“Kau memilihku untuk melayanimu malam ini. Kau tahu prinsip kerjaku bagaimana bukan, Sir?”
Rose dengan dress merah setali berjalan menghampiri klien yang saat ini sedang menatapnya lapar. Pria mana yang bisa melewatkan pemandangan wanita amat cantik di hadapan mereka? Tidak ada.Itu yang dilakukan oleh seorang lelaki matang—berusia di atas 35 tahun, setelah sang pemilik club malam membawa Rose padanya, si primadona yang selalu dipilih untuk melayani tamu VVIP.Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar usai melewati beberapa prosedur dan tanda tangan kontrak kerja. Point pentingnya, tidak ada sentuhan fisik antara daging dan daging. Rose hanya akan menjalankan tugasnya sesuai prinsip yang selama ini dia pegang sejak terjun ke dunia malam, blow job.Jika ada klien yang melanggar perjanjian, Rose tidak akan segan – segan mematahkan rahang mereka. Wanita cantik itu selain manis dia juga bisa menjaga dirinya dengan baik dan itu alasan mengapa Rose berani mematok keputusannya untuk tidak membiarkan para pria menyentuh tubuhnya seinci pun.“Aku tahu, cantik. Aku hanya penasaran bagaimana rasa rongga mulutmu itu. Semua rekan bisnisku memujamu.”Rose terkenal dengan keahliannya memberi servis menggunakan mulut, dia benar – benar sudah terlatih beberapa tahun terakhir.“Kau akan memberiku bonus setelah ini.”Benar yang Rose katakan. Setelah pekerjaannya selesai, dia mendapat bonus besar, berkali – kali lipat. Lidah basah Rose membuat kliennya puas, serta kelembutan yang Rose tawarkan. Tidak heran mengapa Rose dihadiahi uang dalam satu genggaman.Ah! Rose senang sekali. Setelah ini dia akan pergi berbelanja beberapa barang sekaligus makan malam bersama sang kekasih, yang belakangan ini sangat sibuk. Tak apa, Rose memakluminya. Dia bukan wanita posessif yang setiap saat harus selalu mendengar kabar dari orang tersayang.***“Sean, kau yakin ingin menikahiku? Kau tahu, ‘kan pekerjaanku ini berbanding terbalik dengan kehidupanmu?” tanya Rose begitu mereka duduk saling berhadapan dengan makanan yang sudah tersaji di depan.Pertanyaan yang keluar dari bibir Rose lagi – lagi membuat Sean berdecak tak suka. Harus berapa kali Sean katakan bahwa dia tidak peduli status di antara mereka. Sean kaya, itu sudah biasa. Sebagai CFO (Chief Financial Officer) seorang bendahara di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang nuklir. Sama sekali tidak membuat Sean berpikir untuk menikahi wanita yang memiliki pekerjaan setara dengan dirinya, karena Sean sudah menetapkan pilihannya pada satu wanita.Wanita yang sudah dipacarinya selama satu tahun penuh. Meskipun sang kekasih, Rose, wanita cantik dan manis yang saat ini sedang menatap Sean dalam, hanyalah seorang pekerja malam yang harus pontang – panting mencari makan demi menghidupi diri sendiri dan seorang anak yang begitu disayangi. Tapi apa pun itu, Sean tetap akan memperlakukan Rose dengan baik.“Cinta tidak pernah memandang status. Aku bisa memuliakanmu sebagai wanita saja, itu sudah cukup, Rose. You’re mine. I love you just the way you are,” jawab Sean.Sungguh pandai bibirnya mengucapkan rayuan. Hari ini dia mengeluarkan kalimat manis, padahal satu minggu yang lalu dia baru saja bercinta dengan seorang pria. Sean memang menyayangi Rose. Namun, bukan berarti dia harus membatasi diri dari apa yang selama ini menjadi kebiasaannya. Membicarakan Rose tidak seperti membicarakan Theo yang dia kenal selama kurang lebih sembilan minggu, kedua orang itu jelas berbeda, mereka punya tempat masing – masing di hati Sean.“Tapi aku takut tidak diterima—““Tidak diterima siapa? Kita sama – sama sebatang kara, tidak ada yang akan melarangmu bersamaku. Kau mengerti, Sayang?” Sean mengelus wajah cantik Rose agar wanita yang saat ini sedang menatapnya berhenti memperlihatkan raut sedih. Rose sangat cantik, sayang jika harus bermuram durja begitu.“Ya, aku mengerti.” Rose tersenyum seperti yang biasa dia lakukan. Wanita tangguh seperti dirinya tidak akan berlama – lama larut dalam kesedihan. Ada banyak hal yang harus Rose lakukan, bukan hanya memikirkan bagaimana hubungan antara dirinya dan Sean.Rose memiliki Oracle. Setidaknya untuk saat ini dia punya kesibukan bersama anak kesayangannya, sebelum besok malam kembali pada aktivitas panas sebagai pekerjaan utama.“Makan yang banyak, karena setelah ini kita akan jalan – jalan lagi.” Sean tersenyum hangat sembari menyuapkan sepotong stick ke dalam mulut.“Wah, ke mana?”Menjadi kekasih yang nyaris tidak pernah menikmati kebersamaan bersama Sean, membuat Rose antusias hingga beberapa tamu di sekitarnya menatap wanita itu aneh. Rose hanya bisa cengir di hadapan Sean menahan malu yang saat ini mencapai ubun – ubun.“Maaf,” kata Rose sedikit salah tingkah diperhatikan seperti itu oleh orang – orang.Selanjutnya dia dan Sean kembali memfokuskan diri pada hindangan di depan. Setelah selesai, mereka langsung meninggalkan restoran dengan melanjutkan perjalanan ke tempat yang Sean tanyakan pada Rose.Dan Rose memilih CN Tower sebagai tempat wisata mereka. Sepertinya akan sangat menyenangkan melihat indahnya pemandangan Kota Toronto, Kanada, pada malam hari dengan lampu – lampu yang menyorot kilaunya dari ketinggian 436 m atau sekitar 1.430 kaki. Jarang sekali Rose mendapatkan kesempatan seperti ini. Dia tidak akan menyia – nyiakannya. Sean itu orang sibuk, susah diajak bertemu.“Ayo kita harus cepat naik lift, nanti keburu antre.”Begitu semangat Rose menarik tangan Sean memasuki kotak persegi yang hanya bisa menampung beberapa orang. Mereka tidak ketahui seseorang yang berada dalam satu tempat, sedang menghunuskan tatapan tajam, marah dan kecewa.Tangan orang itu terkepal erat. Dia benci pengkhianatan, apa kurang dirinya hingga harus dikhianati dua kali seperti ini? Hubungannya bersama Sean bahkan belum terasa panas, hanya berkisar dua bulan. fakta mengejutkan lebih dulu menghancurkan perasaannya ke dasar jurang. Oh, Theo yang malang.Dari tiga hari lalu dia memang curiga terhadap Sean. Kekasih prianya itu, sedikit cuek membalas pesan saat mereka di negara yang berbeda. Theo berada di Italia, sementara Sean di sini, di Kanada bersama selingkuhannya. Salah, seharusnya Theo yang menjadi selingkuhan, karena hubungan Rose dan Sean 10 bulan lebih lama.Theo seakan memiliki firasat hingga memilih menyusul Sean dan di tempat ini akhirnya dia menemukan bukti otentik pengkhianatan Sean padanya. Tega sekali bajingan itu. Tapi Theo tidak akan gegabah meledak di hadapan orang banyak, dia masih waras.“Sean, kau di sini rupanya.” Theo sengaja bicara untuk menyadarkan dua orang yang sedang menggandeng mesra. Dunia terasa milik berdua, pikir Theo dalam hati.Sepertinya keputusan Theo untuk angkat suara merupakan pilihan tepat. Karena setelahnya Sean tampak memucat begitu menyadari keberadaannya. Pria itu gusar melihat dua orang kekasihnya bersamanya di waktu dan tempat yang sama.“T—ap—apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya setengah gugup, sesekali menatap ke arah Rose. Takut wanita cantiknya merasa curiga.“Tadinya aku mau memberi kejutan pada kekasihku. Ternyata aku lebih dulu diberi kejutan,” sarkas Theo dengan senyum sinis yang begitu nyata di wajahnya. Sialan Sean, sudah membuat Theo melenceng. Dia pula yang mematahkan perasaan pria itu. Sungguh dunia ini memang tidak adil.“Siapa dia, Sean?”Pertanyaan Rose seketika memancing Theo untuk menatap wanita itu tajam. Sok cantik, tapi memang cantik—Theo tidak bisa menyangkal kenyataan tersebut. Pesona gadis manis itu memang tidak bisa ditolak. Apa itu juga alasan Sean memacarinya?F*ck!Theo mengumpat dalam hati, menyadari bahwa dia harus bersaing melawan seorang wanita demi memperebutkan Sean. Kalau wanitanya biasa saja, tak apa. Masalahnya, wanita saingannya itu—aduhai.Tapi apa pun itu. Theo akan memperjuangkan haknya, hak sebagai seorang yang sudah dijerumuskan ke dalam dunia warna warni.Aku yang akan menang, batin Theo mulai meronta. Sisi posessifnya sebagai seorang pria tidak bisa lagi ditahan – tahan. Sean miliknya, tidak ada yang boleh memiliki pria itu.“Aku bertanya padamu, Sean. Siapa pria ini?”“Di—dia—““Aku teman akrab Sean. Sangat akrab,” sambung Theo lebih dulu memotong ucapan Sean. “Bukan begitu, Sean?” lanjutnya dengan senyum penuh kemenangan melihat Sean terjebak oleh keadaan. Bagi Theo, sangat menyenangkan bisa melihat wajah Sean yang memucat di hadapan Rose. Pria itu seperti tertangkap basah setelah melakukan pencurian.“Ya, Rose. T temen akrabku.”Ternyata Sean sangat cepat menguasai keadaan. Lihatlah sekarang dia bisa tersenyum manis di hadapan Rose, seakan ingin membuktikan pada Rose bahwa Theo memang teman ‘akrab’ nya.“Kenapa aku tidak pernah tahu?” tanya Rose tampak berpikir. Dia bukan orang bodoh yang bisa lupa siapa saja orang – orang yang berada di lingkup pertemanan Sean. Dan Theo, benar – benar sangat asing baginya.“Aku belum sempat mengenalkannya padamu. Kenalkan Rose. Ini Theodore, pria asal Italia. Teman baikku. Kau bisa memanggilnya T.” Sean memberi tatapan penuh makna pada Theo, agar kekasih prianya itu bisa mengikuti permainannya dalam berakting.Tentu saja Theo pandai membaca situasi. Dia segera mengulurkan tangannya di hadapan Rose, menunggu wanita itu menjabat tangan besarnya.“Aku Roseline Olesya.”Theo sama sekali tidak menyadari bahwa takdirnya baru saja dimulai saat Rose setuju membiarkan tangan mereka saling bertaut. Jika saja ada petir di langit sedang menyambar, mungkin itu adalah sidang ketukan yang diberikan bumi sebagai bukti perjalanan hidup mereka akan disetting sedemikian rupa."Bisa – bisanya kau menipuku, Sean.” Theo menatap tajam manik biru Sean begitu mereka berada dalam satu ruang bersama. Sedari tadi Theo memang mengikuti ke mana pun Sean pergi, termasuk saat Sean mengantar Rose kembali ke apartement.Theo ingin meminta penjelasan apa maksud Sean menduakannya, padahal pria itu sendiri yang menawarkan diri sebagai pengobat rasa sakit Theo terhadap Magda. Tapi ternyata Sean pula yang memantik sumbu untuk menyakiti perasaannya.“Kau tahu aku tak suka pengkhianat,” lanjut Theo begitu Sean hanya diam menatapnya dengan sorot tak terbaca.“Aku tidak pernah mengkhianatimu, T. Rose yang menjadi korban atas hubungan kita.”“Sialan kau, Sean. Sudah berapa lama hubunganmu dengan wanita itu?”“Satu tahun.”F*ck!Theo mengumpat mengetahui kebenaran sesungguhnya. Sean memang keterlaluan, bisa – bisanya dia mempermainkan hubungan antara mereka bertiga seperti ini. Theo tahu betul bagaimana rasanya dikhianati, Rose pasti akan sangat kecewa jika mengetahui perbuatan kek
“Sesampai di taman, selama mommy ada urusan. Oracle jangan pergi jauh – jauh bermain. Okay?” Rose bicara sembari fokus mencari lahan kosong untuk memarkirkan mobil. Dia terpaksa membawa Oracle bersama saat mengadakan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerja, karena sudah berjanji pada anak itu untuk membawanya keluar mencari udara segar.“Siap, Mommy. Aku mengerti,” seru Oracle penuh semangat. Bocah menggemaskan itu memang sangat perhatian. Dia anak yang pintar, tidak mau merepotkan Rose atau semacamnya.“Good boy. Sekarang mari kita turun.”Rose membantu si kecil Oracle melepaskan sabuk pengaman. Melihat keramaian yang ada di taman. Rose menyadari sesuatu, sepertinya dia salah memilih tempat, tapi apa boleh buat. Untuk klien yang satu ini, dia tidak berada di bawah naugan bos di bar tempatnya bekerja. Tawaran ini datang dari seseorang yang menolak keras berhubungan langsung dengan pemimpin aliansi pekerja bebas, lebih ingin melakukan kontak mata bersama pemberi jasa itu sendiri—alas
“Mommy, apa itu Aunty Bri?” tanya Oracle saat matanya menangkap sosok cantik tidak asing dari kejauhan. Begitu pun Rose, dia langsung menoleh cepat mendengar nama yang Oracle sebutkan.Sedikit tidak percaya Rose melihat temannya ada di sini, bersama seorang pria yang—tunggu dulu ... bukankah pria itu orang yang menyelamatkan Oracle kemarin? Kebetulan sekali mereka bertemu! Oh, Rose harus ingat untuk berterima kasih padanya. Tapi belum sempat Rose berpikir menghampiri mereka. Ternyata Oracle lebih dulu berlari sambil berteriak senang mendekati dua insan yang sedang bersama di sana.“Aunty!” pekik Oracle, sudah meninggalkan Rose jauh di belakang.Tentu saja kejadian kemarin cukup membuat Rose waspada. Dengan cepat dia ikut berlari menyusul langkah Oracle dan menyaksikan secara langsung bagaimana Oracle memeluk seorang wanita cantik yang dipanggil ‘Aunty Bri’. “Aku sudah sangat merindukanmu, Aunty!” “I really miss you,” lanjut Oracle begitu pelukan mereka terputus.“You still remember m
Setelah pertemuan dadakan bersama Bridgette yang tidak pernah diduga sebelumnya. Kini Rose kembali melanjutkan perjalanannya menuju bar tempatnya bekerja. Ada klien yang tidak mau disebutkan namanya ingin Rose layani.Rose merasa aneh, tapi mendengar bayaran yang fantastis—dia mengurungkan niatnya membatalkan kontrak belum ditandatangani. Hitung – hitung uang itu bisa menambah jumlah tabungan Rose yang saat ini masih sangat kurang untuk menjalankan sebuah misi, misi rahasia yang disimpan rapat – rapat sampai saat ini.Mobil Rose melaju santai dengan kecepatan sedang. Ini masih sore, butuh beberapa jam lagi pertemuannya bersama klien penuh misteri itu.Mengenai Oracle, tadi Bridgette meminta izin untuk bersama anaknya sementara waktu. Tentu saja Rose tidak menolak. Brigette memiliki hak penuh atas Oracle. Lagipula, mana mungkin Rose tega melarang ibu dan anak itu bersama. Hidup sebatang kara membuat Rose mengerti hitam putih kehidupan.Perjalanan yang memakan waktu setengah jam akhirnya
“Apa – apaan ini, Aiden? Klien macam apa yang kau lemparkan padaku?!”Rose dengan emosi mengaduk sebagian isi kepala, masuk tanpa mengetuk pintu ruang privasi seorang pria yang saat ini duduk di kursi putar, sedang fokus menatap layar komputer di depannya.Aiden. Pria itu adalah pemilik bar sekaligus orang yang selalu mempromosikan Rose. Usia mereka terpaut 10 tahun.Bukan Rose lancang memanggil atasannya dengan sebutan nama. Tapi Aiden sendiri yang meminta. Dia tidak suka Rose memanggil dengan embel – embel yang terkesan menghormati, karena sebenarnya—Aiden menyimpan rasa pada Rose. Dia tahu bagaimana Rose. Wanita yang dia cintai, tidak pernah sekalipun meliriknya. Aiden tahu Rose murni menganggap hubungan mereka sebagai ‘atasan dan bawahan’. Tidak lebih. Dan dia lebih memilih menyimpan perasaannya, yang semakin hari semakin bertambah acapkali Rose memberi senyum termanisnya.“Aku sudah tahu kau akan datang ke sini, Rose. Ada apa, kenapa kau begitu marah?” Sebisa mungkin Aiden bersik
“Kenapa kau mengajakku bertemu. Apa Sean tahu?” tanya Rose begitu dia menghampiri pria yang tiba – tiba menghubunginya. “Tidak. Ada sesuatu yang mau aku bicarakan tentang Sean.” Pria itu menatap Rose tajam. Bibirnya melengkung membayangkan bagaimana akspresi terluka wanita di depannya saat tahu kenyataan yang akan dia kuak.“Apa?”“Sean dan aku menjalin hubungan yang dalam. Dia milikku dan aku miliknya.”Theo orang di balik pertemuannya bersama Rose. Ini hanya rencana awal. Theo ingin memastikan bagaimana reaksi Rose saat dia membongkar hubungan gelapnya bersama Sean.Tapi wanita itu malah tertawa terbahak dengan fakta yang dia beberkan. Apa Theo terlihat sedang bercanda? Tidak. Theo sendiri begitu yakin wajahnya sudah seperti kanebo kering, kaku.“Kau ini! Astaga. Aku tahu beban hidup terasa berat, tapi kalau mau bercanda jangan seperti ini. Kau membuat perutku sakit.” Sebisa mungkin Rose menahan gelak tawa yang masih terdengar. Theo benar – benar konyol! Pikirny
“Tinggalkan Sean, maka aku akan pergi dari sini!”Theo kembali bicara pada Rose begitu temannya pergi meninggalkan mereka.Benar – benar tidak tahu diri! pikir Rose mulai tersurut emosi.“Kau yang harusnya meninggalkan Sean. Dia calon suamiku, sudah melamarku. Tahun depan kami akan menikah!”Bagai disiram air kotoran, perasaan Theo mendadak hancur mendengar jawaban Rose. Sean tidak mengatakan bahwa pria itu sudah melamar Rose dan akan menikahinya. Apa yang ada di otak Sean sebenarnya? Untuk apa dia menjerumuskan Theo ke dalam dosa jika akhirnya pria itu memilih wanita lain daripada dirinya?“Sekarang pergi dari hadapanku!” pekik Rose melihat Theo hanya diam meresapi nasib.Sesaat Theo mengerjap. Lantas kepalanya menggeleng cepat tak ingin menyerah. Baru dilamar, belum sampai ke pelaminan. Theo masih bisa memisahkan keduanya, bahkan ketika sudah menikah.“Kau pelacur. Jangan harap Sean akan menikahimu. Kalian bagai langit dan bumi, tidak akan pernah bersatu.”Theo mulai tak sabar, hing
“Aku mencintaimu, T. Melamar dan menikahi Rose nanti hanya semata – mata status menutupi aibuku. Kita akan tetap bersama meskipun aku sudah menikah.”Baru selangkah berada di dalam apartement, Rose harus disuguhi suara lantang dari Sean yang membuat perasaannya terbengkalai. Hati yang tadinya masih berupa bongkahan, seketika remuk redam hancur menjadi keping – keping.Apalagi pemandangan di depan begitu menyesakkan dada. Dua orang pria sedang berpeluk, kemudian disusul adegan tidak menyenangkan. Bunyi decakan atas dua bibir yang beradu bagai lagu menyedihkan yang pernah Rose dengar.Pengkhianatan yang Sean lakukan di depan matanya sungguh membuat Rose kecewa. Sejak di perjalan tadi, dia dipusingkan oleh kehilangan Sean. Pikir Rose, lebih baik dia mendatangi apartement Sean langsung daripada tidak mendapat kabar dari kekasihnya.Bisa – bisanya Sean menghancurkan harapan paling terakhir Rose dalam hal mencinta. Berselingkuh dengan seor
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk