Gadis itu sangat takut pada pikirannya. Bukan menutup kemungkinan, Aris yang sangat mengininya, tiba-tiba berbalik sangat jijik dan membencinya kalau sampai dia hamil anak Heru.
❤️❤️❤️
"Jadi ... apa masalah kita sudah selesai sekarang?" tanya Aris sambil menyenggol bahu Laila.
"Ya?" Mata Laila melebar. Ekspresinya seketika berubah.
"Bukannya tadi aku bilang akan bersabar sampai masalah kita selesai?" Aris menggoda Laila dengan mengingatkan kalimat yang dibisikkan sebelum ini.
"Kalau udah selesai kita mau ... apa?" Laila berpura-pura polos dengan ekspresi yang tengah berpikir keras.
"Hem?" Pemuda itu menarik kepala dan menautkan kedua alis, penuh tanya pada Laila. "Gak tau?"
Laila membulatkan mata sembari menggeleng.
"Hem? Bener?" tanya Aris lagi. "Hem? Hem? Hem?" Pria itu menggerakkan kepala, terus menggoda.
Hal itu tentu saja membuat Laila tertawa.
"Jadi gimana?" Aris kini bicara dengan serius. "Aku dah bayar hot
ita Bareng Saja"Mereka pasti sedang merayakan kemenangan mereka." Heru tersenyum sinis. Pria itu kini sedang sibuk membuka galery di ponselnya."Ck. Untung saja aku menyimpan foto-foto ini."Membayangkan Aris dan Laila yang terlalu cepat merasa senang. Tanpa mereka tahu kini Heru sedang menyusun banyak rencana untuk melawan."Ck. Pemuda itu membuatku iri." Pengacara bicara pelan. Seolah sedang bicara dengan dirinya sendiri.Dia masih belum bisa melupakan sosok cantik yang membuatnya terpana, dan memandang tanpa kedip ke arah gadis itu. Andai saja rencananya semalam bisa berjalan dengan mulus, pengacara itu pasti sudah merasakan bagaimana indahnya surga dunia.Ah, kapan lagi ia bisa bertemu gadis secantik Laila? Gadis yang cantiknya alami. Tidak seperti gadis-gadis yang fashionable dengan make up tebal. Meski tahu tak gadis lagi ... paras ayunya pasti akan membuat semua pria tergila-gila."Sepertinya aku perlu baby
Aris senyum-senyum sendiri di depan cermin. Menatap pantulan wajah tampan di sana. Mengingat bagaimana gadis itu tersipu malu mengikutinya."Mandi bareng maksudnya?" tanya Laila membulatkan mata.Aris mengangguk. "Ya, apalagi? Dari awal kan kita mau mandi, bukan berenang.""Em, itu agak ...." Suara Laila tertahan, ketika Aris menarik tangannya begitu saja."Sudah cepat! Waktu kita tak banyak!" pemuda itu menarik Laila, yang wajahnya sudah semerah udah rebus.Senyum Aris semakin tak tertahan kala membayangkan apa yang terjadi di kamar mandi."Ish ... kenapa aku jadi seperti ini?" Ia merasa heran pada diri sendiri.Gadis yang sempat diabaikan, meski gadis itu cantik dan menjaga diri. Lalu, sangat membencinya kala harus menikahi secara paksa. Dan kini ... Aris begitu menggilainya.Untung saja Laila tak dendam dan bersikap buruk pada pria yang berkali mencampakkan, bahkan sempat menyiksanya."Hemh. Ya .... Mana bisa dia meno
"Bagaimana?" tanya Heru pada pengacara yang sibuk berbalas surel dengan temannya."Sebentar Tuan." Pria itu menjawab sambil menatap serius ke monitor. Tanpa menoleh sedikit pun pada Heru."Pokoknya jangan berhenti sampai berhasil," ucap Heru membuat pengacara makin tegang..Sudahlah dia dilarang membersihkan diri lebih dulu dan berganti pakaian yang pantas, Heru juga terus mengungkit kesalahannya dan menuntut tanggung jawab.'Ya iyalah. Kalau gak mau tanggung jawab, udah kabur gue.' Pengacara itu membatin. 'Untung saja Lo tajir,' liriknya sambil menyembunyikan kekesalan.Setelah membalas pesan terakhir, pengacara menarik tubuhnya ke kursi di belakangnya. Menyandarkan bahu hingga terasa tubuhnya yang letih terasa nyaman."Bagaimana? Sudah?" Heru tak sabar."Sabar, Tuan! Perlu proses. Hem. Jadi ini nomor semua teman sekelasnya Laila." Pria itu menyahut sembari memijat tengkuk."Gak nyangka Anda sangat cerdas Tuan. Menghajar langs
Heru menunggu dengan gugup. Disesap kopi panas di tangan untuk mengurangi perasaan itu. Tak sabar rasanya ingin tahu hasil dari rencana yang disusun. Kali ini Laila maupun pemuda yang melindunginya akan dipukul mundur dengan konten itu."Nah, berhasil!" pengacara berseru senang. Setelah matanya fokus lebih dari sejam, dan telinganya tersambung pada orang-orang yang mengerti IT, apa yang dikerjakan berhasil juga.Dia yakin Heru juga pasti akan sangat senang, dan melupakan kesalahan yang diperbuatnya sebelum ini."Benarkah!?" Heru berseru. Ia segera meletakkan kopi dan memajukan tubuh melongok ke arah laptop yang pengacaranya pegang.Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Senyum lega dan kemenangan. "Ck. Heru dilawan.""Saya tak menyangka ada orang sejenius Anda.""Berapa lama lagi waktu kita?" tanya Heru."10 jam 28 menit 50 detik.""Hemh. Kita sudah menggenggam kemenangan untuk kasus Laila dsn suaminya. Sepertinya kamu juga perlu
"Apa?! Lo udah kawin?!" Mata Fanno melebar sempurna."Nikah, Fan." Aris mengingatkan agar Fanno meralat ucapannya."Ah, ya. Maksud gue itu. Ck. Mana boleh kawin sebelum nikah. Haha.""Hem.""Tapi apa sebabnya? Gak asiklah nikah gak kabar-kabar.""Yah. Niatnya kan muau dirahasiain. Masa kabar-kabar?"Tak menyangka jika pemuda yang selama ini terkesan dingin seperti kutub utara, bisa menikah lebih awal dibanding yang lain."Yah, apa pun itu. Gue doain Lo bahagia, semua berjalan dengan lancar.""Thanks. Tanpa Lo gak tau deh, gue minta bantuan siapa? Emang kelewat keparat itu bapak tirinya.""Hemh. Apa Bapak tirinya cabul?""Yah. Tentu. Cuma gimana kronologinya gue gak bisa cerita. Sorry." Aris sadar bahwa aib istrinya juga adalah aibnya. Itu kenapa memilih merahasiakannya dari siapa pun."Ya, gak papa. Santai ajalah. Gue ngerti, manusia perlu privasi.""Gak nyangka Lo sebaik ini, Fann.""Serius.
"Ada apa sebenarnya?" gumam Aris sambil merogoh ponsel Laila.Ia kemudian mencari kontak yang belum lama menelepon ke nomor milik istrinya. Nomor yang rupanya, sudah diberi nama 'Bunda' oleh Laila.Tak membuang waktu, Aris pun mengklik icon panggil. Setelah menunggu, panggilan tak juga tersambung dan justru ada pemberitahuan bahwa nomor sedang tidak aktif."Ya Allah. Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa tahu?"Aris meletakkan ponsel kecewa sambil terus memutar otak. Dia kemudian ingat, ancaman Heru dan tuntutan bajingan itu."Dia bilang akan menyebarkan foto itu kalau orang tua Laila tidak membatalkan tuntutan ...." Ucapnya dengan dahi berkerut-kerut."Nah!" Pemuda itu berseru. Ia menemukan sebuah ide cetar dalam kepalanya."Aku akan ke kantor polisi untuk tahu. Hemh. Baguslah meski banyak masalah, Tuhan menganugerahkan otak cerdas ini." Aris tersenyum. Ia mengirim pesan pamit pada Fanno, perlu pergi ke suatu tempat.[Bro, sorry g
Hati pengacara mulai guncang. Dia yang sudah menyewa hacker terhebat, kebobolan hacker lain yang dikerahkan pihak lawan. Apalagi lawannya berada di posisi yang benar menurut hukum.Bukan hanya itu, klien yang diperjuangkan nya, terindikasi berdarah dingin. Harusnya yang bisa dilakukan hanya meringankan hukuman dengan menceritakan kejadian secara jujur. Bukan malah menutupi, menghilangkan bukti dan memfitnah orang lain.Kalau sampai pengadilan mengendus perbuatannya, pengacara juga akan mendapat hukuman tak kalah berat"Eum, saya memilih mundur dari kasus ini." Pria itu akhirnya memberanikan diri bicara.Ini adalah keputusan terbaik. Meski tahu Heru pasti akan sangat marah padanya. Namun, jerat hukum lebih menakutkan baginya. Bukan hanya akan dipenjara dan didenda. Pengacara akan kehilangan izin untuk menjadi pengacara lagi setelahnya.Dia akan kehilangan masa depannya jika terus memaksa untuk jadi pengacara Heru."Apa?! Apa aku tak sal
"Ya udah, sih. Setelah ini baiknya nikah aja lagi. Laila juga pasti senang ayah kandung dan bundanya bersatu lagi," ceplos Ardian sambil mencebik, menggoda Aji. Pria yang ia tahu selama ini belum bisa melepaskan Rani seutuhnya.Mata Aji dan Rani melebar. Keduanya tak menyangka, akan dengan mudahnya Ardian mengatakan itu."Kamu ngomong apa, sih?" ketus Aji. "Dia ini masih istri orang." Pria itu melotot pada adiknya karena merasa malu pada Rani."Hehehe." Ardian tertawa renyah melihat wajah serius kakaknya yang tak terima."Aku bakal cerai, Mas." Rani menimpali obrolan itu. Ia tak tahan untuk tidak mengatakan apa yang menjadi keputusannya setelah sadar, bagaimana buruknya Heru.Mana mungkin dia akan bertahan? Laila juga pasti setuju. Entah, nanti akan bersatu lagi dengan Aji atau tidak. Ia belum berani berpikir sejauh itu."Ehm. Ya. Itu hak kamu, Ran." Aji menyahut. "Oya, kamu nggak apa-apa aku tinggal sendirian di sini? Aku harus bekerja." Aj