Di tengah aktivitas mereka masing – masing. Dari luar terdengar seseorang menekan bel apartemen.Siapa?Kepala Rose dipenuhi pertanyaan dan pikiran asing. Dia tidak biasa kedatangan tamu di pagi hari seperti ini. Kalaupun ada, itu hanya Marry yang mengantar cemilan untuk Oracle. Apa Rose harus membukakan pintu untuk siapa pun orang di luar sana?“Oracle tunggu sebentar, okay? Mommy mau lihat siapa yang datang.” Rose mencuci bersih tangan bersabunnya dan berbalik menatap Oracle.“Okay, Mommy. Om T akan menemaniku di sini.”Hanya senyum tipis yang diberikan. Selebihnya Rose meninggalkan dua orang itu di dalam dapur. Kali ini dia pastikan Theo tidak akan membuntutinya atas permintaan Oracle.Rose mendesah. Sesampai di depan, diam – diam dia mendekatkan sebelah mata ke lubang pintu, mencari tahu siapa yang sedang menunggu.“Apa yang dia lakukan di sini!” geram Rose tak tahan. Wajah Sean seketika menjerat jiwanya dalam amarah. Keberadaan Sean bisa menimbulkan malapetaka, apalagi sampai dia
“Mommy!”Seruan Oracle menjadi alasan perhatian Rose teralihkan. Dengan cepat dia mengusap wajah kasar, memperhatikan secara saksama gerak langkah Oracle yang semakin dekat.Rose mengernyit. Sedikit heran melihat penampilan segar Oracle. Pikirannya bercabang saat mendapati sesuatu yang juga berbeda dari Theo. Rambut pria itu basah dan beberapa kumpulan helainya jatuh ke bawah, benar – benar sexy dan menggoda.“Oracle sudah mandi, Mommy,” lapor Si kecil yang kini berada di hadapan Rose, tampak begitu semangat dan bahagia.“Mandi sama siapa? Kenapa tidak tunggu, ‘kan mommy sudah bilang cuma sebentar,” tanya Rose sembari berlutut, menyamakan tinggi tubuhnya sejajar dengan Oracle.“Mandi sama Om T. Kami mau jalan – jalan. Apa boleh?”Sebelah alis Rose terangkat tak suka. “Tidak, Oracle. Kau tidak boleh pergi bersama orang yang tidak begitu dikenal.” Sekadar mengetahui nama, itu tak cukup—Theo masih orang asing baginya.“Tapi Om T temannya dad
“Kancingi sampai ke bawah,” bisiknya sensual. Sebelah tangan yang terbebas meraih jemari Rose, Theo membiarkan telapak tangan itu bertemu kulit dadanya. Dia merasakan aliran listrik seperti menyengat jiwa saat Rose tak memberi perlawanan.Rose mengerjap, tersadar dari bawaan suasana. “Kau punya tangan, bisa melakukannya sendiri.” Dia berusaha keluar dari situasi tidak biasa yang menyesakkan dada. Jarak sedekat ini membuatnya nyaris tidak bisa bernapas.Tapi, Theo terus menahan tubuh Rose lebih dalam. “Aku tidak tahu siapa yang datang dan apa yang terjadi padamu,” ucapnya masih dengan tatapan intens. “Ada satu hal yang harus kau catat, kalau mau nangis jangan ditahan – tahan. Tidak setiap air, sanggup menerobos dinding. Merasa kau sangat kuat adalah gerbang kesakitan,” lanjut Theo sembari mengusap sudut mata yang tampak basah. Meminta Rose mengancingi kemeja di tubuhnya hanya bagian dari rencana. Apa pun tidak bisa disembunyikan, instingnya terlalu peka—sudah terlatih ole
Just like the clouds, my eyes will do the same.-It will rain - Bronu Mars-________________________ “Dasar gila! Apa yang kau lakukan?!”“Ingin menghancurkan wajahmu!”Sedikit bentakan tak urung menghentikan tindakan Rose. Dia terus menekan pisau ke bawah, tidak peduli genggaman Theo tak henti mengalirkan cairan kental merah.Amarah sudah mendarah daging, rasa sakit memikirkan di mana keberadaan Oracle membuatnya tak bisa menahan diri. Dunianya mendadak runtuh membayangi Oracle diambil orang lain. Anak itu pernah satu kali hampir menjadi korban penculikan saat mereka berada di taman. Sekarang Rose tak tahu harus mengatakan apa pada Bridgette tentang kenyataan ini? Dia tak punya keberanian untuk mengungkapkan kejujuran, terlebih dadanya terasa sesak menetralkan rontahan keras dari jantung. Bagaimana seandainya sesuatu yang buruk benar – benar menimpa Oracle? Rose tidak akan bisa menahan semua itu.Dengan napas tercekat, dia menatap Theo amat taj
Belum ada respon apa pun dari Rose. Dia masih sibuk menenggelamkan wajah di bagian terdalam lekukan leher Theo.Rose tidak tahu harus mengatakan apa. Di satu sisi dia marah, di sisi lain dia merasa telah berbuat jahat saat Theo tak memperhitungkan sedikitpun tindakan nekat yang dia lakukan. Dari segi keuntungan ketika Rose menjadi lemah, seharusnya Theo bisa melakukan serangan balik. Pria itu justru memilih untuk menenangkannya.Sungguh, Rose benar – benar menyesal. Duduk perkara hilangnya Oracle bisa diselesaikan dengan kepala dingin, bukan melibatkan emosi yang menganak – pinak dan membiarkan amarah sebagai pelakon utama. Sekarang risikonya darah menjadi buah segar di antara mereka dan aroma anyir melengkapi sisa kekacauan tadi. Harus dengan apa Rose membayar tumpahan darah yang terbuang sia – sia? Menyetujui ajakan Theo sebelumnya?Napas Rose terembus memberi sensansi menggelitik, sampai Theo bisa merasakan betapa asa di ujung gelisah sedang menyelubungi hati dan p
“Aku lebih memilih pelacur yang setia, daripada bersama pengkhianat tak tahu diri seperti Magdalena.” -Theodore Witson- ________________________ [Bajingan itu harus datang sebelum dua jam dari sekarang berakhir].Theo sedang memperhitungkan waktu yang tersisa 15 menit sejak patokan pesan ancaman itu terkirim di ponsel Rose. Dari jam rolex di tangan, kini dia berfokus pada gedung usang yang menjulang di hadapannya.Para penyandera (mungkin) Theo tidak tahu ada berapa orang di dalam sana, bisa jadi satu, bisa juga beramai – ramai, yang pasti mereka sudah menyiapkan strategi dengan pemilihan tempat tua terpelosok. Sangat jauh dengan modernisasi kota, gedung itu terlampau suram menyedihkan.“What the—“ Umpatan maupun langkah Theo terhenti saat tubuhnya melewati ambang pintu masuk. Memang tidak semua hal bisa dinilai dari cover. Luaran tempat ini tampak kumuh tak terurus, berbeda dengan bagian dalam yang dipenuhi rangkaian elektronik dan bahan magnetik lain. Interiornya seperti dirancang
“Fine.”“Tapi lepaskan borgol ini dulu.”Hanya manusia bosan hidup yang benar – benar menyetujui tawaran gila dari Bouldog. Selama itu menghirup karbon monoksida sama saja bunuh diri. Ntah, mungkin 30 menit ke depan Theo tumbang lebih dulu sebelum satu jam berdiam tak melakukan apa pun di dalam tabung. Dipikir – pikir seharusnya Bouldog membuat Theo jatuh lebih tak berdaya sebelum memberikan tawaran, karena ketika borgol yang membelenggu terbuka. Dia tak akan membiarkan dirinya dikendalikan seperti di gedung sebelah.“Apa kau pikir aku bodoh membebaskanmu begitu saja?” Bouldog menatap Theo angkuh, kemudian dia terkekeh amat keras. Tawanannya bukan orang biasa. Bisa menjebak dengan segala rencana yang tersusun rapi rasanya sebuah kebanggaan. Dia sudah tidak sabar ingin mendapat pujian dari Mr. Alenjandro atas satu keberhasilan.Sayangnya Bouldog terlalu cepat merasa puas. Dia tidak sadar Theo sedang memperhatikan set
Kebajikan seperti apa yang mungkin bisa mempengaruhi hidup seseorang. Dia yang rela mengorbankan jiwa raga atau dia yang berani memutuskan kepada siapa hidupnya digantung kenikmatan tak kasat mata?Mungkin, seandainya rantai penjerat jiwa diputus dengan keberuntungan, Theo tak akan tenggelam dalam ketidakberdayaan yang masih membelenggu sampai saat ini. Kesadaran yang seharusnya bertahan, telah berkelana jauh di luar keinginan. Dan dengan itu, harapan seseorang terenggut sebelum pupuk yang ditabur bekerja sesuai fungsinya.“Cepat ambil air.” Sayup – sayup suara memerintah dari seseorang ditangkap samar oleh indra pendengarTheo harus segera keluar! Dia melakukan segala cara agar terbebas dari kegelapan. Dinding – dinding pemisah antara dirinya dan kenyataan didobrak sekuat tenaga.Nihil. Tidak terjadi apa pun kecuali lelah dipaksa menguasai hati dan pikiran.Berapa lama lagi Theo akan terjebak dalam lingkaran hitam yang tak henti mengurungnya? Dua atau tig
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk