“Kirim semua bukti ke meja kerjaku!”
“Aku tidak mau tahu. Lakukan sekarang. Kirim semua bukti perselingkuhan Magdalena hari ini juga!”“Apa kau tidak punya telinga?”Suara kesal menggebu – gebu itu, keluar dari bibir sexy dan panas pria berpelawakan tinggi penuh kuasa yang sedang memijit kening kuat.Sudah berulang kali dia menyangkal skandal perselingkuhan wanita yang dia cintai. Namun, lagi – lagi kenyataan memukul jauh ekspektasinya. Istri yang dipuja begitu sempurna, tak lain hanyalah seorang wanita yang mudah tergoda oleh harta, takhta, dan kuasa. Padahal jelas, suaminya, Theodore Witson, juga sangat berkuasa.Kurang apa lagi?Waktu?Theo selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan pada istri yang memilih pria di luar sana, pria yang tak lain seorang bos yang mampu menunjang karir sekaligus pemilik Laboris Studio.Sang istri, Magdalena, adalah model yang baru saja merintis karir di dunia hiburan, tidak heran mengapa dia bisa jatuh ke dalam jerat cinta sang pemilik studio, Labori Orchestra. Hingga setega itu mengkhianati hati yang begitu setia.“Kalau sampai satu jam ke depan belum ada bukti perselingkuhan itu. Kupastikan besok kau tidak akan bisa berjalan.”“Aku tak peduli.”Panggilan telepon diputus sepihak oleh Theo. Ntah kerasukan setan apa, semua barang yang ada di hadapannya dibanting hingga hancur tak bersisa.“F*ck!” umpatnya sembari menjambak rambut frustrasi.“Kau akan membayar mahal karena sudah mengkhianatiku, Magda.”Tatapan hangat yang selama ini tak pernah hilang di sorot mata Theo, seketika berubah tajam. Pria itu menatap kosong dinding di depan, seakan sedang mengsiasati bagaimana cara membalaskan segala dendam dan sakit hati yang Theo rasakan.“Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti malam.”Setelah mengucapkan itu, Theo melangkahkan kaki keluar meninggalkan kekacauan yang baru saja dia ciptakan. Langkahnya pasti meninggalkan ruang kerja yang terus mencekik dada. Tentu saja Theo ingin mencari udara segar, memikirkan perselingkuhan Magdalena membuat kepalanya nyaris pecah. Theo butuh sesuatu yang bisa membuat otaknya sedikit segar sekaligus menjalankan rencana untuk menjebak Magdalena.“Kosongkan semua jadwalku hari ini,” ucap Theo pada seorang sekretaris cantik, Sonya.Tanpa menunggu jawaban, Theo langsung berlalu begitu saja meninggalkan kantor yang sudah seperti kapal pecah di dalamnya. Itu memang kebiasaan Theo membanting apa pun yang ada di depan sebagai bentuk pelampiasan.Sikap angkuh Theo dari dulu tak pernah berubah, tapi sialnya—pria angkuh seperti dirinya bisa kecolongan, diselingkuhi oleh istrinya sendiri. Meskipun begitu, aura yang begitu kentara tak lepas dari Theo saat membuka pintu mobil secara kasar dan duduk begitu elegan di dalam sana, serta membanting kuat pintu itu agar kembali tertutup—sungguh hal itu memberi kepuasaan bagi Theo.***
Suara musik memekakkan telinga menjadi pengiring setiap kali langkah penuh kebencian itu terbawa menuju sebuah kamar VIP yang belum dihuni oleh orang atau lebih tepatnya, tamu sebenarnya belum tiba. Namun, pria dengan amarah di sorot matanya sudah lebih dulu masuk, mengambil ancang – ancang bersembunyi di tempat yang sudah disiapkan.
Sebuah kamera di tangan diarahkan menyorot ranjang agar begitu dua insan yang akan melakukan persetubuhan panas, masuk ke dalam perangkap dan dia bisa langsung merekam sebagai bukti kuat kedua untuk mengajukan perceraian di pengadilan.Theo tidak sudi mempertahankan wanita murahan, yang bagian tubuhnya sudah disentuh pria lain, terlebih di hadapan Theo sendiri.Bagi Theo Magdalena sangat menjijikkan. Wanita pengkhianat itu tak pantas mendapat tempat di hatinya lagi. Sudah cukup Theo dikecewakan, dia tidak akan diam membiarkan harga dirinya terluka hanya karena satu wanita. Rasanya tidak pantas manusia tampan dan kaya seperti dirinya harus mengemis cinta. Tidak akan! Theo tidak akan melakukannya.“Ah, geli!” Suara dengan nada menggoda dan tergoda membuat sekujur tubuh Theo panas menahan amarah, itu suara calon mantan istrinya. Wanita itu benar – benar murahan.“Bagaimana? Aku lebih memuaskan dari suamimu, bukan?”“Tentu saja. T tidak ada apa – apanya dibandingkan dirimu, kau pria terhebatku.”Percakapan dua insan yang saling bercumbu itu mulai memancing amarah Theo mencapai permukaan. Apalagi pemandangan tak sedap di depan, keduanya sudah tak berpakaian—saling meraba tubuh masing – masing. Hingga pada bagian puncaknya, Theo tak bisa lagi menahan diri. Tangannya terkepal erat dengan rahang bergemelatuk marah, percintaan yang dilakukan dua tukang selingkuh itu benar – benar menyakitinya. Perasaan Theo hancur berkeping – keping, terutama saat Magdalena mendesah di bawah kuasa pria itu. Siapa namanya? Labori Orchestra. Itu nama penuh sandiwara.“Oh, Bori!”Muak rasanya Theo mendengar Magdalena menyebutkan nama selingkuhan itu berkali – kali. Amarahnya sudah mencapai ubun – ubun, Theo harus segera keluar menangkap basah mereka.Bergegas Theo mematikan kamera dan menyimpannya di saku celana. Pemandangan yang menghantam isi kepala memaksa Theo memisahkan penyatuan dua tubuh manusia yang masih merasakan nikmatnya bercinta.Bugh!Satu pukulan telak melayang di wajah Labori hingga Magdalena memekik tak percaya. Setengah mati wanita itu menahan matanya agar tidak lompat ke bawah saat mendapati Theo dan amarah yang memuncak sedang menghajar Labori, seakan ingin membumihanguskan Labori tepat di hadapannya.Cepat – cepat Magdalena memakai kembali pakaiannya dan berusaha keras menghentikan Theo yang membabi buta.“Cukup, T!” Magdalena menahan Theo dengan memeluk pria itu dari belakang. Tapi dasarnya Theo sudah merasa benci, dengan sekali sentak—tubuh wanita menjijikkan di matanya terempas jauh beberapa langkah.“Wanita murahan!” desis Theo sembari melepas jaket kulit yang dipakai, najis karena jaket mahal itu bersentuhan langsung dengan tubuh Magdalena.“Jangan pulang ke mansionku. Kupastikan besok surat cerai menjadi hadiah cantik dari perbuatan menyedihkanmu, Magda!”Theo bicara tanpa menatap wanita yang saat ini masih berstatus sebagai istrinya. Dia merasa muak dan tak habis pikir, bagaimana bisa dia pernah begitu terpikat pada rayuan dari wanita murahan itu.“Aku tidak mau bercerai denganmu!”Dengan tidak tahu malu Magdalena menolak keras keinginan Theo untuk bercerai. Apa wanita itu buta bagaimana murkanya Theo saat ini? Dia memang tak tahu diri hingga rasa bersalah tak terlihat di wajah, atau sekadar meminta maaf pada Theo karena sudah berkhianat, bukan malah menolak dan memperkeruh suasana hati Theo.“Aku tidak sudi terikat dengan wanita menjijikkan seperti dirimu.”“Aku tidak peduli. Kau tidak boleh bercerai denganku, aku mencintaimu T,” ucap Magdalena memasang wajah sememelas mungkin agar Theo bisa luluh kembali dengannya.“Cinta katamu?”Sesaat Theo terkekeh dengan senyum mengerikan sebelum akhirnya pria itu menatap tajam ke arah Magdalena. “Kau mencintaiku atau mencintai uangku?” lanjutnya dipenuhi seringai kejam tersemat di wajah.“Tentu saja aku mencintaimu.”“Omong kosong!” Suara menggelegar dari Theo seketika membuat nyali Magdalena ciut. Wanita itu hanya memandang wajah suaminya tak percaya. Selama pernikahan mereka, tidak pernah sekali pun Theo membentak seperti ini. Rasanya hati Magda hancur mendapat perlakuan dari Theo, dia menyesal telah mengubah pria manis dan hangat menjadi dingin tak tersentuh.“Aku benar – benar mencintaimu, T,” lirihnya masih berusaha mengambil kepercayaan Theo kembali. Sayang, apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah kembali. Theo terlanjur kecewa, hatinya sudah seperti kaca retak, mau bagaimana pun Magdalena berusaha memperbaiki semuanya. Itu tak akan mengubah fakta bahwa Theo sudah mendepaknya jauh dari kehidupan pria itu.“Terserah apa katamu, wanita ular! Bersiaplah. Kita akan bertemu di pengadilan.”Theo memutar balik tubuhnya berjalan angkuh meninggalkan dua manusia tak berguna, yang satu menatap tak terima punggung Theo menjauh, satunya lagi masih terkapar di bawah merasakan sakit oleh buasnya pukulan Theo.“Aku takkan pernah membiarkanmu menceraikanku. Kau tidak bisa melakukan itu padaku, T!”Seakan tak terima, Magdalena dengan segala kekesalan yang meledak – ledak dalam dirinya segera mengejar langkah Theo yang mulai menjauh menuju parkiran mobil.Magdalena menggeram kesal sembari melepaskan heels miliknya, lalu ikut berlari menuju mobilnya sendiri. Wanita yang saat ini tampak menyedihkan segera menyalakan mesin dan menjalankan mobil dengan kecepatan penuh begitu menyadari sang suami telah jauh.Sungguh tidak rela Magdalena jika sampai hubungannya dengan Theo berakhir dalam satu malam, setelah apa yang dia perjuangkan selama ini. Bisa memiliki Theo secara jiwa dan raga adalah rumit yang akhirnya bisa dia hadapi.Tidak sedikit dalam lubuk hatinya, Magdalena masih mencintai Theo. Dia tidak rela membiarkan wanita di luar sana menggantikan posisinya saat ini. Theo satu dari sekian juta pria yang tidak mudah ditaklukan, butuh pengorbanan ekstra dan Magdalena tidak mau hal itu
“Sialan!” umpat Theo kasar.Sekembali dari club malam otaknya nyaris terbakar. Theo benci mengakui bahwa seorang wanita bayaran, yang membuka pakaian mini hingga bertelanjang dada di hadapannya, sama sekali tidak membuatnya berhasrat. Gairah akan kebutuhan biologis yang bergelora tadi terendam oleh ingatan perselingkuhan Magdalena. Saat ini istrinya dinyatakan koma dalam kurung waktu yang tidak dapat ditentukan. Hal itu membuatnya tidak bisa menggugat cerai Magdalena sampai wanita itu sadar dari koma.Theo menatap sekitar. Dia tak tahu mengapa miliknya tidak bergejolak saat sepasang puting yang menantang keras—sedang menggoda dirinya, sama sekali tidak berefek, seakan pengkhianatan yang dilakukan sang istri telah terpatri dalam hingga semua wanita menjadi figur traumatik.Apa yang harus Theo lakukan sekarang?Theo butuh sesuatu berukuran lebih, sesuatu yang bisa mengantarnya pada puncak hidup sebenarnya. Bukan bagian mengecewakan, tapi menyenangkan.Sayangnya semua it
“Kau memilihku untuk melayanimu malam ini. Kau tahu prinsip kerjaku bagaimana bukan, Sir?”Rose dengan dress merah setali berjalan menghampiri klien yang saat ini sedang menatapnya lapar. Pria mana yang bisa melewatkan pemandangan wanita amat cantik di hadapan mereka? Tidak ada.Itu yang dilakukan oleh seorang lelaki matang—berusia di atas 35 tahun, setelah sang pemilik club malam membawa Rose padanya, si primadona yang selalu dipilih untuk melayani tamu VVIP. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar usai melewati beberapa prosedur dan tanda tangan kontrak kerja. Point pentingnya, tidak ada sentuhan fisik antara daging dan daging. Rose hanya akan menjalankan tugasnya sesuai prinsip yang selama ini dia pegang sejak terjun ke dunia malam, blow job.Jika ada klien yang melanggar perjanjian, Rose tidak akan segan – segan mematahkan rahang mereka. Wanita cantik itu selain manis dia juga bisa menjaga dirinya dengan baik dan itu alasan mengap
"Bisa – bisanya kau menipuku, Sean.” Theo menatap tajam manik biru Sean begitu mereka berada dalam satu ruang bersama. Sedari tadi Theo memang mengikuti ke mana pun Sean pergi, termasuk saat Sean mengantar Rose kembali ke apartement.Theo ingin meminta penjelasan apa maksud Sean menduakannya, padahal pria itu sendiri yang menawarkan diri sebagai pengobat rasa sakit Theo terhadap Magda. Tapi ternyata Sean pula yang memantik sumbu untuk menyakiti perasaannya.“Kau tahu aku tak suka pengkhianat,” lanjut Theo begitu Sean hanya diam menatapnya dengan sorot tak terbaca.“Aku tidak pernah mengkhianatimu, T. Rose yang menjadi korban atas hubungan kita.”“Sialan kau, Sean. Sudah berapa lama hubunganmu dengan wanita itu?”“Satu tahun.”F*ck!Theo mengumpat mengetahui kebenaran sesungguhnya. Sean memang keterlaluan, bisa – bisanya dia mempermainkan hubungan antara mereka bertiga seperti ini. Theo tahu betul bagaimana rasanya dikhianati, Rose pasti akan sangat kecewa jika mengetahui perbuatan kek
“Sesampai di taman, selama mommy ada urusan. Oracle jangan pergi jauh – jauh bermain. Okay?” Rose bicara sembari fokus mencari lahan kosong untuk memarkirkan mobil. Dia terpaksa membawa Oracle bersama saat mengadakan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerja, karena sudah berjanji pada anak itu untuk membawanya keluar mencari udara segar.“Siap, Mommy. Aku mengerti,” seru Oracle penuh semangat. Bocah menggemaskan itu memang sangat perhatian. Dia anak yang pintar, tidak mau merepotkan Rose atau semacamnya.“Good boy. Sekarang mari kita turun.”Rose membantu si kecil Oracle melepaskan sabuk pengaman. Melihat keramaian yang ada di taman. Rose menyadari sesuatu, sepertinya dia salah memilih tempat, tapi apa boleh buat. Untuk klien yang satu ini, dia tidak berada di bawah naugan bos di bar tempatnya bekerja. Tawaran ini datang dari seseorang yang menolak keras berhubungan langsung dengan pemimpin aliansi pekerja bebas, lebih ingin melakukan kontak mata bersama pemberi jasa itu sendiri—alas
“Mommy, apa itu Aunty Bri?” tanya Oracle saat matanya menangkap sosok cantik tidak asing dari kejauhan. Begitu pun Rose, dia langsung menoleh cepat mendengar nama yang Oracle sebutkan.Sedikit tidak percaya Rose melihat temannya ada di sini, bersama seorang pria yang—tunggu dulu ... bukankah pria itu orang yang menyelamatkan Oracle kemarin? Kebetulan sekali mereka bertemu! Oh, Rose harus ingat untuk berterima kasih padanya. Tapi belum sempat Rose berpikir menghampiri mereka. Ternyata Oracle lebih dulu berlari sambil berteriak senang mendekati dua insan yang sedang bersama di sana.“Aunty!” pekik Oracle, sudah meninggalkan Rose jauh di belakang.Tentu saja kejadian kemarin cukup membuat Rose waspada. Dengan cepat dia ikut berlari menyusul langkah Oracle dan menyaksikan secara langsung bagaimana Oracle memeluk seorang wanita cantik yang dipanggil ‘Aunty Bri’. “Aku sudah sangat merindukanmu, Aunty!” “I really miss you,” lanjut Oracle begitu pelukan mereka terputus.“You still remember m
Setelah pertemuan dadakan bersama Bridgette yang tidak pernah diduga sebelumnya. Kini Rose kembali melanjutkan perjalanannya menuju bar tempatnya bekerja. Ada klien yang tidak mau disebutkan namanya ingin Rose layani.Rose merasa aneh, tapi mendengar bayaran yang fantastis—dia mengurungkan niatnya membatalkan kontrak belum ditandatangani. Hitung – hitung uang itu bisa menambah jumlah tabungan Rose yang saat ini masih sangat kurang untuk menjalankan sebuah misi, misi rahasia yang disimpan rapat – rapat sampai saat ini.Mobil Rose melaju santai dengan kecepatan sedang. Ini masih sore, butuh beberapa jam lagi pertemuannya bersama klien penuh misteri itu.Mengenai Oracle, tadi Bridgette meminta izin untuk bersama anaknya sementara waktu. Tentu saja Rose tidak menolak. Brigette memiliki hak penuh atas Oracle. Lagipula, mana mungkin Rose tega melarang ibu dan anak itu bersama. Hidup sebatang kara membuat Rose mengerti hitam putih kehidupan.Perjalanan yang memakan waktu setengah jam akhirnya
“Apa – apaan ini, Aiden? Klien macam apa yang kau lemparkan padaku?!”Rose dengan emosi mengaduk sebagian isi kepala, masuk tanpa mengetuk pintu ruang privasi seorang pria yang saat ini duduk di kursi putar, sedang fokus menatap layar komputer di depannya.Aiden. Pria itu adalah pemilik bar sekaligus orang yang selalu mempromosikan Rose. Usia mereka terpaut 10 tahun.Bukan Rose lancang memanggil atasannya dengan sebutan nama. Tapi Aiden sendiri yang meminta. Dia tidak suka Rose memanggil dengan embel – embel yang terkesan menghormati, karena sebenarnya—Aiden menyimpan rasa pada Rose. Dia tahu bagaimana Rose. Wanita yang dia cintai, tidak pernah sekalipun meliriknya. Aiden tahu Rose murni menganggap hubungan mereka sebagai ‘atasan dan bawahan’. Tidak lebih. Dan dia lebih memilih menyimpan perasaannya, yang semakin hari semakin bertambah acapkali Rose memberi senyum termanisnya.“Aku sudah tahu kau akan datang ke sini, Rose. Ada apa, kenapa kau begitu marah?” Sebisa mungkin Aiden bersik
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk