke ubun-ubun. Sudah berkali-kali Dessy seperti enggan menemuinya. Mengobrol di sekolah makin jarang, menerima panggilan telpon pun sepertinya ia malas. Ia langsung menduga bahwa ini ada kaitannya dengan Adri. Kisah heroik yang Adri lakukan saat menolong Dessy, dan perangainya yang makin nyaman diajak bergaul benar-benar menjadi tak ubahnya sebuah kombinasi pukulan jab dan upper-cut yang menohok langsung ke ulu hati dan membuat Arjun terjengkang tak berdaya hingga Knock Out.
Adri? Alis Dessy naik satu sentimeter. Saat masih menimbang-nimbang, tiba-tiba saja ibunya di ujung sana sudah mengaktifkan pengeras suara. Sayup-sayup terdengar suara orang berlalu-lalang. Namun ponsel kualitas prima yang digunakan membuat Dessy bisa mendengar sangat jelas ketika Adri mulai berbicara. “Halo Dessy. Selamat malam. Pada saat pesan ini sampai ke kamu. Aku hanya berharap semoga keadaanmu baik-baik dan sehat-sehat tak kurang suatu apap...” “Ahhhh intronya kebanyakan,” tanya Dessy heran. "Eh katro' elo ngapain di sono?" "Kita dengar di sini adalah sentra ponsel terbesar pun. Karena kebetulan lewat, kita menyempatin kemari." Tak sadar, Dessy memijit kening demi mendengar kosakata amburadul khas temannya itu. "Syukurlah kalo elo sudah kembali ke jalan yang benar. Alhamdullillah elo akhirnya ngerti juga kalo ponsel elo emang udah saatnya harus di-uleg sampe halus. Tinggal tambah cabe, garam, sama kemiri, jadi deh
Dessy yakin bahwa setelah apa yang Adri lakukan, ibunya pasti sangat bersedia untuk memberikan ponsel baru sebagai gantinya. Berapa pun harganya. “Gimana kalau dibelikan saj…” ucapan Ibu Dessy itu terhenti ketika sadar bahwa ucapan demikian bisa menyinggung perasaan Adri. “Ponsel lama ini mau kujual. Kalian tahukah berapa kira-kira harganya?” Dessy mendengar suara Mamanya terkekeh di ujung sana. “Ya ampun. Ponsel kamu tuh kalo dijual pun nggak bakal laku, Nak. Ponsel Cina, bodinya baret-baret, mereknya udah nggak pernah kedengeran lagi, tulisan di tombol banyak tak terbaca, casing pecah dan disambung lakban. Dengan kondisinya udah kaya’ gitu, pemulung pun ogah. Serius!” Di lokasi kejadian Adri terdiam. Menatap dengan kosong dan haru pada sang ponsel yang selama ini setia menemaninya ke mana-mana. Ponsel pertama yang dimiliki sejak tiga tahun lalu ketika dibarter dengan lima ekor paniki alias kelelawar tangkapannya di hutan deka
“Yang itu saja?” ulang si penjual. "Itu ponsel 2G lho. Yakin mau yang itu?" Sementara Ibu Dessy terlihat heran, si pemilik toko langsung lemas melihat ponsel yang diminati Adri adalah salah satu ponsel paling murah yang ia jual. “Kita hanya butuh ponsel untuk bisa telpon dan SMS saja. Nyanda perlu fitur lain seperti medsos, kamera, MP3 player." “Ponsel 2G begitu sih ketinggalan jaman,” pemilik toko berdalih. “Sebentar lagi nggak diproduksi ulang sama pabriknya. Susah lho cari komponennya. Sekarang jamannya ponsel 3G.” Si penjual toko boleh saja gigih membujuk agar ponsel yang dibeli adalah yang paling prima. Begitu pun Ibu Dessy, tapi Adri tetap dengan keputusannya. Dan Dessy di ujung telpon sana, di rumahnya, tahu persis alasan mengapa Adri begitu ngotot hanya mau dibelikan ponsel dengan fitur sesederhana itu. Dessy sudah cukup mengenal anak itu. Adri khawatir dengan derasnya informasi via