"Ibu! Ayah, Bu!" teriak Fatih yang sudah bisa menarik oksigen untuknya dari inhaler.
Zahra tergopoh-gopoh lari dan menelpon Yusuf minta tolong untuk membawa sang suami ke rumah sakit.Melihat Ridwan yang pingsan dengan wajah pucat penuh air mata dan bengkak membuat Zahra panik."Apa yang terjadi, Fatih! Kenapa Fatih menangis?" tanya Zahra.Zahra mengusap pipi sang putra sambil menggendong menuju mobil bersama Yusuf yang memanggul Ridwan.Diperjalanan Fatih menceritakan semua kejadian pada Fatih.Zahra tentu tau, penyakit sang putra turunan dari Ayahnya."Mas, Bangun! Jangan membuat Zahra takut!" kata Zahra sambil menggoyang tubuh Ridwan.Namun tak ada respons sedikitpun.Sampai di rumah sakit Zahra langsung turun dan meminta penanganan yang terbaik untuk suaminya.Jantungnya berdebar, takut jika Ridwan terkena serangan jantung mendadak.Dan benar saja, setelah hampir tiga jaTiba-tiba Mama Sofiya merasa jantungnya berdenyut. Baru saja bertemu dengan cucunya, dan harus berpisah."Kenapa tidak pindah disini, Ra?" tanya Mama Sofiya sambil melihat Fatih yang tengah dipangku Kakek Ameer. "Fatih yang mau, Mah. Fatih ingin menyelesaikan hafalannya dan juga guru-gurunya disana!" jawab Zahra. Mama Sofiya tampak sedih. Apakah keluarga bahagia hanya bisa Fatih rasakan satu minggu saja. "Pantas saja Ridwan seperti ini, dia sangat menyayangi keluarganya!" gumam Mama Sofiya. Zahra mengangguk, "Maafkan Zahra ya, Mah!"Mama Sofiya menggeleng cepat. Memeluk erat Zahra, "Harusnya kami semua yang minta maaf padamu!" Kemudian Mama Sofiya menuntun Zahra untuk duduk di kursi sebelah ranjang Ridwan. Menceritakan perubahan Ridwan pada Zahra sambil mengusap punggung Zahra. "Putraku yang hangat dan lembut telah hilang lima tahun lalu, Dia menyiksa dirinya sendiri
Setelah dokter perempuan masuk dan menangani Zahra. Papa Ameer diluar bersama dokter yang menangani Ridwan. Dan dokter menjelaskan jika, [maaf membuat Khawatir, Pasien sudah sadar tapi dalam keadaan lemah]Dan Papa Ameer menyimpulkan, Zahra menganggap jika mungkin suaminya tidak tertolong hanya dengan kata Maaf. "Istrimu pingsan karena kamu anfal!" jawab Papa Ameer datar. Sedangkan Sofiya memegang erat tangan putranya yang masih sangat lemas. "Pah, jangan ketus gitu!" pinta Mama Sofiya. Putranya baru saja sadar dari serangan jantung. Sofiya tidak tega melihat Ridwan. Ridwan yang lemas itu kemudian mengusap kepala Zahra dengan satu tangannya. "Ayah!" lirih Fatih yang tak berdiri di sebelah Ameer. Namun, Ridwan tak bisa melihat karena Fatih yang masih kecil. "Fatih! Sini, Sayang! Peluk Ayah!" pinta Ridwan yang masih lemas dan belum memiliki banyak tenaga. Ke
Zahra memajukan bibirnya cemberut sebal karena tawa Ridwan. "Mas!" rengek Zahra. "M—maaf, Sayang! Kamu lucu dan menggemaskan sekali! Polos banget sih, Istriku ini!" jawab Ridwan sambil menghentikan tawanya dan mencolek hidung Zahra. "Aku serius, Mas!" rengek Zahra. Ridwan mengusap pipi Zahra, "Aman, Sayang! Mama yang melihat dan Mama hanya melihatku! Kita sudah halal jadi gak apa-apa!" Zahra memasukkan wajahnya di dada sang suami. Ucapan lembut Ridwan membuat Zahra malu. Laki-laki dingin itu ternyata bisa sangat lembut, pikir Zahra. Bagaimanapun perkenalan mereka sangat tidak berkesan baik. Pelecehan yang dilakukan Ridwan saat itu sangat menakutkan. Dingin, kejam, kasar dan tak berperasaan. Namun sekarang, Ridwan sangat baik dan lembut. Ridwan kemudian melerai pelukan itu dan memasangkan kembali cadar Zahra, "Takut ada yang lihat!" Zahra tersipu dengan si
Fatih tentu kecewa dengan keputusan sang Ayah. Fatih masuk kedalam ruang rawat Ridwan bersama Zahra dan Kakek, Neneknya. "Ayah!" panggil Fatih. Ridwan yang tengah duduk, langsung menatap mata putranya. "Iya, Nak. Sini!" jawab Ridwan. Fatih mendekat dan naik ke ranjang dibantu oleh Kakek Ameer. Fatih memeluk Ayahnya erat, "Fatih pamit ya, Yah. Fatih harus pulang dan berkemas untuk berangkat ke Tarim!" Deg! "Harus sekarang?" lirih Ridwan. Jantung Ridwan bergemuruh. Ridwan tidak berfikir mereka akan berangkat secepat ini. Ridwan menoleh pada Zahra, dan Zahra hanya diam menatap mata Ridwan yang memohon. Zahra tau arti tatapan itu, tentunya membujuk sang putra. Tapi Zahra tak ingin membantu Ridwan. "Ayah sudah sehat. Fatih sudah menunda empat hari, Yah!" jawab Fatih datar. Zahra kemudian mendekat. "Aku juga pamit, Mas!" kata Zahra
Zahra masuk ke dalam pelukan Ridwan. "Iya, Mas! Zahra akan berangkat bersama Fatih!" jawab Zahra. Ridwan memeluk erat istrinya. Zahra kembali meleleh karena Ridwan menyusulnya dengan keadaan yang mengenaskan. Tanpa alas kaki dan darah bercucuran. Hal itu membuat Zahra kembali yakin jika Ridwan memang sangat ketakutan. "Jangan salah paham, Sayang! Aku mencintaimu! Tunggulah Mas menyelesaikan perpindahan kantor pusat ya!" kata Ridwan lagi. Zahra mengangguk dalam pelukan Ridwan. "Jangan merasa Mas hanya memerdulikan Fatih saja. Mas milikmu, Ra!" lanjut Ridwan. Zahra mengangguk, "Maaf ya, Mas. Zahra berfikiran buruk tentang, Mas!" Ridwan menggeleng, "Sikap Mas yang membuatmu berfikir seperti itu, Ra!"Kesalahan pahaman itu lebur dalam pelukan hangat.Setiap hubungan tak akan luput dari salah paham. Namun bagaimana menyelesaikannya, itu tergantung individu.
Ridwan langsung bergegas masuk kedalam kamar. Mencoba menghindari pertanyaan Zahra, karena memergoki Ridwan tengah menguping Fatih. Zahra tersenyum dan mengikuti suaminya. Mereka berdua melakukan kewajibannya, kemudian Ridwan langsung pamit berangkat ke masjid. Pujian sudah mulai terdengar merdu dari pengeras suara. Ridwan keluar kamar dan menunggu putranya dihalaman. Tak lama setelah itu, Fatih keluar dan pergi ke masjid bersama Ayahnya. Ridwan ingin mengukir segala kenangan bersama Fatih. Putra yang begitu dia sayangi. Tak ada kata yang terucap dari dua laki-laki beda usia itu. Setelah selesai melakukan sholat, mereka berdua bergegas pulang. Ridwan membawa Fatih pada pundaknya. Awalnya Fatih menolak dan minta diturunkan karena sang Ayah baru saja sembuh. Namun, Ridwan tak menurunkan Fatih. Memasuki rumah dan menuju meja makan, Zahra dan Umi p
Dan olahraga malam dua insan itu terjadi. Berpeluh dan mendesah bersama dalam balutan gairah dan rasa cinta.Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Seolah Zahra adalah poselen, jika kasar sedikit akan pecah. Hati Zahra memang porselen, karena sudah pernah sekali pada waktu itu. Ridwan mengayuh tubuhnya dengan pelan, mengobrak-abrik dibawah sana hingga mereka mencapai puncak bersama. Meluapkan segala rasa, cinta, harapan, masa depan. Zahra tersenyum dalam dekapan suaminya. Menghirup aroma maskulin pada dada telanjang suaminya yang penuh keringat. Seolah rasa sakitnya lima tahun lalu menguap begitu saja diganti dengan cinta yang membuncah. Zahra sangat menikmati pelukan hangat suaminya. Tubuh mereka masih polos di bawah selimut itu. Ridwan terus menciumi puncak kepala Zahra dan menghirup dalam-dalam aroma sampo Zahra. Seolah aroma itu menambah ba
Fatih hanya diam mendengar jawaban ibunya. "Fatih kenapa bertanya begitu?" tanya Zahra. Fatih kemudian menatap Ibunya intens, seiring dengan pemberitahuan jika pesawat akan take off. Zahra dan Fatih mulai merasakan getaran saat pesawat itu mulai lepas landas. Hingga pesawat benar-benar tenang dan beberapa petugas datang membawakan sarapan Zahra dan Fatih. Zahra kemudian menoleh, "Makan dulu, nanti baru jawab pertanyaan, Ibu!" Fatih hanya mengangguk dan langsung memakan sarapan yang sudah disediakan. Mereka makan dengan nikmat karena menu yang dibawakan adalah menu kesukaan Fatih. Zahra berfikir, sepertinya Ridwan sudah menyiapkan segalanya demi kenyamanan perjalanan Zahra dan Fatih. Melihat sang putra sangat lahap membuat Zahra lebih tenang. Setelah makan, Zahra meminta petugas untuk mengantar menuju kamar dan berbaring bersama Fatih di sana. Sudah lumayan lama tidak memeluk
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s