Bayangan laki-laki lain yang ada untuk memenuhi ngidam Zahra membuat Ridwan merasakan sesak.
Sakit sekali hatinya saat mendengarnya.Ridwan memejamkan mata sebentar sambil menajamkan telinganya mendengar jawaban Zahra."Baju Baba tersangkut dan Babamu jatuh dari ketinggian hingga menyisakan celananya saja!" timpal Zahra.Sontak Fatih tertawa terbahak-bahak.Membayangkan Baba nya jatuh dengan baju yang tertinggal dipohon kurma selalu membuatnya tertawa."Ibu nakal sekali, Kasihan Babanya Fatih!" jawab Fatih.Sedangkan Ridwan yang melihat Istri dan anaknya tengah membahas laki-laki lain membuat Ridwan menatap dingin.Menceritakan hal yang membuat Ridwan semakin terbakar cemburu."Ayah pergi membayar terlebih dahulu!" kata Ridwan dingin.Ridwan kemudian berdiri dan berjalan keluar dari privat room, membuat Zahra dan Fatih saling pandang.Zahra tersenyum menggelitik putranya untuZahra memeluk erat Ridwan, "Maafkan aku, Mas! Aku tidak pergi ke mana-mana! Aku tidak meninggalkanmu!"Ridwan masih memeluk Zahra erat untuk menetralkan jantungnya. Ridwan sangat terkejut beberapa jam lalu, saat keluar dari kamar mandi dan tidak mendapati seseorang. Ridwan mulai panik karena Ridwan pikir Zahra marah dengannya dan pergi. Ridwan berteriak memanggil Zahra dan Fatih, namun tak ada jawaban. Balkon juga masih terlihat tertutup dan gelap gulita. Ridwan berlari keluar kamar mencari Zahra. Ridwan mengutuki dirinya sendiri karena terlalu lama di kamar mandi. Ridwan menyesali kekesalannya. Ridwan menuju ruang kontrol hotel untuk melihat CCTV dan sambil menunggu Ridwan berlari mencari Zahra. Ridwan menyesali berendamnya di kamar mandi untuk mengurai amarahnya. Ridwan berfikir jika Zahra pasti sudah pergi agak jauh. Tanpa memikirkan dirinya yang masih berantakan
Dan malam itu Ridwan kembali menaburkan benih pada lahan Zahra. Melangitkan gairah di langit Turki. Dan meledakkan hasratnya di kegelapan malam itu. Memeluk istri tercinta yang masih lengkap dengan pakaian syar'i nya. Menyalurkan rasa kasih sayangnya dan menghadangkan istrinya dari terpaan angin malam yang dingin. Nyaman sekali dan berakhir Ridwan menggendong Zahra untuk membersihkan diri di kamar mandi. Tengah malam telah berlalu dan mereka bertiga saling memeluk hangat menuju dunia mimpi. Ridwan tertidur pulas dengan bibir yang menyunggingkan senyum.Keesokan harinya, Ridwan kembali melanjutkan jalan-jalannya tanpa pulang ke Mansion. Tanpa membawa apapun, hanya berbekal black card untuk membeli apapun keperluan selama berlibur. Ridwan mengajak Fatih dan Zahra ke Cappadocia. Menaiki balon udara disana dengan udara yang lebih dingin. Membuat Fatih selalu memeluk Aya
Zahra kini tak mampu lagi menahan air matanya. Keterdiaman Ridwan menyakiti hati Zahra. Zahra tidak pernah berniat untuk membangkang pada suaminya. Zahra walaupun dengan hati yang hancur tetap menurut dan membeli pil penunda kehamilan itu. Apakah setidak ingin itukah, Ridwan memiliki anak lagi? pikir Zahra. Zahra diliputi rasa yang tak karuan dan akhirnya berjongkok menangkup wajahnya sendiri. Meluapkan sesak dadanya dan Zahra terisak. Ridwan buru-buru ikut berjongkok dan memeluk istrinya, menggendong Zahra yang menangis menuju ranjang. Baju syar'i yang akan dipakainya itu terjatuh dan menurut dengan sang suami. Zahra terus menangkup wajahnya. Hatinya terasa sangat sakit dengan penolakan demi penolakan Ridwan. "Ra!" panggil Ridwan sambil memegang tangan Zahra. Sedikit menariknya agar Ridwan bisa melihat wajah Zahra. Namun, Zahra mengeratkan tangannya men
"Lihatlah Nyonya, Tuan! Ada dua kantung!" lanjut Dokter Dele. Ridwan menatap intens monitor dengan datar. Hati Zahra semakin tak karuan. Suaminya benar-benar tak menginginkan anak yang ada dalam rahimnya. Setetes air mata luruh di sudut mata Zahra, entah karena rasa haru akan memiliki anak lagi. Atau kesedihan karena sekali lagi dia hamil yang tak diharapkan suaminya. "Iya, Dok! Terima kasih!" jawab Zahra. Ridwan sontak melihat mata Zahra. Melihat air mata menggenang di sana, Ridwan berdiri dan menciumi mata Zahra. Tidak sedikitpun ada kata yang keluar, hingga Dokter Dele terus melakukan pemeriksaan menyeluruh. Karena Ridwan meminta memastikan keadaan istrinya. Harapan Zahra jika ada yang mencium mesra, berterima kasih dengan air mata haru karena mengandung anaknya telah sirna. Tak ada ucapan terima kasih sama sekali dari Ridwan. Dokter Dele sedikit menge
Melihat Ridwan menggedor pintu kamar dengan brutal Pap Ameer bergegas, menepuk bahu Ridwan. "Ada Fatih, Dia akan berfikir yang tidak-tidak pada Ibunya kalau kamu begini!" Papa Ameer memperingati Ridwan dengan tegas. "Ayo ke bawah, beri Zahra waktu!" lanjut Papa Ameer. Kemudian Ridwan berhenti, Ridwan terbawa emosi hingga tidak menyadari jika ada Fatih di sini. Fatih akan sangat cemas dan bahkan Ridwan akan bingung menjelaskan pada putra geniusnya itu kenapa Ibunya menangis. Ridwan duduk di ruang tamu dengan menetralkan dadanya yang naik turun. Menatap intens pada pintu kamarnya. Berharap Zahra akan segera membuka pintunya. "Ada apa, Nak? Kenapa sampai Zahra menangis! Kamu menyakitinya?" tanya Mama Sofiya khawatir. Ridwan diam sambil menutup matanya menghela nafas panjang. Mama Sofiya yang tidak mendapatkan jawaban dan khawatir dengan Zahra akhirnya naik. Mengetuk p
Ridwan masuk ke dalam kamarnya pelan-pelan. Dan melihat Zahra yang tengah damai dalam mimpinya. Ridwan mendekat dan duduk di lantai menatap istrinya intens. "Sayang, Aku sangat takut kehilanganmu! Nurut sama aku kali ini aja, ya?" libur Ridwan seolah sedang berbicara dengan Zahra. Ridwan bisa melihat mata Zahra bengkak. Ada bekas air mata tercetak dalam di pipi istrinya itu. "Maafkan aku, aku tau perasaanmu. Aku juga sangat mencintai anak ini! Tapi, aku tidak bisa hidup tanpamu, Ra!" lirih Ridwan sambil mengusap perut Zahra. Ridwan juga dilanda kesakitan yang sama. Siapa Ayah yang tega membunuh anaknya sendiri bahkan sebelum terlahir. Tapi, nanti setelah operasi pengambilan tumor, mereka akan bisa program dan hami lagi, pikir Ridwan. "Nak, Maafkan Ayah, Sayang! Ayah menyayangi kalian!" bisik Ridwan kemudian didepan perut Zahra. Memegang perut Zahra membuat hatinya hancur, membayangkan ada dua janin berkembang disana beserta dengan tumor. Ridwan mencium pelan perut Zahra dan
Zahra kemudian mengangguk, "Baiklah, mungkin kita memang membutuhkan penengah dan pengambil keputusan terbaik dari sisi agama!" Ridwan menatap istrinya dalam.Ridwan begitu berat dengan keputusan apa yang ada diluar kendalinya. "Berjanjilah padaku, Mas!" kata Zahra. "Apa?" tanya Ridwan pada Zahra. Zahra menggenggam tangan suaminya, "Mari kita berjanji, apapun keputusan Habib Usman kita harus menerima dan saling menguatkan!" Ridwan tersenyum dan mengangguk, "Mas berjanji! Berjanjilah kamu juga akan ikhlas!" Zahra diam merasakan dadanya. "Berjanjilah juga, tidak akan berfikir bunuh diri, jika kejadian Bibimu juga terjadi padaku!" pinta Zahra. Ridwan diam menatap mata istrinya. Mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Zahra, melumat lembut bibir ranum istrinya. Namun sensasi kali ini sangat menyakitkan, balasan ciuman Zahra membuat Ridwan dan Zahra meneteskan satu bulir air mata.
Selepas itu, Zahra dan Ridwan kembali ke rumahnya. Rumah yang bersebelahan dengan Habib Usman, hanya tersekat satu tembok. Zahra memasuki rumah yang sudah satu minggu dia tinggal. "Rasanya rindu dengan suasana di rumah, ini!" gumam Zahra sambil memasuki kamarnya. Ridwan kemudian memeluk istrinya, "Iya rindu suasana tentram ini, sebelum badai datang!" Zahra mengangguk. Zahra juga merindukan saat suaminya seperti biasa tanpa beban seperti saat ini. "Mari kita lapangkan dada kita, Mas! Serahkan saja sama Allah! Hidup mati kita!" Zahra berbalik dan menangkup wajah suaminya."Bukankah cepat atau lambat kita akan kembali?" kata Zahra. Ridwan tersenyum dan mengangguk. "Semoga Allah mengabulkan doa, Mas! Dan kita bersatu di akhirat kelak, Ra!" kata Ridwan. "Aamiin! Emang doa Mas apa semalam?" tanya Zahra sambil memainkan rahang suaminya. Ridwan mengecup bibir Zahr
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s