“Aku butuh bantuanmu, Rose.”Theo mengedarkan pandangan ke segala arah, memperhatikan setiap objek hingga sorot abu – abunya terhenti tepat menatap daun pintu.“Bantuan?”Pertanyaan Rose memecah fokus Theo yang terforsir penuh. Sambil berpikir, Theo menelusuri dalam – dalam wajah cantik nan manis di depannya. Satu dorongan muncul memenuhi isi kepala.Theo meneguk ludah susah payah. Masih menatap wajah memesona Rose. Hatinya saat ini sedang dikerubungi perasaan ragu dan mau. Apa mungkin Rose akan mengiyakan? Tanyanya dalam hati.“Aku menunggumu. Bantuan apa yang kau maksud?”“Bantu aku dengan datangi Sean, dekati dia. Cari tahu kapan dia akan menyebarkan video sialan itu. Aku akan urus sisanya.”“Tapi—tunggu dulu. Tidak usah. Tidak jadi. Aku bisa sendiri.” Boro – boro merasa Rose akan berhasil, yang Theo pikirkan hanya keakraban Sean dan Rose nanti. Sudah jadi pemisah, tidak mungkin Theo menjadi pemersatu antar dua rasa. Lagipula, kalau cuma menyebar
“Aku hitung satu sampai 10, kalau tidak masuk kau akan kutinggalkan,” ancam Rose penuh perhitungan.“Sabar, bawel!”Gerutuan singkat terdengar dari luar. Setiap gerakan Theo dan reaksi lega yang pria itu tunjukkan tak lepas dari pandangan Rose. Sempat terukir senyum teramat tipis di bibirnya, meski itu tidak berlangsung lama. Sisi manis Rose hilang bersama tatapan fokus ke depan saat Theo terburu - buru membuka pintu mobil.Rose meremas setir setelah mendengar bunyi gerakan menutup pintu dan terasa bertambahnya satu penumpang. Dari ekor mata, Rose sadar Theo sedang memperhatikannya.“Seseorang yang katanya tidak peduli, tiba – tiba memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya,” celetuk Theo usai memasang asal sabuk pengaman.Mobil dijalankan dengan tenang. “Aku hanya kasihan. Kau dan kemewahanmu mana terbiasa berjalan kaki.” Rose menambah kecepatan, sedikit tidak tahan untuk tidak berpaling menatap Theo di samping. Sesaat sorot mereka bersirobok, tidak lama kemudian Rose mengakhiri sesuatu
“Kita sudah sepakat. Sekarang, sebagai ikrarnya aku mau kau menciumku.” Theo menarik jemari Rose, mempertemukan sisi halus itu bersama bibirnya yang tipis di bagian atas dan sedikit tebal di bagian bawah—merupakan pemanis alami. Dia menatap Rose begitu dalam dengan senyum nakal tersemat di wajah “Ayo, Rose. Lakukan. Anggap saja ini simulasi atau latihan sebagai seorang sugar baby. Nanti, aku akan sering memintamu menciumku,” lanjut Theo sembari mengecup masing – masing pangkal ruas jari – jari Rose. Dia sudah memasang telinga. Siap mendengar protes keluar dari bibir penuh dan menggoda.“Aku tidak akan menciummu sebelum taruhan itu selesai. Bilang saja kau modus dan sudah tidak sabar. Lagipula ini bukan ujian nasional, jadi untuk apa simulasi,” timpal Rose jengkel. “Menjauh dariku. Tubuhmu berat.” Dada bidang di depannya terus ditekan hingga menyisakan beberapa inci ruang. Rose menarik napas sebanyak mungkin menghindari tatapan yang terus memerangkapnya tanpa henti.“Menyingkirlah. Orac
Kembar....Theo mengangkat kepala cepat. Rautnya masih beku seperti kutub di utara. Cara dia menelusuri wajah Rose pun sangat menohok. Theo tidak mengatakan apa – apa, terlihat sulit menelan ludah sendiri.Dia mengerjap. Kemudian tatapan itu menjadi sedikit lebih manusiawi. “Lupakan apa yang sudah kau dengar,” katanya.Hanya dalam sekejap Theo bisa berubah, meskipun jejak amarah masih membayang dalam dirinya.Tapi apa yang Theo pikirkan? Meminta Rose melupakan tumpukan puzzle darinya merupakan hal konyol. Sudah terlanjur menjadi teka – teki, mana mungkin Rose mengabaikan informasi yang didapat.“Aku tidak bisa mengabaikan pernyataanmu. Kau belum menjawabku.” Rose menyilang kedua lengannya di depan dada sebagai pembatas saat Theo semakin menunduk.“Apa yang ingin kau dengar?”Bisikan dingin sekaligus sensual dan jilatan basah merambat menyadarkan Rose untuk memasang pertahanan.“Aku ya
Rose menyudahi euforianya dengan menatap daun pintu. Theo sudah pergi. Seharusnya dia juga melakukan hal yang sama. Sesaat Rose menatap pakaian yang tergeletak asal di atas ranjang karena ulah seseorang. Diraih, kemudian menutup kembali tubuh terbukanya.Rose bergegas, melangkah cepat menuju jalan keluar. Berkali – kali dia menekan knop pintu. Tapi hasilnya nihil, dia dikunci dari luar.“Buka pintunya!” pekik Rose tak terima.“Theo sialan!” umpatnya tanpa henti.Pandangan Rose mengedar hampir ke keseluruh ruangan. Sepasang jendela yang menarik perhatian tidak bisa dijadikan harapan—luarannya dipagar dengan teralis. Jadi, bagaimana Rose bisa pergi?Mondar – mandir Rose memikirkan cara melarikan diri dari tempat yang kondisinya seperti kapal pecah. Kalau dia berteriak lagi—percuma! Theo mungkin sudah jauh.Lalu, apa yang harus Rose lakukan?Menghubungi Theo?Dia tidak memiliki nomor ponselnya. Asta
Bunyi kunci diputar menarik perhatian Rose. Dari posisi duduk di atas ranjang, sudah menunggu hampir berjam – jam, Rose bergegas menuju ke sumber suara.Sesampainya di sana, pintu terbuka lebar menampilkan wajah Theo yang tampak sedikit berbeda. Lebih cerah dari yang tak pernah ada—selama ini Theo selalu menampilkan aura gelap, tidak memiliki aksen bahagia sama sekali. Dan itu cukup membuat Rose mengernyit heran.“Good night, Sugar.”Rose terpaku dengan sapaan hangat yang Theo lontarkan. Seharusnya Rose marah sudah dikurung dalam kamar, hingga terpaksa harus membersihkan sisa – sisa kekacauan yang Theo ciptakan. Tapi kenyataannya, sumpah serapah yang Rose siapkan hilang ditelan keterdiaman.“I bought you this.”Sebuah plastik belanja terdorong di hadapannya. Rose memperhatikan lama, sebelum mengembuskan napas kasar untuk menetralkan diri.“Itu apa?” tanyanya penasaran.“Burger. Kau belum makan malam.” Theo menarik jemari Rose, memindahtangankan plastik berisi ma
Ketika cinta bertepuk sebelah tangan.Ketika cinta diam – diam merupakan pembunuh paling besar.Ketika cinta datangnya tanpa sadar.Semua akan dilakukan demi mencapai suatu tujuan. Kematian akan digarisbawahi sebagai hal penting dan kedamaian akan digarismiringkan seperti sesuatu yang asing. Keduanya saling. Saling yang dipaksa berhenti beriring.Jika campur tangan cinta bagian terburuk dari patah hati, yang terburuk dari patah hati ialah jatuh cinta. Ketidaksempurnaan menjadi ketimbangan, layaknya perasaan indah yang dipaksa hancur sebelum kokoh.Terkadang, seseorang tidak bisa mengartikan dengan benar alasan mengapa dia harus gugur sebelum mekar. Logikanya telah ditutup dan dikuasai awan pekat. Sulit sekali untuk dimintai bangun dari sisi kelam. Begitu yang dialami Bouldog, dia gelap mata—terobsesi atas kecintaannya menjadi bagian dari anggota mafia.Demi menghilangkan jejak—dia sengaja memotong habis tubuh Binari dan melenyapkannya. Seharusnya, jika hal it
Hancur dan lebur, merupakan pengambaran untuknya sekarang. Seisi kepala dihantui bisikan petir yang menggelegar, memintanya mati atau bertahan di tengah kenyataan yang sangat keji.Hatinya lebam begitu biru. Kedua kakinya pun seakan tidak sanggup menopang diri sendiri. Harus dengan apa dia berdiri ketika saraf – saraf nadi dibunuh paksa oleh pernyataan pria yang ternyata, seperti dirinya, memiliki darah dari satu orang yang sama.Sesaat Theo menatap kedua tangan dalam diam. Bayangan akan jemari yang merayu kaumnya sendiri terus mengetuk dada agar semakin remuk.Nyaris satu botol champagne sudah dia habiskan semalaman, tapi itu tak kunjung menghilangkan perasaan gila yang sekali meledak menghancurkan pertahan Theo selama ini.Dia seperti kertas, berusaha tegar saat terombang – ambing permukaan air. Sekeras apa dia bertahan, dia tetap tenggelam dan terkoyak secara perlahan.Pria itu berhasil membalaskan dendam padanya, dendam yang seharusnya tidak
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk