Zen membawa Marisa ke sebuah rumah tua yang nampak seperti lama tidak dihuni.
"Apa benar Ridwan menungguku di sini, Zen?" tanya Marisa kebingungan.Rumah itu terlihat sangat menyeramkan.Banyak semak belukar dan dan bangunan yang sudah roboh di beberapa sudut.Zen tidak menjawab sedikitpun, dia terus berjalan masuk menuju rumah tua itu.Marisa terus mengikuti Zen sambil terus meracau, "Jangan menakutiku, Zen!"Cklek!Zen megunci pintu saat memasuki rumah tua itu.Marisa terkejut hingga memekik, "Kenapa dikunci? Zen kamu jangan macam-macam!"Zen tak menjawab satupun ucapan Marisa, dia memilih terus berjalan menuju bagian belakang rumah tua itu.Hingga sampai di satu sudut, yang terlihat Ridwan duduk seorang diri."Ridwan!" pekik Marisa dengan mata berbinar.Ridwan hanya diam sambil melihat Marisa dengan dingin."Maafkan aku, An. Aku tidak tau ada seseorangUmi Awiyah kemudian memeluk Zahra dengan erat. Umi Awiyah tau jika Zahra mencintai laki-laki tersebut. "Jodoh tidak akan kemana, Nak. Tapi, melihat kegigihannya dulu rasanya susah dipercaya jika menyerah begitu saja," jawab Umi Awiyah. Zahra tahu jika tak ada lagi yang mengintainya. Ridwan tidak lagi menyuruh orang untuk mengawasinya. Zahra menghela nafas beratnya, "Zahra tidak memikirkan perihal jodoh, Umi. Siapa yang mau dengan wanita seperti Zahra," "Banyak. Ali juga beberapa kali mengirimkan lamaran untukmu, bukan?" jawab Umi Awiyah. Setelah Zahra dinyatakan hamil, Habib Ali mengirimkan lamaran untuk menjaga marwa Zahra. Habib Ali paham agama dan apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan setelah menikah nanti. Namun, Zahra menolak terang-terangan lamaran itu. Zahra menoleh dan tersenyum manis, "Habib Ali pantas mendapatkan yang terbaik, Umi. Zahra tak lagi utuh. Zahra tak ingi
Kata-kata Fatih membuat Zahra membeku. Ini kali pertama putranya berkata sedemikian dingin kepada Zahra. Hati Zahra terasa sangat perih. Zahra kehilangan tenaganya, hingga tak mampu menjawab pertanyaan putranya itu.Zahra kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk meredam sesak dadanya. Menghalau air mata yang tak akan Zahra biarkan menetes. Dingin dan perkataan Fatih seperti asam yang ditaburkan diatas luka dihatinya. "Maafkan Zahra, Habib ...,"Zahra mengucapkan dengan lirih sebagai tanda permintaan maafnya. "Baiklah Zahra, mungkin memang kita tidak berjodoh!" jawab Habib Ali. Fatih yang melihat rona kekecewaan dalam ekspresi Habib Ali pun berkata, "Ibu, Apa sih kurangnya Baba? Baba tampan dan sholeh! Baba sangat sayang pada Fatih! Kalau Baba menikah, nanti yang murojaah dengan Fatih siapa?" Fatih terlihat berat melepas Habib Ali untuk menikah. Fatih takut, j
"Fatih!" Fatih sedikit terkejut dan langsung menutup buku Ibunya itu. Zahra berdiri diambang pintu; "Ayo makan, Nak!" lanjutnya. Fatih berdiri dan mengangguk sambil berjalan mendekati Zahra. Zahra bisa melihat rona kesedihan dalam wajah dingin putranya. "Kenapa?" tanya Zahra sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih. "Apa Fatih tidak akan pernah merasakan bermain dengan Ayahnya, Bu?" tanya Fatih datar. Fatih memang pria yang dingin dan irit bicara. Hanya dengan Zahra, dan keluarga Umi Awiyah terlebih Habib Ali, dia akan bicara panjang. "Apa Fatih begitu ingin bertemu, Ayah Fatih?" tanya Zahra pelan. Fatih hanya diam melihat ekspresi ibunya berubah. "Apa hanya dengan Ibu, Fatih tidak cukup?" lanjutnya. Fatih diam membeku mendengar pertanyaan Ibunya. Fatih paham jika dia sudah menyakiti hati ibunya dengan pertanyaan dengan Ayah. Fatih mulai gugup
"Sayang, jangan menyakiti Ibumu dengan pertanyaan seperti itu!" jawab Nenek Awiyah. Fatih menggeleng dan menjawab, "Fatih tidak bertanya pada Ibu, Nek," "Pintar, saat kamu dewasa, kamu akan mengerti ini semua. Dan jangan pernah sekalipun menyakiti hati Ibumu! Ayok kita tidur!" jawab Kakek Usman menghentikan perdebatan di atas kasur ini. Mereka bertiga akhirnya menutup mata dengan pikiran yang mengganjal ketiganya. *******Dan di Jakarta, Ridwan sedang berada di ruangannya. Menatap kota jakarta dari balik kaca lantai tertinggi di perusahaan miliknya. Dengan ekspresi dingin dan tegas yang tidak pernah luntur lima tahun ini. Hubungan dengan kedua orangtuanya tak lagi hangat. Ridwan bahkan jarang sekali pulang ke rumah. Hari-harinya penuh dengan pekerjaan dan pekerjaan. Ridwan mengambil banyak pekerjaan karena ketika habis pekerjaannya, dia akan diam dan kepikiran Zahra.
Zahra yang telah menempuh 12 jam perjalanan itu, akhirnya mendarat di Surabaya. Melangkah dengan menggandeng putranya menuju mobil travel yang sudah disewanya. "Apa masih jauh, Bu?" tanya Fatih menurut. Zahra tersenyum dan berhenti, "Kenapa? Fatih tidak sabar lagi ya?" Fatih hanya menampilkan seluruh giginya dengan cengiran indah. "Sabar ya, masih lama!" lanjut Zahra. Fatih mengangguk dan kembali berjalan, bergandengan tangan dengan Ibunya. Ini kali pertama, Fatih menginjakkan kaki di Indonesia. Negara kelahiran Ibu dan Ayahnya.Hati Fatih sedang membuncah senang, karena Akhirnya bisa sampai disini. Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Mobil melaju pelan keluar dari Juanda, terminal keberangkatan satu. Fatih menoleh melihat luar jalanan. "Bu disini banyak pohon dan rindang ya?" katanya sambil terus menatap keluar.
"Ayo masuk dulu, Umi. Zahra capek berdiri!" kata Zahra mengalihkan pembicaraan. Zahra tidak tega melihat ekspresi Uminya yang terlihat kecewa. "Maaf Umi lupa, Ayo masuk!" jawab Umi kemudian menuntun cucunya masuk. Siang itu rumah Umi Aisyah tampak rame karena kedatangan Zahra dan Fatih. Yusuf dan Ratih juga menyambut Zahra dengan penuh haru. Mereka senang mendapatkan keponakan yang sangat lucu. Suasana meja makan juga terlihat ramai. "Abang Yusuf tinggal dimana sekarang?" tanya Zahra pada Yusuf. "Abang tinggal tidak jauh, Ra. Dirumah sederhana dekat pondok," jawab Yusuf. "Bawalah istrinya kemari, Bang!" pinta Zahra. Yusuf mengangguk dan menjawab,"Iya, nanti Abang bawa!" Pandangan Zahra langsung menuju Ratih. "Kamu, Tih?" tanya Zahra. "Ratih disini menjaga Umi, mbak!" jawab Ratih pelan. "Si Ratih gak mau menerima banyak lamaran, Ndok. Katanya mau
Suasana meja makan itu kembali hening. Mereka semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tentu, Zahra dan Fatih yang paling berkecamuk saat ini. "Abang harus pergi, Ra. Ada kelas Abang sekarang!" pamit Yusuf. Zahra kemudian kembali ke kesadarannya dan tersenyum menjawab Bang Yusuf. Makan siang itu selesai dan mereka masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Fatih masuk ke dalam kamar bersama Zahra. "Bu, jangan lupakan perjanjian kita ya!" ingat Fatih pada Ibunya kemudian menuju kamar mandi. Zahra hanya cemberut mendengar perkataan dan tingkahnya Fatih. Zahra jadi gelisah dan menyesal melakukan perjanjian dengan putranya yang sangat pintar itu. "Bisa-bisanya dia menjebak Ibunya sendiri," gerutu Zahra. Zahra tak mau ambil pusing dan memilih untuk segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadah sholat dhuhur. Zahra akan meminta pertolongan hanya pada
Umi terpaku dengan jawaban dari putrinya. Umi Aisyah merasakan jika Zahra belum sepenuhnya bisa berdamai dengan keadaan. Semua dia lakukan untu Fatih semata. "Sepertinya Ridwan benar, hanya Ridwan yang bisa menyembuhkan Zahra!" batin Umi Aisyah. Mereka berdiam dengan segala isi kepala yang berebut ingin dipikirkan. Hingga mereka menoleh bersama karena sebuah mobil berhenti dihalaman, pagi-pagi buta begini. "Siapa Umi? Kenapa ada yang bertamu sepagi ini?" tanya Zahra pada Uminya. Umi tahu mobil siapa itu dan berkata, "Masuklah, tolong buatkan minum Zahra!" "Baik, Umi!" jawab Zahra kemudian masuk ke dalam dapur.Umi berjalan kembali menuju pintu membukanya."Assalamualaikum, Umi!" salah Ridwan. Umi melihat Ridwan dari bawah hingga atas. Ridwan terlihat memakai pakaian yang sama saat berpamitan menuju Tarim dengan wajah yang sama dinginnya. Hanya lebih beranta
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s