Nyonya Miranda mengangkat alisnya, tampak terkejut. Dengan suara bergetar seakan menahan rasa sakit, Nyonya Valerie melanjutkan ucapannya."Suri mempengaruhi Romeo untuk menjauh dari kami, Ma. Dia meminta Romeo memutuskan semua hubungan dengan saya dan Aira. Bahkan, Romeo tidak pernah datang lagi ke mansion."Wajah Nyonya Miranda mengeras. Ia menatap Nyonya Valerie dengan pandangan penuh penilaian. Sepertinya, wanita tua itu sedang menimbang-nimbang kebenaran ucapan sang menantu.“Kenapa kamu tidak mengundang Romeo dan istrinya kemari?”Nyonya Valerie kemudian memegang dadanya, seolah tidak sanggup menahan rasa malu dan sedih."Saya sudah mencoba, Ma, tapi mereka tidak mau datang. Romeo juga tidak memperbolehkan saya berkunjung ke kantornya.”Nyonya Miranda menggenggam tongkatnya lebih erat, tampak berpikir dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. "Padahal aku sangat rindu pada Romeo ...." gumamnya lirih. "Aku menyesal
Di dalam kamarnya yang beraroma vanila, Aira bersandar pada bantal empuk. Ponselnya menempel di telinga, suaranya lembut tetapi terdengar gelisah. Di ujung telepon, Ivan kembali merengek, suaranya penuh keluhan."Baby, kapan aku bisa beli apartemen ini? Kata pemiliknya, bulan depan apartemen ini tidak akan disewakan lagi, karena akan dijual." Suara Ivan terdengar merajuk, seolah menuntut jawaban yang bisa segera meredakan kegelisahannya.Aira menghela napas pelan. "Aku belum punya kesempatan bicara pada Kak Romeo. Lagi pula, nenekku baru saja kembali dari luar negeri dan sedang di mansion. Aku harus fokus padanya dulu."Sejenak, tidak ada suara dari Ivan. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali bersuara dengan nada penuh siasat. "Justru bagus kalau nenekmu ada di sana,” kata Ivan antusias. “Kamu bisa minta ke Beliau untuk menjual saham itu supaya kamu bisa membuka usaha butik. Nenekmu pasti lebih mudah dibujuk daripada Romeo yang sifatnya keras kepala."Aira terdiam, mempertimbangkan
Romeo membuka pintu rumah dengan tenang, sedangkan Suri berdiri di belakangnya. Pandangan Suri langsung tertuju pada mobil mewah berwarna perak yang terparkir di halaman. Siluet seseorang tampak samar dari balik kaca jendela. Hanya beberapa detik berselang, sopir segera turun dan berjalan ke sisi kiri mobil, sementara seorang wanita paruh baya, Bi Ranti, dengan cekatan membuka pintu di sisi kanan.Dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita dengan dagu terangkat dan tatapan yang penuh superioritas. Nyonya Valerie berdiri angkuh, menyapu pandangannya ke sekeliling halaman dengan ekspresi meremehkan. Bibirnya sedikit mencibir, seolah rumah ini adalah tempat yang tak layak dikunjungi. Suri, yang melihatnya, menahan napas. Ia sudah menduga ibu mertuanya tidak akan memberikan sambutan yang hangat. Namun, sebelum ada yang sempat berbicara, pintu mobil lainnya terbuka, dan sosok anggun muncul dari dalamnya.Nyonya Miranda melangkah turun dengan gerakan yang penuh wibawa. Rambutnya disanggul
Mobil berwarna silver melaju dengan tenang di sepanjang jalanan kota. Suri duduk di dalamnya, tepat di samping Nyonya Miranda, sementara Bi Ranti duduk di kursi depan bersama sopir. Sejak tadi, Suri hanya diam, meremas jemarinya yang terasa dingin dan kaku. Di dalam sana, hati Suri berdebar tak karuan. Napasnya terdengar lebih berat, seolah rongga dadanya menahan beban yang begitu besar. Sesekali, Suri melempar pandangan ke jendela, berharap kegugupan itu segera menghilang. Nyonya Miranda, yang sedari tadi mengamati Suri, akhirnya memecah keheningan. "Suri, makanan seperti apa yang kamu sukai?" tanyanya dengan suara lembut penuh wibawa.Suri tersentak kecil, lalu buru-buru menjawab, "Saya suka makanan berkuah, termasuk olahan ikan seperti sup ikan, steak ikan, atau ikan panggang." Ia berusaha tersenyum meski masih diliputi rasa cemas. "Biasanya, saya memasak sendiri agar lebih sehat."Nyonya Miranda mengangguk pelan. "Bagus, jika seorang wanita menyukai kegiatan memasak artinya ia
Selama beberapa saat, Suri menundukkan kepala, berusaha mencari jawaban yang tepat. Namun, sebelum ia sempat berkata apapun, tangan Nyonya Miranda terulur, menepuk lembut jemarinya. "Aku tidak bermaksud menyudutkanmu, Suri. Aku hanya ingin membantumu, apalagi kamu pernah mengidap tumor hidung."Suri mengangkat kepalanya, menatap wanita tua di hadapannya. Ada ketulusan di sana, meski disertai harapan besar yang masih terasa menekan."Saya..." Suri menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Saya memang pernah sakit, Nek, tapi itu tidak mempengaruhi rahim saya. Saya pernah menjalani tes kesuburan dan hasilnya baik.”Mendengar penuturan Suri, Nyonya Miranda menarik napas lega sambil menatap Suri penuh pertimbangan."Kalau begitu, aku akan menemanimu melakukan tes kesuburan kedua, sekaligus berkonsultasi mengenai program kehamilan dengan dokter obgyn terbaik di kota Velmora.”Suri tidak bisa menolak permintaan itu. Ia hanya bisa mengangguk pelan."Besok jam sepuluh pagi, datanglah
Diva duduk anggun di dalam salon langganannya, menikmati teh madu setelah perawatan wajah dan tubuh yang memanjakan. Kulitnya terasa lebih halus, rambutnya tertata sempurna, dan aroma melati dari ruangan spa masih menempel di tubuhnya. Namun, meskipun tubuhnya rileks, pikirannya berkecamuk. Sudah terlalu lama ia menunggu kabar dari Nyonya Valerie, dan rasa bosannya semakin menjadi-jadi. Dengan tidak sabar, ia meraih ponselnya, lalu mulai menelepon ibu kandung Romeo itu.Nada sambung berbunyi lama. Diva mendengus kesal, jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar. Setelah panggilan ketiga tidak diangkat, ia hampir saja mengumpat, tetapi pada panggilan keempat, suara Nyonya Valerie terdengar di ujung telepon.“Kenapa lama sekali mengangkat teleponku, Tante?” Diva mengubah suaranya menjadi lebih lembut.Di seberang sana, Nyonya Valerie mendesah pelan. “Maaf, Diva. Tante baru pulang dari rumah Suri dan Romeo.”Diva segera menegakkan punggungnya, rasa bosannya lenyap seketika. “Apakah Nyon
Tepat pukul sembilan pagi, Suri bersiap-siap di depan cermin. Ia sudah mengenakan gaun selutut berwarna hijau muda dan mengenakan cincin pernikahan di jari manisnya. Sementara, Romeo sibuk memasukkan beberapa dokumen ke dalam tas. Saat melihat kertas-kertas itu, Suri menyipitkan mata, lalu mendekati suaminya."Kamu membawa hasil tes kesuburan kita?" tanyanya pelan, sedikit heran.Romeo mengangguk, raut wajahnya tenang. "Iya, kita membutuhkan ini sebagai bukti agar Nenek dan Mama percaya. Aku tidak ingin mereka terus menyalahkanmu."Suri menggigit bibirnya, hatinya berdesir. "Tapi, aku tidak ingin kamu merasa rendah diri, Sayang."Romeo tersenyum kecil, lalu meraih tangan Suri, "Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku tidak akan merasa rendah diri lagi, Suri. Aku bertekad untuk selalu berjuang melawan kemustahilan."Air mata hampir menggenang di sudut mata Suri, tetapi ia menahannya. Ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, aku akan mendampingimu."Romeo tersenyum dan menarik Suri ke d
Kesunyian yang melingkupi ruangan itu membuat setiap detik terasa begitu panjang. Bak badai yang baru saja reda, tetapi meninggalkan jejak kehancuran yang tak kasatmata. Nyonya Miranda, Nyonya Valerie, dan Aira masih terdiam, seolah tersambar petir oleh kenyataan yang baru saja terungkap. Mata Nyonya Valerie memerah, dadanya naik turun seiring kedua bahunya yang terguncang pelan. Sedangkan Nyonya Miranda, wanita tua itu tampak pucat. Ia terbatuk sebentar, lalu menghela napas sepenuh dada.Romeo menatap mereka satu per satu, membiarkan mereka menyerap berita buruk yang selama ini ia pendam sendiri. Dengan suara bergetar, Nyonya Miranda akhirnya membuka suara.“Romeo, apakah kamu yakin hasil ini benar?” tanyanya lirih, menatap cucunya penuh harap.Romeo mengangguk tegas. “Sangat benar, Nek. Aku diperiksa di rumah sakit terpercaya oleh dokter Fani, seorang dokter obgyn yang sangat berpengalaman.”Mendengar penegasan dari Romeo, Nyonya Valerie terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tan
Di apartemennya, Diva baru saja menggeliat di tempat tidur. Kebiasaannya bangun siang membuatnya enggan beranjak. Akan tetapi, dering ponsel memaksanya untuk meraih perangkat itu dengan malas.Begitu melihat nama di layar, Diva segera menjawab dengan suara lembut.“Halo, Tante Valerie?""Diva, Tante ingin bertanya. Apakah kamu yang mengirimkan foto-foto Suri ke mansion? Kami baru saja menerima sebuah paket tak bernama berisi foto-foto itu."Rasa malas Diva hilang seketika, berganti dengan senyum lebar yang tersungging di wajahnya. "Iya, Tante. Aku menyewa orang untuk memata-matai Suri,” katanya penuh antusiasme. “Apakah Nyonya Miranda sudah melihatnya? Bagaimana reaksinya?”Ada jeda sejenak sebelum Nyonya Valerie menjawab. "Ya, Mama Miranda sudah melihat foto-foto itu. Tangannya gemetar, bahkan dia hampir pingsan.""Bagus! Itu artinya Beliau sangat marah. Lalu, apakah Suri akan dipanggil hari ini dan dipaksa untuk bercerai dari Kak Romeo?” tanya Diva tak sabar.Nyonya Valerie mendesah
Aira membuka amplop besar itu dengan rasa penasaran. Begitu matanya menangkap isi di dalamnya, tubuhnya langsung membeku. Deretan foto-foto yang terjatuh ke pangkuannya menampilkan sosok Suri bersama seorang pria yang terlihat mesra. Di dalam foto pertama, Suri dan pria itu tampak sedang makan siang bersama di sebuah kafe. Senyum mereka begitu akrab, seolah tidak ada jarak. Dalam foto lain, pria itu merangkul Suri, memegang tangannya bahkan memeluknya di halaman rumah tanpa rasa malu.Aira merasa napasnya tersendat. “Tidak mungkin… Suri?” bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menggenggam foto-foto itu. Selama ini, ia memang tidak menyukai Suri, tetapi ia tidak pernah menyangka sang kakak ipar akan melakukan perselingkuhan. Nyonya Miranda yang sejak tadi memperhatikan cucunya, melangkah perlahan. Ia mendekat sambil mencengkeram tongkatnya dengan erat. Garis wajahnya yang mulai menua memancarkan ketegasan.“Ada apa, Aira?”Aira tersen
Hati Suri terasa lebih ringan usai melihat kondisi sang tante, yang akhirnya bersedia menjalani pengobatan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, menghapus penat yang melekat setelah seharian bekerja. Selesai mandi, Suri mengenakan piyama berbahan katun lembut dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja, terdapat semangkuk sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, sepiring nasi putih, serta sari buah segar yang disiapkan pelayan. Suri duduk dan mulai menyantap makanan dengan tenangDi tengah suapan makan malamnya, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Suri mengambilnya dan melihat nama Raysa terpampang di layar. Ia segera menjawab panggilan itu dengan senyum."Halo, Raysa.""Suri, aku mau berbagi sesuatu!" suara Raysa terdengar penuh kebahagiaan di seberang sana.Suri menaruh sendoknya, penasaran dengan kabar yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Apa itu? Suaramu terdengar sangat bahagia."Raysa tertawa kecil sebel
Suri melangkah mengikuti Axel ke dalam kamar yang beraroma obat. Di atas ranjang berkanopi putih, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak pucat dan tirus.Lingkaran hitam di bawah matanya semakin menegaskan betapa sakitnya ia selama ini. Napasnya terdengar berat, dan tangannya yang dulu tampak berisi kini terlihat ringkih dan berurat.Suri terkejut melihat kondisi tantenya yang begitu rapuh. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Walau masih ada bekas luka atas apa yang terjadi di masa lalu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di depannya ini adalah keluarga.Axel mendekati ranjang terlebih dahulu, membangunkan sang ibu dengan suara lembut. "Mama, aku membawa Suri ke sini. Dia ingin menjenguk Mama."Mata wanita itu terbuka perlahan, tampak terkejut dan tidak percaya. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia mencoba bangun dari posisinya. Suri segera melangkah maju, tangannya menopang tubuh sang tante. "Jangan,
Tepat pukul dua belas, Suri melangkah masuk ke Kafe Eclesia, tempat yang telah ia sepakati dengan Axel. Aroma kopi yang khas bercampur dengan wangi roti panggang menyambutnya, memberikan suasana hangat di tengah kepenatan. Matanya segera menangkap sosok pria yang duduk di sendirian di meja nomor sebelas, menunggunya dengan wajah penuh harap. Axel segera berdiri begitu melihat Suri datang. Ia berjalan ke pintu masuk dengan senyum mengembang, lalu meraih tangan Suri dan menariknya ke dalam pelukan.Suri sempat terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tetapi ia tidak menolak. Ia menganggap pelukan itu sebagai ungkapan persaudaraan semata. Bagaimanapun, Axel adalah putra dari sang tante, walaupun hubungan mereka memiliki riwayat yang pelik. "Aku senang kamu datang," ujar Axel sambil melepas pelukannya. Ia kemudian menggandeng tangan Suri, membimbingnya menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.Suri duduk dengan sopan, menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Axel. Matanya menatap
Raysa baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu calon pembeli apartemen. Setelah merapikan berkas-berkasnya, ia menghela napas sejenak sebelum bersiap menemui klien berikutnya—seseorang yang berniat membeli unit penthouse eksklusif dengan luas lebih dari 250 meter persegi di pusat kota. Pertemuan mereka dijadwalkan berlangsung di sebuah kafe, yang terletak di dekat area pengembangan apartemen.Setibanya di kafe, Raysa memesan secangkir kopi latte dan duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Ia mengecek kembali dokumen properti sambil menunggu kliennya datang.Namun, alih-alih sosok asing yang muncul, Raysa justru mendapati seorang pria yang sangat dikenalnya.Kenzo.Matanya melebar, tubuhnya menegang. Kenzo berjalan santai mendekatinya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan pergelangan tangan kokohnya. Senyum khasnya yang penuh percaya diri membuat Raysa semakin kesal."Apa yang kamu lakukan di sini?" Raysa langsung berdiri dari kursinya,
Hampir tiga minggu berlalu sejak pengakuan Romeo tentang kondisinya di depan keluarga. Sejak itu, Nyonya Miranda semakin sering mengundang mereka ke mansion, sekadar untuk makan malam bersama atau berjalan-jalan menikmati udara segar. Sementara itu, Nyonya Valerie, meskipun masih bersikap sinis, tampaknya belum melakukan apapun yang mengusik kehidupan rumah tangga putranya.Hanya saja, saat ini Suri sedang merasa kesepian. Romeo harus pergi ke luar negeri selama lima hari untuk melakukan kesepakatan kerja sama proyek pembangunan mal. Hari ini baru memasuki hari kedua, tetapi Suri sudah merindukan suaminya dengan begitu dalam. Sepulang dari kantor, ia hanya duduk termenung di kamar, memeluk erat boneka beruang besar pemberian Romeo. Walaupun tubuhnya lelah usai seharian meninjau proyek kota mandiri, Suri sama sekali tidak mengantuk.Biasanya, di malam-malam seperti ini, Suri terlelap dalam pelukan suaminya, merasakan kehangatan dan perlindungannya. Namun kini, ranjang tempatnya berbar
Gedung galeri seni di pusat kota Velmora berdiri megah dengan arsitektur bernuansa klasik. Dinding-dindingnya tinggi, dihiasi karya-karya para pelukis ternama. Aroma cat minyak samar-samar bercampur dengan wangi bunga yang disusun dalam vas kristal. Para tamu yang berlalu-lalang, mengamati lukisan-lukisan yang dipajang dengan pencahayaan sempurna.Nyonya Miranda berjalan perlahan, matanya menyusuri tiap kanvas yang memajang berbagai mahakarya dari tiga pelukis tersohor. Romeo dan Suri setia mendampinginya, memperhatikan ekspresi nenek mereka yang sesekali mengangguk kagum. Ia berhenti di depan lukisan malaikat yang melayang di atas hamparan bunga lili putih, serta lukisan burung camar yang terbang bebas di langit jingga. Kemudian, matanya berpindah lagi ke lukisan laut bergelora, dengan mercusuar yang berdiri kokoh di tengah badai. Lukisan-lukisan itu bercerita tentang warna dan goresan, menyuguhkan potret emosional dan abstrak yang menggugah imajinasi."Sungguh luar biasa," gumam N
Kesunyian yang melingkupi ruangan itu membuat setiap detik terasa begitu panjang. Bak badai yang baru saja reda, tetapi meninggalkan jejak kehancuran yang tak kasatmata. Nyonya Miranda, Nyonya Valerie, dan Aira masih terdiam, seolah tersambar petir oleh kenyataan yang baru saja terungkap. Mata Nyonya Valerie memerah, dadanya naik turun seiring kedua bahunya yang terguncang pelan. Sedangkan Nyonya Miranda, wanita tua itu tampak pucat. Ia terbatuk sebentar, lalu menghela napas sepenuh dada.Romeo menatap mereka satu per satu, membiarkan mereka menyerap berita buruk yang selama ini ia pendam sendiri. Dengan suara bergetar, Nyonya Miranda akhirnya membuka suara.“Romeo, apakah kamu yakin hasil ini benar?” tanyanya lirih, menatap cucunya penuh harap.Romeo mengangguk tegas. “Sangat benar, Nek. Aku diperiksa di rumah sakit terpercaya oleh dokter Fani, seorang dokter obgyn yang sangat berpengalaman.”Mendengar penegasan dari Romeo, Nyonya Valerie terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tan