Teman. Ada yang aneh dari kehadirannya. Memandang kami tanpa pengetahuan apapun. Tanpa informasi apa-apa. Umi belum diisi ulang. Tabiat wajahnya legam dan kusam. Ia butuh mantel persahabatan. Yah, meski beberapa telah kusut. Mungkin dia butuh kain. Kurasa.
Bee juga setidaknya tak akan kepikiran Umi akan memeluknya dengan cara tanpa ada. Baginya itu adalah anugerah terburuk jika terjadi. Dan seharusnya tak pernah diharapkan terjadi.
Bee beruntung telah pergi. Ia tak perlu menerima ujaran aneh-aneh dari Umi. Kami masih diam sejak tadi juga. Om Dedi dan Bang Jo saling mengisi tatapan hitam. Mereka tak memiliki memori apapun tentang Umi. Semuanya harus disandiwarakan detik itu. Aku juga tak mengerti tentang ilmu berekspresi ... layaknya detektif seperti Bee. Aku menawari Umi ruang duduk kemudian. Cunnul menampakkan ekspresi tersindir. Kalian tahu maksudnya.
“Jadi, gimana, Nul? Sekarang Umi adalah contoh nyata tentang pertanyaan psikologi tadi. Apakah lo sebaga
“Selamat Anda mendapatkan satu buah kapur barus dan baygon untuk bunuh diri besok," Cunnul meledekku setelah sampai di suatu bangunan kosong, tempat Umi mengiringi kami semua.“Baygonnya pakai buat buka puasa aja, Nul,” balasku sambil tetap melangkah masuk.“Natalie, dengan wajah warna-warni akhirnya telah hidup kembali. Namun ternyata selama ini ia telah diuji oleh Bee, dalam permainan ciptaannya sendiri. Kerja bagus, Bee!”“Bee belum tentu ada di sini. Iya, kan, Mi?”Umi tak menjawab. Ia lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Senyumnya kali ini berbeda. Ada aura biru yang lucu. Menggairahkan.“Maksud gue kan nanti kalau Bee tiba-tiba muncul, Nat. Gue akan berkata, permainan yang luar biasa, Bee.”Yang lain dibuat tertawa karena Cunnul tak henti-hentinya menggoda dan mengejek kegagalan kecilku. Yah, kurasa aku memang harus menertawai diriku sendiri sangat dalam. Aku bisa-bisanya tak menyangka,
Selanjutnya tiga perempuan di sisi Tifeb bergerak anggun ke arahku. Mereka bertiga mungkin telah tertebak oleh pikran kalian. Memelukku, membentuk segitiga pelukan layaknya Tingkuwingky, Dipsi, dan Lala. Aku kurang tahu penyebutan namanya tetapi mereka bertiga masih saja menggemaskan. Pitri, Mbak Wisya, dan Beya.Aku menyebut Mbak Wisya, sebab usianya lebih tua dariku. Tergantung dengan siapa kami berbicara dalam pedagang aneh ini. Aku seketika masih sedikit mencari-cari ketiadaan hadir Bee di tengah-tengah kami. Tiada apa-apa yang dibisa lihat dari ucapan terakhirnya sebelum pergi.Padahal, meski aku berusaha menampilkan kebahagiaan senetral mungkin di hadapan teman-teman, tidak menutup kesedihanku karena Bee tak ada di antara kami. Ia adalah tokoh pembantu yang budiman dalam kisah ini. Ketidakhadirannya membuat aku kosong. Apalagi pertanyaan terakhir masih tersimpan jawabannya pada Bee.“Untung ya, Nat. Kalian bisa keluar dari masalah Sheren yang mendada
Intinya, yang tak berhijab hanya aku, Pitri, Via, dan Wija. Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa aku tak lantas memulia mendeskripsikan Umi sejak awal saja? Bukankah ia lebih dulu dibahas, dalam rantai masalah kisah ini? Ya, di awal-awal bab selain Warda dan Wija. Bukan tak mau membahas dirinya.Ini hanya masalah waktu yang tak cocok. Bayangkan saja, saat aku memunculkan Umi sebagai sahabat pena lain selain Bee, tak ada ruang untuk berpikiran menjelaskan rincian Umi secara singkat. Sebab saat tak sengaja menemukan potongan surat di kamar hotel waktu itu, Umi memaksa dirinya dihadirkan sebagai permasalahan dalam plot petunjuk Bee.Namun, sejak kemunculannya dan pengakuan semua sahabat Room Nakama, aku jadi mendapat oksigen lebih banyak. Aku jadi bisa menceritakan latar hidupnya sekarang sedikit. Kurasa ini hanya pemberitahuan singkat. Umi, seorang perawat di rumah sakit umum di daerah Makasar, bekerja sebagai streamer juga.Tentu, seperti saat aku bercerita ten
Baiklah, ini adalah sebuah kebingungan terbesarku dalam kisah perjalanan ini. Perjalanan yang apakah benar mendekati akhir. Berusaha melarikan diri dari pengakuan itu. Setelah ku melihat Bee, tak ada yang bisa kusiapkan selain mental buruk.Beberapa menit, hingga aku hampir kehilangan pikiran atas keterkejutanku. Aku merasa diinterogasi hanya karena melihat Bee mendadak. Anggap saja ini sebuah prolog dengan posisi di akhir. Benar-benar diriku bodoh. Harusnya aku bisa menebak kalau Bee, ada di belakang layar juga. Beberapa rentetan masalah ini, membuatku hampir gila karena dibuat hidup. Dibuat merasakan yang namanya kebebasan bernafas dan berkehidupan.“Bagaimana reaksimu sekarang melihat, Natalie? Aku sekarang, hanya berdiri dan muncul di balik tirai dengan cara seperti ini ... apakah akhirnya bisa membuatmu mengerti tanpa penjelasan panjang? Tanpa perlu ukiran kata-kata information lainnya lagi?”Aku tersenyum semringah, “Kau harusnya memberiku petunjuk terakhir agar aku bisa menebak
Di bagian yang perlu dijelaskan sebelum kita kembali, kepada menit-menit pencarianku terhadap Bee. Usai kami semua bekerjasama membangun Room Nakama berdasarkan sketsaku, Bee menyatakan semuanya. Sebuah hati terlarang yang membuatnya menghilang. Hingga aku kembali harus dibantu Warda. Hal menyakitkan di akhir ini, belum lah bahagia di sesi pertemuan kembali.“Kenapa melamun, Bee?” aku melihat Bee merenung di sela-sela kesibukan kami.Sementara Bang Jo, Om Dedi, dan Bang Muis masih sibuk melampiaskan kerinduan masa muda masing-masing ... di ujung sana. Di ujung yang cukup nikmat untuk menikmati jagat raya kecil, bernama kopi. Benda cair itu memiliki ragam kehidupan di dalamnya.Aku tak bermaksud mencampurkan filosofi kebebasan Room Nakama, dengan nilai kehidupan yang Ben tawarkan saat masih memiliki usaha kedai kopi dulu. Itu adalah usaha yang sempat dikuburkan demi membiayai gelar pendidikannnya.Saat aku memberi tahu Ben tentang perkumpulan k
Tadi aku mencari ponselku. Aku tak bisa melanjutkan cerita dengan damai, jika tak sambil mendengarkan musik. Apa kalian sehat hari ini? Aku lupa sebelumnya seperti apa. Hm, oh iya, aku ingat! Bagian ruangan secara detail dan filosofi yang ditawarkan Room Nakama. Nanti, di masa sekarang, mampirlah ke Room Nakama wahai kalian. Aku dan sahabat-sahabatku akan menanti kunjungan kalian. Tetapi, aku belum memberitahu lokasi pastinya. Nanti, setelah aku selesai. Sedikit lagi sampai air mata itu membulir lepas di akhir.Yello RoomBerisikan warna dinding yang kuning. Muda. Sebagian sisanya jingga. Seperti senja yang menemani di kala sore. Saat waktu maghrib mulai menunjukkan dirinya. Warna kuning ini menjadi dasar pemberian nama. Orang-orang yang memiki keredupan hati, pertikaian rumah tangga, merasa kesepian, merasa tak berguna hidupnya, merasa tak ada teman yang menghargai, maka di ruangan ini lah tempatnya. Kalian akan mendapatkan situasi layaknya sedang men
Begitulah si Bee pada ujungnya. Perasaan itu timbul dan mendadak membuat aku tak senyaman biasanya, jika berada di dekat sosok Redline itu. Meski, sebetulnya ada sisi positif dari perasaan Bee yang seketika muncul. Ya, dia selama menjaga bagian Redline, ia menghabiskan waktunya menulis cerita Room Nakama. Seperti perkataan dia sebelumnya.Baiklah, kita kembali ke masa di mana aku ditemui Warda di suatu hotel malam itu. Setelah semua sandiwara yang harus kujalani, sekarang kalian sudah mengerti, kan ... ungkapan yang kumaksudkan? Itu adalah pengakuan cinta Bee padaku dengan memperlihatkan bagian akhir cerita Room Nakama versi dia sendiri.Namun yang kalian lihat sekarang, adalah Room Nakama dari sisi pikiranku. Sebenarnya tak jauh berbeda, hanya saja ... bagianku lebih alami. Aku pun masih belum bisa membalas perubahan perasaan Bee. Aku meninggalkan Room Nakama sementara waktu.Sekitar tiga hari lamanya. Itulah hal yang membuat Warda mencari-cariku. Ketika Room N
"Maksudnya apa ya, Nat? Bee kocak banget di sini. Gue berasa ini cerita komedi sih. Bee mungkin juga masukin akhir seperti ..."''Kasus Sheren?'"Kemungkinan besar bakalan dimasukin. Novel ini isinya kan rangkuman perjalanan perjalanan lo, perjalanan kita? Apa perlu kita loncat ke bab lain untuk memastikan?""Eh, jangan, gak perlu. Lagian, kemungkinan besar apanya? Kasus Sheren bersifat murni dan alami tanpa pengawet sandiwara apapun. Dan itu di luar dari rencana Bee dengan Umi. Lo juga udah tahu, kan?''''Gue cuma berspekulasi, Nat.''''Hem, apa baiknya kita ...''Sekuel. Anggap saja begitu. Ada kaidah kehidupan bernama asmara yang harus aku pelajari pelan-pelan. Perbedaan antara romansa, kasih sayang, dan cinta. Apa kita harus terjun bebas ke suatu negeri di atas awan? Hari itu, detik itu, aku merangkum isi hati Bee sepenuhnya dengan ditemani Warda. Kami menghabiskan malam panjang tanpa tidur. Keterampilan Bee dalam merangkai kisah Room Nakama menggunakan sudut pandangnya, benar-be
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"