“Sialan!” umpat Theo kasar.
Sekembali dari club malam otaknya nyaris terbakar. Theo benci mengakui bahwa seorang wanita bayaran, yang membuka pakaian mini hingga bertelanjang dada di hadapannya, sama sekali tidak membuatnya berhasrat. Gairah akan kebutuhan biologis yang bergelora tadi terendam oleh ingatan perselingkuhan Magdalena. Saat ini istrinya dinyatakan koma dalam kurung waktu yang tidak dapat ditentukan. Hal itu membuatnya tidak bisa menggugat cerai Magdalena sampai wanita itu sadar dari koma.Theo menatap sekitar. Dia tak tahu mengapa miliknya tidak bergejolak saat sepasang puting yang menantang keras—sedang menggoda dirinya, sama sekali tidak berefek, seakan pengkhianatan yang dilakukan sang istri telah terpatri dalam hingga semua wanita menjadi figur traumatik.Apa yang harus Theo lakukan sekarang?Theo butuh sesuatu berukuran lebih, sesuatu yang bisa mengantarnya pada puncak hidup sebenarnya. Bukan bagian mengecewakan, tapi menyenangkan.Sayangnya semua itu hancur tak bersisa bersama gairah pada seorang wanita terkubur dalam – dalam. Haruskah Theo mencoba hal baru? Ntahlah, biar waktu yang menjawab.Theo hanya perlu fokus bagaimana caranya dia bisa kembali berhasrat pada wanita dan tidak perlu menjadikan perselingkuhan Magdalena sebagai bayang – bayang dalam ingatan. Karena sungguh, demi apa pun—itu sangat merugikan Theo, baik jiwa ataupun raga.Dengan cepat Theo mengulik benda pipih yang sedari tadi berada di tangan. Dia ingin menghubungi seseorang, siapa lagi kalau bukan teman yang dia kenal selama dua minggu belakangan ini, Sean. Mereka bertemu di sebuah bar yang Theo injakkan setelah malam petaka di mana Magdalena mengalami kecelakaan nahas.Rupanya kehadiran Sean cukup membantu Theo menghilangkan segala rasa gundah, bahkan hanya dalam hitungan jam mereka bisa menjadi akrab, di samping tatapan eksplisit yang Sean berikan pada Theo.“Malam ini temani aku mabuk, Sean. Apa kau bisa?” tanya Theo begitu sambungan telepon terhubung dan terdengar seseorang di sebrang sana membuka suara.“Ya, aku akan menjemputmu. Bersiaplah,” lanjutnya, lalu menekan tombol merah dan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Theo bergegas cepat menuju apartement Sean, menjemput pria itu untuk pergi ke club bersama.***“Apa yang kau rasakan sekarang, T?” Sean dengan kancing kemeja terbuka di bagian atasnya datang menghampiri Theo yang tengah duduk di meja bar dengan sebotol vodka di tangan. Mereka tidak jadi ke club malam karena langit sedang menumpahkan amarah dengan menurunkan hujan deras dan itu sangat berisiko jika mereka tetap pergi.“Better,” jawab Theo singkat. Cukup banyak kesadarannya masih berada di tempat dan yang Theo lakukan saat ini hanya menggoyangkan botol vodka hingga cairan di dalamnya bergerak.“Liar. Kau masih belum bisa memaafkan perselingkuhan istrimu, bukan?”Kini Sean duduk tepat di samping Theo dan merebut botol vodka itu hingga protes keluar dari bibir panas Theo.Sean tersenyum miring kemudian menegak sisa vodka dari botol yang sama. Dia menggeser kursinya lebih dekat dengan pria panas di sampingnya, sejujurnya Sean sudah tidak tahan.“Bagaimana kalau kita bersenang – senang, T?”Sebesar apa pun gairah Sean pada Theo, dia harus bersabar karena yang saat ini dia hadapi seorang pria normal beristri.“Apa maksudmu?” Theo yakin dia tidak salah menafsirkan maksud dari ucapan Sean, tapi dia berusaha tidak terpancing dengan makna ambigu yang Sean berikan.“You know what I mean.” Sekali lagi senyum miring terbit di wajah Sean sembari tangannya memasukkan sebuah pil ke dalam botol vodka tanpa sepengetahuan Theo.“This is yours.” Diberikan kembali vodka bercampur obat perangsang pada Theo. Sean hanya perlu menunggu sampai Theo meminum dan reaksi dari obat itu akan bekerja sesuai waktunya.Hanya seperkian menit Theo mulai merasakan panas membara di sekujur tubuh. Jantungnya berdebar keras, seakan ada sesuatu yang akan meledak. Tentu Sean tidak akan menyia – nyiakan rencananya yang sudah tertata. Malam ini dia pasti berhasil memiliki Theo sepenuhnya.***Ouch!Theo mendesah merasakan pusing yang tak kunjung reda. Ingatannya kembali melintas pada kejadian semalam. Sean yang dipikir sempurna malah menawarkan hal gila hingga mereka berdua melakukan kegiatan panas di tengah dinginnya hujan deras.Apa yang sudah Theo lakukan? Sungguh, dia sama sekali tidak bisa menahan diri dari ledakan yang mengaduk hasratnya. Semua terjadi begitu saja dan Theo akui dia menikmati percintaan panasnya bersama Sean.Mungkin ini memang nasib Theo, hasratnya pada wanita meredup tergantikan dengan rasa penasarannya untuk merasakan hal baru. Jangan salahkan Theo jika dia melenceng dari kodratnya sebagai pejantan tangguh. Salahkan saja Magdalena yang telah memberinya efek jera mencintai wanita.“Bagaimana, T, kau suka dengan yang semalam?”Suara dari samping membuat Theo menoleh dan perasaannya berdebar mendapati mata sebiru samudra milik Sean sedang menatapnya intens.“Amazing. I love it.”Keduanya lantas berpagut mesra sebelum akhirnya kembali melakukan aktivitas masing – masing.“Kau memilihku untuk melayanimu malam ini. Kau tahu prinsip kerjaku bagaimana bukan, Sir?”Rose dengan dress merah setali berjalan menghampiri klien yang saat ini sedang menatapnya lapar. Pria mana yang bisa melewatkan pemandangan wanita amat cantik di hadapan mereka? Tidak ada.Itu yang dilakukan oleh seorang lelaki matang—berusia di atas 35 tahun, setelah sang pemilik club malam membawa Rose padanya, si primadona yang selalu dipilih untuk melayani tamu VVIP. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar usai melewati beberapa prosedur dan tanda tangan kontrak kerja. Point pentingnya, tidak ada sentuhan fisik antara daging dan daging. Rose hanya akan menjalankan tugasnya sesuai prinsip yang selama ini dia pegang sejak terjun ke dunia malam, blow job.Jika ada klien yang melanggar perjanjian, Rose tidak akan segan – segan mematahkan rahang mereka. Wanita cantik itu selain manis dia juga bisa menjaga dirinya dengan baik dan itu alasan mengap
"Bisa – bisanya kau menipuku, Sean.” Theo menatap tajam manik biru Sean begitu mereka berada dalam satu ruang bersama. Sedari tadi Theo memang mengikuti ke mana pun Sean pergi, termasuk saat Sean mengantar Rose kembali ke apartement.Theo ingin meminta penjelasan apa maksud Sean menduakannya, padahal pria itu sendiri yang menawarkan diri sebagai pengobat rasa sakit Theo terhadap Magda. Tapi ternyata Sean pula yang memantik sumbu untuk menyakiti perasaannya.“Kau tahu aku tak suka pengkhianat,” lanjut Theo begitu Sean hanya diam menatapnya dengan sorot tak terbaca.“Aku tidak pernah mengkhianatimu, T. Rose yang menjadi korban atas hubungan kita.”“Sialan kau, Sean. Sudah berapa lama hubunganmu dengan wanita itu?”“Satu tahun.”F*ck!Theo mengumpat mengetahui kebenaran sesungguhnya. Sean memang keterlaluan, bisa – bisanya dia mempermainkan hubungan antara mereka bertiga seperti ini. Theo tahu betul bagaimana rasanya dikhianati, Rose pasti akan sangat kecewa jika mengetahui perbuatan kek
“Sesampai di taman, selama mommy ada urusan. Oracle jangan pergi jauh – jauh bermain. Okay?” Rose bicara sembari fokus mencari lahan kosong untuk memarkirkan mobil. Dia terpaksa membawa Oracle bersama saat mengadakan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerja, karena sudah berjanji pada anak itu untuk membawanya keluar mencari udara segar.“Siap, Mommy. Aku mengerti,” seru Oracle penuh semangat. Bocah menggemaskan itu memang sangat perhatian. Dia anak yang pintar, tidak mau merepotkan Rose atau semacamnya.“Good boy. Sekarang mari kita turun.”Rose membantu si kecil Oracle melepaskan sabuk pengaman. Melihat keramaian yang ada di taman. Rose menyadari sesuatu, sepertinya dia salah memilih tempat, tapi apa boleh buat. Untuk klien yang satu ini, dia tidak berada di bawah naugan bos di bar tempatnya bekerja. Tawaran ini datang dari seseorang yang menolak keras berhubungan langsung dengan pemimpin aliansi pekerja bebas, lebih ingin melakukan kontak mata bersama pemberi jasa itu sendiri—alas
“Mommy, apa itu Aunty Bri?” tanya Oracle saat matanya menangkap sosok cantik tidak asing dari kejauhan. Begitu pun Rose, dia langsung menoleh cepat mendengar nama yang Oracle sebutkan.Sedikit tidak percaya Rose melihat temannya ada di sini, bersama seorang pria yang—tunggu dulu ... bukankah pria itu orang yang menyelamatkan Oracle kemarin? Kebetulan sekali mereka bertemu! Oh, Rose harus ingat untuk berterima kasih padanya. Tapi belum sempat Rose berpikir menghampiri mereka. Ternyata Oracle lebih dulu berlari sambil berteriak senang mendekati dua insan yang sedang bersama di sana.“Aunty!” pekik Oracle, sudah meninggalkan Rose jauh di belakang.Tentu saja kejadian kemarin cukup membuat Rose waspada. Dengan cepat dia ikut berlari menyusul langkah Oracle dan menyaksikan secara langsung bagaimana Oracle memeluk seorang wanita cantik yang dipanggil ‘Aunty Bri’. “Aku sudah sangat merindukanmu, Aunty!” “I really miss you,” lanjut Oracle begitu pelukan mereka terputus.“You still remember m
Setelah pertemuan dadakan bersama Bridgette yang tidak pernah diduga sebelumnya. Kini Rose kembali melanjutkan perjalanannya menuju bar tempatnya bekerja. Ada klien yang tidak mau disebutkan namanya ingin Rose layani.Rose merasa aneh, tapi mendengar bayaran yang fantastis—dia mengurungkan niatnya membatalkan kontrak belum ditandatangani. Hitung – hitung uang itu bisa menambah jumlah tabungan Rose yang saat ini masih sangat kurang untuk menjalankan sebuah misi, misi rahasia yang disimpan rapat – rapat sampai saat ini.Mobil Rose melaju santai dengan kecepatan sedang. Ini masih sore, butuh beberapa jam lagi pertemuannya bersama klien penuh misteri itu.Mengenai Oracle, tadi Bridgette meminta izin untuk bersama anaknya sementara waktu. Tentu saja Rose tidak menolak. Brigette memiliki hak penuh atas Oracle. Lagipula, mana mungkin Rose tega melarang ibu dan anak itu bersama. Hidup sebatang kara membuat Rose mengerti hitam putih kehidupan.Perjalanan yang memakan waktu setengah jam akhirnya
“Apa – apaan ini, Aiden? Klien macam apa yang kau lemparkan padaku?!”Rose dengan emosi mengaduk sebagian isi kepala, masuk tanpa mengetuk pintu ruang privasi seorang pria yang saat ini duduk di kursi putar, sedang fokus menatap layar komputer di depannya.Aiden. Pria itu adalah pemilik bar sekaligus orang yang selalu mempromosikan Rose. Usia mereka terpaut 10 tahun.Bukan Rose lancang memanggil atasannya dengan sebutan nama. Tapi Aiden sendiri yang meminta. Dia tidak suka Rose memanggil dengan embel – embel yang terkesan menghormati, karena sebenarnya—Aiden menyimpan rasa pada Rose. Dia tahu bagaimana Rose. Wanita yang dia cintai, tidak pernah sekalipun meliriknya. Aiden tahu Rose murni menganggap hubungan mereka sebagai ‘atasan dan bawahan’. Tidak lebih. Dan dia lebih memilih menyimpan perasaannya, yang semakin hari semakin bertambah acapkali Rose memberi senyum termanisnya.“Aku sudah tahu kau akan datang ke sini, Rose. Ada apa, kenapa kau begitu marah?” Sebisa mungkin Aiden bersik
“Kenapa kau mengajakku bertemu. Apa Sean tahu?” tanya Rose begitu dia menghampiri pria yang tiba – tiba menghubunginya. “Tidak. Ada sesuatu yang mau aku bicarakan tentang Sean.” Pria itu menatap Rose tajam. Bibirnya melengkung membayangkan bagaimana akspresi terluka wanita di depannya saat tahu kenyataan yang akan dia kuak.“Apa?”“Sean dan aku menjalin hubungan yang dalam. Dia milikku dan aku miliknya.”Theo orang di balik pertemuannya bersama Rose. Ini hanya rencana awal. Theo ingin memastikan bagaimana reaksi Rose saat dia membongkar hubungan gelapnya bersama Sean.Tapi wanita itu malah tertawa terbahak dengan fakta yang dia beberkan. Apa Theo terlihat sedang bercanda? Tidak. Theo sendiri begitu yakin wajahnya sudah seperti kanebo kering, kaku.“Kau ini! Astaga. Aku tahu beban hidup terasa berat, tapi kalau mau bercanda jangan seperti ini. Kau membuat perutku sakit.” Sebisa mungkin Rose menahan gelak tawa yang masih terdengar. Theo benar – benar konyol! Pikirny
“Tinggalkan Sean, maka aku akan pergi dari sini!”Theo kembali bicara pada Rose begitu temannya pergi meninggalkan mereka.Benar – benar tidak tahu diri! pikir Rose mulai tersurut emosi.“Kau yang harusnya meninggalkan Sean. Dia calon suamiku, sudah melamarku. Tahun depan kami akan menikah!”Bagai disiram air kotoran, perasaan Theo mendadak hancur mendengar jawaban Rose. Sean tidak mengatakan bahwa pria itu sudah melamar Rose dan akan menikahinya. Apa yang ada di otak Sean sebenarnya? Untuk apa dia menjerumuskan Theo ke dalam dosa jika akhirnya pria itu memilih wanita lain daripada dirinya?“Sekarang pergi dari hadapanku!” pekik Rose melihat Theo hanya diam meresapi nasib.Sesaat Theo mengerjap. Lantas kepalanya menggeleng cepat tak ingin menyerah. Baru dilamar, belum sampai ke pelaminan. Theo masih bisa memisahkan keduanya, bahkan ketika sudah menikah.“Kau pelacur. Jangan harap Sean akan menikahimu. Kalian bagai langit dan bumi, tidak akan pernah bersatu.”Theo mulai tak sabar, hing
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk