Agatha menatap ponselnya yang kini terasa begitu berat di tangannya. Suara kenalannya masih bergema di telinganya, namun kata-katanya tak kunjung reda. Tubuh Agatha bergetar sedikit, menyadari betapa dalamnya situasi yang ia hadapi. Semua yang telah ia alami—semua yang ia anggap normal—sekarang terasa seperti bayangan yang menggantung. Apakah semuanya benar-benar nyata? Atau, apakah dia hanya bagian dari permainan yang jauh lebih besar dari yang ia duga?Dengan tangan yang gemetar, Agatha menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Tapi keheningan di rumah itu begitu mencekam, seakan-akan suara di sekitar menghilang begitu saja. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam dunia yang tak bisa ia pahami, dan semakin banyak yang harus ia pertanyakan.Kaki Agatha melangkah tanpa sadar menuju ruang tamu, matanya kosong menatap dinding yang sudah terlalu familiar. Di luar, suara kendaraan berlalu-lalang, dunia di luar sana seolah terus bergerak, sementara dirinya terhenti dalam kekacauan pikiran
Agatha menarik dirinya menjauh, menatap Rohander dengan campuran kebingungan dan ketakutan. “Aku sudah cukup menderita. Apa lagi yang harus aku tanggung?”Rohander menghela napas panjang, langkahnya semakin mendekat. “Aku hanya ingin melindungimu, Agatha. Semua yang aku lakukan, semua yang aku beri, itu semua untuk kebaikanmu.”Agatha merasakan dinding yang dibangunnya kembali runtuh, perasaan ragu dan kebingungan merasuki pikirannya. “Kebaikanmu?” suaranya tergetar, “Apa yang terjadi pada kebaikanmu saat kamu menghancurkan pikiranku, merusak ingatanku, dan membuatku meragukan diriku sendiri?”Rohander berhenti, matanya kini penuh dengan penyesalan yang sulit dipahami. “Aku tidak pernah bermaksud seperti ini. Aku hanya… takut kehilanganmu.”Agatha merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, namun ia berusaha menahan air matanya. “Kamu takut kehilangan aku? Tapi kamu malah membuatku merasa seperti aku bukan diriku lagi. Aku merasa terkunci dalam kebohongan yang kamu buat, Rohander.”Roh
Agatha melangkah keluar dengan cepat, melintasi koridor panjang mansion yang terasa begitu sepi. Setiap langkahnya bergema di udara yang sunyi, seakan dunia hanya miliknya dan tidak ada siapa pun yang peduli. Namun, ada perasaan yang menggerogoti dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit untuk diabaikan.Langkah kaki Rohander terdengar jauh di belakangnya, tetapi Agatha tak berniat untuk menoleh. Dia tahu dia sudah membuat keputusan yang berat, dan meskipun hatinya meronta, ia tak bisa kembali. Sudah terlalu banyak yang terjadi. Terlalu banyak kebohongan yang tertanam dalam setiap kata Rohander.Dengan langkah yang semakin cepat, Agatha mendekati pintu besar yang menandakan keluar dari mansion itu. Namun, sebelum ia mencapai pintu, sebuah tangan tiba-tiba menyentuh lengannya."Agatha," suara Rohander terdengar begitu lembut, berbeda dari biasanya. Namun ada kekuatan yang tak bisa disembunyikan di dalamnya, kekuatan yang menuntut perhatian.Agatha terhenti sejenak, merasa seolah duni
Agatha terus berjalan tanpa menoleh ke belakang, meskipun hatinya penuh dengan kebingungan dan perasaan yang terombang-ambing. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah dunia di sekelilingnya mulai runtuh. Tapi kali ini, ia tahu harus bertahan. Tidak peduli betapa mengerikannya dunia yang telah diciptakan Rohander untuknya, ia tahu bahwa ia tidak bisa kembali lagi.Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara berat memanggilnya dengan nama. Suara itu mengalir seperti aliran darah yang dingin, membuat bulu kuduknya meremang."Agatha," kata Rohander, dan kali ini ada penekanan yang lebih dalam dalam suaranya. "Jangan pergi."Agatha merasa napasnya tercekat, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa kalutnya hatinya. Ia tidak ingin berbalik, tidak ingin terjerat dalam kata-kata manis yang sekarang terasa semakin menyesakkan. Tapi sesuatu dalam dirinya, entah kenapa, membuatnya melangkah perlahan kembali.Di depan pintu besar mansion yang seharusnya terasa begitu asing b
Agatha melangkah pelan di jalan setapak desa, menghirup udara segar yang jauh berbeda dari kota besar yang pernah ia tinggalkan. Suara angin yang berdesir di antara pepohonan dan kicauan burung memberikan rasa damai yang baru, meskipun hatinya masih diliputi rasa cemas.Pagi itu, setelah bekerja di kedai kopi milik Ibu Wati, Agatha duduk di kursi kayu di teras kecil kedai sambil menyeruput teh hangat. Pemandangan desa yang tenang memanjakan matanya, tapi hatinya tetap berdebar. Meski ia mencoba menenangkan dirinya, bayangan Rohander selalu menghantui pikirannya.Ibu Wati yang sedang menyapu halaman melihatnya dari jauh dan menghampiri."Ibu Wati," Agatha menyapa dengan senyum tipis, meskipun mata Ibu Wati bisa menangkap kekhawatiran di wajah Agatha."Ada apa, Nak? Sepertinya kau sedang jauh berpikir," tanya Ibu Wati dengan lembut.Agatha menatap secangkir teh di tangannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya... merasa sedikit takut," jawabnya pelan.Ibu Wati duduk di sam
Agatha duduk di sudut kamar, tubuhnya menggigil meski udara di sekitar terasa hangat. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Pikiran-pikirannya berlarian, menghantamnya tanpa ampun. Begitu banyak pertanyaan tanpa jawaban, begitu banyak perasaan yang tercampur aduk—rasa takut, marah, dan kebingungan yang mencekam dirinya.Dengan tangan yang gemetar, Agatha memeluk tubuhnya erat, mencoba mengusir rasa dingin yang mencekam dalam hatinya. "Kenapa, Rohander? Kenapa kamu harus membuat semuanya seperti ini?" suara Agatha teredam oleh isaknya yang semakin dalam. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah lelah... begitu lelah..." Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mencoba menahan isakan yang hampir meledak.Di luar kamar, di balik pintu yang tertutup, Rohander berdiri, menunduk dengan tangan terlipat di depan dada. Dia hanya bisa mendengar tangis Agatha yang tak terhentikan, dan hatinya hancur mendengarnya. Sungguh, dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti Agatha. Namu
Rohander duduk di sisi ranjang, memandangi Agatha yang kembali tertidur, tubuhnya terbungkus selimut tebal. Beberapa helai rambutnya yang basah tergerai di dahinya, dan ia dengan lembut menyisirnya ke belakang telinga. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang campur aduk—penyesalan, kebingungan, dan harapan yang hampir pudar.Pandangannya teralihkan ke tangan Agatha yang terletak di samping tubuhnya. Beberapa jari tangan Agatha masih memegang erat selimut, namun ada getaran kecil yang membuat hati Rohander terenyuh. Setiap detik yang berlalu, ia semakin menyadari bahwa ia telah menghancurkan semuanya. Semua kebahagiaan yang mereka punya, semua rasa percaya yang pernah ada, kini menghilang begitu saja.Rohander menatap telapak tangannya, masih merasakan bekas luka yang diberikan oleh perbuatannya sendiri. "Aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaikinya," gumamnya pelan, berbicara pada dirinya sendiri. "Aku tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan segalanya seperti semula."Namun, dala
Keesokan harinya, Agatha kembali ke tempat yang sudah lama ia tinggalkan, meskipun hatinya penuh dengan kebingungan dan keraguan. Ia ingin sekali melupakan segalanya, bersembunyi dari perasaan yang begitu mencekam, tetapi ada bagian dalam dirinya yang tidak bisa mengabaikan apa yang telah terjadi.Saat pintu rumah terbuka, Agatha langsung merasakan adanya ketegangan di udara. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, seperti ada sesuatu yang salah. Ia berjalan pelan, matanya menyapu ruangan, dan tak lama kemudian, pandangannya terhenti pada sosok yang tengah duduk di sudut ruangan. Rohander.Pria itu terlihat sangat lelah, wajahnya pucat, dengan mata yang merah seolah tak tidur semalam. Tangannya terulur di atas meja, sesekali menggenggam gelas berisi air, tetapi ia tampak begitu lemah, seperti seseorang yang kehilangan semangat hidup."Rohander?" Agatha memanggilnya dengan hati-hati, merasa ada sesuatu yang sangat salah. "Kamu... kenapa tampak seperti ini?"Rohander menoleh
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu