Setelah hampir dua puluh menit berjibaku menunggu angkutan umum, Raline berhasil juga mendapatkan angkutan umum yang menyisakan kursi. Walau bokongnya sakit karena himpitan penumpang kanan dan kirinya, Raline tidak peduli. Yang ia pikirkan hanyalah, ia harus secepat mungkin sampai di rumah Bang Ali dan berganti kostum. Setelahnya barulah ia akan menyusun rencana untuk menyelamatkan Axel."Berhenti, Bang. Stop... stop..." Raline meneriaki supir angkutan. Gang Rumah Bang Ali telah terlihat. "Astaghfirullahaladzim, Neng. Hati-hati atuh. Pelan-pelan aja." Raline nyaris terjungkal dari angkutan umum akibat tersandung kaki seorang penumpang. Ia memang sedang terburu-buru."Maaf ya, Bu? Saya tidak sengaja. Saya buru-buru soalnya." Raline meminta maaf, sebelum kembali berlari."Mampus, tinggal satu jam lagi. Mudah-mudahan gue keburu nolongin lo, calon laki." Sambil berlari Raline memindai jam di pergelangan tangannya. Jarak dari rumah Bang Ali ke panti asuhan Kasih Bunda itu memakan waktu s
"Ayo jawab? Kenapa lo diem?" Erick terus menginterogasi badut gimbal yang kini tampak kelabakan. Sudah beberapa hari ini ia mengamati tingkah sang badut yang acapkali bersinggungan dengan Axel. Dirinya adalah bodyguard utama Axel. Segala hal yang berhubungan dengan boss besarnya tidak akan luput dari perhatiannya. "Gue diem karena seharusnya gue emang diem selama gue jadi badut. Boss lo kan taunya gue ini badut bisu. Padahal nggak sama sekali." Raline terkekeh. Ia bangga sekali bisa mengelabuhi seorang mafia."Oh begitu. Kalo sedang sedang jadi badut, lo bisu. Kalo nggak pake kostum, lo bisa ngomong. Begitu?""Betul." Raline mengangguk. "Terus waktu lo nolongin Boss gue yang tertembak beberapa waktu lalu, 'kan lo ngomong tuh. Boss gue jadi tahu dong kalo lo itu sebenarnya nggak bisu?"Setelah menyadari kalau badut di depannya ini sedikit rada-rada, Erick mengubah cara interogasinya. Pendekatan persuasif adalah koentji."Ya, nggak tahu juga lah. Soalnya boss lo itu nggak tahu kalo
Erick tersenyum tipis. Ia merasa lega. Setelah sekian puluh tahun bossnya hidup, akhirnya ada seorang perempuan yang bersedia mati untuknya. Jodoh memang tidak bisa ditebak. Siapa yang menyangka bahwa seorang Raline Raharja Soeryo Sumarno lah yang bersedia berkorban tanpa perlu menyetor namanya. Seperti inilah ketulusan yang sebenarnya. Melindungi tanpa tendensi dan diam dalam aksi."Eh ajudan, gue boleh berubah pikiran nggak? Gue sekarang mau ikut lo makan. Soalnya boss lo udah ada yang melindungi." Raline nyengir." Setelah tahu kalau Axel dilindungi oleh banyak orang, rasa laparnya muncul kembali."Udah naik aja. Ayo," Erick menggerakkan kepalanya. Ia juga sudah pasrah dipanggil ajudan dan bukan bodyguard oleh Raline. Memang susah memberi pengertian kepada orang yang sekilo kurang satu ons ini."Oke, gue naik." Raline membuka pintu mobil dan duduk di dalamnya. Ketika Erick menghidupkan mesin mobil, Raline melayangkan pandangan sekilas ke arah mobil-mobil ajudan Axel lainnya."Rick.
Erick baru saja menyilangkan sendok saat ponselnya bergetar. Axel menghubunginya. "Yai, di patem sabia. Serangka? Keo. Di gutung." Erick menutup percakapan. "Eh, Rick. Lo ngomong bahasa apaan? Kok gue nggak pernah denger bahasa begituan ya?" Raline penasaran. Dibilang bahasa Inggris bukan, bahasa Mandarin apalagi. "Bahasa khusus keluarga Delacroix. Buruan habisin makanan lo. Gue ada keperluan lain.""Kalo lo mau pergi, ya udah pergi aja. Ngapain lo nungguin gue makan? Yang perlu itu noh, lo bayar dulu makanan yang kita makan." Raline menunjuk ibu penjual nasi dengan dagunya."Bukan begitu. Soalnya boss akan menemui gue di sini. Lo apa nggak masalah ketemu boss gue?"Uhukkk!Raline menyemburkan nasi yang masih separuh ia dikunyah. Bakalan panjang urusannya kalau Axel melihatnya makan bersama Erick di sini."Jorok amat sih lo!" Erick mengibaskan beberapa butir nasi di sebagian dada dan lengannya. Semburan Raline mengotori pakaiannya."Ya, maaf. Namanya juga orang kaget. Kalo gitu gue
"Kalo gitu lo nangis karena apaan?"Karena saya teringat pada orang tua saya di rumah.Raline menulis jawaban yang sebenarnya. Ia juga menulis dengan tata bahasa yang baik. Ia harus memberi kesan yang bertolak belakang dengan jati dirinya yang sebenarnya."Oh, karena lo makan enak di sini sementara ortu lo nggak makan di rumah makanya lo sedih?" Axel mendecakkan lidah. Pembicaraan perihal orang tua tidak pernah gagal menggugah hatinya. Wajar, mengingat dirinya yang yatim piatu.Bukan begitu ceritanya, mafia galak, batin Raline. Tapi apa lacur, ia terpaksa mengangguk. Tidak mungkin ia menceritakan yang sebenarnya bukan?"Made, tolong minta Mak Ijah membungkus dua nasi lagi untuk badut ini." Axel meneriaki Made."Ti--" Tidak usah!Raline segera menulis kata tidak usah di kertas karton. Ia nyaris kelepasan bersuara. Untung saja sinyal otak dan mulutnya kooperatif kali ini."Udah, ambil aja. Kali ini gue ikhlas." Axel memelototi si badut bisu. Entah apa yang ada dalam pikiran badut ini.
"Bisu, Pak," jawab Raline gagap. Axel dan Made saling berpandangan dan saling nyengir setelahnya."Lah, itu barusan lo ngomong?" Axel memicingkan mata. Cara berbicara rada-rada seperti ini mengingatkannya pada seseorang. Menjawab cepat tapi tidak singkron antara kalimat dengan perbuatan. Selalu menunduk dan menggerak-gerakkan bahu tidak nyaman apabila berbohong itu adalah ciri khas Raline! Pupil mata Axel membesar. Satu pemikiran singgah di benaknya tatkala memdang mata sipit yang sengaja digambar warna warni itu. Sepertinya badut ini adalah calon istrinya."Raline Raharjo Soeryo Sumarno!" Axel menunjuk wajah sang badut dengan tatapan tidak percaya. Sepertinya dugaannya benar. Semakin diperhatikan badut yang katanya bisu ini semakin mirip dengan calon istrinya."Alhamdulillahi robbil alamin. Akhirnya lo bisa juga nyebut nama gue lengkap." Raline menadahkan tangan dalam posisi berdoa. Ia terharu. Setelahnya Raline baru menyadari konsekuensinya. Ia bukan hanya ketahuan tidak bisu. Tetap
"Karena gue membawa rezeki dari hasil keringet gue sendiri. Gue nggak memanipulasi orang. Nggak jadi pelakor musiman juga seperti yang lo bilang. Gue... gue... merasa punya harga diri, Mas. Gue bangga walau gue jadi badut. Terserah orang mau bilang apa. Yang pasti gue bahagia dan bangga. Walau duitnya memang tidak seberapa. Enak ya kalau makan dari uang yang berkah?" Raline tersenyum di antara air matanya.Axel memijat-mijat batang hidungnya. Kebiasaannya kalau tengah berpikir keras. Ia ingin mengatakan sesuatu pada Raline, tanpa menyinggung harga dirinya."Gue paham. Oleh karenanya gue nggak akan menghakimi lo. Karena kebahagiaan tiap orang itu berbeda-beda. Gue hanya mau bilang. Kalo lo udah kelelahan, berhentilah. Gue siap membantu lo dengan cara-cara yang lo inginkan. Gue memang menyetujui permintaan lo untuk menunggu tiga bulan, baru kita menikah. Tapi gue akan senang sekali jikalau pernikahan kita dilaksanakan secepatnya. Jadi lo nggak usah bekerja keras seperti ini. Sejujurnya
Raline mendorong pintu rumah lesu. Ingatan akan kata-kata Axel pada Erick perihal ayahnya yang sakit, membuat Raline sedih. Ingin membantu, ia tidak punya uang. Terus menerus menerima bantuan Axel, ia juga sungkan. Istimewa ia sudah sesumbar bahwa ia akan menolak bantuan dana dari Axel. Tapi apa mau dikata. Terkadang dalam hidup sesekali harus menjilat ludah sendiri juga. "Kamu sudah pulang, Line? Hari ini kantormu memenangkan tender apa sampai perusahaan mengirim bonusmu untuk Ayah?" Pak Adjie yang sedang menonton televisi menoleh ketika putri semata wayangnya pulang bekerja."Tender... tender proyek, Yah." Raline menjawab terbata-bata. Jikalau harus berbohong dadakan ia memang cenderung gelagapan. Soalnya ia kurang mahir mengarang bebas."Ya pasti tender proyeklah. Nama proyeknya apa maksud Ayah? Entah proyek hotel perumahan, hotel, jalan tol atau apa kek." Pak Adjie beringsut dari kursi. "Eh... eh... eh..." Pak Adjie kembali terduduk. Lututnya mendadak sakit saat berdiri."Ayah
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta