Gerimis kecil turun perlahan di kota Belvantis, membasahi jendela apartemen tempat Romeo berdiri. Ia baru saja menyelesaikan percakapannya dengan Yonas. Tangannya perlahan memasukkan ponsel ke saku celana, sementara tatapannya yang redup menembus jendela kaca, menatap sayu ke arah kota yang ramai. "Sayang, sedang apa kamu di sana?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar.Selepas keluar dari rumah sakit, Romeo lebih suka menyendiri di kamar hingga malam hari. Namun, keheningan di sekelilingnya memudar tatkala terdengar langkah kaki yang mendekat. Romeo berhenti sejenak, telinganya menangkap suara yang sudah ia kenali.Ia menarik napas panjang, menguatkan diri. Tangannya meraih tongkat yang bersandar di dinding dekatnya. Ia sudah cukup terbiasa dengan keadaan ini. Dengan satu ketukan tongkat di lantai marmer yang dingin, ia mulai melangkah perlahan. Posturnya tetap tegap, meskipun langkahnya masih terhitung hati-hati. Ia nampak tampan dalam kaos polo berwarna navy yang dipadukan dengan
Raysa menghela napas berat, matanya dipenuhi keprihatinan. “Suri... Romeo mencintaimu begitu dalam. Dia bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu. Aku tidak percaya Romeo akan semudah itu melepaskanmu.”Suri menundukkan wajah, menatap kedua bayi mungilnya yang masih tidur dengan damai.“Aku tidak mau memikirkan masalah itu dulu, Ray. Yang terpenting saat ini adalah merawat anak-anakku.”Raysa mengangguk pelan. Ia tahu, Suri butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang janggal mengenai kedatangan pengacara itu ke kantor Suri.“Benar, aku ikut bahagia melihatmu bisa melahirkan bayi yang tampan dan cantik,” ujar Raysa mengalihkan pembicaraan. “Apa kamu sudah punya nama untuk mereka?” tanyanya penuh antusias.Suri nampak berpikir sejenak sebelum menjawab. Memang sudah saatnya ia memberikan nama kepada bayi kembarnya yang sudah terlahir ke dunia.“Jevandro dan Jeandra, itulah nama mereka,” jawab Suri penuh keyakinan. “Jevandro artinya seoran
Tanpa menunggu reaksi dari Aira, Suri berjalan menuju mobil diiringi oleh Axel dan bodyguard yang membawakan koper berisi barang-barangnya. Begitu duduk di dalam mobil, Suri melihat kedua bayinya yang tenang dalam gendongan Raysa. Ada sedikit kesedihan, tetapi lebih dari itu, ada kelegaan. Ia tahu, ini adalah awal yang baru. Rumah tempat ia pernah tinggal bersama Romeo, kini akan menjadi tempat ia membangun kehidupan bersama Jevandro dan Jeandra. Axel kemudian menginjak pedal gas, membawa mereka menjauh dari mansion.Setelah beberapa saat dalam keheningan, Suri mengulurkan tangannya. “Raysa, aku ingin menggendong anak-anakku.”Tanpa bertanya lebih lanjut, Raysa menyerahkan kedua bayi mungil itu ke tangan ibunya. Suri kini menggenggam erat bayinya di tangan kiri dan kanan. Matanya menatap penuh cinta pada wajah polos mereka. Merekalah satu-satunya alasan ia tetap kuat. Satu-satunya alasan ia memilih untuk melangkah maju.Mobil terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rum
Suri membeku di tempatnya. Matanya membelalak tak percaya. "Apa? Menyamar?""Ya, hanya dengan cara ini Anda bisa bertemu dengan Tuan Romeo, Nyonya," kata Yonas. "Emosi Tuan Romeo belum stabil, saya khawatir dia akan menolak jika mengetahui itu adalah Anda. Tapi, saya rasa hanya Anda yang bisa membuat Tuan Romeo kembali seperti dulu."Suri menggigit bibirnya. Hatinya bergejolak. Di satu sisi, ia ingin menemui Romeo, ingin melihat sendiri bagaimana kondisi suaminya itu. Namun di sisi lain, ia merasa ragu apakah berada di samping Romeo dengan berpura-pura menjadi orang lain adalah pilihan yang tepat. "Tolong pikirkan baik-baik, Nyonya Suri," kata Yonas dengan suara pelan. "Saya akan menunggu jawaban Anda dalam tiga hari ke depan. Saya melakukan ini demi kebaikan Anda dan Tuan Romeo."Mendengar perkataan Yonas, Suri menggenggam ponsel erat-erat, seolah mencari kekuatan dari benda kecil itu. Sungguh, ia belum bisa mengambil keputusan untuk saat ini. "Baiklah, Yonas," ucap Suri masih terde
Pagi itu, suara ketukan lembut di pintu rumah Suri terdengar, disusul dengan suara Raysa yang ceria."Suri, aku datang!"Dari dalam, Suri segera beranjak dengan langkah ringan, mendekati pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, Raysa berdiri di sana dengan senyum lebar, membawa sekotak makanan yang tampak masih hangat.Di samping Raysa, Kenzo berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Mata lelaki itu melirik lembut ke arah bayi kembar Suri yang tengah tertidur di ayunan."Kami membawakan makanan bergizi untukmu, supaya cepat pulih dan tetap kuat menyusui si kembar," kata Raysa sembari masuk ke rumah, meletakkan makanan di meja makan. "Ada sup ayam kampung, telur rebus, ikan salmon panggang, serta jus kurma dan susu almond. Semuanya baik untuk ibu menyusui."Kenzo mendekat ke ayunan bayi dan menatap mereka dengan kagum."Mereka mirip dengan Romeo. Jika Romeo tahu, pasti dia akan sangat bahagia," tutur Kenzo pelan, ada nada haru di suaranya.Ucapan itu membuat hati Suri berden
Suri dan Raysa melangkah memasuki sebuah optik ternama di pusat perbelanjaan. Deretan bingkai kacamata dalam berbagai bentuk, warna, dan desain terpajang rapi di etalase kaca. Suri mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan kacamata yang tidak hanya nyaman, tetapi juga cukup efektif untuk mengubah penampilan.Seorang pramuniaga yang ramah segera menyambut mereka dan menawarkan bantuan."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"Suri tersenyum tipis. "Saya sedang mencari kacamata dengan bingkai yang ringan dan tidak terlalu mencolok, tapi tetap terlihat profesional."Pegawai itu mengangguk dan mulai menunjukkan beberapa pilihan. Suri mencoba satu per satu, dari yang berbentuk bulat hingga kotak. Ada yang terlalu besar, ada yang terlalu kecil, ada pula yang membuat wajahnya tampak lebih tajam.Setelah mencoba beberapa pilihan, Suri melihat sebuah kacamata dengan bingkai hitam tipis berbentuk oval. Suri pun mencobanya, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.Seketika, wajahnya tampak
Suri menyerahkan kedua bayinya kepada pengasuh, kemudian menatap dokumen yang kini berada dalam genggamannya. Di sana, tertulis nama baru yang harus ia perankan untuk sementara waktu: Altea.Ia membaca dengan saksama setiap detail yang tertulis dalam dokumen itu—Altea, seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun, lulusan arsitektur dan pernah bekerja di salah satu perusahaan terkemuka di kota Casia.Ia menarik napas dalam, mencoba meresapi peran baru yang akan ia jalani. Perlahan, Suri meletakkan dokumen itu di pangkuannya dan mendongak menatap Yonas.“Jadi, mulai besok, aku adalah Altea.” ucapnya pelan, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Yonas mengangguk. “Benar, Nyonya Suri. Anda harus mengingat setiap detail yang tertulis dalam dokumen ini, sebab jika Tuan Romeo bertanya atau mencurigai sesuatu, Anda bisa menjawab dengan lancar.”Suri menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. Ia kembali melirik dokumen itu, memastikan dirinya menghafal semua informasi dengan baik.Setel
"Suri, cepat buatkan kami teh hijau tanpa gula!" Suara sang ibu mertua menggema dari ruang tengah, hingga Suri yang sedang membersihkan meja makan, segera meletakkan lap yang ia pegang dan menuju dapur. Meski ada banyak pelayan di mansion keluarga Albantara, mertuanya itu memang selalu menyuruh Suri melakukan berbagai pekerjaan, seolah-olah dia adalah bagian dari staf rumah tangga. Tapi, Suri tak melawan karena merasa itulah tugasnya di rumah ini. Setidaknya, ia bisa bermanfaat dibandingkan diabaikan seperti tahun pertamanya sebagai menantu di keluarga itu.Tak lama kemudian, Suri pun kembali dengan membawa nampan berisi 2 cangkir teh yang masih mengepul. Hanya saja saat Suri meletakkan cangkir di atas meja, ia baru menyadari ada tante sang suami yang datang bersama kedua putrinya di sofa mewah ruang tamu.“Pagi, Tan–”"Suri, bekas luka di pipimu itu masih ada?" potong Mira menatap Suri dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. "Apa Romeo tidak malu memiliki istri yang
Suri menyerahkan kedua bayinya kepada pengasuh, kemudian menatap dokumen yang kini berada dalam genggamannya. Di sana, tertulis nama baru yang harus ia perankan untuk sementara waktu: Altea.Ia membaca dengan saksama setiap detail yang tertulis dalam dokumen itu—Altea, seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun, lulusan arsitektur dan pernah bekerja di salah satu perusahaan terkemuka di kota Casia.Ia menarik napas dalam, mencoba meresapi peran baru yang akan ia jalani. Perlahan, Suri meletakkan dokumen itu di pangkuannya dan mendongak menatap Yonas.“Jadi, mulai besok, aku adalah Altea.” ucapnya pelan, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Yonas mengangguk. “Benar, Nyonya Suri. Anda harus mengingat setiap detail yang tertulis dalam dokumen ini, sebab jika Tuan Romeo bertanya atau mencurigai sesuatu, Anda bisa menjawab dengan lancar.”Suri menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. Ia kembali melirik dokumen itu, memastikan dirinya menghafal semua informasi dengan baik.Setel
Suri dan Raysa melangkah memasuki sebuah optik ternama di pusat perbelanjaan. Deretan bingkai kacamata dalam berbagai bentuk, warna, dan desain terpajang rapi di etalase kaca. Suri mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan kacamata yang tidak hanya nyaman, tetapi juga cukup efektif untuk mengubah penampilan.Seorang pramuniaga yang ramah segera menyambut mereka dan menawarkan bantuan."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"Suri tersenyum tipis. "Saya sedang mencari kacamata dengan bingkai yang ringan dan tidak terlalu mencolok, tapi tetap terlihat profesional."Pegawai itu mengangguk dan mulai menunjukkan beberapa pilihan. Suri mencoba satu per satu, dari yang berbentuk bulat hingga kotak. Ada yang terlalu besar, ada yang terlalu kecil, ada pula yang membuat wajahnya tampak lebih tajam.Setelah mencoba beberapa pilihan, Suri melihat sebuah kacamata dengan bingkai hitam tipis berbentuk oval. Suri pun mencobanya, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.Seketika, wajahnya tampak
Pagi itu, suara ketukan lembut di pintu rumah Suri terdengar, disusul dengan suara Raysa yang ceria."Suri, aku datang!"Dari dalam, Suri segera beranjak dengan langkah ringan, mendekati pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, Raysa berdiri di sana dengan senyum lebar, membawa sekotak makanan yang tampak masih hangat.Di samping Raysa, Kenzo berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Mata lelaki itu melirik lembut ke arah bayi kembar Suri yang tengah tertidur di ayunan."Kami membawakan makanan bergizi untukmu, supaya cepat pulih dan tetap kuat menyusui si kembar," kata Raysa sembari masuk ke rumah, meletakkan makanan di meja makan. "Ada sup ayam kampung, telur rebus, ikan salmon panggang, serta jus kurma dan susu almond. Semuanya baik untuk ibu menyusui."Kenzo mendekat ke ayunan bayi dan menatap mereka dengan kagum."Mereka mirip dengan Romeo. Jika Romeo tahu, pasti dia akan sangat bahagia," tutur Kenzo pelan, ada nada haru di suaranya.Ucapan itu membuat hati Suri berden
Suri membeku di tempatnya. Matanya membelalak tak percaya. "Apa? Menyamar?""Ya, hanya dengan cara ini Anda bisa bertemu dengan Tuan Romeo, Nyonya," kata Yonas. "Emosi Tuan Romeo belum stabil, saya khawatir dia akan menolak jika mengetahui itu adalah Anda. Tapi, saya rasa hanya Anda yang bisa membuat Tuan Romeo kembali seperti dulu."Suri menggigit bibirnya. Hatinya bergejolak. Di satu sisi, ia ingin menemui Romeo, ingin melihat sendiri bagaimana kondisi suaminya itu. Namun di sisi lain, ia merasa ragu apakah berada di samping Romeo dengan berpura-pura menjadi orang lain adalah pilihan yang tepat. "Tolong pikirkan baik-baik, Nyonya Suri," kata Yonas dengan suara pelan. "Saya akan menunggu jawaban Anda dalam tiga hari ke depan. Saya melakukan ini demi kebaikan Anda dan Tuan Romeo."Mendengar perkataan Yonas, Suri menggenggam ponsel erat-erat, seolah mencari kekuatan dari benda kecil itu. Sungguh, ia belum bisa mengambil keputusan untuk saat ini. "Baiklah, Yonas," ucap Suri masih terde
Tanpa menunggu reaksi dari Aira, Suri berjalan menuju mobil diiringi oleh Axel dan bodyguard yang membawakan koper berisi barang-barangnya. Begitu duduk di dalam mobil, Suri melihat kedua bayinya yang tenang dalam gendongan Raysa. Ada sedikit kesedihan, tetapi lebih dari itu, ada kelegaan. Ia tahu, ini adalah awal yang baru. Rumah tempat ia pernah tinggal bersama Romeo, kini akan menjadi tempat ia membangun kehidupan bersama Jevandro dan Jeandra. Axel kemudian menginjak pedal gas, membawa mereka menjauh dari mansion.Setelah beberapa saat dalam keheningan, Suri mengulurkan tangannya. “Raysa, aku ingin menggendong anak-anakku.”Tanpa bertanya lebih lanjut, Raysa menyerahkan kedua bayi mungil itu ke tangan ibunya. Suri kini menggenggam erat bayinya di tangan kiri dan kanan. Matanya menatap penuh cinta pada wajah polos mereka. Merekalah satu-satunya alasan ia tetap kuat. Satu-satunya alasan ia memilih untuk melangkah maju.Mobil terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rum
Raysa menghela napas berat, matanya dipenuhi keprihatinan. “Suri... Romeo mencintaimu begitu dalam. Dia bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu. Aku tidak percaya Romeo akan semudah itu melepaskanmu.”Suri menundukkan wajah, menatap kedua bayi mungilnya yang masih tidur dengan damai.“Aku tidak mau memikirkan masalah itu dulu, Ray. Yang terpenting saat ini adalah merawat anak-anakku.”Raysa mengangguk pelan. Ia tahu, Suri butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang janggal mengenai kedatangan pengacara itu ke kantor Suri.“Benar, aku ikut bahagia melihatmu bisa melahirkan bayi yang tampan dan cantik,” ujar Raysa mengalihkan pembicaraan. “Apa kamu sudah punya nama untuk mereka?” tanyanya penuh antusias.Suri nampak berpikir sejenak sebelum menjawab. Memang sudah saatnya ia memberikan nama kepada bayi kembarnya yang sudah terlahir ke dunia.“Jevandro dan Jeandra, itulah nama mereka,” jawab Suri penuh keyakinan. “Jevandro artinya seoran
Gerimis kecil turun perlahan di kota Belvantis, membasahi jendela apartemen tempat Romeo berdiri. Ia baru saja menyelesaikan percakapannya dengan Yonas. Tangannya perlahan memasukkan ponsel ke saku celana, sementara tatapannya yang redup menembus jendela kaca, menatap sayu ke arah kota yang ramai. "Sayang, sedang apa kamu di sana?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar.Selepas keluar dari rumah sakit, Romeo lebih suka menyendiri di kamar hingga malam hari. Namun, keheningan di sekelilingnya memudar tatkala terdengar langkah kaki yang mendekat. Romeo berhenti sejenak, telinganya menangkap suara yang sudah ia kenali.Ia menarik napas panjang, menguatkan diri. Tangannya meraih tongkat yang bersandar di dinding dekatnya. Ia sudah cukup terbiasa dengan keadaan ini. Dengan satu ketukan tongkat di lantai marmer yang dingin, ia mulai melangkah perlahan. Posturnya tetap tegap, meskipun langkahnya masih terhitung hati-hati. Ia nampak tampan dalam kaos polo berwarna navy yang dipadukan dengan
Tanpa berpikir panjang, Sagara lebih dulu memegangi tubuh Suri dan mengangkatnya dalam gendongan."Siapkan mobil, cepat! Suri sepertinya akan melahirkan!" perintahnya tegas.Axel segera berlari menuruni tangga untuk menyiapkan mobil. Sementara beberapa karyawan lain membantu Sagara untuk membawa Suri ke depan. Setelah Axel siap di kursi kemudi, Suri didudukkan oleh Sagara di kursi penumpang dengan ditemani seorang staf wanita. Sementara Sagara masuk ke mobilnya sendiri.Tanpa banyak bicara, Axel langsung melaju ke jalan raya untuk menuju rumah sakit bersalin. Pria itu berusaha menembus kemacetan agar mereka lekas sampai.Sepanjang perjalanan, Suri terus mengerang kesakitan. Tangannya mencengkeram lengan staf wanita yang menemaninya, berusaha menahan kontraksi yang semakin sering datang. Keringat di dahinya sudah bercucuran, dan bibirnya terlihat pucat.Sesampainya di rumah sakit, para perawat membawa Suri ke ruang persiapan persalinan dengan kursi roda. Axel dan Sagara berjalan cepat
Nyonya Valerie meraih tangan Romeo dengan lembut, suaranya terdengar lebih pelan, penuh bujukan."Romeo, kamu harus mulai berpikir realistis. Tidak ada gunanya memikirkan Suri lagi. Seandainya kamu bersikeras menemui Suri, dia juga tidak akan menerimamu.”"Apa maksud Mama?" suara Romeo terdengar dingin."Sekarang, kamu belum bisa melihat dan belum bisa berjalan dengan normal," ucap Nyonya Valerie tanpa ragu. "Suri akan membuangmu. Dia pasti memilih pria yang sehat dan bisa memberinya keturunan. Mama tidak ingin kamu sakit hati.”Romeo menoleh ke arah suara ibunya. Pandangannya mungkin buram, tetapi amarahnya begitu nyata. "Keluar!" sentaknya penuh tekanan."Romeo, dengarkan Mama. Mama bisa memanggil pengacara untuk —”"Aku bilang keluar!" Romeo membentak, suaranya menggema di ruangan itu. "Aku tidak ingin mendengar satu kata lagi! Pergi!"Diva dan Nyonya Valerie terlonjak. Mereka tidak punya pilihan selain menuruti perintah Romeo. Dengan enggan, mereka pun keluar dari kamar, meninggal