“Awalnya terasa ramai, semakin ramai malah semakin sepi, Bee. Mereka kian hadir namun sebetulnya semakin menjauhi. Atau mungkin aku yang harus hilang dan pergi?”“
“Apa perlu kita bicara seperti permainan polisi dan korban tuduhan lagi?”“Dasar aneh. Aku ingin menangis sekarang. Kurasa kita perlu berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti sebelumnya. Aku senang bisa melihatmu secara langsung. Aku senang ini akan jadi akhir bahagia. Yah, kurasa.”“Itu bodoh. Kau tak boleh menyerah dengan diri sendiri, Nat."“Aku hanya kehilangan alasan."“Maksudmu?"“Aku mengasihani diriku begitu dalam."“Kau merasa mereka sebenarnya tak memperdulikan kehadiranmu, kan?"“Aku bertanya-tanya tentang ide-ide baru yang masih jauh dari harapan. Bahkan petunjuk darimu, sama sekali tak bisa kukaitkan."“Bukankah seharusnya kau selesaikan dulu masalah pembunuhan itu?&rdq“Hufh...”“Hihi, maaf.”“Bukankah kau sudah kenyang dengan lontong sayur yang dipesan Warda?”“Sayangnya percakapan ini membuat energiku terkuras cepat, Bee.”“Baiklah, sebentar. Aku punya roti bakar di ruangan.”“Baik, itu terdengar nyaman untuk sebuah makanan gratis.”“Ini.”“Wah.”“Kau akhirnya mengerti.”“Maksudmu?”“Makan lah sepotong.”“Enak dan gratis. Terimakasih, Bee-ku.”“Tadi katamu terdengar nyaman, kan?”“Iya.”“Haah, itu lah maksudku, Nat. Ternyata pendengaran hati itu bisa kulakukan dengan baik ketika lapar.”“Haha, sekarang aku mengerti maksud mendengarkan suara yang tak bisa terdeteksi telinga itu Bee. Tapi ...”“Apa lagi?”“Bukankah ini hanya
“Kebohongan apa, Nat. Hei, kau terlihat aneh dan pertanyaanmu nyeleneh karena terlalu banyak memakan roti bakar. Harusnya kau sisakan untukku.”“Kau pikir aku hanya bisa memberi pertanyaan?”“Ke-kenapa? Kau ini... tiba-tiba aneh begini...”“Kau bohong kalau kau tidak memiliki peneman kesepian selain aku. Lalu Umi?”“Hm, kenapa membahas itu lagi?”“Bee, aku hanya bertanya. Itu mudah untuk dijawab bukan?”“Harusnya.”“Apa?”“Aku rasa kau tak percaya padaku lagi.”“Ya sudah, aku akan ke Bandung dengan Nata tanpa kau. Biar saja warna dasar hidupku tak kembali.”“Sial.”“Apanya? Kau menyesali sesuatu karena kuputuskan pergi?”“Nat, kau harus percaya kalau Umi adalah sebuah labirin yang lebih rumit dari kasus pembunuhan sekalipun.”“Kau ber
Kami mengunjungi rumah putri sulung itu, Sheren. Sesuai posisi yang dibagikan langsung olehnya. Seekor anjing, seolah memohon secara mental pada kami untuk membawanya pergi jauh. Tatapannya persis anak kecil kehilangan teman-temannya. Tak ada kebahagiaan lagi. Bee membuka pintu pagar dan memencet tombol rumah. Lima kali. Belum ada tanda-tanda kehidupan. Harusnya aku yang menekan.“Apa bedanya, Nat?” Warda berdesis di belakangku.“Kurasa Nata memiliki keyakinan, setiap sentuhan jari memiliki rezeki yang berbeda.”Dan benar, saat jemariku menekan sebagai pencetan keenam, pintu rumah bersuara. Seorang wanita tua keluar.“Siapa ya?” sapanya.“Em, kami...”“Biar aku saja,” Bee memotong kebingunganku. “Maaf, apa benar ini rumah Mbak Sheren?”“Ya, betul. Apakah kalian bertiga temannya?”“Kami hanya kenal. Ada keperluan.”“Keperluan? Keperluan seperti apa, ya?”“Ini,” Bee menunjukkan identitas kepolisiannya. Ibu itu terlihat berubah warna mukanya. Yang sedari awal datar kini sedikit bergejola
“Apa tidak terlalu cepat berkesimpulan, Bee?” tanya Warda.“Bukan begitu, dia melarikan diri dari sesuatu yang mengancamnya. Kita harus menyelamatkan Sheren.”“Sebentar, aku tidak mengerti, Pak. Saat Anda mengatakan dia melarikannya diri, kupikir ada sesuatu yang buruk yang dilakukan Sheren,” ibu itu kembali mempelihatkan perubahan psikologinya.“Benar,” jawab Bee.“Maksudnya?”“Anda sebenarnya menyadari keadaan di kamar Sheren bersama ibunya waktu itu, kan? Bahkan kalian, satu keluarga ... menyadarinya dan memilih diam. Kalian lantas menerima apa-apa yang menjadi keputusasaan Sheren.”“Saya ... ya jujur. Baiklah, benar .... kami tak tahu apa yang terjadi pada Sheren saat serempak kami mendapatinya memegang sebotol racun.”“Ia memberikan itu pada ibunya dan kalian semua berusaha menutupinya dari polisi ... lalu lantas membiarkan dia mengambil kes
Aku masih belum mengerti maksud perkataan Bee. Bahkan saat itu, dari sekian banyak pertanyaan dan jawaban darinya, belum sempat kuingat-ingat lembaran menyakitkan bernama kebohongan. Kalian ingat, kan? Saat aku bercerita kalau dia pernah mengirim pesan tentang dirinya yang berbeda. Bee yang lain. Dan satu lagi, penyakit. Saat beberapa kali kucoba mengutarakan ingatanku tentang masalah itu, dia selalu mengelak dan menginginkan agar aku dan Warda tetap fokus pada kasus Ibu Sri terlebih dulu.Meski aku tetap percaya jika kasus ini berkaitan dengan jawaban semua petunjuknya seperti ucapannya sebelumnya, tetap saja aku memiliki hati yang menampung kekhawatiran. Tetapi di sisi lain, aku juga berharap dia tak menjawab apapun. Aku takut. Aku demikian cemas Bee mengatakan hal-hal aneh tentang dirinya.Melihat wajahnya, membuat kecemasanku lenyap beberapa kali karena wajahnya memang lah wajah yang selalu kami lihat saat multi room terakhir dulu. Meski pada akhirnya nanti di beberapa waktu mend
“Ya, ditambah kode-kode dari psikologi Bee dan jawaban dari Ibu Fatma di obral sebelumnya, kalau kita mau dengarin ke dalam diri masing-masing ... arahnya ke situ, kan Nat?”“Ada masalah sama kesehatan jiwa Sheren?”“Kemungkinan ada hal yang lebih buruk dari itu.”“Apa Bee?” tanya aku dengan penuh aura keseriusan. Memancar ke segala ruang situasi percakapan di luar, di tempat sementara yang jauh dari keramaian dan rumah almarhuma Ibu Sri sebelumnya.“Saat Ibu Sri masih menjabat menjadi bupati, pasti terjadi banyak hal yang menyerang psikologi Sheren di rumah itu. Dia mengalami penderitaan itu sendirian. Tak ada saksi. Tak ada cinta dalam rumah itu. Terlihat dari aura rumahnya saat pertama kali kita masuki, kan?”“Itu berlebihan, Bee. Mungkin Sheren hanya kesepian karena ibunya jarang ada di rumah.”“Justru itu premisnya, Nat.”“Maksudnya? Sheren memang kesepian?”“Tidak, tetapi karena dari kata kesepian yang lo ucapin tadi, itu membuktikan Sheren memang mengalami hal buruk di rumah i
Ponselku berdering saat kami tiba di permulaan kota Bandung. Penelponnya adalah Via. Dia adalah tujuan awal yang Bee ciptakan di awal petunjuk. Tetapi semakin waktu berlari, semua plotnya berubah meski alurnya tetaplah menuju Bandung dan bertemu Via.Dia akan menjadi jembatan antara semua kehadiran problematika dari sejak meninggalkan tanah Sulawesi hingga detik itu. Detik dimana kami bertiga mengendari mobil kepolisian. Kami duduk tanpa ketenangan di belakang, bertiga. Disopiri oleh teman polisi Bee.“Halo? Yah, Via lagi. Kirain siapa.”Via tertawa di ujung suaranya.“Udah jalan malam ini, Nat? Aku udah lihat berita lo. Duh, bisa-bisanya ada tuduhan aneh begitu. Cerita aslinya gimana, sih?”“Panjang, Vi ... belum bisa aku ceritain sekarang. Ngomong-ngomong lo lagi di mana? Enggak ketemu kita secepat mungkin? Kita udah mau sampai pusat Bandung.“Iya, mau banget. Tapi kerjaan masih banyak. Nanti kalau sudah
“Anda sudah mengerti, kan? ucap seorang dokter pada seorang gadis. Cantik, bermata sayu, dan berkerudung seperti Warda. Motifnya zebra.“Apa dia Sheren?” tanyaku pada seseorang yang harus kami temukan sebelumnya, Cunnul.“Iya,” Nat.“Apa kalian sempat tidur di perjalan saat masih mogok?”“Harusnya aku yang nanya, Nat. Lo tiba-tiba pamit ke Bogor dan ngirim masalah besar begini.”“Panjang ceritanya, Nul. Intinya kalian bisa sampai ke Bandung dan kita semua ketemu lagi dengan selamat, adalah hal yang sudah sangat bagus.”“Tapi, kenapa harus di sini. Kenapa kita semua harus bertemu di titik kehidupan bernama rumah sakit?”“Karena semua adalah bagian dari plot masalahnya, Nul. Dan untungnya setelah aku ceritain tentang Sheren dan kasus aku melalui ponsel, lo langsung paham dan menggerakkan semuanya kemari.”“Andai waktu itu lo gak dapat masalah ini lewat media sosial, apa kita tetap akan ketemu di sini?”“Gak, Nul. Kayaknya enggak. Mungkin kita sudah berada di depan rumah Via sekarang. Me
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"