Agatha berdiri mematung di tengah ruangan, tubuhnya terasa berat oleh beban emosional yang baru saja ia hadapi. Langit di luar mulai memerah, menandakan senja yang datang. Namun, di dalam hatinya, semua terasa suram. Ia melangkah menuju jendela, menatap keluar ke arah horizon yang perlahan tenggelam dalam kegelapan.Tidak ada jalan keluar yang mudah.Itu adalah pemikiran yang terus bergema di dalam benaknya. Ia tahu bahwa setiap langkah ke depan akan melibatkan pengorbanan—dan mungkin juga rasa sakit yang lebih besar. Tapi kali ini, ia sudah bertekad. Tidak ada lagi kompromi.Langkah kaki di luar pintu membuyarkan lamunannya. Suara pelan namun jelas terdengar, seseorang berbicara dengan nada rendah dan tegas. Ia mengenali suara itu: salah satu orang kepercayaan Rohander. Nalurinya langsung mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah.Agatha mendekatkan telinganya ke pintu.“...kau yakin dia masih di bawah kendali?” suara itu bertanya, nadanya terkesan gugup.“Kau tahu bagaimana Rohander
Agatha mengamati pria itu dengan tatapan tajam. Ia tidak suka perintah mendadak, apalagi dari seseorang yang bukan Rohander. Namun, ia tahu ini bukan saatnya untuk membuat keributan. Ia butuh waktu untuk memahami permainan yang sedang dimainkan di sini.“Berikan aku waktu untuk bersiap,” katanya dingin.Pria itu menundukkan kepala sedikit, senyum kecil di wajahnya. “Tentu saja, Nona. Kami akan menunggu di luar.”Setelah pria itu pergi, Agatha berjalan mondar-mandir di kamarnya. Perjalanan? Ke mana? Dan kenapa sekarang? Perasaan tidak nyaman menyelimuti dirinya. Ia tahu Rohander tidak pernah melakukan sesuatu tanpa rencana matang. Jika ini adalah langkah berikutnya, maka ia harus bersiap menghadapi sesuatu yang mungkin lebih besar dari dirinya.Sore hari menjelang, sebuah mobil hitam besar sudah menunggu di depan mansion. Agatha berjalan keluar dengan ekspresi tenang, meskipun di dalam hatinya ada badai yang mengamuk. Rohander sudah duduk di dalam mobil, menunggunya. Saat melihatnya
Saat pintu menutup di belakang Rohander, suara langkah kakinya yang tegas menghilang, meninggalkan Agatha dalam keheningan yang mengerikan. Ia berdiri diam beberapa saat, menatap tangki kaca di depannya. Bayangan siluet manusia di dalamnya masih samar, tetapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.Agatha menghela napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya. Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dengan tekad yang terbangun, ia mulai menyusun rencana. Tapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara langkah lembut menarik perhatiannya.Seorang pelayan wanita muncul dari sisi ruangan, wajahnya penuh kehati-hatian. Ia membawa nampan berisi teh dan beberapa camilan, tetapi ada sesuatu tentang sorot matanya yang membuat Agatha curiga.“Nona,” pelayan itu memanggil dengan suara kecil, meletakkan nampan di meja terdekat. “Apakah Anda membutuhkan sesuatu?”Agatha menatapnya tajam. “Aku membutuhkan kebebasan. Tapi aku yakin itu bukan sesuatu yang bisa kau berikan.”Pelayan it
Rohander berdiri diam di hadapan Agatha, matanya tak lepas dari wajah wanita itu. Sorot matanya dingin, tapi ada sesuatu yang bergejolak di sana—campuran obsesi, amarah, dan kepemilikan. Agatha yang duduk di tepi tempat tidur tampak seperti burung kecil yang baru saja kehilangan sayapnya, namun ia tidak menunjukkan ketakutan.“Agatha,” Rohander memanggil namanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. “Kau tahu betapa pentingnya dirimu bagiku, bukan?”Agatha mendongak, menatapnya dengan mata penuh kebencian yang sengaja ia perlihatkan. “Penting?” ia tertawa sinis, nadanya penuh ejekan. “Kau tidak peduli padaku, Rohander. Yang kau pedulikan hanya kontrol. Kau hanya ingin memastikan aku tidak pergi karena itu akan melukai egomu.”Rohander mendekat, menghapus jarak di antara mereka hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Tangannya mengangkat dagu Agatha, memaksa wanita itu untuk tetap menatap matanya. “Kau salah. Aku peduli padamu lebih dari apa pun. Tapi aku tidak akan membiarkanmu
Pelukan Rohander menguat, sementara napasnya yang hangat menyapu puncak kepala Agatha. Ia membungkuk sedikit, suara beratnya berbisik di dekat telinga Agatha.“Kau boleh membenciku,” katanya pelan, hampir seperti sebuah janji. “Tapi aku tidak akan pernah melepaskanmu.”Agatha tidak merespons. Tubuhnya kaku, matanya menatap lurus ke arah jendela besar di belakang Rohander, seolah mencoba melarikan diri lewat pandangannya. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu, kuat dan stabil, tapi terlalu dekat. Terlalu mengekang.“Apa ini hidup yang kau inginkan, Rohander?” akhirnya Agatha berbicara, suaranya rendah, hampir berbisik. “Memaksa seseorang mencintaimu? Memeluk boneka yang bahkan tidak ingin ada di sini?”Rohander menarik diri sedikit, cukup untuk menatap mata Agatha. Tatapan itu dalam, gelap, dan sarat emosi yang sulit diterjemahkan. Bibirnya menipis sebelum ia menjawab, nadanya tegas namun ada lapisan lembut yang nyaris tak terdengar.“Tidak, Agatha,” katanya. “Aku tidak memaksamu me
Pagi berikutnya, Agatha menyibukkan dirinya dengan rutinitas yang tampak biasa. Dia sarapan di ruang makan yang megah, seperti wanita yang sepenuhnya menyerah pada nasibnya. Pelayan-pelayan mansion melayani dengan hati-hati, menghindari kontak mata. Agatha bisa merasakan ketegangan mereka, seolah-olah keberadaannya membawa tekanan yang tak terlihat.Rohander muncul tepat ketika Agatha menyelesaikan sarapannya. Dia mengenakan setelan gelap, langkahnya tegas namun terkesan santai. Seperti biasa, tatapannya langsung terfokus pada Agatha, penuh intensitas."Kau bangun lebih pagi hari ini," katanya sambil menduduki kursi di seberang meja.Agatha hanya mengangkat bahu, menyibukkan dirinya dengan secangkir teh. "Sulit tidur di tempat seperti ini," jawabnya, suaranya datar.Rohander menyeringai tipis, seperti biasa tidak terganggu oleh sikap Agatha yang dingin. "Mungkin aku harus menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, agar kau merasa lebih nyaman."Agatha menatapnya sejenak, lalu kembali
Malam itu terasa panjang bagi Agatha. Saat segala sesuatunya hening, pikirannya dipenuhi berbagai rencana, meski tak satu pun yang terasa benar-benar bisa ia jalankan. Dia tahu Rohander adalah pria yang tidak akan berhenti mengendalikan, dan semakin dia melawan, semakin kuat genggaman pria itu. Tapi ada satu hal yang Agatha yakini—dia tidak bisa menyerah.Pagi harinya, Agatha bangun dengan perasaan ganjil. Rohander sudah pergi lebih awal untuk urusan bisnis, meninggalkan catatan singkat di meja samping tempat tidur."Aku akan pulang malam ini. Jangan coba melakukan hal yang tidak perlu."Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Agatha mendecak kesal. Seolah aku anak kecil yang diawasi. Dia meremas kertas itu dan melemparkannya ke tempat sampah, kemudian berjalan menuju kamar mandi.Saat dia selesai berpakaian, suara langkah kaki di luar kamar menarik perhatiannya. Seorang pelayan mengetuk pintu, membawa nampan sarapan dan mempersilakan Agatha untuk makan di ruang makan.Namun, begi
Agatha melepaskan lengan yang ditahan Rohander dengan lembut tapi tegas, senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum yang nyaris seperti perisai. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Rohander. Kau tidak perlu khawatir."Dia menatap pria itu dengan ketenangan yang menipu, meskipun jantungnya berdentum liar di dada. Dia tahu Rohander adalah pria yang pandai membaca gerak-geriknya, dan Agatha tidak bisa menunjukkan celah sedikit pun.Rohander berdiri, mendekatinya, tubuhnya begitu dekat hingga Agatha bisa merasakan hawa panas dari kulit pria itu. "Kau benar-benar yakin tidak ada yang perlu kukhawatirkan?" tanyanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.Agatha menahan diri untuk tidak mundur. Sebaliknya, dia menatap langsung ke mata Rohander, mencoba menyembunyikan rasa takut dan frustrasinya di balik senyumnya. "Tentu saja."Rohander mengangkat alisnya, lalu akhirnya melangkah mundur. Tapi tatapannya masih mengawasi seperti predator yang menilai mangsanya. "Baiklah. Kalau begitu, istirahatl
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu